Jumat, 06 Maret 2015

Achmad Rich



Meski dilahirkan di Jakarta, Achmad Rich adalah putra Lampung. Anak pertama dari enam bersaudara ini dilahirkan di gang Kancil, Cikini, Jakarta, pada 6 April 1956. Achmad Rich bukanlah nama yang diberikan orang tuanya ketika ia lahir, melainkan Achmad Khairil.

Pada beberapa buku, nama Achmad Rich banyak mengalami kesalahan penulisan ejaan, seperti dalam buku Nyanyian Tanah Putih, Memetik Puisi dari Udara, dan buletin Asah Asih Asuh. Pada buku itu tertulis A. Chairil, seharusnya ejaan yang benar adalah A. Khairil, menggunakan Kh bukan Ch. Namun, seiring dengan perkembangan jiwa dan kedewasaannya, ia lebih memilih nama Achmad Rich daripada nama aslinya ketika mengirimkan karyanya untuk dimuat di media massa. Menurut teman-temannya sesama sastrawan, ia lebih memilih nama tersebut karena tidak ingin dianggap menumpang popularitas maestro penyair Indonesia, Chairil Anwar.

Selain nama A. Khairil dan Ahmad Rich, masih ada satu nama yang masih yang tetap menempel sejak kecil hingga ia beranjak dewasa, yaitu Boce. Karena postur tubuhnya yang paling kecil di antara saudara-saudaranya itulah ia dipanggil Bocah Kecil (Boce). Dengan demikian, ia menyandang dua nama yang terus melekat padanya, yaitu Achmad Rich yang dikenal kalangan sastrawan dan Boce yang dikenal oleh teman-teman sepermainannya semenjak kecil.

Masa sekolah Achmad Rich ditempuh di beberapa tempat yang berbeda. Ia menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 08 di Kotabumi. Selepas itu, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tehnik Paspal (setara SMP pada masa itu) dan sempat aktif sebagai pengurus OSIS. Aktivitasnya di kepengurusan OSIS dan setumpuk pelajaran yang ia geluti setiap hari tidak membuat niatnya untuk menjadi seorang penulis surut. Saat duduk di Sekolah Tehnik Paspal inilah ia mulai aktif menulis walaupun belum berhasil dimuat di surat kabar.

Selepas dari Sekolah Tehnik Paspal tahun 1976, ia diterima sebagai siswa SMAN 2 Bandarlampung, salah satu sekolah unggulan di Bandarlampung. Sangat disayangkan, usai menamatkan di sekolah itu, Achmad Rich tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia lebih merelakan dana orang tuanya untuk digunakan sebagai biaya pendidikan adik-adiknya.

Berpindah-pindahnya tempat Achmad Rich bersekolah dikarenakan status ayahnya sebagai PNS yang kerap berpindah tugas. Ayahnya, Suhaemi Elyas (alm.), setelah lulus dari sekolah Mesis (setingkat Sekolah Menengah Atas pada zaman Jepang) langsung diangkat menjadi PNS Kepala Sekolah Rakyat di Jakarta. Keluarga Achmad Rich pindah ke Tanjungkarang karena ayahnya ditugaskan sebagai Kepala Sekolah Rakyat di Tanjungkarang. Pada tahun 1969 sampai 1975, Achmad Rich dan saudara-saudaranya kembali pindah mengikuti sang ayah yang mendapat tugas ke Dinas P dan K tingkat II Kotabumi, Lampung Utara. Pada akhirnya, ia kembali tinggal di Tanjungkarang karena ayahnya pindah tugas di Dinas P dan K tingkat I Provinsi Lampung dengan jabatan kepala bagian Tata Usaha. Dengan demikian, masa kanak-kanaknya dihabiskan di empat tempat berbeda: Jakarta, Tanjungkarang, Telukbetung, dan Kotabumi. Akhirnya, keluarga Achmad Rich berdomisili di Tanjungkarang, jalan Kamboja no. 10, kecamatan Enggal, Tanjungkarang Pusat.

Kedua orang tua Achmad Rich asli Lampung. Ayah dan ibunya sama-sama berasal dari daerah Menggala, desa Batuhilir kecamatan Tulangbawang. Nama ibunya adalah Hafshah. Ayah Achmad Rich, Suhaemi Elyas (lahir tahun 1928) meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1991.

Pada 1980, Achmad Rich diterima sebagai PNS di Dinas P dan K tingkat I Provinsi Lampung. Jabatan terakhir yang ia duduki di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung tersebut adalah Staf Bagian Umum. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Staf Bagian Kebudayaan.

Di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, ia menyibukkan diri dalam buletin Asah Asih Asuh. Achmad Rich bertugas sebagai penyunting bahasa sejak buletin itu terbit pertama kali tahun 1992 sampai ia meninggal dunia pada tahun 2004. Di sela-sela kesibukannya sebagai Staf Bagian Umum dan pengasuh buletin Asah Asih Asuh, Achmad Rich menggeluti usaha barang antik.

Bahan bacaan yang paling digemari Achmad Rich sejak kecil hingga dewasa adalah majalah Horison, novel detektif, dan majalah atau buletin aktual tentang hukum, baik perdata maupun pidana. Beberapa koleksi bukunya merupakan buku-buku pergerakan perjuangan, seperti Biografi Soeharto dan Dibawah Bendera Revolusi karangan Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno. Di masa pemerintahan Soeharto buku ini dilarang terbit, akan tetapi setelah rezim ini tumbang buku ini mulai banyak dicetak seperti yang dicetak ulang oleh Yayasan Bung Karno. Salah satu puisinya yang berjudul “Matahari” terinspirasi oleh buku Di bawah Bendera Revolusi.

Ketelitian dalam mengungkap fakta dan data di setiap esai dan kegemaran membaca beragam buku, menunjukkan betapa wawasan Achmad Rich begitu mendalam terhadap permasalahan yang diangkat dalam setiap tulisannya. Karena kekuatan, kejernihan pola pikir, penyampaian ide yang bernas, dan fakta serta data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, esai dan artikelnya sering menghiasi rubrik dialog Berita Buana di bawah asuhan penyair kondang Abdul Hadi W.M..

Achmad Rich mulai menapaki dunia sastra selangkah demi selangkah hingga menanjak populer sejak tahun 1982. Ia terbiasa menulis karya dan karangannya ketika berada di rumah dengan tulis tangan terlebih dahulu, kemudian diketik ulang setibanya di ia baru. Semua itu ia lakukan dengan alasan tidak ingin membuat gaduh suasana hening di rumahnya.

Karya-karya Achmad Rich, baik esai, artikel maupun puisi bertebaran di media massa Lampung dan media massa di luar Lampung, antara lain: harian Minggu Merdeka, Simponi, Swadesi, Media Indonesia, Berita Buana, Singgalang, Eksponen, Berita Minggu, dan Film. Beberapa buku yang sempat mendokumentasikan puisi-puisi Achmad Rich adalah (1) Nyanyian Tanah Putih, antologi puisi bersama tiga sastrawan Lampung, yaitu Isbedy Stiawan ZS, Asaroeddin Malik Zulqarnain, dan Syaiful Irba Tanpaka; (2) Memetik Puisi dari Udara, kumpulan puisi yang diluncurkan oleh Radio Suara Bhakti Bandarlampung; dan (3) Puisi Indonesia ’87, sebuah antologi puisi bersama bertaraf nasional diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Buku antologi Puisi Indonesia ’87 sekaligus menjadi monumen bersejarah bagi putra Lampung dan pentasbihan Achmad Rich sebagai sastrawan Indonesia. Setidaknya, undangan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) untuk Achmad Rich agar hadir di Teater Arena TIM pada 3—5 September 1987 merupakan sebuah penghargaan tersendiri yang sangat berarti bagi Achmad Rich secara pribadi dan sastrawan Lampung pada umumnya. Achmad Rich tidak hanya membacakan puisi, tetapi ia juga didaulat untuk menyajikan esainya di hadapan tamu undangan. Forum ini dihadiri oleh 26 sastrawan dari 26 wilayah provinsi di Indonesia. Bandarlampung diwakili oleh dua orang sastrawan, yaitu Achmad Rich dan Sugandhi Putra.

Sampai saat ini, nama Achmad Rich sebagai sastrawan Lampung masih terukir dengan baik. Ia meninggalkan dua buah puisi terbaiknya yang banyak diminati pencinta puisi Lampung, yaitu “Matahari” dan “Anak Nakal Kesayangan Tuhan” (hanya saja, puisi yang terakhir hilang dan tak sempat didokumentasikan).

Achmad Rich tidak hanya dikenal di kalangan sastrawan, tapi juga dikenal oleh kalangan teater, tari, dan musik. Terakhir, pada tahun 90–an, ia sempat bergabung dalam sebuah kelompok seniman Lampung yang bernama Cakrawala Seni.

Achmad Rich melepas lajangnya saat ia berusia 47 tahun, usai Idul Adha tepatnya pada 21 Februari 2003. Dian Novita Sari, istrinya, saat itu baru berusia 21 tahun. Gadis berdarah campuran Lampung dan Palembang ini berkenalan pertama kali dengan Achmad Rich di Kotabumi. Pernikahan mereka berlangsung dengan menggunakan adat Lampung di Poso pada Kamis. Setelah menikah, ia mendapat gelar kehormatan dari adatnya yaitu “Menak Sembahan Raja”, sedangkan istrinya bergelar “Menak Sembahan”. Mereka dikaruniai Allah seorang putra “revolusioner” yang bernama Damar Nihan Al-Amin.

Baru berjalan satu tahun lebih, pernikahan ini harus menerima suratan takdir saat “Sang Matahari” harus menghadap-Nya karena penyakit tumor paru-paru. Sejak empat hari sebelum ajal menjemput, Achmad Rich memang sudah mengeluh sakit yang luar biasa. Ia dirawat di RS Bumi Waras selama dua hari, lalu dipindahkan ke RSU Abdul Moeloek Bandarlampung. Di RSU Abdul Moeloek Achmad Rich dirawat selama dua hari sebelum akhirnya mengembuskan nafas terakhir.

Achmad Rich “Sang Matahari” dipanggil menghadap Sang Pencipta pada 25 Desember 2004 pukul 09.00. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Umum Kebonjahe, Bandarlampung. Achmad Rich bukan hanya milik keluarganya, tetapi juga milik dunia sastra Indonesia. Majalah sastra Horison (Jakarta) menyatakan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas kepergian sang sastrawan pada edisi Februari 2005. Achmad Rich harus tetap dikenang dalam bentuk apa pun dan sekecil apa pun kontribusinya bagi dunia sastra Indonesia. “Sepatutnya ia dikenang, bukan semata sebagai ’anak nakal’ melainkan sebagai ’anak terbaik’ Lampung,” demikian pesan lirih Isbedy Stiawan ZS saat melepas kepergian Achmad Rich .

Semasa hidup, Achmad Rich telah melahirkan beberapa karya, berikut ini di antaranya.
1) “Penyair di Negeri Tak Bertuan”, Buletin Simbah Sastra tahun 1984,
2) “Catatan”, Buletin Simbah Sastra,
3) Nyanyian Tanah Putih: Antologi Puisi Penyair Muda Lampung, Sanggar Sastra CIA, 1984,
4) Memetik Puisi dari Udara (kumpulan puisi yang direkam Radio Suara Bhakti Bandarlampung), Radio Suara Bakti, 1987, dan
5) Puisi Indonesia 87, Dewan Kesenian Jakarta, 1987.

sumber
http://arahlautlepas.blogspot.com

0 on: "Achmad Rich"