Jumat, 06 Maret 2015

Isbedy Stiawan ZS: Menuju Kota Lama, Pagi, Lalu Cinta.


Isbedy Stiawan ZS, Paus Sastra Lampung


Lebih dekat dengan Isbedy Stiawan ZS

Era 80-an menjadi penanda dimulainya sastra modern di Lampung. Isbedy Stiawan Z.S. adalah salah satu sastrawan yang menandai geliat itu bersama Iwan Nurdaya Djafar, Sugandhi Putra, Achmad Rich (Alm), Dadang Ruhiyat, Juhardi Basri, dan Hendra Z. Babakan sastra modern di provinsi ini mencatat nama-nama itu sebagai penyair angkatan 80-an.

Kini, satu-satunya penyair generasi 80-an yang terus berkarya, baik puisi maupun prosa, adalah Isbedy. Selain terdokumentasi di majalah sastra dan media massa, karya Isbedy juga terkumpul dalam sejumlah antologi puisi dan cerpen. Dari banyaknya karya yang dipublikasi maupun disatukan dalam antologi, bisa dikatakan Isbedy adalah sastrawan di Lampung yang paling produktif. Tentu, produktivitas yang dibarengi kualitas karya.

Daya tahan, konsistensi, kekuatan, dan totalitas kepenyairan yang membuat Paus Sastra Indonesia H.B. Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung. "Saya sendiri tidak tahu mengapa Jassin menyebut demikian. Bagi saya, karya lebih penting, di atas segala julukan," ujarnya.

Isbedy Stiawan Z.S. lahir di Tanjungkarang, 5 Juni 1958. Juni lalu, usianya memasuki setengah abad. Separo hidupnya diabadikan untuk sastra; sejak 1979 mulai menggeluti tulis-menulis. Tahun 1979, cerpen pertamanya dimuat di media massa nasional. "Cerpen itu mengangkat kehidupan pedagang kaki lima yang berhadapan dengan petugas ketertiban umum," ujarnya.

Tahun 1981-an, Isbedy mulai menulis puisi. Pada masa itu karyanya terpublikasi di media massa terbitan Jakarta seperti Pelita, Yudha Minggu, Swadesi, Simponi, Berita Buana, dan Merdeka. Gairah kepenyairan Isbedy terus tumbuh. Tahun 1983, ketika berlangsung Forum Puisi Indonesia 83, yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta, Isbedy tercatat sebagai salah satu penyair yang mengikuti acara itu. Dari luar Lampung ada penyair Afrizal Malna, Kristianto Agus Purnomo (Kriapur), Oewik Sanuri Emwe, dan B.Y. Tand.

Forum Puisi Indonesia 83 memompa gelora Isbedy. Karya-karyanya makin subur di media massa nasional. Ia pun tercatat sebagai salah satu penyair masa depan. Ini antara lain yang bisa disimpulkan dari kesertaan Isbedy dalam Forum Puisi Indonesia 87--bersama Iwan Nurdaya dan Sugandhi Putra. Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, dan Soni Farid Maulana juga tercatat sebagai penyair yang mengikuti gelaran tersebut.
Sutardji Calzoum Bachri dan Abrar Yusra, dua penyair yang membahas puisi-puisi Forum Puisi Indonesia 87, menyebut Isbedy sebagai salah satu penyair yang menampakkan kematangan.

Kumpulan Cerpen Terbarunya
Pilihan Hidup
Sastra adalah pilihan hidup. "Bersastra itu pilihan luar biasa. Di kala orang tertidur, kita malah khusyuk berkarya. Sastra pada akhirnya memang proses sepanjang hidup," ujar Isbedy.

Sastra sebagai pilihan bukan sekadar ungkapan. Pernyataan itu bukan hanya terasa dalam puisi-puisi Isbedy yang dikemas lirik dengan persona pertama, "aku". Pernyataan itu terlihat dari konsistensi Isbedy pada sastra hingga ia membulatkan tekad keluar dari pegawai negeri sipil pada awal 80-an.

Untuk karya, Suminto A. Sayuti, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta dalam antologi Kota Cahaya (2005), menilai puisi-puisi Isbedy berbicara tentang manusia konkret. Puisi-puisi Isbedy, papar Suminto, merupakan penjelajahan batin yang terlunta, soal penempuhan lekuk-liku kehidupan, dan dukacita yang berkelindan: Sajak-sajak Isbedy menampilkan suasana "sunyi dan terasing".

Hamparan "laut", "pulau asing" "rumah yang memendam kesepian" dalam sajak Perjalanan Pelaut, misalnya, mengguatkan kesunyian yang pedih itu. Begitu juga ketika tinggal pakaian selembar di tubuh, ketika kutinggalkan rumah yang menabung sunyi. Tiada tangan memberi salam, tiada sapa bagi lambaian (sajak Aku Menanam Diri), kelirihan dari sebuah pilihan bersastra terasa begitu kuat.

"Saya ingin berdialog dengan kehidupan dan sastra adalah mediumnya. Berdialog dengan pembaca lalu pembaca berdialog dengan sastrawan lewat karya," ujar Isbedy.

Yang terasa kemudian adalah konsistensi berkarya seorang Isbedy Stiawan Z.S. Ia bukan sebatas penyair yang merajut bunyi dalam larik puisi. Isbedy juga penginspirasi penyair muda berkarya di level nasional. Tidak heran jika kini Lampung dikenal sebagai "Negeri Para Penyair" di jagat sastrawan Indonesia. Ini semua tidak lepas dari kerja-kerja Isbedy menggeliatkan dunia kepenyairan Lampung.

Seperti sastrawan lain, Isbedy juga tidak ingin berkarya sendiri. Ia ingin menebarkan gairah susastra pada orang lain, pada anak-anak di negeri Lampung. Isbedy juga ingin Lampung berjaya di dunia sastra.
Tidak mudah memang mewujudkannya. "Perlu kepedulian dan dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah. Kita bisa melihat Riau yang sangat peduli pada Sutardji. Di Riau juga ada award pada dunia sastra. Ini sangat mendorong proses kretif dan kerja-kerja kesenian yang berkualitas." ujarnya.


Menuju Kota Lama

Memasuki usianya yang ke 56, penyair produktif ini kembali meluncurkan buku kumpulan puisinya berjudul Menuju Kota Tua. Buku terbitan Siger Publisher berkerjasama dengan Lamban Sastra. Sebanyak 89 puisi Isbedy yang ia tulis sejak 5 tahun lalu terkumpul dalam buku ini
Isbedy menjelaskan, buku puisi terbarunya ini merupakan kado untuk hari jadinya yang ke-56 dan dicetak tidak banyak. “Saya ingin mengucapkan rasa syukur dengan meluncurkan buku puisi, karena saya merasa ‘penyair’ dibanding ‘cerpenis’,” ucap Isbedy yang tahun lalu meluncurkan Kitab Cerpen Perempuan di Rumah Panggung.

Konon pada peringatan hari kelahirannya tahun ini, ia berencana menggelar acara “56 Tahun Isbedy Stiawan ZS” sebagai upaya introspeksi atas anugerah umur yang diberikan Tuhan. Perayaan 56 tahun tersebut, rencananya akan di isi testimoni, pembacaan karya, dan diskusi.

“Ya saya memang punya rencana menggelar acara untuk memperingati kelahiran saya. Ide ini muncul dari ngobrol dengan Syaiful Irba Tanpa dan Arya Winanda. Semoga saja terlaksana, meski tidak pada saat 5 Juni,” jelas pria kelahiran Tanjungkarang (lampung) ini.

Menurut sastrawan “akumni” Forum Puisi Indonesia ’87 ini, menjaga energi dan produktivitasnya karena kesungguhan dan disiplin. “Tanpa disipilin dan sungguh-sungguh, rasanya saya sudah lama ‘mati’ sebagai sastrawan,” tegasnya.

Isbedy tidak hendak bermain-main dengan dunia sastra. Mencita sastra merupakan pilihan hidupnya. Untuk itulah Isbedy berazam tidak akan pernah berhenti menulis karya sastra. “Saya teringat pesan Budi Darma melalui pesan pendek (SMS), bahwa menjadi penulis jangan sekali berhenti. Karena berhenti sekali, kita akan mati,” katanya mengutip ucapan penulis buku Olenka itu.

Puisi-puisi Isbedy menurut Manneke Budiman, kritikus dan juga dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,, tegangan antar berbagai nuansa batin yang campuraduk ini dimanifestasikan dengan subtil lewat kata-kata kecil berkekuatan dahsyat. Hal inilah yang menjadi kekuatan pusisi-puisi Isbedy..

“Hampir semua sajaknya dibangun di persilangan hubungan antara seorang ‘aku’ dan seorang ‘kau’ yang bisa siapa saja, tetapi tak urung menghasilkan suatu komunikasi yang akrab dan personal antara penyair dan khalayaknya,” tulis Mannek Budiman mengomentari puisi Isbedy.




Dari Pangkor 
Untuk ketiga kali penyair Indonesia asal Lampung Isbedy Stiawan ZS diundang ke Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antarbangsa di Pulau Pangkor, Perak Darulridzwan, Malaysia.11-14 Desember 2014. Festival Puisi dan Lagu Rakyat (Pulara) Antarbangsa yang ke 5 ini, adalah sebuah festival bergengsi di Malaysia. Penggagas sekaligu pelaksananya adalah sastrawan Malaysia penerima SEA Write dan pernah mengikuti progrsm IOWA di Amerika, Malim Ghozali PK. Penyair berjuluk Paus Sastra Lampung ini selain membacakan dua puisinya bertema kampung halaman, juga menjadi panelis/pembicara.


Pangkor adalah sebuah pulau yang dijadikan objek wisata di Perak, negara bagian Malaysia. Dari Kualalumpur sekitar 3 jam perjalanan menuju Ipoh. Kemudian dari Jetti Lumut menyeberang dengsn jetti atau motorboat sekitar setengah jam sampai ke Pulau Pangkor. Festival Pulara adalah salah satu untuk memrosikan pulau ini sebagai objek wisata. Kini wisatawan dari berbagai negara banyak berkunjung ke sini.





BIODATA

Nama: Isbedy Stiawan Z.S.
Lahir: Tanjungkarang, 5 Juni 1958
Alamat: Perumahan Beringin Raya, Bandar Lampung

Antologi Puisi
Kembali Ziarah, Daun-Daun Tadarus, Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan (LSM Perempuan Damar, Bandar Lampung, Juli 2001), Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media, Januari 2003), Menampar Angin (Bentang Budaya, Oktober 2003), Kota Cahaya (Grasindo, Oktober 2005), Salamku pada Malam (Bukupop, April 2006), Laut Akhir (Bukupop, Januari 2007), Lelaki yang Membawa Matahari (Hikayat Publishing, Juli 2007), dan Setiap Baris Hujan (Bukupop, Juni 2008). Taman di Bibirmu (2011), Menuju Kota Lama (2014), Pagi Lalu Cinta.

Kumpulan Cerpen
Ziarah Ayah (Syaamil, Mei 2003), Bulan Rebah di Meja Diggers (Beranda, Agustus 2004), Dawai Kembali Berdenting (Logung Pustaka, November 2004), Perempuan Sunyi (Gama Media, Desember 2004), Dongeng Sebelum Tidur (Beranda, September 2004), Selembut Angin Setajam Ranting (LP Publishing House, April 2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (Gramedia Pustaka Utama, Mei 2005), dan Hanya untuk Satu Nama (C Publising Bentang Pustaka, Oktober 2005). Perempuan di Rumah Panggung

Antologi Bersama
Dari Negeri Poci, Resonansi Indonesia, Angkatan 2000, Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi, Hijau Kelon dan Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (Penerbit Buku Kompas, Juli 2003), 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi, Juli 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, Agustus 2003), dan lain-lain.


Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 328-330.
http://www.teraslampung.com

0 on: "Isbedy Stiawan ZS: Menuju Kota Lama, Pagi, Lalu Cinta. "