Selasa, 27 Januari 2015

Adaptasi Genre Epik “Dayang Rindu”, Tradisi Lisan Sumatra Selatan (2)

Pementasan The Song Of Dayang Rindu oleh Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung
Taman Budaya Lampung, 30 Maret, 16-17 Juni, 1 - 2 Desember 2012

oleh Dina Amalia Susamto*

Epik, Dramatik, Lirik
Aristotles membagi secara universal genre dalam sastra dengan epik, dramatik dan lirik sebagai taksonomi teratas. Epik menurut Goethe dan Hegel dalam Frow adalah mode ujaran yang berjarak, penyingkapan objektif dunia eksterior, lirik merupakan ungkapan kegembiraan yang antusias atau Hegel menyebutnya penyingkapan subjektif dunia interior individu tertentu, pemisahan diri personal dari komunitas dan drama merupakan mode tindakan personal sedang Hegel menyebutnya sebagai Sintesis dari mode lirik dan epik dalam dialog dan tindakan. (Frow, hlm: 60)

Ketiga genre tersebut dapat saling tumpang tindih. James Joyce yang disitir Frow menyebutnya dengan ambigu diantara ketiganya, apa yang akan dihubungankan langsung dengan yang  lain dari drama sebenarnya, jika masih dalam skema ini , kenyataannya ada dua jenis yang berbeda dari yang lain yaitu keduanya secara fiktif dihadirkan kembali dalam epik tetapi diwujudkan dan sumber ujaran yang menghadirikan kembali dirinya sendiri dalam drama. Dan ketiganya menurut Joyce dapat menempatkan diri dan yang lain sama-sama menyatu diantara pengarang, posisi pengungkapan dan karakter fiksional. Aku atau pengungkapan orang pertama dalam lirik apakah akan selalu berarti aku pengarang.

Mode ungkapan
Meskipun ketiga genre tersebut mempunyai tegangan diantaranya, bentuk paling besar yang mengatur dan menekankan  genre yang lebih spesifik atau  subgenre bekerja dari yang general hingga tertentu. Hal ini dipahami sebagai suatu struktur yang komplementer pada kebenaran, kesementaraan dan subjektivitas yang ada pada  genre individual.

Struktur ujaran atau mode ujaran merupakan bentuk-bentuk yang berbeda yang memodifikasi genre atau subgenre seperti epik yang dramatik, drama lirik, novel fantastik dan sebagainya. Mode itu sendiri bukan genre, ia hanya memodifikasi dan tidak dalam struktur formal bahkan tidak sebagai medium semiotik yang disadari. Mode dalam hal ini kualitas modal yang nada teksnya berhubungan dengan plot seperti bentuk-bentuk heroik, tragis, komedi, elegi. Melihat pengorganisasian teks baik verbal, aural, dan visual, Frow kemudian membuat Simpulan terminologi sebagai berikut:
  • Genre: organisasi teks yang secara khusus mempunyai retorika tema dan dimensi formal.
  • Subgenre: spesifikasi yang lebih jauh genre dengan konten tema tertentu
  • Mode dalam makna ajektif: kualifikasi tema dan nada atau warna dari genre

Tuturan Dayang Rindu, Epik, dan Tetimbai
Seperti juga Odisey, Dayang Rindu merupakan cerita narasi dari tuturan masyarakat yang mempunya poetika yang khas yang kemudian dituliskan. Epik  Dayang Rindu dalam bentuk manuskrip menurut Vorhoove terdiri dari narasi panjang yang menceritakan kepahlawanan orang-orang Tanjung Iran melawan kesewanang-wenangan tradiSi Sultan Palembang. Manuskrip tersebut  bermula dari cerita tutur dengan bentuk poetika baris-baris pendek tanpa rima yang masing-masing mempunyai aturan empat suku kata-kata yang ditekan. Vorhoove mengatakan epik tersebut oleh masyarakat Lampung disebut Tetimbai atau andai-andai  dalam masyarakat Sumsel dan Bengkulu yang penyajiannya dinyanyikan. 

Bentuk ini sejauh  yang saya  temui dalam observasi awal masyarakat di Ramban Dangku, Muaraenim belum ditemukan. Penutur menceritakan  Dayang Rindu  dengan bahasa  yang tidak terikat aturan. Sejauh ini saya belum menanyakan apakah memang pencerita hanya menghadirkan konten tuturan sehingga tidak menggunakan  bentuk andai-andai seperti yang seharusnya, atau pencerita tersebut tidak  bisa dan  hanya mengetahui konten cerita. Adapun manuskrip yang disebutkan Voorhove juga belum saya temukan, dan saya belum dapat melihat penulisan epik tersebut. Epik yang ditulis dalam huruf Lampung, bahasa Melayu dan Jawa ini menurut Voorhove ditulis oleh penyair dengan berusaha mengikuti pelafalan bahasa setempat, baik dialek serta perbendaharaan kata. Struktur dasarnya Melayu tetapi banyak meggunakan ekspresi-ekspresi bahasa Jawa yang merupakan bahasa istana. Sayangnya, karena keterbatasan sumber data manuskrip asli ini, saya belum bisa melihat bagian mana yang menggunakan bahasa istana Palembang, dan bagian mana yang menggunakan bahasa Melayu.

Menurut data  awal di lapangan yang saya temukan pada masyarakat Rambang Dangku, di Muaraenim, bahwa masyarakat mempunyai pantangan menceritakan Dayang Rindu dengan menggunakan bahasa Palembang (bahasa Istana). Cerita Dayang Rindu ini bagi masyarakat setempat   dianggap sakral. Jika mereka melanggar pantangan tersebut, mereka meyakini akan terkena akibat-akibat tertentu bagi yang menuturkan maupun yang mendengarkan.

Dalam cerita tutur yang saya rekam, muncul tokoh-tokoh yang tidak terdapat dalam manuskrip Tetimbai Sai Dayang Rindu (terjemahan suntingan Krisna R Sempurnadjaja). Bisa jadi ini merupakan versi yang berbeda dari yang pernah didengar dan ditulis oleh penyair Lampung di masa lalu. Nama tokoh tersebut yaitu Pangeran Tanjung Iran yang kemudian  berhubungan dengan kemunculan Krie Carang. Kerie Carang  yang bernama kecil Tambah adalah putra biologis dari seorang perempuan yang disandera pangeran Tanjung Iran dalam keadaan hamil lalu dinikahinya. Perempuan tersebut istri dari Patih Dusun Tempedak. Nama-nama tokoh penting lain yang berbeda dengan TSDR adalah Rai Cili dan Raden  Cili yang dalam epik dari tuturan masyarakat ini  dianggap pahlawan. Rai dan  Raden Cili keduanya menyayangi Dayang Rindu dan menginginkan gadis itu sebagai istri. Namun keduanya tidak saling menyakiti dalam kenginannya mendapatkan Dayang Rindu.  Raden Cili meskipun tidak dipilih sebagai kekasih, tetapi tetap membantu  peperangan Tanjung Iran melawan kesultanan Palembang.  Rai Cili dan Raden Cili memerangi Palembang selama 7 hari 7 malam dan terus berlangsung sampai tiga bulan. Sementara Kerie Carang, kakek Dayang Rindu tewas dalam peperangan dengan cara pembunuhan yang licik. Sultan Palembang  mengutus  perempuan yang dinikahi Kerie Carang sebagai mata-mata untuk mencari kelemahannya.

Dua pahlawan dengan nama Cili yang sama ini  disebut dalam TSDR dengan Bayi Cili dan Bayi Radin. Bayi Radin dalam TSDR merupakan kekasih Dayang Rindu. Nama-nama prajurit Palembang seperti Tumenggung Itam  dalam TSDR juga tidak dikenal dalam tuturan versi Rambang Dangku, Muaraenim ini. Depati Bungalan nama tokoh  dalam tuturan yang tidak dijelaskan Siapanya sultan, juga merupakan nama yang disebut sebagai tokoh yang memberitahu keberadaan Dayang Rindu pada sultan sementara nama tersebut dalam TSDR menjadi Kerie Niru. Tetapi diluar perbedaan nama-nama tokoh dan perannya antara epik dalam TSDR dan versi cerita dari salah satu informan di Tanjung Enim, ada hal yang menarik yang dapat digarisbawahi. Ketetapan hati Dayang Rindu untuk menentukan naSibnya sendiri, ketika dua pendekar Cili menawari Dayang Rindu untuk kembali ke Tanjung Iran, gadis itu lebih memilih meneruskan pelayaran ke Palembang. Ia menyerahkan dirinya dibunuh dengan pemenggalan tubuh, bagian atas dikembalikan pada Tanjung Iran dan pinggang ke bawah diberikan pada Palembang. Jika diartikan secara Simbolik pinggang ke bawah bagian dari daging tanpa hati yang diberikan pada sultan yang menginginkannya dengan nafsu keserakahan. Sedangkan kepala, wajah dan dadanya yang diintepretasikan sebagai cinta dan kehendak Dayang Rindu diberikan pada Tanjung Iran dan kekasihnya Rai Cili.

Kisah pembagian tubuh ini hingga kini di Muaraenim menjadi olok-olok untuk membedakan gadis-gadis Palembang (hilir) dan Muaraenim (hulu). Olok-olok itu mengatakan bahwa secantik-cantik gadis dari hilir  tidak akan bisa menyamai kecantikan gadis hulu, dan sebergayanya gadis hulu tidak akan bisa menandingi gadis dari hilir.

TSDR dalam Genre Novela, cerpen dan Drama
TSDR merupakan terjemahan manuskrip berhuruf Lampung  berbahasa Melayu dan Jawa ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Terjemahan tersebut kemudian diterbitkan  dalam genre novela tahun 1996 oleh Dewan Kesenian Lampung.

Melihat tipologi buku yang hanya berukuran 11,5 cm x 16,5cm, dengan tebal halaman 81, dengan ukuran font 12 dan terdiri dari tidak lebih dari 40 ribu kata, TSDR ini dapat dikatakan novela. Ia tidak disebut sebagi cerita pendek karena memiliki banyak tokoh yang terlibat dalam tindakan-tindakan  dalam satu konflik sehingga membutuhkan narasi yang cukup panjang. Tokoh-tokoh tersebut terutama dari pihak Palembang dideskripsikan melakukan persiapan-persiapan menuju Tanjung Iran dalam rangka meminang Dayang Rindu sekaligus persiapan perang jika pinangan ditolak. Sementara gambaran-gambaran tokoh-tokoh Tanjung Iran tidak mendapat porsi dalam peyambutan tamu dari Palembang ini, kecuali pada kisah Dayang Rindu yang berbicara berkasih-kasihan pada kekasihnya atas perpisahan yang terjadi karena lamaran Sultan Palembang yang bernama Pangeran Riya. Plot berikutnya adalah gambaran-gambaran peperangan antara masing-masing jago, keadaan yang porak poranda, dan luka-luka serta kematian. Pahlawan yang dikisahkan dengan kehebatannya adalah Singalarang, yang disebut sebagai paman Dayang Rindu. Singalarang yang bisa meghancurkan Palembang dan tetap hidup sampai peperangan berakhir. Wayang Semu ayah dari Dayang Rindu tewas, juga kakeknya. Kematian orang-orang yang dicintai Dayang Rindu ini membuat sang putri di hadapan sultan kemudian moksa sebelum disentuh oleh sang sultan.

Diceritakannya Singalarang, Wayang Semu dan Kerie Carang sebagai pendekar-pendekar Tanjung Iran, kehancuran akibat peperangan  menonjol dalam TSDR  genre novela ini. Sultan Palembang di akhir menuai sedih yang tiada tara setelah melihat kehancuran negerinya karena berusaha memenuhi permintaan mengambil dayang Rindu, juga Singalarang yang merana kembali ke Tanjung Iran dengan rasa yang sangat teluka melihat kehancuran Tanjung Iran.

Hasrat pada wanita, pertunjukan kemegahan, peperangan adalah hal utama yang disampaikan pada novela TSDR. Dayang Rindu hanya mendapat porsi narasi yang sedikit sebagai sebab, bahkan lebih sedikit disbanding narasi-narasi yang mendeskripsikan persiapan dari pihak  kesultanan  Palembang saat sebelum menuju Tanjung Iran , seperti beberapa yang saya kutip berikut ini:

Punakawan  tiba di pasar Jawa, Dia berkata, “Tukang dan perancang; kedua, tukang ukir; ketiga, tukang melukis….tuan diundang Tumenggung Itam …turunlah tuan di PuSiban, ada yang akan diperbincangkan.” “baiklah,” kata tukang dan perancang. Maka berjalanlah tukang dan perancang  diiringi budak punakawan empat orang. Tiada lama maka sampailah tukang dan perancang di PuSiban; kedua tukang ukir; ketiga tukang gambar. Duduk berjajar para inang menghadap Tumenggung Itam.

Berkatalah Tumenggung Itam, Ya Allah, ki sanak tukang dan perancang; kedua tukang ukir; ketigatukang gambar. Sebab mula mengundang kalian, saya minta dandankan aku Kelulus Agung, ukirkan aku kutting serba rangkap,ukir di buritan gambar naga, ukir di tengah dan di depan kembang gudang, ukir di kurung bunga cina,”…..(TSDR hal:8)

Persiapan-persiapan keberangkatan itu juga mendeskripsikan peralatan perang seperti mesiu dengan peluru, meriam, perkakas perang dan kapal-kapal terbaik. Kapal –kapal ini dalam manuskrip TTSDR menurut Voorhove dijadikan ilustrasi, bahkan rumah-rumah panggung yang megah.

Penekanan pada plot peperangan dan antiklimaks kehancuran dalam novela TSDR merupakan suara yang disampaikan penyair yang menuliskan TSDR dalam bentuk manuskrip berbahasa Lampung, jika memang dalam penerjemahan dalam genre novela ini tidak tejadi pengurangan dan penggubahan plot.

Narasi orang ketiga dengan pengarang yang serba tahu  memulai dengan menggambarkan Palembang, para pembantu sultan yang membicarkan tentang  Dayang Rindu, hingga keluar perintah sultan untuk melamar Dayang Rindu. Setelah panjang lebar dibicarakan persiapan, perasaan-perasaan masygul para pembantu sultan ini, perpisahan dengan para istri mereka, berlayar kapal, lalu narasi berpindah ke situasi keluarga Dayang Rindu. Pahlawan-pahlawan Tanjung Iran adalah yang diserang, bertahan, dan menyerang ke Palembang. Tidak ada gambaran-gambaran yang  imbang diantara dua pihak Tanjung Iran dan Palembang. Narasi yang dimulai dari Palembang hingga plot yang bergerak maju terus  ke Palembang dengan porsi sedikit pihak Tanjung Iran menunjukkaan bahwa Novela yang menerjemahkan manuskrip karya penyair Lampung tentang TSDR mengakui kebesaran kesultanan Palembang. Memang disebutkan dalam cerita bahwaTanjung Iran juga disebut bahwa mereka tidak membutuhkan harta benda pemberian sultan seakan Tanjung Iran juga negeri yang kaya, tapi bergeraknya arus narasi dari latar Palembang dan kedetilan tokoh-tokoh pembantu sultan mempersiapkan segala sesuatu menunjukkan perang ini adalah dari sebuah negeri yang besar menyerbu negeri yang lebih kecil.

Akan berbeda halnya jika narasi untuk Tanjung Iran sedemikan detil tidak hanya kecantikan gadisnya tetapi juga keindahan dan kemakmuran masyarakatnya. Saya akan terus menelusuri versi tuturan epik ini di wilayah Sumsel untuk melihat porsi narasi diantara Tanjung Iran dan Palembang dalam penelitian lanjutan.  Data sementara dari Rambang Dangku memang menunjukkan plot lebih banyak menyorot pihak Tanjung Iran dari awal hingga akhir. Pihak kesultanan Palembang hanya dianggap tamu tidak diundang yang tiba-tiba hadir dan membuat keributan.  (bersambung...)

Dina Amalia Susamto,
Peneliti, cerpenis, eseis asal Metro, Lampung














Lahir di Metro, 10 Januari 1977.  Selain melakukan sejumlah riset berkaitan dengan folklore, ia juga menulis cerpen dan esei..  Beberapa penilitiannya antara lain; 1)Pemakaian Simbol-Simbol Puisi Sufi Dalam Antologi     Puisi ”der    West-  Oestliche Divan” ; Karya Goethe. 2) Transformasi Budaya Korea di Ruang Teve Kita (Obat Rindu pada Nilai-Nilai Tradisional?) dipublikasikan dalam Proceeding Multikultikulturalisme dan Analisis Wacana, editor Benny Hoed. 3) Budaya Hibrid Dalam Rekonstruksi Upacara Tahunan Masyarakat  Sunda, Serentaun di Sindangbarang Kabupaten Bogor. 4)  Marginalisasi Masyarakat Sakai di Riau, dalam Hak Minoritas. Ethnos,  Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: Yayasan Interseksi dan Tifa. 5) Daulat Raja, Daulat Tuhan: Menyigi Konsep Kepemimpinan Dinasti Banjar pada Hikayat Banjar (belum diterbitkan). 6)  Sempitnya Ruang Perlawanan Masyarakat Sakai. Jurnal Desantara Report Vol. I/Edisi 10/2011. 7) The Contestation of  identity politic in The Origin Story of Raja Ampat (belum dterbitkan). Beberapa cerpen dan eseinya dipublikasikan di Bandung Post, Galamedia, Pikiran Rakyat, Femina, Lampung Post, Jurnal Desantara Report. Cerpen Tak Sebatas Lorong, 30 Karya Terbaik Lomba Cerpen Nasional Diknas 2003 yang terkumpul dalam antologi cerpen Yang Dibalut Lumut. 2003.Creative Writing Institut, dan lain sebagainya. Sekarang bekerja di Badan Bahasa, Jakarta.

0 on: "Adaptasi Genre Epik “Dayang Rindu”, Tradisi Lisan Sumatra Selatan (2)"