Jumat, 06 Maret 2015

Syaiful Irba Tanpaka: Hidup untuk Seni


Syaiful Irba Tanpaka, hidup untuk seni


Tanggal 9 Desember 1961 adalah hari yang bahagia bagi pasangan Sidi Zainuddin dan Sa’ah, karena pada hari itu mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Syaiful Irba Tanpaka di klinik Bersalin Santa Anna Bandarlampung. Syaiful adalah anak keenam dari enam bersaudara. Walaupun Syaiful lahir dan besar di Lampung, tapi sesungguhnya beliau bukan keturunan asli Lampung, ayah Syaiful berasal dari Sumatera Barat dan Ibu berasal dari Banten.

Pendidikan Syaiful dari SD hingga SMA di habiskan di Lampung. Saat kecil, Syaiful bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Kupangkota, selepas SD, ia melanjutkan ke SMP Pelita Telukbetung, tahun 1981 Syaiful lulus dari SMP dan melanjutkan ke SMA PGRI di Tanjungkarang. Kegiatan bersastra Syaiful dimulai dari dia duduk di bangku SMP, saat itu ia mengelola Majalah Dinding (Mading) yang ada di sekolahnya dan ia juga bergabung dengan Sanggar Ragam Budaya, saat itulah Syaiful mulai mengasah bakat seninya dengan serius. Setelah lulus SMA, Syaiful Irba Tanpaka melanjutkan ke Unversitas Muhammadiyah Lampung, fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tetapi kerena ketidak cocokannya ia dengan ilmu tersebut, akhirnya pada semester empat ia berhenti kuliah, dan lebih memilih mengabdikan diri menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Awal mula Syaiful menjadi PNS, Ia ditugaskan di Kantor Mawil Pertahanan Sipil daerah Tingkat II Lampung Selatan, hingga tahun 2003. Di sela-sela kesibukannya menjadi PNS, Syaiful masih sempat meluangkan waktunya untuk paduli pada seni dan budaya Lampung. Dewan Kesenian Lampung adalah tempat dimana Syaiful mengabdikan diri pada seni.
Syaiful Irba Tanpaka, saat membacakan satu sajak Sitor Situmorang
Totalitas pada seni dan budaya, ditunjukan oleh Syaiful dengan pernah beberapa kali menjabat sebagai sekertaris dan pernah juga menjadi Ketua Harian. Selain sibuk di DKL, Syaiful juga mengasuh Komunitas Anak di Kisah Teater Bocah. beberapa kali komunitas itu sering melakukan pementasan teater.

Aktivitas seni Syaiful dimulai pada tahun 1976, ketika itu ia bergabung dengan Sanggar Budaya Lampung. Saat itu Syaiful ikut mementaskan “Tenggelamnya kapal Van Der Wijk” karya Buya Hamka yang disutradarai oleh M.Z. Simatupang, ia pernah juga mendukung pementasan “Krikil” bersama Sanggar Ragam Budaya, dan masih banyak lagi pementasan yang saat itu dilakukan olehnya. Syaiful Irba Tanpaka baru menulis puisi pada tahun 1981, di Sanggar itulah Syaiful memupuk kecintaannya pada seni, khususnya sastra.

Bermodal mesin tik yang dipinjamkan Isbedy, Syaiful mulai mencari ide tulisan, berjam-jam dihabiskan olehnya hanya untuk menciptakan sebuah puisi, tak kenal rasa lelah, dan rasa kantuk yang semakin menyerang ia tetap termotivasi untuk menciptakan puisi. Puisi “Koral Biru”, adalah puisi pertama Syaiful yang menghantarkan dirinya menjadi sastrawan. Puisi yang dibuat pada tahun 1981, di kamar Isbedy Stiawan ZS, saat itu Isbedy telah menjadi sastrawan yang terkenal, dan karya-karyanya banyak dibicarakan. Isbedy yang saat itu melihat bakat Syaiful yang begitu besar dalam menulis puisi, kemudian mengirimkan puisi “Koral Biru” ke surat kabar Swadesi. Tanggal 12 Mei 1981 adalah hari yang berarti dalam perjalanan Syaiful menjadi sastrawan, tepat pada tanggal itu puisi “Koral Biru” dimuat.

Setelah puisi Syaiful yang pertama dimuat di surat kabar, teman-temannya, Isbedy Stiawan ZS, A.M. Zulqarnain, dan Muhammad Rich berlomba-lomba mengirimkan karya-karya mereka ke berbagai media massa. Tantangan untuk membayar uang tanda kalah, jika karya salah satu dari mereka tidak dimuat, menjadi motivasi dalam diri mereka.

Ketertarikan Syaiful dengan puisi, secara pribadi diawali dengan membaca puisi Piek Ardijanto Soeprijadi dan Djawawi Imron. Piek adalah sastrawan yang berprofesi sebagai guru. Menurut Syaiful puisi-puisi Piek laksana membaca alunan lagu.

Tidak sebatas puisi yang ia tulis, cerpen juga ditulis oleh Syaiful, “Tembok” adalah cerpen yang pertama dimuat pada harian umum Suara Karya Dalam berproses krearif, Syaiful ternyata tidak hanya menulis puisi, cerpen dan esai pun juga banyak dihasilkan oleh Syaiful. Disamping beberapa esai yang Syaiful tulis, ia juga menyempatkan menulis resensi di beberapa surat kabar “Suara dari Negeri Minoritas” Lampung Post 15 September 1996, “Menimbang Sastra feminis” Trans Sumatera 14 Mei 2000.

Sepak terjang Syaiful dalam dunia seni tak berbendung, setelah menulis puisi, cerpen dan esai, Syaiful juga menulis naskah drama dan menyutradarai. “Sang Komandan” adalah drama yang disutradarai oleh Syaiful yang dipentaskan oleh Kelompok Teater Lampung pada tahun 1988.

Produktivitasnya tenyata tidak hanya menuai simpati dari penikmat dan pemerhati sastra yang ada di Lampung. Bersama Isbedy Stiawan ZS, Achmad Rich, Naim Emel Prahana, Sugandi Putra dan Iwan Nurdaya Djafar pada tahun 1987 diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan puisi-puisinya dalam acara Forum Puisi Indonesia ’87 di Taman Ismail Marzuki. Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayutaman, Sumatera Barat tahun 1997, Festival Puisi PPIA Surabaya pada tahun 2002, Kongres Cerita Pendek II di Jimbaran Bali pada tahun 2002, Kongres Kebudayaan di Bukittinggi pada tahun 2003, Kongres Kesenian di Jakarta dan Papua pada tahun 2005.

Berbagai penghargaan pun telah diraih Syaiful dalam perjalanannya menjadi sastrawan. Tahun 1987, ia pernah meraih juara satu Lomba Penulisan Puisi Bentoel’87 yang diselenggarakan oleh PT Radio Suara Bhakti. Tahun 1992, prosa Syaiful yang berjudul “Bandarlampung Suatu Hari dalam Buku Harianku” memenangkan Lomba Mengarang Bumi Kelahiran yang diselengarakan oleh Penerbit Puspa Swara Jakarta. Tahun 1993, ia memenangkan Penulisan Cerita Tradisional, tahun 1995 menjadi nominator Penulisan Puisi Kemerdekaan ANTV, pada tahun 1999 meraih juara satu penulisan esai Desaku Maju Sakai Sembayan Se-Lampung, pada tahun 1999 Syaiful mendapatkan penghargaan atas karyanya dari Depparsenibud (Depertemen Pariwisata Seni dan Budaya) pada malam penghargaan Malam Pesona Budaya, masuk tujuh puisi terbaik “Borobudur Award 1997”, juara IV Lomba Cipta Puisi Krakatau Award I pada tahun 2002, dan masih banyak penghargaan yang ia raih dalam perjalanannya menjadi sastrawan.

Kepenyairan Syaiful Irba Tanpaka, juga tidak luput dari perhatian rekan-rekannya sesama sastrawan. Panji Utama, sastrawan yang tinggal di Bandarlampung dalam Surat Kabar Yudha Minggu Sport dan Fiksi, 11 September 1988. Panji mengkritisi ketidakcermatan Syaiful dalam mempergunakan dan memilih kata, Panji menyayangkan ketidakcermatan Syaiful dalam menggunakan huruf kapital. Menurut Panji, Syaiful seolah ingin menyulap sajaknya yang biasa menjadi karya yang bernilai sufistik dengan menggunakan klitika –Ku dan –Mu yang seharusnya ditulis dengan huruf kecil.

Syaiful Irba Tanpaka juga sering memberikan komentar tentang proses kreatif sastrawan-sastrawan Lampung. Pada harian umum Bandarlampung News No.34 Thn 23—29 Januari 2003, Syaiful memberikan komentar tentang proses kreatif Edy Samudra Kertagama. Menurut Syaiful membaca puisi Edy, pembaca diajak untuk melihat fenomena-fenomena sosial yang ada di negeri ini, tentang tragedi kekerasan, ketidakadilan dan nasib kaum marjinal yang terpinggirkan.

Syaiful Irba Tanpaka juga memberikan komentar tentang ‘Paus Sastra Lampung’ Isbedy Stiawan. Pada harian Simponi, 18 November 1992, Syaiful menanggapi manuskrip Isbedy yang berjudul “Dunia Lipstik”. Menurut Syaiful, Isbedy dalam manuskripnya mengisahkan tentang kegusaran yang memanggang hati nuraninya, sebagai sikap keprihatinan penyair terhadap mengeringnya nilai-nilai kehidupan. Lewat sajak-sajaknya, Isbedy mencoba menyentuh hati nurani yang terdalam.

Demikianlah dedikasi Syaiful Irba Tanpaka yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan kesenian di lampung.  Kini ia lebih fokus pada pekerjaannya di Dinas Pendidikan provinsi Lampung dan berkarya. Nah, Soal karya, beliau memang dikenal multi talent. Selain menulis puisi dan cerpen, ia juga adalah produser film, pembina teater anak, penulis naskah, esei dan opini. Cerpen terbarunya adalah Pembunuh Kerinduan yang dipublikasikan di lampung Post. beberapa cerpennya terhimpun dalam buku "Dunia Yang tidak pernah menjadi tua."

Kumpulan Cerpen terbaru Syaiful Irba Tanpaka
1. Puisi

  • Nyanyian Tanah Putih “Antologi Puisi Penyair Muda Lampung”
  • Memetik Puisi dari Udara,
  • Jung “Segabung Puisi Penyair Lampung”


2. Cerpen
“Tembok”, Suara Karya, Minggu 1 Mei 1983.
“Potret Perjalanan Diah”, Lampung Post 13 Juni 1993
“Gaun”, Suara Karya, Minggu 30 Oktober 1983.
“Sebuah Sisi Pertemuan”, Swadesi, 18 Oktober 1984.
“Sandal Jepit”, Lampung Post, Senin 18 November 1984.
“Helma”, Lampung Post, Senin 14 Agustus 1989.
“Apakah (+) Apakah (-)”, Media Komunikasi, Edisi IV Oktober 1989.
“Lelaki di Sebuah Taman”, Lampung Post, Sabtu, 9 Februari 1991.
“Dalam Gemilang Takbir”, Lampung Post, Sabtu, 18 Maret 1994.
“Rampok”, Lampung Post, 10 maret 1996.
“Ritus Buka Tahun”, Lampung Post, 10 Januari 1999.

3. Esai

  • “Kebangkitan Kesenian Lampung” Sumatera Post, 5 Juli 2004.
  • “Cak Nun dan Pencekalan” Lampung Post, 15 Juli 1995. 
  • “Amnesia Kota Tapis” Lampung Post, 5 Juli 2004.
  • “Kota Dalam Nuansa Penyair” Lampung Post, 14 April 1993. 
  • “Lorong Kekerasan dalam Puisi” Sinar Pagi, 5 Oktober 1999.
  • “Tuan itu Bernama waktu” Lampung Post. 5 Mei 2002.
  • “Kenapa Harus Seni Tradisi” Lampung Post, 18 Januari 2004. 
  • “Memotret Sufisme di Tangan Penyair Sebuah Retorika” Berita Buana, 25 Oktober 1988.
  • “Mengenal Sastra Lisan Daerah Lampung” Swadesi, 3 Februari 1991.
sumber:
arahlautlepas.blogspot.com

0 on: "Syaiful Irba Tanpaka: Hidup untuk Seni"