Jumat, 06 Maret 2015

Naim Emel Prahana

Naim Emel Prahana

Lahir di desa Kotadonok, kabupaten Rejanglebong, Bengkulu pada tanggal 13 Desember 1960 dengan nama asli Naimullah. Putra dari seorang petani yang bernama Rahmatsyah ini adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Pendidikan sekolah dasar Naim di selesaikan di Bengkulu pada tahun 1971, sebelum ia ikut merantau ke Padangpanjang, Sumatera Barat bersama pamannya yang mempunyai usaha apotik disana. Namun, keberuntungan tak selalu berada di pihaknya, paman Naim yang memiliki beberapa apotik mengalami pasang surut dalam usahanya, sehingga untuk dapat bertahan dan menyelesaikan pendidikannya di kota Padangpanjang, Naim terpaksa menjadi pesuruh dan penjaga di tempat ia bersekolah sekaligus menjadi pesuruh di asrama putra tempatnya bersekolah.
Kegemaran Naim menulis terlihat ketika masih duduk di bangku SMP Muhammadiyah di Kauman, Padangpanjang, Sumatera Barat pada tahun 1971 ketika ia rajin menulis di majalah dinding dan buletin Muhammadiyah setempat. Sejak muda Naim sudah gemar membaca, kecintaannya akan dunia sastra terinspirasi oleh seorang pengarang Pujangga Baru, Rivai Ali. Ketika itu Naim menumpang tinggal di rumah sastrawan tersebut di kawasan Silaing Atas ketika pertama kali ia merantau ke Padangpanjang. Berkat ketekunan dan kegigihannya, Naim akhirnya dapat menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah pertama pada tahun 1974 di Padangpanjang, Sumatera Barat. Naim menamatkan pendidikan pada sekolah menengah atas di Curup, Bengkulu pada tahun 1978 setelah mengalami lima kali pindah sekolah.

Berbekal ijazah SMA bagian IPS, Naim berangkat menuju Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah. Naim mendaftar di dua tempat sekaligus, Universitas Islam Indonesia dan IKIP Negeri Karangmalang pada tahun 1979.

Dunia kepengarangan serta kegemarannya akan membaca seakan menemukan tempatnya ketika Naim bersekolah di kota pelajar tersebut. Di kota inilah Naim seakan menemukan dirinya dan makin meluaskan wawasannya. Ia banyak bergaul dengan banyak sastrawan dan budayawan, seperti WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, Dick Hartoko, Linus Suryadi AG, dan Mustafa W. Hasyim. Pergaulannya ini makin menambah referensi dan membuka matanya sehingga ia makin apresiatif. Kecintaannya akan berorganisasi juga semakin memperkaya khasanah pengetahuannya. Kegiatannya inilah yang membawanya semakin menekuni dunia kepenulisan. Tulisan Naim berupa cerpen dan esai saat itu sempat mewarnai media massa di kota pelajar itu. Ia juga menulis naskah drama dan skenario film karena ia juga terlibat di dunia teater. Naim tergabung di teater Unisi dan teater Latah pada Universitas Islam Indonesia. Sayangnya, kegiatannya yang padat tidak diiringi oleh finansial yang cukup. Untuk membiayai sekolahnya Naim terpaksa bekerja keras demi mendapatkan penghasilan. Mulai dari pekerjaan membuat stempel dan spanduk sampai menjadi pemandu turis dilakoninya untuk menutupi biaya hidupnya selama bersekolah di Yogyakarta. Kepiawaiannya dalam menulis juga sangat membantunya karena dari menulis ia mendapatkan honor dari media cetak yang memuat tulisannya. Karena kesibukannya itulah Naim hanya mengenyam pendidikannya di IKIP Negeri Karangmalang selama satu tahun, setelah itu ia memutuskan untuk berkonsentrasi pada pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Latar belakang keluarga yang cukup religius membuat Naim berkelana mengunjungi masjid-masjid tua di seantero pulau Jawa, Bali hingga Sumbawa. Berbekal pengalaman itulah yang makin memperkaya wawasan Naim dan memberikan inspirasi dalam berkarya.

Naim menamatkan pendidikannya dari fakultas hukum Universitas Islam Indonesia jurusan kriminologi (pidana) pada tahun 1986. Setelah itu, Naim memulai kerja jurnalistiknya di Jakarta, namun tidak bertahan lama. Naim memutuskan untuk kembali ke Lampung dan memulai kehidupan di Lampung, tepatnya di kota Metro (dulu Lampung Tengah). Naim menikah dengan Etik Yuliarsi, BA dan memiliki dua orang anak,yaitu Muhammad Riri Emelino dan Rara Emeliana Prahana.

Ketika di Lampung, aktivitas Naim dalam bersastra tidak surut. Saat itu, ia menjadi salah satu pendiri Dewan Kesenian Metro yang menjadi cikal bakal berdirinya Dewan Kesenian Lampung. Selama bersastra sudah banyak karya-karya Naim baik berupa artikel, puisi, dan cerpen yang masuk koran yang ada di berbagai daerah yang ada di Indonesia, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Prioritas, Media Indonesia, Merdeka, Jayakarta, Suara Karya, Pelita, SKM Swadesi, Simphony, Intijaya, Sentara, Majalah Kiblat, Estafet, Hai, Yudha Minggu, SKM Media Indonesia Minggu (Jakarta), Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Eksponen, Majalah putera Kita, Pusara (Yogyakarta), Majalah Bagelan (Solo), Suara Merdeka, Bahari (Semarang), Majalah Fakta, Liberty, dan Memorandum (Surabaya), Bali Post, Karya Bhakti (Bali), Banjarmasin Post (Banjarmasin), Akcaya (Pontianak), Singgalang, Semangat (Padang), Sumatera Ekspress, Sriwijaya Pos, Suara Rakyat Semesta (Palembang), Riau Pos, Majalah Bahana (Riau), Waspada, Indonesia Baru, Medan Post (Medan), Serambi Mekkah (Aceh), Semarak (Bengkulu), Lampung Post, Warta dan Niaga, dan Tamtama (Lampung).

Dalam mensosialisasikan karya-karyanya, Naim sering juga membacakan karyanya di berbagai stasiun radio seperti, di Radio Koln, Jerman, Radio NHK Jepang, Radio Mesir, dan Radio Filipina. Naim juga sering berkeliling untuk membacakan puisi-puisinya di berbagai tempat di Indonesia, misalnya pada acara Penyair Indonesia 1997 di TIM-Dewan Kesenian Jakarta dan menjadi duta budaya Lampung Tengah ke berbagai daerah di Indonesia. Dalam kurun waktu 1983-1999) Naim berkiprah sebagai ketua Dewan Kesenian Cabang Lampung Tengah dan menjadi pengurus di Dewan Kesenian Lampung. Dalam kegiatan sosial, Naim juga aktif menjadi sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPC) GRANAT, untuk turut menjaga kelangsungan generasi muda agar terhindar dari bahaya narkoba.

Penjelajahan Naim Emel Prahana di dunia seni dan budaya membawa langkahnya mengelilingi berbagai Negara di Asia, Eropa, Amerika Latin dan Afrika, yang bagi Naim, sebagai puncak petualangannya.

Berikut ini beberapa karyanya.

1) Sajak Kaca, antologi bersama empat penyair muda, Yogyakarta, 1984.
2) Kasih Tuan, Yogyakarta, 1985.
3) Kembang Malam Kembang Kelam, Metro, 1986.
4) Poros, Metro, 1986.
5) Kembang Malam Kembang Kelam Antologi, 1987
6) AWA, Antologi, 1987.
7) Homo Homini Lupus Antologi, 1987.
8) Karep Antologi, 1988.
9) Puisi Indonesia, DKJ-TIM Jakarta, 1987.
10) Bruckkenschlag, diterbitkan dalam Bahasa Jerman, Koln, Jerman, 1988.
11) Solidaritas, antologi bersama penyair Lampung, 1991.
12) Puisi Selatan, antologi bersama penyair Sumatera Bagian Selatan, 1992.
13) Nuansa Hijau, Bogor, 1995.
14) Sagang,Pekanbaru, 1994.
15) Dari Negeri Poci 3, Antologi 1000 Cinta,1999.
16) Buku Cerita Rakyat Lampung, Jilid 1, 2, dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988.
17) Buku Cerita Rakyat Bengkulu, Jilid 1, 2, dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988.
18) Buku Puisi Nyanyian Sunyi “Roh Memberontak” di Tengah Sosial Tercabik-cabik, Lampung Ekspress. 30 Desember 2002.

sumber:
arahlautlepas.blogspot.com

0 on: "Naim Emel Prahana "