Tari Cangget Lampung |
Menyaksikan pementasan Hanacaraka (Ada Utusan)karya koreografer Boby Ari Setiawan yang digelar di Ladang Nan Jombang, Padang (18/11), tak ubahnya memasuki lorong waktu yang panjang.
Pementasan ini mengingatkan pada tulisan Eugenio Barba berjudul Anatomie de L’ Acteur (1985) yang telah diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia. Dikatakan, bahwa tidak ada pementasan tanpa rajutan “teks.”
Anatomi penari atau aktor dalam teater saat berada di atas panggung tak ubahnya “teks.” Tubuh mereka mentransfomasikan teks dan simbol kepada penonton. Jika hal ini tak terbaca, maka mereka dianggap gagal mengomunikasikan aksinya kepada audiens.
Perhatian koreografer tak sebatas komposisi gerak dan simbolisasi di atas pentas. Ia juga memperlakukan suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks.”
Itulah sebabnya memasuki pementasan Hanacaraka terasa seperti memasuki lorong waktu yang panjang. Analoginya terletak pada persoalan dimensi waktu dan “jarak” kultural antara Jawa (latar garapan koreografi ini) dengan Minang (penonton).
Jika ditilik lebih jauh, ada kemungkinan timbul beragam tafsir di benak penonton tentang Hanacaraka. Namun secara keseluruhan, pertunjukan tari yang disuguhkan Boby dan kawan-kawan ini apik, tertata. Ia memang mempersiapkannya secara serius dan matang.
Membaca sinopsis Hanacaraka di leaflet, lalu mengikuti pertunjukan berdurasi sekitar 60 menit ini, terasa ada “pembenaran” kata-kata di atas panggung. Ide gagasan tak melenceng dari hasil pementasannya. Konsistensi ini tentu saja menjadi poin tersendiri
Boby mengatakan, tulisan aksara Jawa atau Hancaraka adalah sumber eksplorasi gerak dan inspirasi penciptaan tarinya. Ia menyelaraskan benang merah antara gerak tari Jawa dengan tulisan aksara Jawa.
Penonton merupakan elemen penting pertunjukan. Mereka adalah pertimbangan utama dalam penggarapan koreografi. Jadi tantangan tersendiri bagi Boby membuat pementasan yang bisa diapresiasi oleh penonton yang bukan latar budaya Jawa, melainkan Sumatra.
Lakon tari Hanacaraka menjadi pintu masuk bagi penonton—non Jawa—untuk memahami pesan yang disampaikan Boby lewat gerak tari. Hal ini terungkap dalam diskusi yang digelar setelah pementasan. Bertindak sebagai moderator: S. Metron M., sutradara Ranah Teater.
Boby menjelaskan bagian-bagian yang diubah dalam pementasannya. Untuk pertunjukan di Gedung Sendratasik Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru (14/11), Boby mengubah kostum penarinya. Penari perempuan mengenakan jilbab, penari lelaki tak memakai celana ketat.
Perubahan yang dilakukan Boby secara sadar ini tentu saja memiliki konsekuensi artistik terhadap karyanya. Bisa jadi sajian dan tanggapan penontonnya berbeda dengan pementasan di dua lokasi lain, Padang Panjang dan Padang.
“Karya tari sangat erat dengan penempatan atau lokasi di mana ia dipentaskan. Maka tari itu tampil dengan pengaruh budaya, agama, dan sosial masyarakat setempat,” kata Boby dalam diskusi tersebut.
Pesan yang disampaikan Gerak Tubuh
Hanacaraka dibawakan tiga penari perempuan (Cahwati, Tri Rahajeng dan Widya Ayu) dan tiga penari pria (Boby Ari Setiawan—koreografer, Sandi Dea dan Kristiyanto). Tubuh mereka memberi makna luas dan simbol tegas terhadap aksara Jawa, juga sisi lain dari perjalanan panjang evolusi budaya Jawa.
Di atas panggung, tubuh penari menjadi aksara-aksara, tak ubahnya ritual-ritual dalam tradisi Jawa. Gerak tubuh enam penari merepresentasikan keduapuluh aksara Jawa sekaligus menerangkan falsafah hidup dalam kultur Jawa.
Idiom dasar (substansi) tari adalah gerak tubuh. Dalam buku Tari Komunal yang disusun Endo Suanda dkk disebutkan, tubuh dalam tari adalah bagian dari instrumennya—kesatuan utuh individu, baik dari sisi fisik (otot, tulang), pikiran (penalaran), maupun batin (rasa, jiwa).
Tari merupakan perwujudan ekspresi secara personal. Dalam hal ini, Boby, lewat lakon Hanacaraka, menggabungkan teknik gerak tari tradisi Jawa dengan mengeksplorasi setiap huruf aksara Jawa ke dalam gerak tubuh.
Dalam falsafah Jawa, Hanacaraka berarti ada utusan. Dikisahkan, dua utusan Dora dan Sambodo yang menempuh ajal karena sama-sama memegang prinsip yang diamanatkan oleh sang tuan, Adji Saka.
Oleh Boby, selaku koreografer, Adji Saka direprentasikan sebagai kunci dan pusat dari semua gerak, cerita, dan simbolisasi. Kendati gerak tubuh masing-masing penari merupakan gerak personal, tetapi ia menyatu jadi sebuah gerak bersama dan reaktif.
Inilah kelebihan karya koreografer kelahiran Klaten, 1983. Gerak para penari terbaca sebagai simbol dan “cerita.” Boby berhasil membahasakan tarinya yang berlatar Jawa menjadi pesan atau bahasa universal—bisa dipahami para penonton yang berlatar kultur budaya berbeda.
Diskusi ini juga menyoroti musik pengiringnya. “Ini sesuatu yang baru. Secara keseluruhan, musik mampu memancing emosi, dan bisa mengantarkan klimaks cerita tari ini dengan sangat baik,” kata Anduska, komposer asal Padang, yang menggarap musik Hanacaraka.
Sementara itu, Kepala Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang Nurmatias, yang juga hadir dalam diskusi ini memuji, Hanacaraka adalah lakon tari berlatar Jawa dengan garapan yang sangat dinamis, kreatif, dan tak monoton.
“Ini berbeda dengan tarian Jawa yang pernah saya saksikan. Ada kejenuhan di dalamnya karena lamban dan cenderung statis. Saya kira, Hanacaraka berhasil mendobrak pakem-pakem tari Jawa yang selama ini terlihat sudah mapan,” kata Nurmatias.
Secara keseluruhan, Hanacaraka dinilai berhasil. Namun tata cahaya yang menggunakan multimedia terlihat dipaksakan dan kadang tidak sinkron dengan gerak tarinya. Untung saja, bisa ditutupi kekuatan gerak tubuh para penari dan artistik panggung, meskipun penggunaan properti terbilang minim.
Seni Berbasis Tradisi Tak Pernah Mati
Sesungguhnya, seni tradisi adalah sumur inspirasi yang tak pernah habis dieksplorasi. Kebanyakan seniman di Indonesia, berkarya dengan konsep berbasis seni tradisi yang melatarbelakangi kehidupan sosialnya.
Begitu pun Boby. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga Jawa yang akrab dengan seni pertunjukan tradisi. Neneknya, Supadmi, adalah dalang wanita terkenal pada masanya, yang sering diundang pentas di Istana Negara oleh Presiden Soekarno.
Menurut Boby, tradisi bukanlah sebuah entitas yang harus dipinggirkan, tetapi bisa dijadikan inspirasi dan pegangan berkarya. Ia menepis anggapan bahwa tradisi bersifat tertutup. Sebaliknya ia menunjukkan tradisi terbuka untuk dieksplorasi.
Boby memandang proses kreatif dan inovasi sebagai dua hal yang tidak kalah penting dari hasil akhir atau karya itu sendiri. Proses kreatif inilah yang mematangkan karya-karyanya dari segi gerak, konsep, maupun ide kreatif.
Dalam berkarya, Boby juga mengutamakan kebebasan untuk bergerak sekaligus bereksplorasi. Karakter kuat tradisi Jawa dimanfaatkannya untuk mengolah rasa dalam karyanya. Tari tradisi memberikan kerangka sekaligus pegangan dalam penciptaan karya.
Sisi inovatif Boby terletak pada penggarapan modern dipadu alur cerita postmodern. Ia mengungkapkan situasi tertentu dengan menggabungkan gerak teatrikal, kontemporer, modern dan tradisional.
Selain Hanacaraka (Ada Utusan), Boby telah menghasilkan Z-C (2009), Touch The Space, Pe-thoy ( 2008), So Close Cyclus (2007), dan Musro (2006).
Kreativitas Boby mendapat perhatian dari Ery Mefri, koreografer sekaligus pemilih Ladang Nan Jombang.
“Seniman masa kini harus berterima kasih kepada seniman tradisi. Banyak seniman besar masa kini yang lahir karena sentuhan tradisi, baik gagasan maupun konsepnya. Boby tak bisa menghindar dari tradisi budaya Jawa. Saya sendiri pun tak bisa lepas dari seni tradisi Minang,” kata Ery Mefri.
Menyelamatkan Warisan Seni Budaya
Konsep yang disebut Ery memang salah satu upaya penyelamatan seni tradisi yang demikian kaya di Nusantara. Generasi muda bisa mengenal dan sekaligus mencintainya berbekal pendekatan yang dilakukan dengan pola kekiniian.
Perbincangan yang berkaitan dengan masyarakat serta kebudayaan dan seni tradisi, tak terlepas dari tatanan masyarakat dengan struktur sosial, nilai-nilai, norma tradisional di mana sebagian masyarakat masih membayangkan sesuatu yang ideal dan asli.
Secara umum, tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya setempat. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi religi, atau gaib.
Di dalam tradisi, telah diatur: bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain, atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam.
Dengan demikian, tradisi berkembang menjadi suatu sistem, memiliki pola sekaligus norma, serta mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelaku pelanggaran dan penyimpangan.
Seni masa depan harus mampu menjelaskan identitas kulturalnya. Seni yang menanamkan sebelah kakinya di spirit tradisi yang tumbuh bersama sejarahnya. Jika seni pertunjukan masa kini tak melihat tradisinya, maka ia menafikan tubuhnya sendiri.
Boby sendiri telah menetapkan pilihan berkreasi dengan basis tradisi Jawa dalam tafsir bebas, berikut tanggung jawab kreatifnya. Lewat karyanya, ia menyihir seratusan penonton yang memenuhi kursi di Ladang Nan Jombang. Hening menyimak tiap gerak di atas panggung.
Sumber :
http://www.kelola.or.id/blog/?p=801
0 on: "Seni Berbasis Tradisi Tak Pernah Mati"