Selasa, 13 Januari 2015

Arman AZ: Prosa, Sejarah Lampung, dan Sang Petualang dari Kupangkota

M. Arman Az
oleh Alexander GB

Tas ransel hitam bergelayut manja di punggung lelaki berkaca mata itu. Kakinya yang mulai lelah menapaki jalanan, menyusuri.gang-gang sempit sebuah kota yang barangkali telah lupa dengan nama aslinya. Sejenak ia menghela nafas, membenarkan kacamata, memeriksa telepon genggamnya, mengusap peluh dan melihat betapa sedikit pemerhati sejarah di Lampung tercinta ini.

Ia menuju ke salah satu loper koran di dekat lampung merah di pusat kota, membolak-balik halaman dan berbicara seperlunya. Fakta mencatat bahwa dia memang sosok yang pendiam, seorang sahabat yang baik, dan yang terpenting dia adalah salah satu prosais terbaik yang dimiliki Lampung saat ini, yang dedikatif dan produktif. Prestasi terbaru, melalui novelnya ia kembali mengharumkan nama Lampung dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014. Dewan Juri yang terdiri dari  Zen Hae, Nukila Amal, dan Martin Suryajaya menetapkan "Hikayat Demang Tuuk"  masuk dalam 11 besar.
 
Sejak 2009 (atau mungkin lebih lama dari itu), ia menaruh interes terhadap sejarah, khususnya menyangkut sejarah lampung dan Sumatera bagian Selatan. Ia kunjungi lokus-lokus yang (menurutnya) mengandung nilai historis. Dayang Rindu dan Van Der Tuuk adalah salah satunya. Karena dua ihwal ini, Kedubes Belanda di Jakarta memberinya jalan untuk memulangkan Kamus Bahasa Lampung yang di tulis Van Der Tuuk dan tersimpan di Leiden-Belanda beberapa wakktu lalu.

Meski telah memilih untuk concern pada novel histoiris, ia masih aktif menulis cerpen, feature, resensi buku, esei, travelog, dan mungkin puisi. Tak ayal lagi, di Lampung,  produktivitasnya di dunia prosa hanya kalah oleh Isbedi Stiawan ZS. Hingga sekarang karya-karyanya bertebaran di mana-mana, di koran-koran minggu, tabloid, majalah baik yang bertaraf lokal maupun nasional.

Sebagai seorang petualang, hampir semua tempat di nusantara ini telah ia kunjungi. Dari Aceh hingga Papua. Ah, kalau Papua mungkin belum. Tapi yang pasti, begitu banyak hal yang dilakukannya, tempat-tempat yang  dikunjunginya pun beragam,  dari kota ke kota, museum ke museum, situs-situs bersejarah, makam-makam sejarawan, tempat-tempat rekreasi, berbagai forum diskusi, sejumlah pertemuan sastra dan budaya, dan lain sebagainya.

Menurut sebuah sumber, ia memang gemar membaca, sejak SMP tepatnya. Kebiasaan tersebut mengantarkan pria satu ini menjadi seorang penulis Lampung yang cukup disegani. Dia ingat buku-buku sastra yang pernah dibacanya di masa remajanya itu, seperti buku-buku Ahmad Tohari, Motinggo Busye, Hamsad Rangkuti, Gola Gong, dan Seno Gumira Ajidarma, dan lai-lain. Sebagian buku-buku itu dipinjam Arman A.Z. dari perpustakaan sekolah atau Perpustakaan Daerah Lampung. Kini, dia lebih dikenal sebagai cerpenis meskipun juga menulis esai, cerita anak, atau, feature.

Arman anak kedua dari lima bersaudara. Dia lahir di rumah sakit bersalin Santa Anna, Telukbetung, 30 Mei 1977, dari pasangan M. Arifin A.Z. dan Rafeah (alm). Kawasan Kupangkota menjadi tempat Arman besar. Hobinya selain membaca dan menulis adalah traveling dan minum kopi. Arman mulai belajar memublikasikan tulisannya di media massa setelah lulus SMAN 1 Tanjungkarang pada 1995. Dia ingat tulisan pertamanya dipublikasikan di Lampung Post, saat itu berupa resensi kaset. Sejak itu dia keranjingan menulis.

Saat itu belum ada satu pun sastrawan Lampung yang dikenalnya meskipun dia kerap membaca karya-karya sastrawan Lampung, seperti Isbedy Stiawan Z.S., Syaiful Irba Tanpaka, Oyos Saroso H.N, Panji Utama, Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, dan lainnya. Jika ada acara-acara seni, dia menyempatkan datang dan menyaksikan para seniornya beraksi.

Perkenalan pertamanya dengan sastrawan Lampung adalah dengan Isbedy Stiawan saat launching Antologi Cetik di SMAN 3 Tanjungkarang pada 1999. Sejak saat itu Arman mulai berinteraksi dengan kalangan seni di Lampung.

Kini, menulis menjadi semacam sarana silaturahmi Arman dengan banyak orang. Arman sempat bekerja di beberapa perusahaan swasta sebelum memutuskan total di dunia menulis. Ini soal pilihan saja dan tiap pekerjaan tentu ada risiko masing-masing.

Beberapa tahun belakangan dia menekuni ihwal-ihwal kelampungan dalam tulisan-tulisannya. Dia mencoba memaknai Lampung dari sudut pandangnya sendiri dan menelisik ihwal-ihwal yang belum banyak diketahui warga Lampung, tetapi sesungguhnya penting sebagai bagian sejarah Lampung dan Indonesia. Misalnya, reportase dua penulis Eropa abad 18 tentang Liwa dan Tulangbawang, sebuah novel bertema Lampung yang lebih dulu ada sebelum Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dianggap sebagai penanda sastra Melayu, Bobby Freeberg pilot pesawat RI-002 asal Kansas (AS) yang turut membantu kemerdekaan Indonesia (pesawatnya jatuh tidak lama setelah take off dari Bandara Branti).

Dia juga mengumpulkan foto-foto tua tentang Lampung yang dikoleksi sejumlah museum di Belanda sehingga penelitian mandirinya tentang Herman Neubronner van der Tuuk, pembuat kamus bahasa Lampung pertama kali. "Saya lakukan saja apa yang bisa saya lakukan untuk Lampung. Saya tidak ingin Lampung selalu merasa bangga dengan harga dirinya, tetapi seperti bingung menegakkan harga dirinya," kata Arman.

Tulisannya berupa cerpen, esai, dan cerita anak pernah dimuat di media massa nasional dan daerah. Selain Lampung Post, pernah dimuat di Kompas, Republika, Koran Tempo, Suara Karya, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Nova, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Sinar Pagi, Batam Pos, Banjarmasin Post, Bali Post, Padang Ekspres, Kartini, Annida, Surabaya Post, Sinar Harapan, Riau Post, Majalah Sastra Tepak (Riau), dan lain-lain.

Cerpennya juga tergabung di beberapa antologi, seperti Cetik, Grafitti Imaji, Cermin & Malam Ganjil, 20 Tahun Cinta, Wajah di Balik Jendela, Anak Sepasang Bintang, Pipit Tak Selamanya Luka, Mengetuk Cintamu, Bunga-Bunga Cinta, Gerimis (Dalam Lain Versi), Surat buat Abang, Ujung Laut Pulau Marwah, dan lain-lain.

Sementara kumpulan cerpen yaitu Embun di Ujung Daun dan Sekuntum Mawar di Depan Pintu. Selain itu, kumpulan cerita anak Payung Warna-warni (Mizan, 2003), Senjata Makan Tuan (Beranda Hikmah, 2004), Dena dan Bidadari (Beranda Hikmah, 2005). Juga novel anak Loper Koran Cilik (GIP, 2007).

Arman juga pernah mengikuti beberapa lomba penulisan. Dia pernah masuk 30 besar nominasi lomba cipta cerpen yang diadakan Dinas Pendidkan Nasional-KSI-CWI 2003 dan cerpennya masuk antologi Yang Dibalut Lumut. Nominasi lima besar Sayembara Penulisan Cerpen tingkat nasional yang diadakan Lampung Post (2004). Lalu, juara harapan III Lomba Penulisan Cerita Rakyat tingkat nasional yang diadakan Pusat Bahasa (2010).

Dari aktivitas menulis cerpen, Arman pernah beberapa kali diundang menghadiri kegiatan sastra, seperti Kongres Cerpen Indonesia III (Bandar Lampung, 2003), Temu Sastrawan MPU (Banten, 2004), Kongres Cerpen Indonesia IV (Riau, 2005), MPU (Bali 2006), Kongres Cerpen Indonesia V (Banjarmasin, 2007), Pertemuan Sastrawan Nusantara (Kedah, Malaysia, 2007), Kongres Komunitas Sastra Indonesia (Kudus, 2008), dan Temu Sastrawan Indonesia (Ternate, 2011).

Saat ini, Arman mengabdi di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) dan  Lampung Literatur selain Komite Sastra DKL. Setelah Hikayat Demang Tuuk, sekarang ia sedang menyusun novel keduanya.

di Erasmus Huis, Jakarta

Menelusuri Sejarah Lampung & Jejak van der Tuuk

SEJAK 2011, pria satu ini menekuni biografi dan jasa Herman Neubronner van der Tuuk, orang Indo-Belanda yang pertama kali membuat kamus bahasa Lampung. Hingga kini, kamus setebal hampir 600 halaman itu tidak sempat diterbitkan dan naskah aslinya tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda). Arman menduga belum banyak pihak di Lampung tahu perihal ini, termasuk pemerintah dan kalangan akademisi.

Apa yang mendasari Arman meneliti Van der Tuuk? Menurut dia, masih banyak ruang-ruang kosong dalam sejarah dan budaya Lampung yang bisa, dan seharusnya, diungkap masyarakat Lampung. Selain itu, karena gerahnya Arman terhadap fenomena generasi muda dan seniman yang dituntut kiprahnya dalam pelestarian budaya Lampung dan juga acara-acara kebudayaan yang cenderung seremonial.

Berangkat dari situ, Arman bergerak sendiri mencari sesuatu yang berharga, tetapi diabaikan Lampung. Hingga dia menemukan sosok H.N. van der Tuuk.

"Kamus itu disusun saat Van der Tuuk yang menetap di Lampung (1868?1869). Sedikit informasi mengenai Van der Tuuk di Lampung. Dari salah satu suratnya, dia tinggal di tepi Sungai Seputih. Dia memang lebih banyak di Batak (sekitar enam tahun) dan Bali (25 tahun)," kata Arman, kepada Lampung Post, kemarin.

Dari hasil penelitiannya, Arman menemukan fakta bahwa Van der Tuuk adalah sosok yang sangat berjasa bagi upaya pelestarian sejumlah bahasa daerah di Indonesia. Ironisnya, Van der Tuuk dilupakan bahkan tidak diketahui, termasuk pemerintah, akademisi, peneliti, dan budayawan.

H.N. van der Tuuk bukan hanya berjasa buat Lampung. Dia juga yang pertama kali menyusun kamus Bahasa Batak, pertama kali menyusun kamus bahasa Bali, dan juga pernah membuat kamus Melayu.

Dia orang Eropa pertama yang mengunjungi Danau Toba dan bertemu Sisingamangaraja. Hasil-hasil penelitiannya bagi bahasa nusantara dan kekerabatan bahasa Austronesia menjadi acuan peneliti-peneliti sesudahnya. Karena banyak, seluruh koleksi Van der Tuuk (naskah, manuskrip, surat, dan lain-lain) dikirim ke Belanda sebanyak tujuh kali pengiriman lewat kapal laut.

Dalam sebuah seminar tentang bahasa yang diadakan sebuah kampus, pembicara yang notabene birokrat menyatakan bahwa orang-orang Belanda ke Lampung hanya untuk tanam kopi dan mengambil hasil bumi. "Saya miris sekaligus geli mendengarnya. Tidak semua orang Belanda datang untuk menjajah. Van der Tuuk justru membenci penjajahan. Dia membela pribumi. Secara tidak langsung, Van der Tuuk juga telah menyelamatkan dan melestarikan bahasa Lampung lewat kamus yang dibuatnya."

Berkaitan dengan naskah-naskah Van der Tuuk, Arman bahkan mengunjungi Palembang, Bengkulu, Lahat, dan Muaradua. Menurut dia, ada fakta menarik, cerita rakyat Sumatera bagian selatan, Dayang Rindu dan Anak Dalom, manuskripnya ada versi Lampung dan beraksara Lampung. Di daerah lain di Sumbagsel tidak ada manuskripnya.

"Beberapa pihak yang saya temui di luar Lampung justru terkejut mengetahui ada manuskrip Dayang Rindu dalam aksara Lampung dan tersimpan di beberapa negara Eropa. Semua itu hasil inventarisasi Van der Tuuk," kata dia. Bahkan, kata Arman, naskah Dayang Rindu ini telah beberapa kali dipentaskan Komunitas Berkat Yakin (Kober).

Pada 2012, Arman sendirian mencari makamnya di Peneleh (Surabaya). Menurut kuncen dan kepala makam Peneleh, belum pernah ada orang Indonesia yang mencari makam Van der Tuuk. Saat foto makam Van der Tuuk diunggah di Facebook, banyak pihak merespons positif. Bahkan, ada kalangan akademisi linguistik yang baru mengetahui bahwa makamnya di Surabaya.

Sepak terjang Arman menggali sejarah budaya Lampung bukan hanya sampai di situ. Bersama Irwan Wahyudi (film maker) menginisiasi pembuatan film dokumenter Van der Tuuk. Dari Peneleh, Gedong Kirtya atau Museum Lontar di Buleleng (Bali) yang merupakan rumah terakhir Van der Tuuk. hingga ke Medan-Toba-Barus.

Hasil pengumpulan data Van der Tuuk telah cukup banyak. Selain bahan teks (buku, jurnal, dan artikel), Arman juga menghubungi sejumlah pihak di dalam dan luar negeri. Dia menjalin komunikasi via e-mail dengan Kees Groeneboer (kepala Erasmus Taalcentrum/Pusat Bahasa Belanda, penulis buku biografi Van der Tuuk), Edwin Wieringa (dosen filologi dari Universitas Koln, Jerman, yang juga membuat buku tentang manuskrip-manuskrip koleksi Van der Tuuk), juga Nikolaos van Dam (mantan Dubes Belanda untuk Indonesia) yang pernah menulis artikel Van der Tuuk.

"Mereka mengapresiasi niat saya untuk menyosialisasikan Van der Tuuk lewat media audiovisual. Sejak tahun lalu mereka berbaik hati mengirimi bahan-bahan yang dibutuhkan, juga bersedia diwawancarai untuk film dokumenter," kata Arman.

Mereka juga telah sowan ke beberapa pihak di dalam negeri, seperti Ibu Junaiyah (pembuat kamus bahasa Lampung), pengelola Gedong Kirtya, dan pengelola makam Van der Tuuk. ?Profesor Edwin bersedia menjadi narasumber film. "Akhir Agustus beliau datang dari Jerman, ada acara di Yogya dan Jakarta, kami sudah janji bertemu."

Harapan Arman sederhana saja, dia ingin Pemerintah Lampung mengambil inisiatif merenovasi dan memberi penanda di makam Van der Tuuk atas jasa-jasanya bagi bahasa Lampung dan daerah lain di Indonesia. Selanjutnya, Arman akan kembali menyelesaikan novel perdananya tentang Van der Tuuk. "Kalau pemerintah tidak peduli, lebih baik jargon menor mak kham sapa lagi, mak ganta kapan lagi, dibuang saja ke kotak sampah," kata dia.

Biodata
Nama : Masagus Arman A.Z.
Lahir : Telukbetung, 30 Mei 1977
Pekerjaan : Menulis
Ayah : M. Arifin A.Z.
Ibu : Rafeah

Karya
1. Cerita pendek
- Antologi Cetik, Dewan Kesenian Lampung, 1999
- Grafiti Imaji, Yayasan Multimedia Sastra, April 2002
- Cermin dan Malam Ganjil, FBA Press, Juni 2002
- 20 Tahun Cinta, Senayan Abadi, Juli 2003
- Wajah di Balik Jendela, Lazuardi, September 2003
- Mengetuk Cintamu, Senayan Abadi, September 2003
- Anak Sepasang Bintang, FBA Press, 2003
- Bunga-Bunga Cinta, Senayan Abadi, Januari 2004
- Yang Dibalut Lumut, CWI-Diknas, Oktober 2004
- Mencintaimu, Logung Pustaka, Juli 2004
- Embun di Ujung Daun (Kumpulan Cerpen Tunggal), Logung Pustaka, Februari 2005

2. Cerita Anak
- Payung Warna-warni, DAR! Mizan, Juli 2003
- Senjata Makan Tuan, Beranda Hikmah, Oktober 2004
- Dena dan Bidadari, Beranda Hikmah, 2005.

3. Novel
- Loper Koran Cilik diterbitkan oleh Gema Insani Press, 2005
-Hikayat Van Der Tuuk, 2014.

4. Film Dokumenter
   Biografi dan Perjalanan Van Der Tuuk, 2013

Sumber: Lampung Post, Rabu, 8 Mei 2013

0 on: "Arman AZ: Prosa, Sejarah Lampung, dan Sang Petualang dari Kupangkota"