Minggu, 18 Januari 2015

Tari Tradisional Liwa kian Renta

Novan Saliwa, seniman tari, tinggal di Jakarta

oleh Novan Saliwa

Estafet seni tari tradisional di wilayah Liwa dari para pendahulu kepada para pemuda hendaknya terus bersambung melalui kegiatan–kegiatan pelatihan di pekon-pekon dan dalam aktivitas sanggar yang ada.

Menyusuri perkampungan asli ulun Lampung di Liwa, di sepanjang jalan mata kita dimanjakan dengan arsitektur lamban langgar (rumah panggung) dari kayu yang berjejer menghadap jalan. Tampak begitu menyatu dengan alamnya yang masih hijau nan sejuk jauh dari ingar-bingar kegaduhan polusi dan kecongkakan gedung-gedung bertingkat.

Dari Pekon Watos, Gunungsugeh, Negeriagung, Sebarus, hingga memasuki pusat kota kecil Liwa, masih bisa kita jumpai keramahan ibu-ibu di tengebah (halaman rumah) yang sekadar bertegur sapa, “Aga mit ipa?” (mau ke mana?) sembari menjemur kopi atau asyik menyapu halaman dengan mengenakan sinjang lipatan kain sarung di pinggang menutupi hingga kakinya, dan kadang bagi mereka yang telah di usia tua mengenakan kumbut kain penutup rambut di kepala.

“Liwa Kota Berbunga”, sebuah slogan yang menyambut kita saat memasuki Teba Serbaya, gerbang Kelurahan Pasar Liwa, Liwa. Berbunga adalah singkatan dari Bersih Berbudaya Penuh Kenangan. Ya, Liwa dengan alam yang memikat, dikelilingi bukit-bukit menghijau juga kelestarian seni tradisinya seperti sastra klasik, musik, dan tari-tarian tradisionalnya.

Tokoh Tari Liwa

Jika kita berbicara pelestarian kesenian tradisional, khususnya tarian daerah Liwa, tak bisa lepas dari andil dan perjuangan para sesepuh tari selaku pendahulu dalam upaya mempertahankan serta melestarikan tari-tarian khas, di antaranya tari setangan, tari payung, tari piring, dan tari kipas. Ada beberapa orang sesepuh tari di wilayah Liwa, di antaranya M Sufi (67) dan Sarpawi (70), dan seorang lagi yang biasa panggil Tamong Kamal (alm.) di Setiwang, Negarabatin.

Sosok–sosok tersebut di antaranya yang pernah berjuang melestarikan tari-tarian khas Liwa seperti disebut di atas. Mereka mengajarkan tari ke setiap kampung yang ada di Liwa, banyak murid binaan mereka yang telah berumah tangga lantas tak lagi menari. Angkatan terakhir yang mereka ajar adalah tahun ‘90-an sebelum dan setelah gempa Liwa 1994. Sayangnya, generasi setelahnya semakin berkurang hingga kini kehilangan peminatnya.

Dijumpai di kediamannya sekitar Teba Serbaya, Kelurahan Pasar Liwa, 8 Januari lalu, sosok M Sufi yang sederhana serta begitu bersahaja membuka diri untuk berbagi ilmu dan pengalamannya di bidang tari. Beberapa tarian yang dikuasainya adalah tari setangan, tari payung, tari piring dan tari kipas. Selain itu, ia juga pandai memainkan musik hadrah, sebuah kesenian yang ada di Liwa. Terpajang di dinding rumahnya sebuah foto kenangan saat ia berkesenian bersama grup kesenian hadrah.

Sesekali ia berkata-kata lewat gerak tubuhnya. Walau sudah lanjut usia, masih tersirat esensi gerak tubuhnya yang begitu mendalam. Ia mengayunkan tangannya dari kanan ke kiri perlahan serta mengalir. Terkadang ia berhenti sejenak seraya menunduk melawan lupa berupaya mengingat kembali ragam gerakan yang telah lama tak ia gerakkan. “Kalau ini ngegayung,” ujarnya saat menjelaskan ragam gerak pada ayunan tangan, sekilas seperti silek (silat).

“Kidang inji tari (Tapi ini tari),” ujarnya sambil menutup gerakan dengan posisi sumbah (hormat).

Gerakan yang baru saja ia lakukan adalah ragam gerak dalam tari kipas untuk laki–laki. Gerakan tangan yang kadang membuka seperti kepakan sayap burung elang dipadu gerakan kaki yang sigap dan hati-hati, gerak tubuh mengalir mengikuti gerak tangan, semuanya dilakukan dengan tak berlebihan dirasakan dengan tenang tanpa tergesa-gesa, posisi menarinya kadang seperti saling berlawanan, kadang juga berjajar menunjukkan kesamaan keselarasan.

Itulah sosok M Sufi di dalam usia senjanya. Ia sangat terbuka dan santun dalam berkata-kata serta tak sukar untuk berbagi pada siapa pun yang datang bertanya, jiwa kokoh seperti itulah yang mengiringi perjuangannya mengajar tarian daerah Liwa sekaligus berjuang untuk kehidupan pribadinya.

Zaman Radu Berubah

Satu lagi sesepuh tari di Liwa, Sarpawi, yang lebih dikenal dengan Among Pawi. Ia bersama almarhum Kamal dan M Sufi pernah belajar tari dari seorang guru bernama Hasnal dari Krui yang sering berkebun di Liwa.

“Zaman radu berubah,“ ujar Among Pawi di kediamannya di Dusun Umbul Liyoh, 9 Januari lalu.

Ia menyampaikan kegelisahannya melihat anak muda kini yang tak lagi tertarik belajar kepada yang tua. Ia juga tak menjumpai lagi pembinaan tari khas Liwa di berbagai pelosok pekon (desa). Padahal saat muda ia masih sering dipanggil mengajarkan tari di berbagai pekon.

“Era 1970-an hingga awal 1990-an masih sering digelar perlombaan tari-tari khas daerah Liwa,” kata Among Pawi.
Banyak pekon yang aktif terlibat dalam perhelatan perlombaan menyambut hari kemerdekaan yang kebetulan bertepatan dengan hari kelahirannya 17 Agustus 1945.

Kepiawaian Among Pawi dalam menari masih bisa saya rasakan saat ia memeragakan ayunan tangan dalam tari kipas. Kekokohan kakinya ketika melakukan kuda-kuda atau disebut mendak dalam tari, langkah kaki yang disebutnya ngejinjing masih terlihat indah esensinya walau tak sekokoh ketika ia masih muda. Saat ini karena usianya telah lanjut terkadang kakinya bergetar karena tak lagi mampu menopang beban tubuh terlalu lama.

Baik M Sufi maupun Sarpawi saat ini memang tak mampu lagi untuk mengajar tari secara maksimal. Namun, sebenarnya perjuangan mereka mengembangkan seni tari di Liwa yang tidak sebentar dan tidaklah mudah, bahkan harus menempuh jarak tempat mengajar yang jauh dahulu dengan berjalan kaki membuahkan hasil. Kini, masih ada murid mereka yang masih bisa memberikan penjelasan mengenai gerakan tari yang pernah mereka ajarkan di berbagai pekon di wilayah Liwa.

Merosotnya Minat Kaum Muda

Sayang sekali anak-anak muda Liwa kini tidak lagi menaruh minat belajar tari kepada mereka sesepuh tari di Liwa. Hiburan-hiburan yang mudah dan praktis, musik–musik modern, tari, dan goyangan yang begitu bebas lebih mereka gemari.
Kurangnya fasilitasi dan wahana berkesenian di Liwa dari pemerintah juga menambah surutnya seni tari di daerah ini. Seniman tari tradisional Liwa harus mempertahankan kesenian mereka sendiri di tengah semakin sulitnya memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.

“Kebutuhan alat musik, kostum, dan perak-pernik lainnya terkadang menjadi ganjalan untuk bisa turut secara maksimal dalam perlombaan yang diadakan pemerintah kabupaten selama ini. Akhirnya terpaksa tak ikut lomba,” kata Yuni (30), warga asli Setiwang, Liwa, yang pernah menjadi anak didik M Sufi di awal 1990-an.

Estafet seni tari tradisional di wilayah Liwa dari para pendahulu kepada para pemuda hendaknya terus bersambung melalui kegiatan–kegiatan pelatihan di pekon-pekon dan dalam aktivitas sanggar yang ada. Namun, kenyataannya saat ini, kebanyakan pelatih muda yang ada di Liwa lebih mengenal tarian dari luar, seperti tari sigeh penguten, daripada tari batin yang memang ada di Liwa, lebih gemar mengadopsi ragam gerak tari melinting ketimbang mengeksplor ragam gerak tari kipas, dan juga tak paham jika di Liwa ada tari setangan dan tari payung yang memiliki kekhasan tersendiri.

Dalam perhelatan seni kadang hanya terjebak dalam kemeriahan kostum semata, tak menunjukkan identitas serta tatanan kaidah nilai yang ada di suatu daerah.

Untuk eksistensi tarian lokal seperti tari payung, tari setangan, tari piring, dan tari kipas, ada baiknya jika kita sebagai pelaku seni tari yang berada di Liwa saat ini mulai menyadari bahwa keragaman seni budaya dari berbagai daerah dan wilayah adalah suatu bentuk keindahan yang perlu dihormati untuk kemudian dipelajari dan diangkat menurut daerahnya masing-masing.

Akulturasi dan kombinasi gerak memang dituntut untuk sebuah koreografi tradisional agar bisa dirasa lebih indah dan lebih bervariasi. Akan tetapi, pijakan dasar, yakni bentuk, teknik, beserta nilai suatu gerakan yang diambil haruslah bisa dijelaskan dan diintegrasikan secara jujur dan kuat ke dalam suatu bentuk karya tari demi tujuan utama melestarikan dan mengembangkan tari tradisional di Liwa.

Harapan terbesar bagi para seniman tari adalah bahwa tarian Liwa atau tarian Lampung Barat pada umumnya benar-benar memiliki kekhasan tersendiri. Sungguh disayangkan jika hendak mengangkat tari tradisional dari suatu daerah, tetapi malah bernuansa dan memiliki rasa daerah lain. Dan, ketika ini yang terjadi, maka dipastikan bahwa tarian Liwa tidak menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri.

Jejama ngandan hadat budaya
Mak pileh tuha atawa ngura,
Pemerintah rakyat beguwai jejama,
Tanda sukor di sai kuasa.

sumber
Apresiasi | Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2015

1 on: "Tari Tradisional Liwa kian Renta"
  1. Selamat malam, maav sblmnya saya boleh tau alamat lengakpnya ibu yuni, soalnya saya mau mengadakan penelitian tp bingung mencari narasumver yg tepat kiranya saya mohon bantuannya boleh? Trimakasih sebelumnya.

    BalasHapus