Minggu, 18 Januari 2015

Sakura Nyakak Buah di Kabupaten Lampung Barat


Dr. I Wayan Mustika , S.Sn., M.Hum.

Oleh I Wayan Mustika

Program Studi Pendidikan Seni Tari, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung, Indonesia
E-mail: wayanmustika75@yahoo.com

Seni Sakura sebagai ajang ngejalang atau berkumpulnya masyarakat Liwa untuk saling bermaaf-maafan pada saat Idul Fitri, memberikan nuansa yang sangat damai, sehingga terciptalah kerukunan dalam bermasyarakat.Sakura yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat Liwa tidak hanya memperkenalkan Sakura sebagai seni hiburan pada saat Idul Fitri, namun dari sisi perubahan sosial masyarakatnya mengakibatkan perkembangan Sakura semakin dikenal oleh masyarakat luas.Seni Sakura pada awalnya digunakan untuk syukuran hasil panen padi dan keselamatan desa oleh leluhur orang Lampung yaitu Buay Tumi, berkembang menjadi ajang silaturahmi untuk menyambut Idul Fitri.Seni Sakura berkembang pula dengan berbagai bentuk penampilan seperti Sakura Nyakak Buah, Sakura parade keliling desa, Sakura penyambutan tamu, Sakura SeribuWajah, dan Sakura sebagai tari kreasi.

Sakura Nyakak Buah in West Lampung Regency

The art of Sakura as a forum of ngejalang or the gathering of Liwa people to pass mutual forgiveness in Idul Fitri, presents peaceful nuance that is conducive for social peace. Sakura which has been a long standing generation in Liwa presents more than just entertainment in Idul Fitri, but also inspire social transformation. Thus, Sakura becomes more popular. Sakura is also performed to thank the abundant rice harvest and to pray for village safety to Liwa’s ancestors of Buay Tumi. It develops into a forum of silaturahmi (mutual visit) in welcoming Idul Fitri. The art of Sakura in later time also develops into various forms of performance such as Sakura Nyakak Buah, Sakura of around-village parade, Sakura of guest welcoming, Sakura SeribuWajah, and Sakura as creative dance.

Keywords: Art, develops, Sakura, and tradision

Masyarakat Lampung Barat meyakini, bahwa kepercayaan tentang pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah dan dewa-dewa pada masa pengaruh Hindu telah terjadi. Begitu pula dengan pertunjukan Sakura sebagai media ritual untuk persembahan terhadap roh leluhur atau nenek moyang pada masa prasejarah dan para dewa di masa  pengaruh  Hindu  juga  dilakukan.  Sampai saat   ini   pun   masih   ada   sebagian  masyarakat Liwa melakukan doa ketika pertunjukan Sakura ditampilkan pada  bulan syawal hari raya Idul Fitri. Tylor dalam bukunya Danil L. Pals, yang berjudul Seven Theories of Religion mengemukakan bahwa, animisme  merupakan  suatu  kepercayaan  kepada adanya pemujaan terhadap roh-roh dan benda-benda yang memiliki kekuatan yang terdapat di seluruh sejarah bangsa manusia. Menurut Tylor kepercayaan orang-orang primitif menganggap matahari, bulan, dan bintang, memiliki karakter personal dan hidup atau personifikasi (Pals, 2001: 41-45). Kepercayaan merupakan bagian dari budaya yang sudah ada di masyarakat Lampung Barat sejak masa lampau.

Demikian juga halnya dengan Sakura yang diciptakan  sebagai  bentuk  ekspresi  masyarakat Liwa  dan  digunakan  sebagai  sarana  ritual  pada masa lampau maupun hiburan pada saat sekarang ini. Sakura diyakini oleh masyarakat Liwa sebagai

 seni yang paling tua dari peninggalan leluhurnya yaitu Buay Tumi. Dari 13 kabupaten yang ada di Propinsi Lampung, hanya di Kabupaten Lampung Barat yang terdapat seni Sakura. Sakura identik dengan daerah Liwa Lampung Barat. Walau pun di Kabupaten Lampung Selatan ada sejenis pertunju- kan  Sakura,  tetapi  disebutnya  dengan  Tupping. Ini berarti seni Sakura muncul sebagai ekspresi masyarakat atas budaya dasar yang dimiliki. Pada dasarnya  kesenian merupakan natural transform (peristiwa alam) dan cultural transform (kegiatan budaya). Maka bentuk kesenian memiliki kemiripan atau ciri khas tersendiri sesuai dengan kondisi alam yang memungkinkan munculnya ekspresi seni atau terjadinya kegiatan budaya.

Begitu pula seni Sakura salah satunya adalah hasil dari produk budaya yang lahir dari pemikiran- pemikiran masyarakat Buay Tumi pada masa lampau di Liwa Lampung Barat. Seni ini muncul seirama dengan tatanan kehidupan sosial yang sudah mentradisi dan dipadukan dengan beberapa rangkaian kegiatan adat maupun keagamaan. Oleh karena itu, Sakura termasuk seni rakyat yang dinikmati oleh masyarakat Liwa dan merupakan simbol keakraban atau kebersamaan. Arnold Hauser dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Art mengatakan bahwa bentuk kegiatan ini merupakan ungkapan ekspresi dari masyarakatnya dengan menggunakan bahasa leluhur dan dalam berekspresi masyarakat melibatkan seni di daerahnya dengan meniru dari pendahulunya dan diperlukan waktu yang panjang sampai terbentuknya sebuah karya seni (Hauser, 1982: 30).

Seni    pertunjukan    memiliki    hubungan    yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Seni bukan saja berkaitan dengan ekonomi, tetapi lebih dari itu. Menurut Arnold Hauser, bahwa seni dikatakan sebagai produk masyarakat yang ditentukan oleh alam dan budaya, geografi, ras, waktu, tempat, biologi, psikologi, serta kelas ekonomi dan sosial (Heuser, 1982: 94). Topeng termasuk salah satu jenis seni pertunjukan yang sudah tua umurnya. Diperkirakan topeng sudah dikenal sejak masa prasejarah. Lukisan, goresan, pahatan pada dinding goa, wadah atau tempat kuburan batu, dan kapak merupakan petunjuk awal perkembangan seni topeng. Pola-pola bentuk wajah manusia merupakan lambang arwah nenek moyang sebagai harapan kemakmuran, kesuburan, keselamatan, dan kelahiran kembali (Mustika, 2009). Karya topeng dalam seni primitif tampil dalam bentuk gambaran wajah manusia yang memiliki gaya seni dekoratif dan di setiap daerah memiliki bentuk topeng yang berbeda, tergantung pada para senimannya (Tusan, 1991: 12-14).

Masyarakat Lampung Barat memiliki bentuk seni pertunjukan topeng yang sangat tua umurnya. Seni pertunjukan tersebut bernama Sakura. Sakura sudah ada sejak masa prasejarah di Lampung Barat. Jauh sebelum masyarakat Lampung Barat menyebut kata Sakura, mereka sudah mengenal sebutan Sakukha. Dalam bahasa Lampung dialek “A” Istilah Sakukha berarti penutup muka atau penutup wajah (Mustika, 2009). Berubahnya kata Sakukha menjadi Sakura, dikarenakan mengikuti perkembangan tata bahasa Indonesia secara umum, agar masyarakat Lampung lokal maupun pendatang dapat dengan mudah mengucapkannya.

Sejak masa kekuasaan Ratu Sekarmong hingga sekarang, Sakura digunakan sebagai penutup muka oleh seseorang laki-laki dalam pertunjukan Sakura. Pada awalnya Sakura yang terbuat dari kayu dan memiliki bentuk wajah yang tidak beraturan ini dikeramatkan, karena khusus digunakan untuk pemujaan  terhadap  penguasa  alam,  para  dewa, dan leluhur. Namun, sekarang masyarakat Liwa menggunakan Sakura hanya sebagai penutup wajah yang di dalamnya mengandung salah satu unsur pengaruh Islam. Sakura menunjuk pada benda penutup wajah yang terbuat dari sepotong kayu, kertas, maupun kain, dan apakah itu diukir atau tidak bukan menjadi persoalan.Yang terpenting dalam bentuk wajah Sakura dapat menggambarkan sifat dan tingkah laku manusia atau binatang.Tentu semua itu sesuai dengan karakter yang dibawakan. Ekspresi tersebut memiliki nama dan makna simbolis khusus. Misalnya pemain Sakura yang mengambil karakter pengemis dituntut berpenampilan seperti pengemis. Apabila mengambil karakter binatang seperti beruk (kera) dituntut pula berpenampilan serupa.

SAKURA NYAKAK BUAH

Sakura Nyakak Buah merupakan sebuah permainan tradisional masyarakat Liwa khususnya di Desa Kenali, Kegeringan, Kuta Besi, dan Canggu. Permainan dalam seni pertunjukan merupakan sesuatu yang bukan sebenarnya yang meliputi aksi dan reaksi, serta menimbulkan atau mengekspresikan berbagai emosi. Di samping itu, permainan juga dianggap sebagai fondasi kebudayaan manusia, seni, agama, dan selebihnya permainan sebagai aktivitas yang dapat mendukung atau menumbangkan struktur dan kesepakatan sosial (Schechner, 2002: 79).

Penampilan  Sakura  dapat  dijumpai  setiap  satu tahun sekali bertepatan dengan hari raya Idul Fitri dimulai dari satu Syawal sampai dengan tujuh Syawal. Dari keempat desa ini secara bergantian menyelenggarakan penampilan Sakura secara bergantian dengan mengambil tema pesta Sakura. Diangkatnya pesta Sakura sebagai tema, karena masyarakat keempat desa tersebut memberikan dukungan penuh atas terselenggaranya sebuah penampilan Sakura (Mustika, 2009).

Nyakak Buah dapat diartikan sebuah permainan yang dilombakan untuk memanjat pohon pinang yang merupakan acara puncak selama berlangsungnya acara pesta Sakura. Memanjat pohon pinang adalah aturan wajib yang dibuat oleh panitia untuk melihat atraksi dari kegagahan atau kejantanan para lelaki merebutkan hadiah. Pohon ini ditanam terbalik, pada bagian ujung ditanam dalam tanah dan bagian pangkal untuk menggantungkan hadiah pesta. Gantungan berbentuk seperti roda atau lingkaran yang dilengkapi jari-jari. Pada setiap ujung jari-jari dipasang sejumlah hadiah. Hadiah itu berupa bahan kebutuhan pokok rumah tangga dan barang mainan untuk anak-anak. Pohon pinang ini tingginya sekitar 7 sampai 8 meter dengan besar pohonnya sekitar 15 sampai 25 cm. Seluruh permukaan pohon dioleskan minyak oli, sabun, dan gajih (lemak daging kambing atau sapi) sehingga sangat licin.

Pesta Sakura memiliki unsur-unsur tertentu yang menjadi ciri-ciri identitasnya. Ciri-ciri tersebut dapat dikenal dari tarub atau kubu, atraksi pencak silat, makan minum, Sakura bertamu, nyakak buah oleh Sakura Kamak, musik pengiring, busana, gaya gerak Sakura, dan jenis Sakura.

1.    Tarub atau Kubu
Tarub adalah bangunan berbentuk rumah jenis panggung tanpa dinding atau penyekat. Tiang penyangga bagian depan lebih tinggi dari tiang penyangga belakang, sehingga atap lebih condong miring  ke  belakang.  Pada  mulanya  tiang  dibuat dari bahan bambu, menyangga atap yang terbuat dari ijuk. Dalam perkembangannya, bangunan ini didirikan dari bahan yang lebih kuat seperti tiangnya terbuat dari balok kayu kasau atau tiang besi dan atapnya dari benda plastik dan seng.

Bangunan ini didirikan untuk para undangan dan tempat meletakkan meja panjang untuk konsumsi. Hadir  dalam  undangan  pesta  umumnya  adalah ketua adat, tokoh masyarakat, dan sesepuh maupun kerabat keturunan pendiri desa. Dari tempat ini semua rangkaian acara dikoordinir oleh panitia penyelenggara yang dipimpin oleh ketua adat.

2.    Atraksi Pencak Silat
Pencak silat diperagakan tidak dalam bentuk tarian, melainkan menggambarkan pertarungan dengan mengadu kekuatan, memamerkan gerak berperang, serta demonstrasi ketangkasan dalam menggunakan senjata tajam seperti pedang. Penampilan atraksi pencak silat lebih ditujukan untuk gembira ria seimbang dengan tabuhan musik yang ramai dan gencar  untuk  mendramatisir suasana  perkelahian dan diselingi dengan teriakan semangat berperang. Alat yang digunakan umumnya adalah pisau, keris, pedang, golok, dan tongkat.

3.    Makan Minum
Konsumsi pesta Sakura merupakan bagian tradisi penting yang menghidangkan makanan dan minuman selama penyelenggaraan pesta. Konsumsi dalam pesta Sakura ada dua macam yaitu pertama konsumsi yang disediakan dari pihak penyelenggara yang dihidangkan pada sebuah ruangan dengan menu beragam. Konsumsi disantap bersama oleh peserta yang datang dan para tamu yang memenuhi tarub atau kubu pesta atau masuk ke dalam rumah yang sudah disediakan.Santapan yang disediakan ini mencerminkan kebersamaan masyarakat desa dalam membagi kemakmuran sesamanya.Satu kemakmuran dan kebahagiaan harus tetap dinikmati oleh sesama masyarakat desa; dan kedua konsumsi yang diperoleh selama berlangsungnya penampilan Sakura dikumpulkan oleh peserta yang khusus memakai Sakura, umumnya terdiri dari nasi, buah- buahan, lauk, dan beberapa kue lebaran.

Sebelum acara nyakak buah atau panjat pinang mulai, peserta Sakura melakukan parade berkeliling di sekitar arena panjat pinang. Parade dilakukan terutama oleh Sakura Kamak. Proses penampilan ini dinamakan pesta parade yang berkeliling di seputar arena pesta Sakura. Parade ini berlangsung spontan yang dipimpin oleh salah satu ketua adat yang menentukan rute yang akan ditempuh. Pola atau tingkah laku peserta Sakura sangat menarik bagi penonton, sehingga masyarakat yang ada disekitar   arena   tersebut   berduyun-duyun   turut serta mengiringi Sakura. Penonton dapat langsung dari  dekat  menyaksikan keanehan  dan  keunikan tata busana dan tingkah laku Sakura dalam penampilannya (Laksito dkk, 1992: 86).

Untuk menjaga ketertiban para peserta Sakura, panitia membuat aturan atau tata cara pemanjatan:
(1)    peserta    pemanjatan    umumnya    mewakili desa (Lampung: pekon) berjumlah 10 orang; (2) peserta mendaftarkan identitas diri dan pekon yang diwakilkan  serta  pihak  penyelenggara  membagi dan mengatur jadwal pemanjatan; (3) pemanjat adalah Sakura Kamak; (4) lamanya pemanjat lebih kurang satu jam, apabila tidak berhasil, digantikan oleh kelompok lain; (5) dalam pemanjatan posisi peserta saling mendukung atau mendorong berdiri atau  duduk  pada  bahu  peserta  Sakura  Kamak yang berada di bawahnya; dan (6) Sakura Kamak diijinkan menggunakan tali atau tambang dari sabut kelapa yang dililitkan pada batang pohon pinang untuk pegangan. Permukaan pohon dapat ditabur debu dan pasir untuk mengurangi licinnya pohon pinang.

Selanjutnya   proses   penampilan   pesta   Sakura yang harus disepakati oleh seluruh peserta Sakura termasuk peserta Sakura dari desa lainnya sebagai undangan. Penyelenggaraan pesta Sakura terdiri dari beberapa tahapan acara sebagai rangkaian proses penyajian pesta rakyat tradisional.

1.    Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan musyawarah antara ketua-ketua adat dan tokoh- tokoh masyarakat desa untuk membicarakan rencana penyeleng-garaan pesta Sakura. Musyawarah dilakukan  untuk  menghasilkan  kesepakatan bersama yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a) waktu penyelenggaraan; b) tenaga dan pembiayaan;
c) sarana dan perlengkapan; d) peserta yang akan diundang; dan e) susunan acara pesta Sakura.

a)   Waktu penyelenggaraan
Pesta  Sakura  dilakukan  pada  setiap  awal  bulan Syawal  yang  berlangsung 2  sampai  7  hari.Awal pelaksanaannya dilakukan setelah sholat Idul Fitri. Pesta berlangsung antara pukul 09.00-17.00 WIB.

b). Tenaga dan pembiayaan
Pelaksanaan pesta Sakura dilakukan secara gotong royong   dengan   tenaga   sukarela   dari   berbagai desa yang diundang. Biaya selama pesta Sakura berlangsung ditanggung bersama oleh masyarakat desa   setempat   selaku   penyelenggara   melalui iuran dan donatur dari perusahaan atau dari dinas pemerintahan yang dikelola oleh ketua panitia pesta Sakura.

c).  Sarana dan perlengkapan
Panitia penyelenggara menyediakan sarana lapangan, tarub, dan pohon pinang dengan sejumlah hadiahnya, termasuk makan, dan minum untuk tamu undangan serta peserta Sakura yang telah terdaftar. Pekerjaan melengkapi sarana pesta dilakukan oleh tenaga sukarela dan secara gotong royong yang dilakukan oleh para pemuda.

d). Peserta yang diundang
Perserta yang hadir pada pesta Sakura umumnya terdiri dari ketua adat, tokoh masyarakat, dan beberapa kelompok Sakura Kamak dan Sakura Helau dari setiap desa, serta masyarakat penonton Sakura.

e).  Susunan acara
Acara pesta Sakura umumnya terdiri dari pembukaan, ngejalang, doa memohon keselamatan pelaksanaan  pesta   Sakura,   penampilan  pencak silat, parade atau pawai, pemanjatan pohon pinang, dan diakhiri doa rasa syukur atas kemakmuran, keselamatan masyarakat, dan desa.

2.    Tahap pembukaan
Pada tahap ini ditandai dengan tetabuhan musik yang gencar dan ramai. Musik pembuka dimainkan oleh kelompok kesenian tradisional desa setempat. Pada saat ini semua peserta sudah hadir. Sekelompok telah menyempurnakan dandanannya, ketika akan menuju arena. Umumnya Sakura belum melengkapi dan memakai busananya, baru dikenakan apabila sudah berada didekat arena pesta di luar lapangan. Ketika bertemu, hanya satu dua orang saja yang ber-Sakura. Setelah musik dihentikan, dilanjutkan dengan acara protokoler seperti sambutan dan nasehat dari kedua adat dan sesepuh desa.

Selanjutnya, dengan dipandu pembawa acara, peserta pesta saling bersalaman, memohon maaf sesama peserta yang hadir dalam pesta tersebut. Tokoh adat dan sesepuh adat menjadi sasaran untuk disalami, begitu juga tamu undangan dan penonton. Setelah selesai, doa pembukaan acara pesta Sakura diucapkan oleh salah seorang tokoh adat desa memohon keselamatan pesta Sakura. Kemudian ditampilkan acara atraksi pencak silat secara resmi. Penampilan ini diawali oleh Sakura Kamak di depan tamu undangan dan penonton dengan menggunakan kostum yang serba kotor. Atraksi pencak silat oleh Sakura Kamak, merupakan acara hiburan tersendiri yang menampilkan adegan pertarungan berpasangan dan berkelompok. Setiap desa yang diundang tampil memperagakan kemahiran atraksi pencak silat dan memainkan alat perang seperti golok (badik), keris, dan  tongkat.  Setelah  acara  penampilan  pencak silat selesai ditampilkan, berikutnya semua peserta pemain Sakura diperbolehkan istirahat. Waktu istirahat ini, para peserta pesta menyantap hidangan yang disediakan oleh pihak penyelenggara. Kelompok Sakura juga menyantap makanan yang diperolehnya ketika bertamu di beberapa rumah penduduk desa.

3.    Tahap inti pesta Sakura
Inti acara pesta Sakura adalah parade atau pawai Sakura dan nyakak buah. Rute yang ditelusuri adalah jalan-jalan desa di sekitar arena pesta. Setelah rute diselesaikan peserta parade istirahat sejenak dan panitia mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemanjatan pohon pinang. Penyelenggara mengecek kembali daftar kelompok Sakura Kamak dan menentukan urut-urutan pemanjatan. Sepuluh orang Sakura Kamak kelompok pertama maju ke depan pohon pinang. Setelah doa bersama, Sakura Kamak mengatur, menyusun strategi, dan pemanjatan. Sorak sorai teriakan dari penonton yang memadati arena  tempat  pemanjatan  pohon  pinang.  Begitu pula penonton yang ada di atas rumah panggungnya ikut berteriak gembira menyaksikan peserta Sakura Kamak berlomba-lomba memanjat pohon pinang yang  keberadaannya  penuh  dengan  minyak  oli dan kegagalan jatuh bangun dalam memanjat. Penentuan peserta pertama pemanjatan dilakukan dengan undian, karena pada umumnya peserta pertama selalu gagal memperoleh hadiah. Pohon pinang yang licin dan belum tersentuh menyulitkan kelompok ini sampai ke puncak. Kelompok kedua, ketiga, dan seterusnya dalam memanjat tidak sesulit kelompok pertama, karena pohon pinang sudah berkurang licinnya. Waktu pemanjatan dibatasi 30 menit sampai satu jam dan tidak bisa dilakukan pemanjatan ulang oleh kelompok yang sama. Hadiah yang digantung biasanya berhasil dihabiskan selama nyakak buah berlangsung pada hari itu juga.

4.    Tahap penutupan
Pada tahap ini umumnya diisi doa bersama para peserta pesta Sakura dan diakhiri dengan musik penutup. Peserta pesta Sakura dan penonton meninggalkan arena pesta. Dalam perjalanan pulang masih tersisa adegan gaya gerak para Sakura yang berhasil merebut hadiah. Ungkapan kegembiraan diwujudkan dengan kembali beraksinya para Sakura memainkan atraksi sesuai dengan karakter yang diperankannya.

Esok harinya masih tampak masyarakat terutama pemudanya tetap ber-Sakura.Mereka melakukan atraksi ngamen dan terkadang bertamu ke rumah penduduk. Setelah satu minggu pesta Sakura berlangsung meriah, penduduk kembali pada kehidupannya masing-masing.

Sakura Nyakak Buah memiliki makna yang sangat mendalam di kalangan masyarakat Liwa, khususnya di Desa Kenali, Canggu, Kegeringan, dan Kuta Besi. Sakura merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan melalui panen berlimpah, sehingga terciptanya suasana kerukunan masyarakat Liwa. Seperti Sakura Kamak yang digunakan untuk parade keliling desa dan ini dipercaya akan membuang kesialan maupun malapetaka dalam kehidupan masyarakat pedesaan (Mustika, 2011).

Masyarakat sangat senang dan gembira dengan ditampilkannya Sakura sebagai hiburan untuk menyambut hari raya Idul Fitri. Makna yang tersirat di dalam pertunjukan Sakura adalah untuk menjalin hubungan yang erat sesama masyarakat yang ada di daerah Liwa. Misalnya kekeluargaan, kekerabatan, dan untuk melestarikan seni daerah.

SIMPULAN

Seni Sakura berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat Lampung Barat. Segala sesuatu yang menyentuh seni Sakura dalam kehidupan masyarakat dijadikan sebuah landasan atau potret karakter yang diwujudkan dalam ukiran-ukiran topeng Sakura.

Sakura sebagai media berkumpulnya masyarakat Liwa, karena dengan pertunjukan Sakura silaturahmi antar-masyarakat dapat terjalin dengan baik. Sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan modernisasi seni Sakura pun berkembang beriringan dengan kondisi zaman pada saat itu.

Seni  Sakura  adalah  produk  budaya  yang  lahir dari pemikiran-pemikiran masyarakat Buay Tumi pada masa lampau di Liwa Lampung Barat. Seni ini  muncul  seirama  dengan  tatanan  kehidupan sosial   yang   sudah   mentradisi   dan   dipadukan dengan beberapa rangkaian kegiatan adat maupun keagamaan. Sakura diyakini oleh masyarakat Liwa sebagai seni yang paling tua dari peninggalan leluhurnya yaitu Buay Tumi.

DAFTR RUJUKAN

Laksito, Oki, Endjat Djaenu Deradjat dan Bambang
S.W. (1992), Topeng Lampung: Tinjauan Awal Dramatari Tupping dan Pesta Sakura, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Lampung, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Lampung, Lampung.

Hauser, Arnold. (1982), The Socicology of Art, The University of Chicago Press, Chicago.

Mustika, I Wayan. (2011), Perkembangan Bentuk Pertunjukan Sakura dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Lampung Barat Tahun 1986-2009. Disertasi Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pals, Danil L. (2001), Seven Theories of Religion, Edisi Bahasa Indonesia, Qalam, Yogyakarta.

Schechner, Richard. (2002), Performance Studies,
St Edmundsbury Press, New York.

Soejono, R.P. (1975), Zaman Prasejarah Indonesia: dalam Sejarah Nasional Indonesia I, Balai Pustaka, Jakarta.

Tusan, Nyoman dan Wiyoso Yudoseputro. (1991), Topeng Nusantara, Proyek Pembinaan Media Kebudayaan, Jakarta.

Biodata penulis
Dr. I Wayan Mustika , S.Sn., M.Hum.
Riwayat Pendidikan    
 S1 :Seni Tari STSI Bandung, 2001
 Bidang Ilmu : Seni Tari
 S2 :Ilmu Budaya UGM, 2006
 Bidang Ilmu : Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
 S3 :Multidisiplin UGM, 2011 Bidang Ilmu : Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
 Jurusan / Prodi      Pend. Bahasa dan Sastra / Seni Drama, Tari, dan Musik

Sumber: Jurnal Mudra, Denpasar  Volume 29, Nomor 1, Pebruari 2014

0 on: "Sakura Nyakak Buah di Kabupaten Lampung Barat"