Jumat, 16 Januari 2015

Inggit Putria Marga: Hidup Bersama Puisi

Inggit Putria Marga, dalam lakon The Bandit atawa Rashomon
karya Ryunsuke Akutagawa Sutradara Ari Pahala Hutabarat
dipentaskan di Unila, Sanggar Baru Tim, TUK-Jakarta
Taman Budaya Riau, Padang, Bengkulu, 2007.

oleh alexander gb

Bisakah karyamu hanya menghamparkan peristiwa, tanpa kau harus berpetuah di dalamnya, tanpa kau harus berpihak pada satu pihak semata, tanpa kau harus jadi hakim yang berkuasa atas benar dan salah. Bisakah kau mengajarkan pembaca tanpa harus menggurui, membuka pintu kesadaran tanpa harus berlagak suci, menyodorkan beragam kemungkinan tanpa harus kehilangan fokus, bisakah karya bicara tanpa bicara, bisakah karyamu menghadirkan penderitaan dan kebahagiaan tanpa genangan airmata atau gelak tawa, bisakah karyamu menjadi alam semesta yang hanya menyiratkan kesan-kesan bahwa tuhan boleh dianggap ada atau tidak ada, alam semesta yang amat terang dan terbuka sekaligus gelap dan tak akan selesai diberi makna
                                                                                               #catatan bagi diri sendiri, Inggit Putria Marga

AJE Erwin, Inggit Putria Marga, Muhammad Yunus, Iswadi Pratama
Launching dan Diskusi Buku Kumpulan Puisi "Penyeret Babi"
karya Inggit Putria Marga, Maret 2010
Ia kerap menyusuri jalanan Tanjungkarang tanpa mengatakan sepatah kata pun. Matanya yang setajam mata elang mengamati gedung-gedung yang mulai kusam di siang yang terik, menyaksikan jalanan yang macet, memperhatikan garis-garis lelah di wajah pejalan selepas kerja. Mungkin dia akan naik bis kota. Mungkin tetap melanjutkan langkahnya. Awan menggantung  di atas kota tak luput dari amatannya, juga seekor tikus yang melintas, capung yang terbang dan hingga di tiang listrik, seekor burung gereja yang menggigil di satu sudut gedung lantai tiga.

Mungkin, kau akan mendengar sesekali ia menghela nafas, lalu ia kembali sibuk mencatat semua yang ia saksikan di sepanjang jalan itu. Lalu pada malam-malam ketika ia sendiri, sebagian akan menjelma sajak yang menggeliat di antara suara kereta . Esoknya mungkin kau akan mendapati sajak-sajak Inggit Putri Marga di koran-koran minggu Ibu Kota, atau tersimpan di sebuah tempat yang tersembunyi, yang jika dibaca sesekali akan menggetarkan batinmu, yang sesekali akan mengacaukan isi kepalamu. Dan ia tersenyum kecil saja dari sebuah jendela.Sudah lama ia memilih menghindar dari hiruk pikuk pergaulan sastrawan lokal maupun nasional. Memilih mengamati tanaman, terus belajar menulis, di sebuah tempat yang mungkin hanya ada dia dan puisi. 

Ya, tentu, seperti katamu, puisi menjadi sering menakjubkan—bahkan sering tak disadari penyairnya sendiri—karena ada rumpang sunyi, ada imaji yang tak terduga, ada estetika dionisian yang ditawarkan. Puisi-puisi yang berhasil, yang membuat rasa takjub, biasanya bukan sekadar puisi yang ditulis dengan semangat pengrajin (ciri khas seni appolonian). Puisi yang berhasil pada dasarnya adalah puisi yang ditulis secara jujur, sebagai manifestasi proses internalisasi penyairnya terhadap pengenalannya tentang realitas. Barangkali kesan demikian yang terus-menerus digemakan Inggit Putria Marga.

Lalu kita akan turut pada rasa perih, ironi, satire, sisi muram kehidupan yang dicatat dalam sajak-sajaknya, yang harus pelan-pelan sekali, terkadang butuh jeda,  untuk mengupas lapis-lapis makna yang ditawarkan pada bait sajak dan metafor yang digunakannya.

Ia mencoba mempelajari semua sisi sebuah puisi.  Mempelajarinya aspek teknis penulisan dan juga keunikan dalam memandang suatu hal, teks, atau persoalan. Sesekali ia menulis sajak dalam bentuk yang minimalis, laiknya haiku. Sesekali ia akan menuliskannya dengan cara yang berbeda.

Mungkin lantaran berzodiak virgo, atau karena ia menyukai warna hitam, ia begitu teguh pada setiap hal yang dikerjakannya.  Penuh komitmen, tegas, dan k eras dalam mempertahankan sesuatu yang prinsipil. Tapi sesungguhnya, dia adalah perempuan yang lembut, yang peka, kerap haru, setia kawan, dan baik hatinya. Serta energik seperti Agnes Monika. Ya, memang ia tergolong pendiam. Ia berbicara seperlunya, dan lebih suka berbicara melalui karya yang berkualitas. Akibatnya, ia tampak terlalu keras pada dirinya, ia menuntut hasil paling optimal pada  apapun yang ia kerjakan, ia tidak pernah setengah-setengah. Kalau mau pakai cara mau, masuk dan menyelam hingga dasarnya, jangan tanggung-tanggung.  Mungkin begitu istilah katanya.

"Sebenarnya saya suka dengan karya sastra sejak kecil. Saya hidup di lingkungan keluarga yang banyak menjadi guru bahasa Indonesia," ujar Inggit.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia gemar membaca buku-buku sastra lama Indonesia, seperti karya Marah Rusli dan Sultan Takdir Alisabana. Buku-buku tersebut membuatnya mulai tertarik dengan sastra Indonesia, terlebih ketika menemukan cerita yang terkadang membuatnya terhanyut dalam aliran cerita. Sebuah cerita yang membawanya pada khayalan, selanjutnya membuatnya hadir dan hidup dalam cerita.

Tak mengherankan jika ia gandrung dengan pelajaran bahasa Indonesia, khususnya mengarang. Lewat pelajaran bahasa Indonesia itu pula ia menemukan pelajaran menganalisis puisi di bangku SMP dan SMA. "Sejak saat itulah saya mulai menyukai sastra," cetus dia.

Pergumulan Inggit dengan sastra makin dalam setelah bergabung dengan Divisi Teater dan Sastra UKMBS. Penggalian estetika puisi dijalani Inggit bersama seniornya di UKMBS seperti Ari Pahala. "Lulus kuliah, saya gabung dengan teman-teman di Komunitas Berkat Yakin (KoBER)," ujar putri kedua pasangan H. Syafruddin Umar dan Hj. Nurlela ini. Di komunitas inilah Inggit mempelajari puisi bersama penyair Ari Pahala dan Jimmy Maruli Alfian.

Ya, mencipta puisi bagi Inggit bukan sekadar hobi yang hanya dilakukan sambil lalu. "Puisi sama seriusnya dengan fisika, kimia, dan matematika. Puisi itu sangat ilmiah. Kita tidak bisa membuat puisi hanya dari imajinasi. Puisi juga memerlukan riset hingga kita bisa memberi alasan mengapa membuat kalimat seperti ini, mengapa begitu, mengapa demikian," ujarnya.

Puisi juga sebuah kerja yang memerlukan totalitas, kesabaran, keyakinan, dan keseriusan. Selalu ada tantangan di dalamnya. Sebab itu, ia ingin terus menciptakan karya yang baik dan berkualitas. Ini yang jadi motif utama Inggit menciptakan puisi, yang semasa kuliah pernah menyandang juara satu Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2004.

Intinya, Inggit mengenal sastra dan mempelajarinya sejak SD, SMP, SMA, akan tetapi memulai menulis puisi secara serius sejak kuliah. Dan tak butuh waktu lama karyanya dimuat di media lokal Sumatra, seperti Lampung Post, Sumatera Post, lalu menyusul media-media lainnya.

Selama proses kreatif, ia lebih banyak menulis puisi dan sesekali menulis cerpen. Ia lebih memilih puisi karena baginya, puisi sangat misterius. Puisi mengundang banyak persepsi, tafsir, lebih menantang, dan lebih menuntut kompleksitas.

Inggit membaca salah satu sajak Sitor Situmorang
Tantangan yang ditawarkan Puisi

Sama dengan penulis pemula lainnya, ia juga kerap menemukan kesulitan demi kesulitan dalam menulis puisi. Terlebih ketika memulai menulis. Beberapa kesulitan itu antara lain cara menulis puisi itu sendiri (konsep), memilih judul yang baik, memakai kata-kata (diksi) yang bisa mewakili isi pesan, tanda baca, serta awalan dan akhiran yang secara keseluruhannya juga harus dipelajari.

"Hal-hal itulah yang kemudian membuat saya nyaman dengan puisi. Yang pasti, ketika menulis puisi, saya menemukan sebagian dari diri saya dalam puisi tersebut, dan saya bahagia ketika menulisnya. Dengan menulis puisi, diri saya seperti hidup," tandasnya.

Inggit Putria Marga memilih jalan hidupnya sebagai penyair. "Jalan hidup saya adalah puisi. Saya berharap karya saya bisa lebih sempurna, bisa lebih tidak serupa dengan karya yang sebelumnya. Karena kalau tidak berubah, itu artinya sama saja kita tidak hidup," tandas dia.

Ia berharap karyanya tidak seperti gelembung sabun yang banyak, selanjutnya meledak, hanya menghadirkan kehampaan demi kehampaan saja. "Maka untuk mengisi kehampaan tersebut, tidak perlu buru-buru, harus ada proses yang intens, baik dengan diksi, tema, dan dengan hal-hal lainnya," tuturnya.

Selain sibuk menulis puisi, Inggit rajin menghadiri kegiatan-kegiatan sastra, baik yang diadakan di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu, misalnya, ia hadir dalam ajang Pertemuan Penyair Nusantara (PPN V), Palembang, sebagai pembaca puisi dalam sebuah festival di Pangkor, Malaysia, dalam acara Festival Puisi Antarbangsa.

Menurut dia, kegiatan semacam itu bisa mempererat silaturahim antar penyair. "Lebih dari itu, penyair bisa saling berbagi pengalaman tentang kondisi perpuisian di daerahnya serta proses kreatif para penyair itu sendiri," ujar dia.

Proses kreatif setiap orang tentu berbeda antara satu dan lainnya. Menurut dia, setiap orang punya peraturan dan tingkat kesempurnaan puisinya masing-masing. "Kalau saya sendiri, terlebih pada saat sekarang ini, ketika menulis puisi untuk menghasilkan satu karya saja membutuhkan waktu yang lama. Bahkan puisi saya yang mulai ditulis sejak Mei 2011, sampai dengan sekarang belum tunai," jelas Inggit.

Di sela-sela menekuni dunia sastra, lulusan Fakultas Pertanian Lampung ini punya hobi menjalani kehidupan nyata, yaitu bertani. Kegiatan ini memberikannya kesempatan untuk menarik nafas sejenak dari hiruk pikuk kesenian dan kehidupan.

Inggit membacakan sajaknya pada Panggung Sastrawan Lampung
Taman Budaya Lampung, 24 Desember 2013

Totalitas dan Konsistensi, Prestasi mengikuti

Inggit termasuk sedikit perempuan-penyair asal Lampung yang mampu masuk pelataran kepenyairan nasional. Sajak yang terilhami dari komik Jepang berjudul Sun Flower itu mengantar Inggit meraih penghargaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2005 sebagai Penulis Puisi Terbaik.

Tahun 2008, tiga karya Inggit masuk 100 Sajak Terbaik Indonesia 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana pilihan Yayasan Pena Kencana Indonesia. Satu puisi, Bulu Ayam, terbit di Lampung Post, 11 Februari 2007; dua lain di Republika pada 11 Maret 2007 (Di Pintu Gerbang) dan Koran Tempo, 24 Juni 2007 (Suara Usai Isya).

Inggit juga diundang berbagai kegiatan sastra tingkat nasional dan internasional, di antaranya International Literary Biennale 2005 (Komunitas Utan Kayu bekerja sama dengan Winternachten); Cakrawala Sastra Indonesia 2005 (Dewan Kesenian Jakarta); Festival Mei 2006 (Institut Nalar, Bandung), Temu Sastra MPU di Sanur-Bali 2006; Pentas Penyair Muda di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, November 2007; dan International Kusamakura Haiku Competition (2007).

Jejak kepenyairan Inggit terbilang panjang. Namun, satu hal yang penting. Bagi Inggit, "Seniman itu yang dilihat kualitas karya, bukan hal-hal di luar itu. Karyalah yang mesti jadi tujuan, bukan karya sebagai alat mencapai tujuan," ujarnya.

Idealisme berkarya ini juga yang mengantar Inggit sampai pada pernyataan: "Banyak penyair pusing kalau tidak diundang di acara ini, acara itu, tapi tenang-tenang saja kalau sajaknya buruk atau mengalami stagnasi."
Bisa jadi, ini gugatan atau otokritik seorang Inggit Putria Marga. Karena toh, ia berkomitmen, "Saya terus belajar menciptakan karya berkualitas. Sampai kapan proses belajar ini berlangsung. Semoga sampai akhir usia saya. Saya berharap penyair-penyair di Lampung tetap konsentrasi pada penciptaan sehingga karya-karyanya diakui dan Lampung diperhitungkan di dunia sastra Indonesia."

Biodata
Nama       : Inggit Putria Marga
Lahir        : Tanjungkarang, 25 Agustus 1981.
Alamat      : Jalan Sonokeling No. 12B, Pahoman, Bandar Lampung
Ayah        : H. Syafruddin Umar
Ibu          : Hj. Nurlela
Suami      : Muhammad Yunus, S.H
Anak       : Mikraj Ar Royyan



Karya:

 Penyeret Babi (kumpulan sajak, 2010), yang terpilih sebagai 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2010. Sejumlah puisi juga terangkum dalam antologi bersama: 100 Puisi Terbaik Indonesia 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana (Yayasan Pena Kencana Indonesia), Living Together (Komunitas Utan Kayu, Jakarta), Festival Mei (Institut Nalar, Bandung), Perjamuan Senja (Dewan Kesenian Jakarta), Gerimis dalam Lain Versi (Dewan Kesenian Lampung), Konser Penyair Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung), Gemilang Pesona Musim, Narasi dari Pesisir (Dewan Kesenian Lampung), Surat Putih 2 (Risalah Badai, Jakarta),  142 Penyair Menuju Bulan (Banjarmasin, 2006), Compassion and Solidarity (UWRF 2009), Traversing (Utan Kayu, 2009). Akulah Musi (PPN 2011), 60 Puisi Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana 2009 (Yayasan Pena Kencana, 2009).

Menghadiri Pekan Perempuan "Sepuluh Perempuan Sastrawan Baca Karya" di Komunitas Salihara (2009), mengikuti Ubud Writers and Readers Festival di Bali dan Utan Kayu Literary Biennale (2009), menghadiri Festival Puisi Antara Bangsa di Pangkor, Perak, Malaysia (2010) dan Pertemuan Penyair Nusantara di Palembang (2011).

Pentas Teater Bersama KoBER
Rashomon di Universitas Lampung, Sanggar Baru TIM dan Teater Utan Kayu (2005), roadshow ke tiga provinsi (Taman Budaya Riau, Taman Budaya Padang, dan Taman Budaya Bengkulu) untuk pementasan Rashomon tahun 2007


Sumber:
1. Koran Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2011
2. Heri Wardoyo dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung:
    Lampung Post. Hlm. 421-424
3.Ulun Lampung.blogspot.com


0 on: "Inggit Putria Marga: Hidup Bersama Puisi"