Jumat, 02 Januari 2015

Iswadi Pratama: Sang Maestro yang tetap santun dan bersahaja

Iswadi Pratama, Direktur Artistik/Sutradara Teater Satu Lampung

Oleh Alexander GB

Biografi
Setelah sempat menjadi bagian dari Teater Kurusetra Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung pada tahun 1992, pada 1994, Iswadi Pratama keluar dan bersama Panji Utama membentuk Forum Semesta. Tapi, forum itu pecah. Kemudian, Iswadi mendirikan Teater Satu.


TEATER SATU, yang didirikan 18 Oktober 1996, berupaya melaksanakan program-program kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Tujuannya, menginspirasi masyarakat untuk meraih nilai-nilai yang dapat mendorong terjadinya perubahan hidup lebih baik. Anggotanya yang aktif sekitar 25 seniman. Dan telah digelar puluhan drama, karya sendiri maupun karya penulis beken seperti; Samuel Beckett, Anton Chekov, Jean Genet, N. Riantiarno, Arifin C Noer, dan Arthur S. Nalan.  

Ada sebuah eksperimen yang telah dimulai Teater Satu sejak 1998. Berawal dari diskusi kecil yang membahas hubungan pertunjukan teater dengan penonton. Lalu muncul pertanyaan: Mungkinkah membuat pertunjukan yang bisa diterima dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat? Apakah mungkin dicapai suatu bentuk artistik dan estetik pertunjukan yang bisa diterima dan dimengerti secara umum? Apakah esensi dari sifat-sifat universalitas dalam karya seni pertunjukan?

 
Eksplorasi teks Nostalgia Sebuah Kota, Koln, Jerman

Lalu, seluruh pertunjukan Teater Satu diteliti dan reaksi penonton diukur. Dari penelitian itu, diperoleh sebuah data. Ada satu repertoar Teater Satu bertajuk Warahan Aruk Gugat yang pernah digelar 1996. Dialah pertunjukan yang paling mungkin bisa meladeni — bukan menjawab — berbagai pertanyaan di atas.

Warahan Aruk Gugat bersumber dari sastra lisan Lampung yang disebut Warahan, yakni bentuk sastra tutur, sama seperti dongeng. Warahan, bisa disebut sebagai bentuk teater rakyat Lampung. Meski, di dalamnya belum ada kelengkapan unsur-unsur pertunjukan seperti halnya Ludruk, Ketoprak, Makyong, Mamanda. Warahan masih terbatas pada seorang pencerita dan cerita yang disampaikan biasanya berisi nasihat, sindiran, pesan. Dalam menyampaikan ceritanya, Pewarah atau Pencerita menembangkannya dengan iringan musik gambus.

Lalu, Warahan dikembangkan ke arah pertunjukan yang bisa dinikmati semua kalangan. Dalam proses eksplorasi oleh Tim Artistik Teater Satu, bentuk Warahan ini dipertemukan dengan bentuk pertunjukan teater modern yang telah dikenal Teater Satu sebelumnya. Kemudian dilakukan upaya-upaya identifikasi peran atau tokoh, karakterisasi, ciri artistik, dan aktualitas cerita.

Setelah lebih dari 10 tahun, digelar lebih dari 70 pertunjukan warahan dengan cerita dan pentas yang berbeda-beda. Namun, bentuknya yang sederhana dan karakter utama, Aruk, tetap dipertahankan. Juga ekspresinya sebagai Sandiwara Kampung. Mengapa Sandiwara Kampung? Karena memang diniatkan jadi pertunjukan yang bisa meladeni segala bentuk ruang, bisa dimainkan di mana saja dan kapan saja, khususnya di Indonesia. Hal-hal yang naif dan kampungan justru disajikan.

Selain Aruk Gugat, ada beberapa karya lain yang patut dicatat. Salah satunya, monolog Perempuan Pilihan karya Iswadi Pratama. Waiting For Godot, Sementara Menunggu Godot, juga mendapat banyak apresiasi. Lakon itu, pertama digelar 2002. Lalu dipentaskan di Yogyakarta, Solo, Taksikmalaya dan Bandung. Pentas keliling itu terselenggara berkat Dana Hibah Yayasan Kelola.

Perempuan di Titik Nol, lakon adaptasi Sitok Srengenge atas novel karya Nawal El-Sadawi, 2008, yang dimainkan aktor Hamidah dan disutradarai Iswadi Pratama, juga menggaet banyak pujian. Dan karenanya, Majalah Tempo memilih Teater Satu sebagai kelompok teater terbaik 2008. Di tahun itu pula Teater Satu bekerjasama dengan Hivos menyelenggarakan Kala Sumatera. Sebuah program workshop bagi pelaku teater baik segi artistik maupun manajemen, termasuk penulisan lakon hingga pementasan.

 

Iswadi Pratama
Profil
ISWADI PRATAMA lahir 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandar Lampung, sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Ayahnya, Ismail Somad, ibunya, RNG Zakrofah. Dia menamatkan SD, 1984, SMP, 1987. Lulus SMA, 1990, melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung. Gelar sarjana diraihnya pada 1996.

Iswadi Pratama, suka membaca karya sastra sejak kelas lima SD. Pernah dia dimarahi ibunya akibat tidak menjalankan tugas memasak untuk makan keluarga, karena lebih asyik dengan buku-buku sastra. Maka, terciptalah kalimat, “Bunga tumbuh di halaman layu di hatiku.” Hal itu jadi pemicu semangatnya untuk banyak belajar.

Iswadi, seniman yang menekuni sastra dan teater sekaligus. Dia penyair humanis yang sering menulis esei. Pada 1996, jadi asisten redaktur seni-budaya di Lampung Post. Pekerjaan itu dilepasnya pada 1998, lalu ikut mendirikan Sumatera Post. Setahun kemudian, dia keluar dan kembali bekerja sebagai redaktur pada Lampung Post hingga 2003. Dia juga editor penerbit KATA-KITA, sebuah majalah terbitan Jakarta. Pernah pula menjadi redaktur tabloid Sapu Lidi di bawah naungan Koak (Komite Anti Korupsi), yang didirikannya pada 1998. Direktur Artistik Teater Satu.

Karya tulis Iswadi, dipublikasikan di berbagai media tanah air. Dan berkat prestasinya, dia diundang pada acara Refleksi Kemerdekaan di Solo, 1995. Dewan Kesenian Jakarta mengundangnya pula untuk berpatisipasi dalam Mimbar Penyair Abad 21 di TIM Jakarta, 1996. Berkali-kali dia meraih gelar Juara lomba baca dan cipta puisi. Dan dia mengantarkan Teater Api jadi Juara III Lomba Teater.

Iswadi pernah mementaskan drama yang diilhami dari puisi-puisinya. Diantaranya; Nostalgia Sebuah Kota yang menjadi Naskah Terbaik dan meraih Peringkat Ketiga GKJ Awards pada Festival Teater Alternatif se-Indonesia 2003. Pada acara ini Teater Satu mendapat penghargaan sebagai naskah Terbaik I, Kelompok Terbaik III, Sutradara Terbaik II, Aktris Terbaik II.

Pada 2004, Nostalgia Sebuah Kota: Kenangan Pada Tanjung Karang, dipentaskan di tiga kota; Bandung, Jakarta, dan Makasar, dengan dana Hibah Yayasan Kelola. Dedikasinya yang besar dalam perkembangan teater di Lampung ditunjukkannya dengan memelopori Festival Teater Pelajar dan Arisan Teater Pelajar di Lampung. Kala Sumatera, Panggung Teater Perempuan Sumatera, dan masih banyak lagi lainnya.

Kecermelangan karya-karya Iswadi melahirkan banyak komentar. Sabine, menganggap puisi-puisi Iswadi Pratama menusuk langsung ke dalam sukma. Memberikan efek melankolis. Dan dia merasa diajak ikut memahami hal-hal yang disampaikan penyair sehingga makna yang hendak diungkapkan mencipta kesan tersendiri. Sedang Yanusa Nugroho, seorang cerpenis, mengakui Iswadi sebagai seniman yang bersahaja, rendah hati, dan cerdas. Melihat Iswadi membacakan sajak-sajaknya di Bulungan-Jakarta, Yanusa semakin terkagum-kagum. Dia mengatakan, Iswadi tidak berdeklamasi, tidak memekikkan suara melengking, tetapi berbisik dan mendesah. Bisikan dan desahannya itu justru merupakan penggambaran sebuah kepedihan yang kontemplatif. Lewat karyanya, Iswadi mengajak untuk merenungkan kehidupan kita sendiri, tambah Yanusa lagi.

Inggit Putria Marga, penyair asal Lampung, berkomentar, Iswadi Pratama adalah penyair liris terbaik yang dimiliki Lampung. Karya-karyanya banyak menginspirasi dan membuka ingatan-ingatan pembaca. Menurut Isbedi Stiawan sastrawan Lampung, Iswadi adalah sosok yang unik, kepiawaiannya dalam puisi tak perlu disangsikan lagi. Dia menjadi rujukan dan tempat bertanya, diskusi, dan lain sebagainya di Lampung. Yang lebih unik, kontribusinya ternyata bukan hanya puisi, setiap pementasan teater yang diproduksi teater satu selalu mendapat apreasiasi yang baik dari publiknya, sangat enak ditonton, selalu menghibur, sederhana, dan mengandung makna yang mendalam.

Iswadi P & Budi Laksana di koln, Jerman
 Yang terbaik dari Iswadi Pratama

Sepanjang empat tahun belakangan, sejak 2010 hingga 2014, Teater Satu menyelenggarakan program Kala Sumatra periode ke-dua dan ke-tiga. Program yang didukung oleh HIVOS (Belanda) ini memberdayakan kelompok-kelompok teater, juga para sutradara dan penulis perempuan di Sumatra, melalui lokakarya, seminar, penelitian, dan pergelaran karya.

Selain itu, sejak April lalu hingga Agustus mendatang, Teater Satu dan HIVOS juga menggelar Lokakarya dan Festival Jaringan Teater Sumatra 2014 di empat lokasi berbeda, yaitu Bandar Lampung, Palembang, Pekanbaru, dan Padang Panjang. Daftar kegiatan Iswadi pun masih bertambah panjang dengan keikutsertaannya mempersiapkan Festival Teater Pelajar se-Lampung yang akan dilaksanakan di Bandar Lampung, pada Oktober 2014. Apa pun yang dilakukan Iswadi tak terlepas dari filosofi yang dianutnya.

"Setiap bentuk karya seni harus merupakan perwujudan dari harapan dan segala kebaikan yang ada dalam diri manusia untuk lingkungan dan manusia lainnya,” kata pendiri Teater Satu pada 1996. Dengan kata lain, berkesenian merupakan salah satu caranya  untuk menularkan kebaikan yang kelak mendatangkan apresiasi terbaik. Belum lepas dari ingatan saat Teater Satu dinobatkan sebagai Teater Terbaik versi Majalah Tempo usai mementaskan lakon Buried Child karya Sam Sephard di Festival Lakon Adaptasi Salihara pada Juli 2012.

Buried Child mengisahkan tentang kehancuran institusi keluarga, budaya, dan nilai-nilai spiritual akibat hantaman kapitalisme. Iswadi selaku sutradara mengadaptasi naskah terjemahan ke dalam kultur Lampung dengan pendekatan realisme. Naskah aslinya yang berlatar situasi Amerika dalam cengkeram kapitalisme, lalu ia alihkan ke latar konflik di Tulang Bawang, Lampung di mana perkebunan sawit dan karet berkembang, namun menghabiskan lahan-lahan rakyat. Lakon ini dipentaskan keliling Jawa dan Sumatra.
 


Sebelumnya, pada awal 2011, predikat Teater Terbaik Indonesia pernah disandangkan oleh Majalah Tempo sebagai ganjaran untuk monolog Perempuan di Titik Nol dari novel karya Nawal el Saadawi (Mesir). Monolog ini dimainkan secara utuh oleh aktor Hamidah Syahab dan disutradarai oleh Iswadi, dipentaskan di Jakarta dan Kuala Lumpur. Setahun sebelumnya, lakon Kisah-Kisah yang Mengingatkan yang dikreasikan dan disutradarai oleh Iswadi berhasil meraih Hibah Seni Kelola untuk kategori karya inovatif.

Apresiasi berskala dunia pun pernah diraih Iswadi. Karyanya, Nostalgia Sebuah Kota, yang meraih sederet prestasi di Tanah Air era 2003-2004, kemudian dipentaskan di Koln, Jerman, pada 2011. Tim yang terlibat terdiri dari berbagai bangsa: sutradara Kristof Szabo (Hungaria), penerjemah Sabine Muller (Jerman), penata artistik Tanz Theatre Fina Bausch dan koreografer Gyula Burger (Hungaria), serta penari dan aktor dari Rusia, Belanda, Spanyol, Jerman, Pantai Gading, juga Indonesia (Teater Satu)

 

 

Iswadi Pratama, antara Teater dan Puisi

Biodata

Nama             : Iswadi Pratama
Kelahiran      : Tanjungkarang, 8 April 1971
Ayah             : Ismail Somad
Ibu                : RNG Zakrofah
Isteri             : Imas Sobariah
Anak            :  Rarai Masae                     

Imas Sobariah (Isteri) & Raray Masae Soca Wening Ati (Anak)


Karya pilihan:

Buku

Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa, selain terhimpun dalam antologi bersama: Gelang Semesta (1987), Belajar Mencintai Tuhan (1992), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia (1995), Antologi Cerpen dari Lampung (1996), Cetik (1996), Mimbar Abad 21 (1996), Hijau Kelon dan Puisi 2002 (2002), Pertemuan Dua Arus (2004), Gerimis (dalam Lain Versi) (2005, Asia Literary Review (2006), dan Terra (Australia-Indonesia, 2007), Gema Secuil Batu (2008), Buku Panduan Teater untuk Sekolah: Teater Asyik Asyik Teater (2010), Akting Menurut Sistem Stanislavski (2012), akan segera terbit buku kumpulan puisi yang diberi judul Tak Ada Tata Bahasa Dalam Cinta.

Beberapa naskah teater: Ruang Sekarat, Rampok, Ikhau, Nak, Menunggu Saat Makan, Dongeng tentang Air, Aruk Gugat, Isteri Pilihan, Nostalgia Sebuah Kota, Kisah-Kisah yang Mengingatkan, dan lain sebagainya.




Pementasan:

Kapai-kapai karya Arifin C. Noer (1997)
Jerit Tangis Malam Buta karya Rolf Laukner (1998)
Umang-umang karya Arifin C. Noer (1998–2000)
Waiting for Godot karya Samuel Beckett (2000)
Nostalgia Sebuah Kota karya Iswadi Pratama (meraih GKJ Award 2003 untuk kategori Naskah Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktris Terbaik, Grup Terbaik; mendapat Hibah Seni Kelola 2004, dipentaskan di IPAM Nusa Dua, dan dipentaskan oleh kolaborasi seniman Indonesia, Jerman, Belanda, Spanyol, Hungaria, dan Pantai Gading di Köln, Jerman, 2010)
Monolog Perempuan Pilihan karya Iswadi Pratama (2005)
Ontosoroh adaptasi dari Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (2006, bekerja sama dengan PRM, Faiza Marzoeki, lakon ini dipentaskan di kabupaten-kabupaten di Lampung, dalam dua hari pementasan dihadiri oleh 1.000 penonton)
Monolog Perempuan di Titik Nol karya Nawal el Sadawi (di Teater Utan Kayu, Kuala Lumpur, Australia, 2007; Salihara, 2008, dan mendapat anugerah Pertunjukan Teater Terbaik 2008 dari majalah Tempo)
Aruk Gugat karya Iswadi Pratama (sejak diproduksi pada 1998 lakon ini telah dipentaskan sebanyak 83 kali)
Monolog Wanci (2007, kerap menjadi bahan penelitian akademis, telah dipentaskan sebanyak 17 kali, oleh Putu Wijaya lakon yang dimainkan oleh Ruth Marini ini disebut sebagai monolog terkuat di Indonesia)
Kisah-kisah yang Mengingatkan karya Iswadi Pratama (2008, mendapat Hibah Kelola, main di Art Summit 2010 dan Ubud Writers and Readers Festival 2012)
Buku Panduan Belajar dan Mengajar Teater untuk Guru dan Siswa (2010)
Visa karya Goenawan Mohamad (2011, Komunitas Salihara)
Anak yang Dikuburkan karya Sam Shepard (2012, di Forum Lakon Adaptasi Salihara, meraih penghargaan Pentas Teater Terbaik 2012 dari majalah Tempo) dll



Nostalgia Sebuah Kota, IPAM Nusa Dua,  Bali
Eksprorasi Gerak, Nostalgia Sebuah Kota, Koln, Jerman

Aruk Gugat, Salihara, Jakarta.


Nostalgia Sebuah Kota, IPAM Nusa Dua, bali
Kala Sumatera, Panggung Teater Sumatera

0 on: "Iswadi Pratama: Sang Maestro yang tetap santun dan bersahaja"