Kamis, 29 Januari 2015

Selamat Lahir YKL

Juperta Panji Utama
Penyair, penikmat seni-budaya

oleh Panji Utama

DEWAN Kesenian Lampung (DKL) mencoba kembali menarik perhatian publik Lampung di awal 2015. Setelah menebar beragam aktivitas seni, perhelatan musyawarah DKL adalah gimik-nya. Tidak kurang Iwan Nurdaya-Djafar (IND), mantan ketua harian DKL periode pertama cum budayawan, pun turun gunung menggadai gagasan lamas-nya di tengah kebuntuan gagasan.

Gagasan IND itu melengkapi gagasan-gagasan terdahulu yang tayang pula di Lampung Post. Obrolan santai—serius hingga gosip—berbobot lainnya seputar eksistensi DKL yang didedah melalui media sosial maupun obrolan pinggir jalan hingga kafe kelas hotel berbintang sejak triwulan terakhir 2014.

Satu tujuan yang kuat saya rasakan: DKL harus menjadi lebih baik dari hari ke hari! Sayangnya, dalam tulisan IND Menuju Pusat Kesenian Lampung yang ditaja dalam rubrik opini koran ini (19/1), rasa itu seakan diambangkan. Rasa itu adalah memilih-milih persoalan di DKL yang patut segera diselesaikan.

Heboh calon ketua umum DKL yang akan diputuskan dalam musyawarah DKL kali ini, misalnya, oleh IND dilokalisasi sebagai soal yang ecek-ecek. IND lebih terpukau soal struktur organisasi yang dihadapi DKL kini dan masa datang.

Kualitas Pengurus DKL

Saya memandang seluruh persoalan yang sedang dihadapi DKL saat ini dan di masa datang adalah penting dan harus dijawab dalam tempo sesingkat-singkatnya secara utuh, serentak dan berkelindan. Pemilihan pengurus DKL, khususnya posisi ketua umum dan manajemen-atas DKL, harus mendapat porsi perhatian yang tidak main-main semua pihak.

Bila hal itu tidak dipikirkan dan dikerjakan seniman Lampung secara total, khususnya peserta musyawarah, saya khawatir 21 tahun keberadaan DKL di Lampung kian gagal membumi lantaran dari kegiatan itu ke kegiatan selanjutnya keliru memilih pemimpin dan pimpinan organisasi yang ideal dan selaras cita-cita mendirikan DKL. Padahal, sepanjang usia itu, aktivitas DKL dibiayai uang rakyat yang tidak sedikit.

Ingat, memilih pemimpin dan pimpinan yang mengedepankan egois hanya mengantar DKL bertakhta di menara gading dan fokus kepada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Memilih pemimpin dan pimpinan yang tidak jujur hanya mengantar DKL pada perpecahan pengurus yang menetes hingga perpecahan di kalangan seniman berebut remah-remah rupiah. Memilih pemimpin dan pimpinan yang tidak membuka diri terhadap perkembangan ilmu dan pengetahuan massa dan keorganisasian terkini, hanya mengantar DKL menjadi organisasi tidak memiliki visi, misi, dan abai lingkungan.

DKL sudah pernah dipimpin asisten gubernur, sekretaris provinsi Lampung hingga politikus. Sudah saatnya DKL dipimpin seniman yang sekaligus memiliki kualitas setara asisten gubernur hingga politikus, misalnya. Ini bukan soal susah. Cuma soal kemauan. Apalagi jika seniman dapat menunjukkan jatidiri, profesionalitas, etos kemandiriannya, dan rencana kerja berikut ukuran keberhasilannya. Pengurus DKL yang bertindak efektif-efisien berdasarkan konstitusi yang telah diaminkan bersama sangatlah diperlukan. Bukankah arah gerbong kereta bergantung kepada lokomotifnya?

Status DKL

Gagasan tata kelola dan organisasi kesenian di Lampung yang ditawarkan IND, saya menilai kelemahan mendasar yang membuat DKL selama ini adalah tidak jelasnya DKL menyatakan posisinya. DKL itu organisasi massa, organisasi sosial, organisasi profesi, kini partai politik, LSM pelat merah atau apa?

Jika status telah dipilih dan ditetapkan oleh seniman, rumah dan isinya dapatlah terwujud. Sebab, statusnya mak jelas, DKL ibarat rumah tangga yang gagal: tidak jelas siapa orang tuanya (pengayom), anak-anak (seniman) hidupnya kocar-kacir dan morat-marit, tidak memiliki harta (aset sumber daya) yang dapat dijadikan penyelesai masalah akan datang, dan tidak memiliki harga diri (karya seni) yang wow.

Agar terpilih seniman yang andal mengurusi rumah tangga kesenian di Lampung dan memudahkan mewujudkan jalan pikiran IND, penulis sarankan segeralah musyawarah DKL atau pengurus terpilih diamanahkan untuk membuat Yayasan Kesenian Lampung (YKL). Tidak bisa ditunda.

Seorang praktisi hukum yang peduli seni di Lampung menyatakan sangatlah gampang membentuk YKL demi tata kelola organisasi dan kesenian Lampung yang lebih baik. Berdasar UU Nomor 16 Tahun 2001 yang diperbaiki ke UU Nomor 28 Tahun 2004, seniman cukup membentuk tiga badan yang saling terintegrasi.

YKL terdiri atas badan pembina, badan pengawas, dan badan pengurus. Tugas-tugas pokok dan fungsi badan pun sudah ditandas jelas dalam undang-undang itu. Tidak seribet dan birokratis yang IND tawarkan.

Berpegang pada hukum berlaku di Indonesia, mengamankan kiprah seniman. Simak bagaimana kisah kisruh pengelolaan kesenian di Jakarta, yang menurut saya bersumber pada kerancuan hukum yang dipilih seniman.

Jika YKL yang dipilih sebagai status dan badan hukum berorganisasi, fungsi DKL selama ini senyap dalam badan pengurus. Badan penguruslah yang kelak dapat membuat unit-unit usaha yang bukan saja dapat menyejahterakan seniman, melainkan mengangkat profesi seniman setara dengan profesi lainnya.

Problem yang selalu hinggap saban musyawarah DKL, misalnya, jauh lebih menjadi sederhana karena ditangani badan pembina. Badan pembina tidak menjadi kekuatan abadi pengelola kesenian di Lampung, karena usia kepengurusannya dibatasi UU dalam hal ini berada di tangan seniman. Memilih menjadikan YKL sebagai masa depan organisasi dan tata kelola kesenian di Lampung adalah langkah paling praktis, logis, dan strategis yang harus diambil seniman.

Bukankah seniman tidak mau bergantung pada belas kasihan pemerintah saja? Bukankah seniman rindu sekali organisasinya diurusi orang-orang yang memiliki kompetensi dan karakter adiluhung? Bukankah seniman ingin keluar dari perang dingin yang membabi-buta? Wujudkan YKL sekarang, kesenian di Lampung moncer.

Sumber :
Opini | Lampung Post, Kamis, 22 Januari 2015

0 on: "Selamat Lahir YKL"