Pementasan The Song Of Dayang Rindu oleh Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung Taman Budaya Lampung, 30 Maret, 16-17 Juni, 1 - 2 Desember 2012 |
oleh Dina Amalia Susamto*
Dari TSDR ke Genre cerpen dan Genre Drama
Drama Dayang Rindu yang ditulis oleh Ari Pahala Hutabarat ini berjudul Tetimbai Si Dayang Rindu, judul yang sama dengan Novela TSDR. Naskah ini ditulis pada tahun 2012 dan dipentaskan pada tahun yang sama. Tahun 2013 naskah ini dibawakan lagi ke panggung dengan judul yang berbeda “The Song of Dajang Rindoe.”
Genre drama seperti yang dikatakan Frow merupakan genre universal yang didalilkan oleh Aristotles sebagai salah satu dari 3 genre dalam sastra. Drama secara khas dihadirkan dengan ucapan tokoh-tokoh secara langsung disertai tindakan.
Dayang Rindu dalam genre drama terdiri dari tiga adegan. Adegan satu dibuka dengan prolog, narasi berbentuk bait-bait dalam bahasa Lampung dua bait, lalu dilanjutkan dengan bait-bait bahasa Indonesia sejumlah dua bait. Bait-bait tersebut berisi pengenalan terhadap seorang putri yang cantik jelita dari Tanjung Iran bernama Dayang Rindu. Narator ini sampai dengan drama berada pada percakapan tokoh-tokoh tetap dihadirkan, di antara perpindahan adegan. Keberadaan narator dengan membawakan kisah orang ketiga di antara adegan percakapan dan laku tokoh mencampurkan bentuk genre epik dan drama, suatu hal yang tidak mustahil, melihat antara tiga genre universial ini dapat saling tarik menarik.
Meskipun dalam prolog narator memperkenalkan kisah keseluruhan drama dengan menyebut tokoh Dayang Rindu, sebagai putri cantik jelita penyebab adanya cinta kasih dan perang, adegan percakapan dan tindakan tokoh dihadirkan dengan latar paseban istana Pangeran Riya atau Sultan Palembang. Pangeran Riya beserta para pembantunya membicarakan Dayang Rindu, dan adegan berikutnya Pangeran Riya yang gandrung lalu mengeluarkan perintah persiapan menuju Tanjung Iran dengan kesiapan lamaran hingga peperangan dengan rela menghancurleburkan negerinya.
Persiapan-persiapan sultan tersebut juga menghadirkan kapal-kapal, layar yang akan dibentangkan dan meriam-meriam seperti yang digambarkan dalam novela TSDR. Bagian dua drama ini mempertemukan rombongan dari Palembang dan tuan rumah Tanjung Iran. Seluruh tokoh-tokoh Tanjung Iran dihadirkan termasuk Dayang Rindu dan kekasihnya Bayi Radin, juga sahabatnya Bayi Cili. Panggung kemudian diberikan pada utusan Palembang, Tumenggung Itam dan Kerie Niru yang bercakap-cakap dengan Kerie Carang dan Wayang Semu. Adegan-adegan berikutnya pun menampakkan kemarahan tuan rumah, lalu suasana kesedihan dalam pertemuan sepasang kekasih Dayang Rindu dan Bayi Radin serta sahabat mereka Bayi Cili.
Pengadegan berikutnya berplot maju hingga peristiwa demi peristiwa seperti yang dinarasikan dalam novela TSDR. Tetapi hal yang menarik adalah suara narator yang menjeda tiap adegan dengan terkadang menyuguhkan bahasa Lampung dalam bait-bait. Bahasa Lampung ini yang tidak ditemui dalam novela TSDR dan bahkan manuskrip TSDR yang menggunakan huruf Lampung saja tetapi berbahasa Melayu dan Jawa.
Apakah narator membawa misi khusus dengan penggunaan bahasa yang berpindah-pindah dari Indonesia dan Lampung ini? Selain narator, bahasa lampung juga ditemukan dalam perkataan tokoh Wayang Semu, ayah Dayang Rindu.
WAYANG SEMU:
Lebur pai Tanjung Iran
Ngepalang jadi abuw
Gisuh rekang mak mingan
Anakku Si Dayang Rindu
Ngabaike peguruan
Pemutusan jak guruw
Galah liwak jak badan
Takko dapet teliyew
Bagian ketiga menggambarkan pengambilan Dayang Rindu secara paksa ke dalam kapal dan salah satu prajurit, Bayi Metig, menantang peperangan pada pihak Tanjung Iran. Peperangan selanjutnya digambarkan dengan dahsyat yang menewaskan banyak orang termasuk Bayi Radin kekasih Dayang Rindu yang disaksikannya dari kapal. Pangeran Riya menyambut Dayang Rindu dengan suka cita, tetapi gadis ini menolaknya, dan sebelum tangan Pangeran Riya menyentuh tangannya, Dayang Rindu akan mengucapkan selamat tinggal untuk terbang ke langit menyusul kedua orang tuanya yang tewas dan kekaSihnya. Tetapi tokoh Singaralang, paman Dayang Rindu muncul dan mengamuk. Singaralang ini lah salah satu pahlawan yang tetap dihidupkan dalam TSDR. Sebelum Dayang Rindu terbang, terdapat ucapan pamit Dayang Rindu pada pamannya. Akhir kisah ditutup dengan kemurungan dan kemarahan Singaralang melihat kehancuran negeri Tanjung Iran dan narator yang menyimpulkan akibat peperangan di kedua negeri.
Pengorganisasian drama Dayang Rindu dalam tiga bagian terlihat mengikuti novela plot maju TSDR. Sebuah plot yang konvensional yang terdiri dari pengenalan, konflik, konflik menuju klimaks lalu antiklimaks. Tampaknya penggunaan bahasa Lampung oleh narator dan tokoh Wayang Semu bagian yang paling dapat digarisbawahi untuk melihat arah kecenderungan teks genre drama ini.
Ari Pahala Hutabarat dan Ahmad Yulden Erwin adalah sastrawan Lampung yang dalam drama TSDR ini berusaha memperkuat temuan manuskrip berhuruf Lampung dan diterjemahkan oleh Dewan Kesenian Lampung dalam novela TSDR. Eksplorasi manuskrip yang mengisahkan suatu epik Sumatra Selatan ini diadaptasi dalam laku dan ekspresi Lampung. Pengindonesiaan teks pada novela telah menghilangkan bahasa Melayu dan eskpresi Jawa dan diberi nuansa bahasa Lampung dalam naskah bergenre drama. Apakah dinamika kemunculan genre-genre ini juga bagian dari genre yang merujuk pada ekonomi genre seperti yang dikatakan John Frow? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, masih ada satu genre yang muncul dengan angka penerbitan pada tahun yang sama dengan titi mangsa kelahiran naskah drama tersebut.
“Dayang Rindu” adalah judul cerita pendek yang ditulis oleh Arman AZ dan dipublikasikan dalam Koran Tempo pada rubrik cerpen di tiap hari Minggu pada tanggal 5 Agustus 2012. Meskipun tampaknya juga merujuk pada teks tejemahan manuskrip pada genre novela TSDR, kelahiran genre cerpen ini menyuarakan pertanyaan tentang hadir tapi tidak hadirnya suara Dayang Rindu dan Ibu Dayang Rindu.
Berawal dari tipologi cerpen yang terdiri dari sudut pandang narasi orang pertama “aku” yang lebih dari satu tokoh. Masing-masing tokoh yang mengucapkan ini mirip dengan genre drama monolog. Diantara tokoh-tokoh yang berucap dalam cerpen tidak ada yang saling berdialog, tetapi membangun dialog imajiner dengan sosok Dayang Rindu yang tidak dimunculkan. Masing-masing tokoh dari mulai sang kakek, ayah, kekasih Dayang Rindu yaitu Bayi Radin dan Pangeran Riya hanya mengucapkan kegundahan pikiran dari satu masalah yang sama yaitu Dayang Rindu. Hanya tokoh Tumenggung Itam, Singaralarang (paman Dayang Rindu) dan Kerie Niru yang tidak melakukan dialog imajiner dengan menyebut Dayang Rindu. Tumenggung Itam meyebut Dayang Rindu sebagai orang ketiga yaitu objek tujuan yang harus ia dapatkan dari titah Pangeran Riya, demikian juga Kerie Niru. Sementara Singalarang sebaliknya mengucapkan tugasnya untuk melindungi Dayang Rindu dan Tanjung Iran.
Ketiga prajurit ini yang masing-masing mengabdi pada tuan mereka adalah menggambarkan rangkaian peperangan yang dalam drama digambarkan secara langsung dalam laku tokoh, dan dalam novela dinarasikan dan diberikan dialog. Sementara tokoh ibu, Wayang Semu, Pangeran Riya dan Kerie Carang yang berhubungan secara psikologis dengan Dayang Rindu memberikan gambaran konflik batin ketika mereka harus menghadapi peperangan akibat keinginan Pangeran Riya mempersunting Dayang Rindu yang sudah ditunangkan.
Banyaknya tokoh dalam cerpen ini dengan satu konflik menyerupai genre Novela. Pemendekan narasi dalam bentuk monolog dan deskripsi peperangan yang seperlunya membuat teks ini memang lebih ringkas. Pemadatan narasi dengan sudut pandang orang pertama ini juga berfungsi melambatkan cerita. Tetapi pemadatan tersebut tetap memberikan gambaran peristiwa dan dapat mengeksplorasi sisi-sisi kedalaman emosi masing-masing tokoh.
Di lain hal, multivokal yang monolog ini menyampaikan misi penulisnya dengan penekanan di akhir, ketika tokoh ibu bersuara. Dalam drama dan novela TSDR maupun manuskrip TSDR, suara ibu ini tidak ada. Di cerpen penulis membangun pertanyaan tentang epik Dayang Rindu yang dihadirkan manuskrip TSDR dan tejemahannya pada genre Novela yaitu tentang suara perempuan yang tidak dihadirkan.
IBUNDA
Seluruh riwayat tentangmu,
anandaku Dayang Rindu, disesaki suara lelaki. Sekian nama yang tertera, sekian
nama berseteru, namun tak satu pun menyebutku, perempuan yang melahirkanmu.
Gerangan apa yang membuat mereka meniadakanku dari riwayatmu? Apakah sejarah
hanya milik para lelaki? Terkutuklah mereka yang menghapus SilSilah ibu dari
anaknya.
Anandaku Dayang Rindu, putri
nan jelita dari Tanjung Iran. Demikianlah, dukanya perang, kaSih, dan cinta.
Binasalah Tanjung Iran. Binasalah Palembang. Embun kalah oleh darah. Kalah
meruap jadi abu, menang terongok jadi arang. Begitulah harga yang mesti dilunaSi
dari perang, anakku.
Janganlah keturunan mereka atau Siapa pun kelak menghujah perempuan sebagai sumber petaka. Pergilah, Dayang Rindu. Kuikhlaskan perjalananmu. Di tempat dan masa yang jauh, kau akan mengerti, kisah tentangmu dibangun di atas jumawa kaum lelaki. Terbanglah ke khayangan, belahlah dirimu jadi dua, atau relakan tubuhmu jadi batu kutukan. Kelak, di atas awan akan kau temukan cinta. (*)
Janganlah keturunan mereka atau Siapa pun kelak menghujah perempuan sebagai sumber petaka. Pergilah, Dayang Rindu. Kuikhlaskan perjalananmu. Di tempat dan masa yang jauh, kau akan mengerti, kisah tentangmu dibangun di atas jumawa kaum lelaki. Terbanglah ke khayangan, belahlah dirimu jadi dua, atau relakan tubuhmu jadi batu kutukan. Kelak, di atas awan akan kau temukan cinta. (*)
Penyuaraan-penyuaraan yang dihadirkan penulis lewat teks-teks genre tersebut menunjukkan sikap ideologis masing-masing penulis terhadap satu cerita tutur dari Sumatra Selatan. Kelahiran genre-genre ini dan jika akan lahir lagi genre-genre yang lain dari tuturan ini bisa menjadi salah satu upaya pelestarian cerita rakyat dengan berbagai pandangan pengarang-pengarang yang menuliskannya.
Kelahiran Genre dan Relasi Pasar?
Kelahiran genre yang telah ada tersebut bisa berlandaskan pada hubungan keekoniman yang diakibatkan oleh pasar seperti dalam tesis John Frow. Penerbitan novela oleh Dewan Kesenian Lampung, sebuah lembaga kebudayaan di Lampung yang nirlaba menerbitkan penerjemahan manuskrip TSDR bisa jadi mencetak untuk kepentingan ekonomi dan juga lebih dari itu. Tetapi buku tersebut tidak didistribusikan ke toko-toko buku secara khusus dan dicetak dengan jumlah kurang lebih 500 eksemplar, jumlah yang cukup sedikit untuk dikatakan meraih keuntungan. Tetapi upaya penerjemahan seperti yang sudah dilakukan oleh Krisna Sampoernadjaja yang dikatakan dalam pengantar novela ini berusaha seharfiah mungkin dengan kata per kata, kemudian diperbaiki oleh Razi dengan alasan agar dapat dinikmati oleh pembaca, membuktikan bahwa buku ini lahir untuk pasar. Walaupun pasar tidak harus dimaknai sebagai usaha mendapatkan laba sebanyak-banyaknya. Pasar dapat juga diciptakan hanya untuk kalangan tertentu yang meminati jenis cerita tertentu.
Secara tipografi teks ini tidak mengikuti bentuk baris dan bait , tetapi dibuat seperti prosa naratif dan lahir genre novela. Hanya tipografi ini yang berubah. Kehadiran TSDR berbentuk novela menjadikan cerita ini lebih familiar dalam narasi prosaik. Kemunculan buku kecil seukuran saku yang mudah dibawa kemana-mana dan tidak berat memudahkan pembaca membawa buku ini kemanapun.
Begitu juga kelahiran genre drama yang tidak diadakan pertunjukan berulang-ulang dengan harga tiket yang tinggi di berbagai tempat. Pertunjukan drama Dayang Rindu yang baru dilakukan beberapa kali tersebut tidak mengejar keuntungan. Harga tiket hanya sekitar RP.10.000 rupiah dengan jumlah tempat duduk tidak lebih dari lima ratus bangku. Aspek pengenalan estetika teater, apresiasi kesastraan di Lampung dari nuansa cerita klasik ke panggung teater modern merupakan hal yang dikejar dalam kelahiran naskah drama “Dayang Rindu”. Naskah drama itu tampak hadir dua kali dari judul “Dayang Merindu” dan “The Song of Dayang Rindoe” dengan tipologi dan isi naskah yang sama.
Genre cerpen yang hadir di media koran bisa jadi bagian dari bisnis penerbitan koran yang seminggu sekali memberikan ruang untuk cerita pendek, tetapi kelahiran cerpen ini juga tidak ditebitkan secara khusus dalam antologi buku yang kemudian dapat didistribusikan. Cerita pendek dalam koran yang pemuatannya seminggu sekali bisa jadi menambah nilai jual koran tersebut, tetapi Koran yang habis sekali, tidak dapat dicetak ulang kecuali cerpen-cerpen di dalamnya dikumpulkan dan ditebitkan sebagai antologi. Dalam dunia penerbitan koran, adanya cerita pendek bisa jadi bagian dari lahan bisnis meskipun terbilang kecil. Tetapi Dayang Rindu sebagai satu cerita pendek yang dikirimkan dan dimuat dalam Koran hanya bagian dari usaha pemarakan sastra untuk diapresiasi masyarakat yang lebih luas.
Kesimpulan
Pelestarian dan pengenalan tuturan Dayang Rindu yang ditemukan dalam manuskrip TSDR adalah hal yang lebih menonjol dalam kelahiran genre-genre tersebut yang rentang waktunya hampir bersamaan antara cerpen dan drama. Novela tahun 96-an ditebitkan lebih dulu, tetapi menurut pengantar buku tersebut, TSDR bukan penerbitan pertama karya sastra klasik yang bersumber dari tuturan.
Pasar yang hadir dalam bisnis dunia percetakan dan pertunjukkan adalah bagian yang memang tidak bisa tidak, hadir dibalik kelahiran genre-genre ini. Tetapi pasar tidak selalu dibentuk dengan kenginginan untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya seperti yang didalilkan dalam prinsip ekonomi. Ada faktor-faktor lain yang bisa ditelusuri lebih lanjut dalam lingkup ekonomi sastra atau sosio ekonomi dalam produksi karya sastra cetak dan pertunjukan.
Kelahiran beberapa genre dari satu karya sastra klasik merupakan bagian dari penghidupan kembali karya tersebut untuk dapat dinikmati masyarakat masa kini. Peluang perubahan genre ke bentuk-bentuk visual selain pertunjukan seperti film misalnya masih sangat mungkin. Dan sesedikit apapun, hubungan antara genre-genre dalam sastra kontemporer tetap tidak stabil bisa saling tumpang tindih dalam estetikanya dalam usaha merebut perhatian pasar (pembaca, penonton).
Daftar Pustaka
- Nurdaya Djafar, Iwan (1996). Tetimbai Si Dayang Rindu Sastra KlaSik Lampung. Bandar Lampung: Dewan Kesenian Jakarta
- Papenhuyzen dan Brakel, Clara (2010). “Oral Literary Tradition In North Sumatra”, dalam Wacana Jurnal Ilmu Pegetahuan Budaya 12, hal:87-99
- Frow, John (2005). Genre The New Critical Idiom. London dan New York: Routledge
- P, Voorhove (1978). “Some Notes on South-Sumatran Epiks:, dalam S. Udin (ed.), Spectrum Essays presented Sutan Takdir Alisjahbana on his seventieth birthday. Jakarta: Dian Rakyat
- A.Z, Arman. (2013). Dayang Rindu Cerita Rakyat yang Terlupakan. dalam http://www.teraslampung.com/2013/10/dayang-rindu-cerita-rakyat-yang.html
- ________. (2014). “Tetimbai Si Dayang Rindu dan Anak Dalom”. Dalam Lampung Post, 13 April 2014
- Haki, Zamrul.(2006) “Pedang Binti Liwat”. Dalam Buletin Bukit Asam th.XI/Maret 2006.
Dina Amalia Susamto, peneliti, cerpenis, eseis asal Metro, Lampung |
Lahir di Metro, 10 Januari 1977. Selain melakukan sejumlah riset berkaitan dengan folklore, ia juga menulis cerpen dan esei.. Beberapa penilitiannya antara lain; 1)Pemakaian Simbol-Simbol Puisi Sufi Dalam Antologi Puisi ”der West- Oestliche Divan” ; Karya Goethe. 2) Transformasi Budaya Korea di Ruang Teve Kita (Obat Rindu pada Nilai-Nilai Tradisional?) dipublikasikan dalam Proceeding Multikultikulturalisme dan Analisis Wacana, editor Benny Hoed. 3) Budaya Hibrid Dalam Rekonstruksi Upacara Tahunan Masyarakat Sunda, Serentaun di Sindangbarang Kabupaten Bogor. 4) Marginalisasi Masyarakat Sakai di Riau, dalam Hak Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: Yayasan Interseksi dan Tifa. 5) Daulat Raja, Daulat Tuhan: Menyigi Konsep Kepemimpinan Dinasti Banjar pada Hikayat Banjar (belum diterbitkan). 6) Sempitnya Ruang Perlawanan Masyarakat Sakai. Jurnal Desantara Report Vol. I/Edisi 10/2011. 7) The Contestation of identity politic in The Origin Story of Raja Ampat (belum dterbitkan). Beberapa cerpen dan eseinya dipublikasikan di Bandung Post, Galamedia, Pikiran Rakyat, Femina, Lampung Post, Jurnal Desantara Report. Cerpen Tak Sebatas Lorong, 30 Karya Terbaik Lomba Cerpen Nasional Diknas 2003 yang terkumpul dalam antologi cerpen Yang Dibalut Lumut. 2003.Creative Writing Institut, dan lain sebagainya. Sekarang bekerja di Badan Bahasa, Jakarta.
0 on: "Adaptasi Genre Epik “Dayang Rindu”, Tradisi Lisan Sumatra Selatan (3-habis)"