Senin, 08 Desember 2014

Festival Teater Pelajar dan Usaha Menyelamatkan Peradaban

 
Teater Palapa, penampil terbaik SoS 2014
 
Oleh: Ari Pahala Hutabarat*
         
 Setiap peradaban niscaya membutuhkan festival. Sebab festival menjadi wadah yang akurat, sekaligus aman, bagi setiap individu untuk meluaskan ruang kesadaran pribadinya. Kesadaran sosial yang dalam proses laku hidup sehari-hari menjadi terabaikan akibat tekanan kebutuhan personal, melalui festival, kemudian dirayakan secara layak. Perluasan kesadaran individual ini, semacam kanalisasi dan sintesa yang sehat antara Id dan Super Ego dalam terminologi Freud membuat yang natural menjadi sosial. Ranah psikis dari sebuah masyarakat terartikulasi. Peradaban kemudian bisa melangkah tanpa menyimpan trauma ketidakadilan ekonomi dan kegoblokan kultural di dalam dirinya.
Hal inilah yang bisa kita maknai dari perhelatan Festival Teater Pelajar Nasional 2014 yang diselenggarakan Teater Satu Lampung, dengan Tajuk “Studen On The Stage” pada hari Minggu – Jumat, , 2 – 7 November 2014, di Gedung Teater Taman Budaya Lampung. Festival ini mempertemukan kelompok teater pelajar dari berbagai SMA yang ada di Bandarlampung, Metro, Pesawaran, Pagelaran, Bengkulu, Palembang, dan Solo, Jawa Tengah. Sebanyak 15 kelompok teater pelajar terlibat dalam gelaran ini.
Ada banyak hikmah yang didapat dari event ini; pelajar memiliki pengalaman yang sanga signifikan bagi perkembangan kepibadian mereka--dari soal meningkatnya wawasan artistik, bekerja dalam tim, peningkatan kapasitas intelektual, dan lain sebagianya. Lebih dari sekedar teori-teori tentang kesnian seperti yang selama ini biasa mereka dapatkan di dalam kelas, Festival Teater Pelajar Nasional ini juga memberikan pengetahuan yang paling penting, yaitu pengalaman berpraktik.
Seperti dipahami oleh nalar yang baik, bahwa kesenian tak mungkin cukup dimengerti dengan cara belajar teori. Kesenian membutuhkan pengalaman tubuh dan emosional secara langusng. Pengertian yang diperolah melalui praktik langsung ini niscaya mamu memberi manfaat ratusan kali lipat ketimbang mereka hanya belajar teori kesenian di kelas.
Melalui Festival para siswa merasaka secara langsung  berada di atas panggung  yang sesungguhnya, mereka merasakan aliran impuls saat diterangi lampu panggung, dan mereka juga mengetahui bagaimana rasanya berhadapan –tak hanya dengan penonton, tapi terlebih lagi berhadapan dengan dirinya sendiri. Maka hasil dari praktik semacam ini bisa langsung diperoleh hasilnya--rasa percaya diri individu meningkat, kemampuan beradaptasi dan kerjasama dalam sebuah tim menjadi semakin baik.
Selama lima hari digelarnya festival saya melihat para siswa sesungguhnya merayakan bakat mereka masing-masing. Mereka sesungguhnya sedang memberikan bukti, tidak kepada orang lain, tapi kepada diri mereka sendiri. Berbagai kendala klasik seperti yang selama ini lazim didengar; kurangnya guru yang kompeten dalam mengajarkan kesenian, khususnya teater, tiadanya dana untuk mendukung kegiatan, minimnya perhatian pihak sekolah, sampai dengan miskinnya visi para birokrat kesenian tentang arti pentingnya estetika dalam membangun peradaban—menjadi tak terlihat dan kehilangan signifikansinya dalam perhelatan ini.
Maka catatan pertama yang harus diberikan dari acara ini adalah—seandainya saja para birokrat yang ada di dinas-dinas pendidikan melihat hajatan ini—untuk kemudian mereka mampu mengambil banyak manfaatnya, bahwa untuk menyelenggarakan festival teater antarpelajar SMA yang bermutu di Lampung mereka tak perlu belajar kemana-mana: cukup belajar dengan Teater Satu Lampung, sebagai empunya hajatan.  
Teater Satu, dengan dana yang minim dan hampir tanpa bantuan pemerintah telah mampu mengadakan satu-satunya festival teater pelajar secara amat layak. Keseriusan dan kelayakan ini dapat dilihat; mulai dari tempat penyelenggaraan yang representatif bagi pertunjukan teater, yaitu di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, pilihan akan para juri yang kredibel dan punya otoritas, sampai dengan penyediaan pilihan naskah yang hendak dilombakan serta waktu persiapan bagi para peserta lomba yang cukup.
Hal-hal di atas yang tak kita temukan, misalnya pada acara yang diinisiasi pemerintah, dalam hal ini dinas pendidikan prov. Lampung, pada acara yang nyaris sama, yaitu FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional). Acara FLS2N ini diadakan tiap tahun, tapi dengan kondisi yang hampir bertolak belakang dengan acara Festival Teater Pelajar Nasional versi Teater Satu ini. Biasanya, lomba diadakan di hotel, di Bandar Lampung, dengan lokus yang jauh dari ideal dan cukup syarat bagi lazimnya pertunjukan teater.  Belum lagi durasi pertunjukan lomba teater yang amat ajaib, yaitu berkisar antara 10 sampai dengan 20 menit—hal yang justru tak membuat para siswa mengerti secara tepat dan benar tentang apa itu pertunjukan teater—malahan justru akan membuat gambaran negatif tentang teater di mata para siswa SMA. Mengapa? Karena akan muncul kesan betapa mudah dan (boleh) serampangannya menyiapkan sebentuk pertunjukan teater. Belum lagi naskah yang dibawakan adalah naskah yang disusun oleh para peserta masing-masing—yang pastinya akan jauh dari persyaratan atau kriteria naskah-naskah lakon yang baik bagi pertunjukan teater.
Memang dari aspek capaian artistik masih banyak catatan kritis yang bisa diberikan kepada para penampil. Misalnya, sebagian besar penampil memiliki perhatian yang besar untuk menghadirkan pertunjukan bagus daripada benar. Maksud dari kata bagus di sini bahwa sutradara tak terlebih dahulu menimbang dan menerapkan ‘kebenaran-kebenaran logika’dari pertunjukan sebagai titik pijak garapannya.
Pertimbangan awal mayoritas  sutradara dalam festival ini  adalah mendapat sambutan yang meriah dari penonton—dengan cara meengamplifikasi spectacle dan sekian renik atau detail, terutama pada pengkarakterisasian—yang tak punya signifikansinya dengan proposisi utama pertunjukan.  Perhatian yang muasalnya tidak tertuju pada usaha untuk mrepresentasikan proposisi utama teks/lakon secara teapat di panggung, sengaja maupun tidak, telah mengorbankan aspek utama sebuah pementasan teater, yaitu pertunjukan sebagai sebuah usaha penyingkapan terhadap realitas dan atau memberikan tawaran baru terhadap problem-problem yang ada di realitas sehari-hari.
The Proposal atau Pinangan karya Anton Chekov yang paling banyak dipilih peserta, dari 6 penampil, saya belum melihat porsi yang tepat dan jelas. Tokoh utama Si Pemuda dan Si Gadis yang menjadi Tokoh Utama kerep tergeser oleh tokoh Bapak yang mestinya hanya sebatas pemeran pembantu. 
Prolog atau bagian awal adegan, tak hanya pada peserta yang menampilkan lakon Pinangan tapi juga pada lakon-lakon lainnya, tak mampu menjadi eksposisi. Prolog tak menjadi alas yang tepat dan beralasan bagi penyingkapan latar psikologis, sosial, atau problem dari para karakter yang ada. Prolog jadi semacam adegan yang tak jelas untuk apa ia berada di sana.  Beberapa prolog bahkan saya anggap gagal karena tidak memiliki hubungan yang jelas dengan kisah dan penokohan.
Eksposisi pada lakon Pinangan-nya Anton Chekov yang mestinya memberikan beberapa informasi tentang sosok tokoh si Bapak yang hipokrit, atau keluarga yang lebih mengedepankan aspek materi, jabatan, dan lain sebagainya tak dihadirkan dengan tepat. Maksud Chekov yang menghadirkan komedi situasi, dalam artian peristiwa yang dialami si tokoh memang konyol, tanpa bermaksud melucu. Namun, justru hal ini yang banyak diekploitasi, mungkin karena dianggap lakon Chekov itu komedi, kemudian banyak penampil yang berlomba-lomba untuk mengocok perut penonton, sehingga kesan satire dari pertunjukan gagal diwujudkan.
Masalah lain adalah gagalnya ‘kisah’ yang secara tersurat hadir  di naskah untuk bertransformasi menjadi ‘peristiwa’ di panggung. Kisah, yang tersurat pada teks tadi, gagal memunculkan sisi ‘tersiratnya’. Bagaimana menjadikan ‘kisah’ menjadi ‘peristiwa’ ini berkaitan dengan aspek penokohan dan penghayatan setiap aktor terhadap teks, yang tadinya mati kemudian menjadi ‘hidup dan organis’ di tubuh dan suara mereka.
Lalu muncul pula problem dalam mengarasemen aking dan adegan sehingga menyebabkan irama aktor dan irama adegan jadi monoton serta tikungan-tikungan atau transisi adegan tak tergerak rapih. Barangkali hal ini disebabkan oleh niat sutradara atau aktor yang belum-belum sudah ingin memancing gelak tawa semata. Padahal untuk membuat akting meyakinkan setiap aktor harus mengetahui dua aspek utama yaitu aspek understanding (dimengerti/terpahami) dan aspek believeble atau dipercaya atau aspek emosional dari dialog dan peristiwa yang dihadirkan diatas ke atas panggung. Seolah-olah setelah mengucapkan dialog maka tugasnya selesai, padahal setiap teks mengandung beberapa muatan, ada teks dan subtek, ada motif, ada line of action. Hal-hal semacam itu tampaknya belum dipahami aktor dengan baik, atau gagal dijelaskan oleh sutradara yang mendirectnya.
Namun terlepas dari beberapa kelemahan di atas, Lampung patut berbangga dengan prestasi para siswanya. Mulai dari juara pertama sampai ketiga, semuanya mampu diraih oleh para siswa asal Lampung. Teater Palapa (SMAN 3) Bandar Lampung jadi juara pertama, SMA Al-Kautsar Bandar Lampung juara ke dua, dan SMAN 11 Bandar Lampung menjadi juara ketiga. Lalu Gandhi Maulana yang menyutradarai SMAN 3 terpilih sebagai sutradara terbaik dan dilengkapi pula oleh Rodiathul Hasanah, salah seorang siswi SMAN 3 yang terpilih jadi aktris terbaik. Untuk aktor terbaik diraih oleh Muhammad Reza, siswa SMAN 11, dan aktris pendukung terbaik diraih oleh Ayu Chandra Sari dari SMAN 1 Bandar Lampung.
Sedangkan untutk beberapa kategori lainnya berhasil diperoleh beberapa peserta dari luar Bandar Lampung; Fadhil Abdurahman, siswa SMAN Kepahiangan Bengkulu, berhasil jadi pemeran aktor pembantu pria terbaik, lalu SMAN 1 Sumberjaya Lampung Barat mendapat anugerah sebagai penampil dengan penggarapan musik terbaik, dan SMK Nurul Falah Pagelaran Tanggamus mendapat raihan sebagai grup dengan penataan artistik terbaik sekaligus grup dengan kru panggung terbaik. Pada kesempatan ini panitia juga memberikan kategori yang lumayan spesial, yaitu grup yang dianggap paling potensial yang diraih oleh SMAN 1 Bandar Lampung.

sumber: Lampung Post, 16 November 2014
*
Ari Pahala Hutabarat: pengamat teater asal Kemiling
dan Penasihat Gabungan Teaterawan  Lampung (GaTEL)

0 on: "Festival Teater Pelajar dan Usaha Menyelamatkan Peradaban"