Jumat, 06 Maret 2015

Juperta Panji Utama: Puisi dan Upaya Pembersihan Diri


Juperta Panji Utama

Juperta Panji Utama lahir di Tanjungkarang, 26 Agustus 1970. Masa balitanya dihabiskan di rumah orang tuanya yang terletak di Jalan Duku No. 18 Pasir Gintung, Bandarlampung.

Dengan mengikuti filosofi batu di tengah air mengalir atau matahari bersinar, beliau menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan cukup bahagia bersama kelima orang adiknya, antara lain Jufendra Dede, Junita Savitri, Jofana Dewi, Jodi Ardian, dan Juda Ramadhan. Bagi Panji, semua bagian hidup dan kehidupannya merupakan kenang-kenangan khusus, baik yang manis maupun pahit.

Pendidikan formal Panji dimulai di TK YWKA Tanjungkarang tahun 1976—1977 dan dilanjutkan tahun 1978 dengan bersekolah di SDN 1 Tanjungagung, Bandarlampung. Lulus tahun 1984 dan langsung melanjutkan ke SMPN 4 Tanjungkarang. Tahun 1990 lulus dari SMAN 2 Bandarlampung dan kemudian meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi yakni sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Bandarlampung dan lulus tahun 1997. Tahun 2005, Panji menyempatkan untuk mengambil pendidikan Akta Mengajar IV di FKIP Unila.

Di samping menekuni pendidikan formal, Panji pun menjalani beberapa pendidikan informal, seperti pendidikan komputer (tahun 1994) selama tiga bulan. Selama masa kuliah, antara tahun 1990—1994, Panji mengikuti berbagai latihan seperti kepenulisan, keorganisasian, dan kerelawanan sosial, dan seiring dengan waktu tersebut (1990—2000), Panji mengikuti pula pelatihan di bidang seni dan budaya. Tahun 1999—2000, mengikuti pendidikan yang bergerak di bidang politik, yakni pendidikan antikorupsi dan pemerintahan bersih. Pendidikan tersebut dijalaninya ketika beliau tergabung dalam Komite Antikorupsi (KoAK).

Tahun 1987 adalah kali pertama Panji mengenal organisasi dan dunia kerja. Ketika itu Panji menjabat sebagai Ketua Forum Semesta Lampung. Periode kepemimpinannya berakhir tahun 1990. Tahun 1993—1996 bergabung dalam Komite Litbang dan Sastra Dewan Kesenian Lampung. Dalam periode yang sama pula, Panji menjadi Redaktur tamu Musik dan Film Harian Lampung Post. Masih di tahun 1996, Panji beralih profesi sebagai karyawan magang di perusahaan perkebunan PTPN VII. Meski demikian, perannya sebagai anggota komite di Dewan Kesenian Lampung masih berlanjut hingga 2001. Namun kali ini, beliau berada di dalam Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung.

Istilah double job atau kerja rangkap terus dilakoninya seperti menjadi Koordinator Wartawan dan Redaktur Budaya Sumatera Post (tahun 1998—2001) sekaligus menjabat sebagai asisten dosen Komunikasi Massa, Komunikasi Bisnis, dan Fotografi di Universitas Tulang Bawang dan Universitas Lampung (tahun 1999—2000). Selanjutnya Panji juga bergabung dalam Divisi Pendidikan Komite Antikorupsi (KoAK) tahun 2000—2001.

Setelah sukses dengan tiga jabatan dari berbagai bidang pekerjaan yang dilakoninya selama periode 1998—2001, Panji melanjutkan karisnya sebagai Redaktur Pelaksana majalah Pendar sekaligus menjadi Corporate Communication Head Dompet Dhuafa Republika. Dua pekerjaannya ini dijalani dari tahun 2001—2002.

Partisipasinya dalam lembaga amal tersebut berlanjut hingga akhirnya Panji diangkat menjadi Ketua Lembaga Amil Zakat Daerah (LAZDa) Lampung Peduli pada tahun 2003 hingga sekarang. Di samping itu, Panji menjabat pula sebagai Sekretaris Hubungan Kerja Sama dan Komunikasi Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Lampung untuk periode 2005—2008.

Panji memiliki banyak teman yang umumnya berasal dari sekitar rumah, sekolah, dan lingkungan kerja. Mereka pula yang selama ini memberikan inspirasi luar biasa dalam melahirkan karya-karyanya karena keluarga dan teman-teman telah menjadi bagian terpenting dalam hidup dan kehidupan Panji. Tidak heran jika laki-laki yang telah dikaruniai dua orang putra dan seorang putri ini sangat mencintai keluarganya. Istrinya, Sholawati, adalah seorang wanita sholehah, yang dinikahi Panji pada tanggal 4 April 1999. Cinta di antara mereka bersemi ketika Panji dan istrinya bertemu dalam kompetisi Pelajar Teladan tingkat SLTP se-Bandarlampung, utusan sekolah masing-masing.

Minatnya terhadap sastra mulai tumbuh sejak Panji masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika itu, sekitar tahun 1983, Panji yang memiliki kegemaran membaca, baik buku, majalah, maupun koran, sangat senang karena ayahnya yang bekerja sebagai karyawan PT. Kereta Api Sumatera bagian Selatan selalu membawa koran-koran sepulang beliau dari kantor. Dari koran-koran tersebutlah, tanpa disadari, Panji mulai memelajari hal baru yang sekaligus mengajaknya memasuki sebuah dunia yang baru pula, yaitu dunia sastra. Setelah itu, tidak hanya melalui koran, Panji juga rajin mencari buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dan daerah, dan membacanya hingga tuntas.

“Kalau mereka saja bisa, kenapa saya tidak bisa?” Demikian kurang lebih pernyataan yang terlontar dari mulut Panji kecil saat membaca karya-karya sastra yang termuat di koran-koran tersebut. Hal inilah yang kemudian memotivasi beliau untuk membuat sebuah karya sastra. Panji berpikir, “enak juga ya jadi pengarang”. Alasan ini terlontar karena melihat bahwa mengarang bukan merupakan pekerjaan sulit meski diakuinya pula bukanlah pekerjaan mudah. Alhasil, karya pertamanya berupa cerita anak dimuat di salah satu majalah anak-anak Ananda dan Bobo. Tentu saja imbalan sebuah kotak pensil dan perlengkapan belajar sudah cukup membuat Panji kecil saat itu merasa senang dan bangga.

Setelah karya pertamanya berhasil dimuat di majalah anak-anak tersebut, Panji semakin yakin bahwa ia mampu membuat karya sastra. Rasa percaya diri mendorong Panji untuk membuat sebuah karya sastra lain berupa puisi. Kali ini, hasil karyanya itu tidak dikirimkan ke media cetak melainkan ke sebuah stasiun radio, yaitu Radio Suara Bhakti.

Sama seperti penyair lain yang telah berhasil, tentu memiliki sosok yang dikagumi atau dijadikan inspirasi. Begitu pula halnya dengan Panji yang memiliki sosok-sosok panutan yang memberi inspirasi sepanjang perjalanan karirnya menjadi seorang sastrawan. Mereka antara lain Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Gunawan Mohammad, dan Afrizal Malna. Dan khusus dalam fase eksplorasi, Afrizal Malna-lah yang menjadi bahan bakar terakhir sehingga mampu membuat ledakan dahsyat, dan karena Afrizal Malna pula Panji mampu bertahan hingga saat ini. Selain para sosok panutan tersebut, Panji juga termotivasi oleh lingkungan sastra dan dunia karya tempat ia selama ini bergelut. Dalam hal ini beberapa karya sastrawan Lampung seperti Isbedy Stiawan ZS.

Bersama dua sastrawan Lampung lainnya, yaitu Iswadi Pratama dan Ahmad Julden Erwin, Panji Utama dikenal sebagai “Three Musketeers” puisi di kalangan civitas akademika Universitas Lampung yang bermukim di Unila. Sebagai mahasiswa yang saat itu sedang memilih pencarian jati diri kesenimanannya melalui jalur puisi, mereka menggeluti secara menyeluruh, dibanding mahasiswa atau anggota UKMBS lain yang sebagian besar membatasi diri hanya pada bidang kesenian tertentu.

Masih bersama Iswadi Pratama, Panji pernah bergabung dalam sebuah kelompok teater yang bernama Forum Semesta, bahkan sempat menduduki jabatan ketua untuk periode 1987—1990. Prestasi terakhir yang diraih Panji selama bergelut di dunia teater adalah dengan mengikuti Festival Teater Nasional X di Yogyakarta tahun 1999. Akan tetapi, setelah sekian lama berprestasi dalam dunia seni (teater, membuat puisi dan cerpen), pilihan terakhir tetap kembali pada puisi karena baginya lebih mudah mengungkapkan sesuatu yang dirasa melalui puisi ketimbang cerpen atau bahkan teater.

Dengan menyeburkan diri melalui jalur keseniannya itu, dan untuk dapat menggeluti pohon puisi yang senantiasa menggoda cipta rasa kemanusiaan dan kesenimanan, Panji (tetap bersama Iswadi dan Erwin) telah melakukan langkah-langkah penempuhan yang menyeluruh, yaitu denga mengalami proses discourses yang lengkap dengan ekosistem kesenian kampus dengan arti seluas-luasnya. Mereka bertiga pula yang menjadi pencetus lahirnya Manifesto Gerakan Puisi Pencerahan ’90 di Lampung, yang kemudian dijadikan pegangan mereka untuk menulis puisi. Manifesto tersebut tertulis dalam kumpulan puisi mereka bertiga yang berjudul Belajar Mencintai Tuhan.

Pria yang menyenangi sastra dan gemar membaca ini, khususnya buku-buku mengenai petualangan, biografi tokoh-tokoh, ilmu pengetahuan murni dan sosial, serta ensiklopedi, ternyata juga menekuni bidang sosial, ekonomi, politik, keagamaan, dan kemanusiaan. Menurutnya mutasi sosial dan ekonomi dalam hidup dan kehidupan manusia amatlah progresif. Seharusnya gerakan manusia lebih progresif dari gerakan sosial dan ekonomi. Begitu pula halnya dengan keagamaan dan kemanusiaan. Menurut Panji, mutasi pemeluk agama dalam hidup dan kehidupan cenderung memorakporandakan pondasi keagamaan dan mutasi nilai-nilai kemanusiaan telah menelantarkan manusia di jurang kepapaannya. Hal-hal pokok itulah yang selama ini cenderung menjadi bahan pemikiran Panji dalam pembuatan karya-karyanya.

Bagi Panji, agama lebih jauh berarti seperti cahaya benderang dalam kegelapan, dan sejauh dirinya menghayati agama, sejauh itu pulalah agama memengaruhi kehidupan serta karya-karyanya. Secara sederhana, sebenarnya semua karya Panji hanya berbicara “dengan melihat kenyataan seperti ini, apakah kalian tidak memunyai Tuhan?”. Selama dua puluh tahun menulis puisi, persoalan yang ia hadapi tidak lebih dari masalah seperti itu, (sosial, ekonomi, agama, dan manusia). Walau demikian, karya-karyanya tidak selalu bersifat religius. Karena menurutnya, religius itu tidak melulu menyebut nama Tuhan tetapi lebih bersifat implisit.

Menulis puisi bagi Panji berarti melukiskan “kebangkitan-kebangkitan” yang ada di pikiran dan perasaannya sebagai wujud interaksi terhadap fenomena. Fenomena dalam puisi-puisi Panji sangat kompleks sumbernya. Mulai dari khaos sampai kosmos yang menyajikan ketakteraturan dan keteraturan. Mulai dari terbatas sampai tak terbatas yang menyajikan kebebasan dan keterikatan yang membingungkan. Mulai dari cita-cita sampai perjuangan yang menghadirkan harapan dan kenyataan. Mulai dari yang bersumber pada Tuhan sampai ciptaan-Nya. Mulai dari masalah sosial sampai masalah pribadi. Mulai dari nilai moral sampai nilai amoral. Mulai dari religius sampai kebrutalan yang membius.

Namun, tidak cukup hanya dengan mengungkapkan fenomena seperti itu lantas puisi Panji bisa memiliki kebangkitan, karena bagi Panji fenomena-fenomena tersebut belum cukup dan sempurna. Baginya, puisi haruslah sungguh-sungguh mengantarkannya berpikir dan merasa secara utuh, dan proses awal ini harus pula mampu memaksanya untuk berdialog dan berinteraksi dengan fenomena yang ada. Menurutnya, karya sastra yang berkualitas harus mampu dinikmati dan diminati oleh masyarakat secara meluas. Selain itu tekniknya harus mampu melewati kaidah-kaidah sastra dan estetika, dan isinya menawarkan kebaikan dan kebenaran, serta penampilannya pun harus selalu menjadi inspirasi.

Sastra bagi Panji, merupakan suatu alat yang digunakan untuk berkomunikasi dan berekspresi. Dalam proses kreatifnya sebagai seorang penyair, teah dua fase kreatif yang dilaluinya. Selama kurun waktu satu dasawarsa (1985—1995), Panji telah banyak melahirkan karya sastra yang dimuat di berbagai media cetak. Kurun waktu ini pulalah yang disebut Panji sebagai fase genit. Dinamai seperti itu karena fase ini merupakan fase produktif yang menhasilkan begitu banyak karya dan prestasi. Di dalam fase ini pula Panji menggunakan sastra sebagai alat untuk berkomunikasi, bebas berbicara apa dan dengan siapa saja.

Fase kedua adalah fase eksplorasi yang dijalaninya sejak tahun 1995 sampai sekarang. Dalam fase ini pengarang lebih berorientasi pada karya-karya yang dapat menjadikan Lampung sebagai inspirasi. Selain itu di dalam fase ini, Panji menggunakan sastra sebagai alat untuk berkespresi dan menyempitkan lingkup orang-orang untuk dapat mengerti puisinya. Menurutnya penyair boleh dan harus bisa berekspresi terhadap sesuatu yang dia karyakan dan penyair tidak harus selalu mengikuti pakem-pakem yang ada di masyarakat dalam membuat sebuah karya. Hal itu menurutnya sebagai alat dan cenderung ingin menyampaikan hal-hal yang mengarah pada kebaikan dan kebenaran. Jika dahulu ada sastra profetik, maka Panji ingin seperti itu. Di situlah hebatnya puisi, mengajari orang tanpa menjadi guru, menceramahi orang tanpa menjadi dai dan dapat menjadi sesuatu yang besar tanpa menjadi pejabat karena dapat berkata bijak.

Oleh karena itu, di dalam fase kedua ini pula, Panji mencoba untuk mendobrak sebuah aturan puisi konvensional menjadi sebuah karya sastra yang unik dari segi tipografi. Jika pada fase produktif Panji masih menggunakan gaya penulisan yang lazimnya digunakan oleh penyair kebanyakan, pada fase eksplorasi ini Panji dengan berani mengganti gaya penulisan puisinya dengan cara mendekatkan dan merapatkan kata demi kata (tanpa spasi), meskipun susunan larik dan bait puisi masih tetap teratur.

“Saya bukan ingin nyeleneh, hanya ingin memberikan yang terbaik dari Lampung. Semua puisi sudah digarap bentuk-bentuknya, ada imaji, surealis, romantik, dan sebagainya. Saya hanya menawarkan bentuk atau sruktur lain, yakni ekspresif.” Demikian pendapatnya ketika ditemui dan diwawancara pada satu kesempatan.

Gaya penulisan inilah yang dipertahankan Panji hingga saat ini, dan mungkin selamanya, karena menurutnya hal tersebut merupakan suatu keajaiban. Di saat penyair lain ingin menjadi sosok yang terkenal dan mendapat banyak uang, Panji malah melakukan sesuatu hal yang (bagi sebagian penyair) nyeleneh, lain dari pada yang lain. Tetapi tanpa disadarinya, hal itu justru membuatnya menjadi dikenal banyak orang. Contohnya pada acara Mimbar Penyair Abad 21 (1996), dari ratusan orang penyair hanya delapan yang terpilih, dan Panji satu di antaranya yang tentu saja membawa nama Lampung. Dan karena hal ini pula, menurut Agus R. Sarjono, Panji diundang mengikuti Pertemuan Penyair 8 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dan mendapat perhatian khusus pembahas utama Dr. Melani Budianta. Menurutnya terdapat kedahsyatan struktur dalam puisi-puisi Panji, dan sudah seharusnya bila cara pembacaannya pun memiliki kekhasan tersendiri dan harus lebih menarik dari cara membaca puisi biasa.

Tidak hanya Agus R. Sarjono, Melani Budianta, Iswadi Pratama, dan Ahmad Julden Erwin, masih banyak sastrawan lain yang mendukung perubahan gaya penulisan Panji, seperti Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana, Jamal D. Rahman, dan Ba’di Sumanto. Dukungan-dukungan seperti itulah yang membuat Panji tetap bertahan selama sepuluh tahun. Semua ini dapat diraih Panji tidak lain karna keinginannya untuk “bisa terkenal” sangat besar, dan usahanya tersebut memanglah tidak sia-sia.

Kegiatan selama menjadi penyair, Panji Utama pernah terlibat dalam puluhan kali produksi buku puisi dan prosa bersama dengan beberapa penyair Lampung dan luar Lampung. Membacakan puisinya di beberapa kota besar di Indonesia dari beragam perhelatan penyair, termasuk pada Pertemuan Sastrawan Nusantara IX (se-ASEAN 1997) di INS Kayutanam, Sumatera Barat. Dua kali tampil di TIM Jakarta atas nama Lampung pada Mimbar Penyair Abad 21 (1996), dan pembacaan sajak para Penyair 8 Kota (1998).

Kini ayah dari Janata Shoji Al Falaq, Jabir Shoji Arhab, dan Jasmine Shoji Alifah ini, telah meraih lebih dari dua belas penghargaan untuk cipta/baca puisi dan cerpen, dua di antaranya untuk tingkat nasional. Dua artikelnya, tentang film (1996) dan lingkungan (2000), mengantar Panji memenangkan dua penghargaan tingkat nasional antarwartawan.

Sepuluh tahun terakhir, karyanya dimuat antara lain dalam Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Suarakarta, 1995), Negeri Bayang-bayang (Yayasan Seni Surabaya, 1996), Batu Beramal III (S3B Malang, 1996), Dari Bumi Lada (Dewan Kesenian Lampung, 1996, ed.), Mimbar Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian Jakarta-Balai Pustaka, 1996), Antologi Puisi Indonesia (KSI-Angkasa Bandung, 1997), Ode Sajak Reformasi Penyair Sumbagsel (Teater Bohemian Jambi, 1998), Dari Pulau Andalas (Taman Budaya Lampung, 1999), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2000), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Orang-orang Talangsari (LBH Bandarlampung dan Kontras Jakarta, 2003), Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation dan Diknas Provinsi Lampung, 2004), dan Gerimis (Dewan Kesenian Lampung, 2005).

Selain itu, dua kumpulan puisi tunggalnya antara lain Pasar Kabut Menggali Kubur Sendiri Membangun Lorong-lorong (Agustus, 1995) dan Kibaran Bendera Hikayat Sang Debu (November, 1996). Hingga saat ini masih memunyai rencana untuk membuat Manuskrip Multi Bahasa (Inggris, Lampung, Indonesia), dan mencari puisi-puisi pilihan yang sesuai dengan persoalan sosial, ekonomi, keagamaan, dan kemanusiaan.

Fasilitator 'Bersih Diri'

Selain sebagai penyair, Juperta Panji Utama dikenal di kalangan orang muslim golongan kaya dan pejabat di Lampung, bahkan secara nasional. Sebab, setiap para kaum berada itu merasa ingin membersihkan diri dari penyakit jiwa, nomor mobile 08154048877 menjadi kontak jodohnya.

Nomor itu adalah hot line services untuk layanan jemput zakat, infak, sedekah melalui Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli. Panji adalah ketua sekaligus anak busur yang siap menyusur ke mana saja.

Kiprahnya sebagai amil (panitia) zakat memang baru ditekuni sejak enam tahun terakhir. Namun, kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada sosok jangkung berkaca mata tebal ini membuat lembaga berlevel nasional memberi mandat kepadanya. Kini, ia dipercaya menjadi sekretaris jenderal nasional Gerakan Zakat untuk Indonesia.

Dunia perzakatan memang hal agak baru bagi pria kelahiran Tanjungkarang, 25 Agustus 1970 ini. Sebelumnya, ia lebih dikenal sebagai seniman, wartawan, aktivis, dan berbagai kegiatan lain. Gaya bicaranya yang mantap dan kritis membuat semua yang ia katakan demikian benderang. Bahkan, tentang hal yang tabu dan wilayah "abu-abu" sekalipun.

Meskipun demikian, bakatnya sebagai manajer nan teliti dna ketat memang sudah melekat sejak kecil. Kawan-kawannya sejak di sekolah SD pun sudah paham dengan perilaku hemat teman ini. Salah satu argumentasi pamungkasnya yang menjadi dasar hidup hematnya adalah "buat apa makan kalau kita tidak lapar?". Padahal, ia hadir di dunia dari rahim keluarga yang cukup mapan. Dan ketika argumentasi semacam itu sudah menjadi keyakinannya, maka tidak ada yang bisa membiaskan.

Sejak kecil Panji sudah kecanduan buku dan bacaan apa saja. Tidak heran jika setiap pulang sekolah, saat yang lain berhamburan kembali ke rumah, ia mampir ke perpustakaan atau menumpang baca di toko buku. Manfaat membaca buku juga selalu ia kampanyekan kepada semua teman-temannya. Tidak heran jika sejak kecil ia sudah berkacamata tebal.

Berlabuh di dermaga lembaga zakat, Panji memang agak mencengangkan. Sebab, selama ini ia dikenal keras, dramatis, sensasional, dan agak vulgar. Cita-citanya juga agak jauh dari wilayah spiritualitas agama, yakni seniman terkenal.

Puisi, prosa, dan drama/teater telah diciptakan dan sempat mengantar prestasi hingga tingkat nasional. Tidak heran jika beberapa teman bertanya-tanya tentang kiprah Panji terakhir. Bahkan, ada selentingan ironi dengan kalimat satire: "Hari giri jadi amil zakat."

Panji mengakui menukik ke ranah kegiatan spiritual memang agak berbeda dengan perjalan profesi lain sebelumnya. Namun, ia mengaku sudah menentukan pilihan yang benar-benar cocok dengan suara hatinya; mengelola Lembaga Amil Zakat Daerah/LAZDa Lampung Peduli. "Kalau kita mengikuti jalan pikiran yang dipengaruhi nafsu, memang berat mengurus lembaga ini. Apalagi dengan beban ekonomi yang makin tinggi.

Tetapi, saya dan kami sekeluarga ikhlas dan mendapat sesuatu yang lain di sini," kata dia.
Didukung para tokoh dan pengurus yang terdiri dari orang-orang yang istikamah, Panji yakin potensi zakat di Lampung dna Indonesia pada umumnya bisa menjadi sisi lain penolong umat. Antara lain H. Bambang Eka Wijaya, K.H. Nurvaif S. Chaniago, H. Erie Sudewo (Ketua BAZNas Republik Indonesia), dan H. Rahmad Riyadi (Mantan Presiden Dompet Dhuafa Republika, Jakarta). Ditambah lagi Tim Manajemen Lampung Peduli yang berkompeten di bidangnya.

Potensi zakat di Lampung, katanya, sesungguhnya bisa mencapai Rp1 triliun per tahun jika digarap serius. Namun, kata dia, kini pencapaian zakat di Lampung masih berkisar kurang dari setengah miliar. Tahun 2007, Lampung Peduli baru dapat menghimpun dana umat sekira Rp470 juta," kata dia.

Ia mengakui tidak mudah mengajak orang lain berbuat baik, sekalipun itu perintah wajib agama. Namun, ia mengajak pihaknya dengan keterbatasan dana, program yang dirancang harus berjalan dan menjadi solusi bagi umat.

Tahun 2008, ia dengan Lampung Peduli-nya menawarkan pengelolaan zakat dan infak/sedekah (ZIS) umat dalam payung-payung program keberdayaan dan kemandirian berupa Program Peduli Generasi (pendidikan), Peduli Ekonomi, Peduli Jasmani (kesehatan), Peduli Insani (bencana/gawat darurat), dan Peduli Nurani.
Untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan zakat, Lampung Peduli membuat laporan secara berkala yang dimuat Lampung Post, buletin Jumat Sajada, dan majalah kedermawanan Dinar.

Pada pelaksanaan program, Lampung Peduli tidak hanya menyalurkan produktif, tetapi melakukan pendampingan dengan mengedepankan pemantauan, pengawasan, dan pembinaan berkelanjutan. Para penerima program juga telah melalui survei ketat.

Melalui pembacaan kinerja yang sangat baik dengan Lampung Peduli, Panji mendapat amanat lebih besar lagi, yakni ditunjuk menjadi sekjen nasional Gerakan Zakat untuk Indonesia.

"Ya, saya hanya berupaya menfasilitasi Saudara-Saudara kita yang beruntung untuk mendapatkan kedamaian batin dengan melaksanakan kewajibannya beribadah, yakni melalui zakat, infak, dan sedekah. Sebab, dengan zakat tersebut, hidup manusia akan bersih. Hartanya bersih, dan kehidupannya bahagia," kata dia.


BIODATA


Nama: Juperta Panji Utama
Lahir: Tanjungkarang, 25 Agustus 1970
Agama: Islam
Keluarga
Ayah: Effendi Fachruddin Toha
Ibu: Yurnani
Istri: Sholawati
Anak:
1. Janata Shoji Al Falaq
2. Jabir Shoji Arhab
3. Jasmine Shoji Alifah
Alamat: Jalan Duku 18/48 Pasir Gintung, Bandar Lampung 35113

Pendidikan:
- TK YWKA Tanjungkarang, 1977
- SDN 1 Tanjungagung, 1984
- SMPN 4 Tanjungkarang, 1987
- SMAN 2 Bandar Lampung, 1990
- Fakultas Pertanian Universitas Lampung, 1997
- Pendidikan Akta Mengajar IV FKIP Unila, 2005

Pekerjaan
1. Sekjen Nasional Gerakan Zakat untuk Indonesia
2. Ketua Lembaga Amil Zakat Daerah/LAZDa Lampung Peduli (2003--2008)
3. Sekretaris Hubungan Kerja Sama dan Komunikasi Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Provinsi Lampung (2005--2008)


Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 392-394.
http://arahlautlepas.blogspot.com

0 on: "Juperta Panji Utama: Puisi dan Upaya Pembersihan Diri "