Senin, 26 Januari 2015

Adaptasi Genre Epik “Dayang Rindu”, Tradisi Lisan Sumatra Selatan (1)

Prosiding Seminar Internasional, Badan Bahasa, Jakarta

Oleh: Dina AmaliaSusamto*

Dayang Rindu adalah epik dari tradisi lisan masyarakat Sumatra Selatan yang bercerita tentang percintaan dan peperangan. Epik ini dituliskan dalam manuskrip berbahasa Lampung dengan angka tahun 1905 yang kemudian ditransliterasikan  dan diterjemahkan menjadi Tetimbai Dayang Rindu. Epik ini juga diceritakan kembali  oleh beberapa penulis di Lampung masa kini dalam genre cerita pendek  dan naskah drama yang mengadaptasi rekaman cerita tutur dengan genre Tetimbai berjudul Tetimbai Dayang Rindu yang disuntingtahun 1993.
Makalah ini merupakan riset kualitatif dengan menggunakan kerangka teori genre. Di dalamnya akan mendiskusikan bagaimana tradisi lisan, Epik dayang Rindu yang telah berkembang menjadi beberapa genre  antara lain terjemahan rekaman cerita tutur dengan genre Tetimbai,  genre naskah drama dan cerita pendek dengan melihat  strukur formal, retorika yang di dalamnya terdapat  posisi penyuaraaan masing-masing genre, dan meninjau hubungan berbagai genre tersebut dengan pasar ketika masuk dalam ranah cetak/penerbitan, dan pementasan teater.
Sebelum menulis makalah ini riset pendahuluan dilakukan  dengan mewawancarai pencerita di Rambang Dangku, Muaraenim, yang kemudian menjadi bahan primer penelitian. Bahan primer lain berupa teks Tetimbai Dayang Rindu (1996), naskah drama Dayang Merindu (2012) dan cerpen Dayang Rindu (2012).
Suatu Kesempatan Menulis tentang Dayang Rindu

Dayang Rindu  merupakan cerita tutur yang berasal dari masyarakat Sumsel. Tuturan ini berkisah tentang kepahlawanan dalam suatu peperangan antara kesultanan Palembang dan  negeri kecil bernama Tanjung Iran. Peperangan ini terjadi karena seorang putri yang disebutkan sangat jelita dan sudah ditunangkan, berasal dari negeri  Tanjung Iran, Dayang Rindu, diculik oleh Sultan Palembang untuk dijadikan salah satu istrinya.

Masyarakat Sumatra Selatan yang sampai saat ini masih mengingat tuturan ini adalah masyarakat sekitar  Hulu di Sumsel yaitu Muara Enim, dan sekitar Lahat yang masing-masing mempunyai versi yang berbeda. Buletin Bukit Asam pernah memuat hasil wawancarai Ha Korie Ali di Muara Enim dalam beberapa edisi dalam tahun 2006 yang berisi tentang kisah Dayang Rindu sebagai suatu kisah nyata yang pernah tejadi dalam kehidupan masyarakat Muara Enim sekitar tahun 1500-1600 dengan bukti peninggalan salah satunya adalah sebatang pedang milik Kerie Carang (kakek Dayang Rindu), salah satu pahlawan dalam cerita tersebut.  Sekitar bulan Agustus 2014, saya melakukan observasi awal di Tanjung Enim dan bertanya pada masyarakat tentang tuturan ini. Meskipun mereka tidak fasih menceritakan secara lengkap, tetapi mereka kebanyakan mengenal cerita ini.

Arman A.Z, dalam esai berjudul “Dayang Rindu cerita Rakyat Yang Terlupakan” dan “Dayang Rindu dan Anak Dalom” dengan melihat persebaran cerita ini berargumentasi bahwa Dayang Rindu merupakan cerita tutur masyarakat Sumatra bagian Selatan(Sumbagsel) yang antara lain meliputi Sumatra Selatan, Lampung, Jambi dan Bengkulu. Persebaran ini dibuktikan dengan adanya sejumlah versi dalam cerita dan penemuan nama-nama sesuatu dengan sebutan Dayang Rindu mulai dari jenis varietas padi di Pagaralam dan Lubuklinggau, nama gedung kesenian (Dayang Merindu), nama rumah makan dan di Baturaja, ada goa yang diyakini penduduk setempat sebagai tempat peristirahatan Dayang Rindu, serta ada  juga batu yang dipercaya sebagai Dayang Rindu yang dikutuk Si Pahit Lidah. Selain ketersebaran di empat provinsi tesebut Arman juga melihat ketersebaran dokumentasi manuskrip Tetimbai Sai Dayang Rindu yang ditulis berhuruf Lampung, berbahasa Melayu dan Jawa di perpustakaan Leiden Belanda, di School of Oriental and African Studies (London) dan The Chester Beatty Library (Dublin, Irlandia) adalah hasil inventarisaSi William Marden, dan hasil invetarisaSi Van der Tuuk di  Leiden, Belanda, dan satu lagi di Munich Jerman.

Menurut Arman A.Z  (2014) ada tujuh manuskrip tersimpan di Leiden dengan perincian sebagai berikut: 20 halaman (aksara Jawi), 24 halaman (aksara latin tulisan tangan Van der Tuuk, teks dari Sukadana), 36 halaman, 28 halaman (buku, titimangsa 1274 Hijriah/1853). Kemudian ada satu keranjang koleksi Van der Tuuk tentang Lampung, termasuk Dayang Rindu 148 halaman (buku, dilengkapi catatan dari Van der Tuuk.   Arman A.Z. menyitir artikel  H.N. Van der Tuuk berjudul Brieven Betreffende Het Lampongsch, bahwa ada lagi manuskrip Dayang Rindu yang diperolehnya dari Sukadana (16 halaman, titimangsa Tarabanggi, 28 Oktober 1847 yang artinya telah ada atau telah ditulis sebelum van der Tuuk ke Lampung). Sementara manuskrip Dayang Rindu  tahun 1880  adalah hasil koleksi H.O Forbes.


Voorhove  (1978) membuat catatan tentang cerita tutur ini dan meyebutnya sebagai epik. Vorhoove menganalisis epik-epik Bengkulu, Lampung dan Sumatra selatan dari sudut pandang motif peperangan, kepahlawanan, latar sungai, sabung ayam, dan perang tanding satu lawan satu sesama prajurit. Selain itu ia juga mengatakan bahwa epik ini dinamai oleh masyarakat setempat dengan andai-andai untuk Sumatra Selatan dan Bengkulu, dan Tetimbai untuk Lampung. Baik Andai-andai maupun Tetimbai menurut Voorhove mempunyai kesamaan pada bentuk puitikanya.

Dalam cerita Tuturan Dayang Rindu  di Sumatra Selatan disebut andai-andai sementara versi Lampung yang ditemukan dalam bentuk  manuskrip tulisan tangan yang mengisahkan cerita ini disebut dengan Tetimbai Sii Dayang Rindu. Voorhove sempat mempertanyakan mengapa cerita Sumatra Selatan ini kemudian dituliskan dalam huruf Lampung dengan bahasa Melayu campuran Jawa. Hipotesis Voorhove kemudian adalah mungkin ada seorang yang berjalan ke wilayah Sumatra Selatan kemudian terinspirasi menulis cerita tutur ini dalam huruf Lampung, dan meyimpannya sehingga kemudian manuskrip tersebut ditemukan di Sukadana oleh Van der Tuuk, menjadi salah satu koleksi yang salinannya terdapat  di Leiden, Dublin, Munich.

Voorhove juga menduga bahwa Tetimbai Si Dayang Rindu (TSDR) mempunyai epik yang berbeda dengan epik Sumatra Selatan lain. Ia mendasari pendapatnya bahwa ada unsur kesejarahan atau kisah faktual yang terjadi  dalam hubungan antara Kesultanan Palembang dan penduduk Pedalaman. Pendapat tersebut diperkuat dengan situasi bahwa suku-suku di Pedalaman bergantung pada kesultanan Palembang untuk hubungan dengan dunia luar. Masyarakat pedalaman membayar upeti pada Sultan Palembang. Fakta di luar epik ini menurut Voorhove dihubungkan dengan pada suatu kesempatan terjadinya pemberontakan pembunuhan tehadap sultan Palembang dengan dalih masyarakat pedalaman melawan kekejaman tradisi kerajaan, salah satunya adalah penculikan seorang putri berdarah ningrat yang sudah bertunangan. Voorhove tidak meyebutkan pada masa kesultanan siapa perisitiwa tersebut terjadi atau mengatakan angka tahun. Argumen-argume tersebut kemudian digunakan untuk membenarkan tentang kisah penculikan Dayang Rindu yang digambarkan adalah benar-benar terjadi. Kemudian Vorhoove juga mencoba mengkonstruksi lokus Tanjung Iran yaitu di wilayah hulu tempat adanya Dayang Rindu.



Dayang Rindu dalam Berbagai  Karya Sastra cetak

Terlepas dari fiksi atau tidaknya cerita tutur tersebut, tulisan ini akan lebih menekankan pada  munculnya genre-genre  baru dalam  sastra tulis yang  merujuk pada cerita tutur tersebut terutama pada bagian ini, karya sastra cetak yang muncul di Lampung. Sepakat dengan terminologi Vorhoove bahwa cerita tutur ini merupakan epik yang ciri-ciri khasnya juga akan dibahas pada tulisan ini, temasuk ketika manuskrip Tetimbai Sai Dayang Rindu ini dinamai sebagai Tetimbai.

Genre-genre sastra tulis yang terinspirasi oleh cerita tutur ini dapat juga disebut sebagai penyelamatan cerita tutur. Amin Sweneey dalam Papenhuyzen (2010) pada pembahasannya tentang kelisanan dan keberaksaraan di dunia Melayu (1987) mengatakan bahwa  menuliskan cerita yang dituturkan merupakan cara perlindungan tetapi faktanya akan berbeda bentuk antara lisan dan tulisan. Penulisan tersebut merupakan pemeliharaan bentuk-bentuk setandan yang sering diulang dalam penuturan yang sedang berlangsung, kemudian dihentikan/dijeda dalam prosa.

Struktur gramatik kalimat, tanda baca, adalah bagian dari ciri khas tulisan yang menjeda/menghentikan bentuk yang sedang diucap  oleh penutur tersebut.  Dalam tulisan ini juga tidak mempermasalahkan transmisi lisan ke tulisan. Penulisan makalah ini berdasarkan penelitian pada genre epik  dan tetimbai dalam cerita tutur dan perubahannya dalam genre sastra tulis terjemahan berbahasa Indonesia dalam novela, drama dan cerita pendek, dan  peyuaraan teks masing-masing genre dalam sastra tulis tersebut. Lalu melihat bagaimana keekonimian  genre ini berhubungan dengan pasar.

Genre sebagai Kerangka Teori

Genre tidak sebatas pada persoalan klasifikasi. John Frow (2006) melihat genre sebagai sebuah bentuk tindakan Simbolik yaitu organisasi yang secara generik  baik itu dalam bahasa, gambar, gesture, suara yang membentuk pemahaman kita pada dunia. Oleh karena itu genre yang dimaksud dalam pikiran John Frow bukan peralatan stilistik semata, tetapi genre menciptakan efek terhadap realitas  dan kebenaran, otoritas dan kemasukakalan  yang menjadi inti berbagai cara pandang  yang  berbeda  terhadap  dunia dalam  tulisan sejarah, filsafat, ilmu pengatahuan, lukisan dan bahkan pembicaraan sehari-hari. Efek yang diciptakan oleh genre tidak stabil dan tetap. Tetapi sejak teks bahkan dari yang paling sederhana hingga ke  bentuk formula yang kompleks, tidak menjadi milik suatu genre. Teks tersebut memanfaatkan genre.  Ia tidak merujuk pada genre tetapi bidang keekonomian genre yang melahirkan kompleksitas hubungan yang berasal dari suatu konstruksi pemosisian teks oleh sistem. Sistem yang dimaksud di sini adalah pembedaan yang dilakukan oleh pasar. Satu genre akan berhubungan dengan genre yang lain, saling tumpah tindih antara satu dengan yang lain dan dalam percampurannya akan menjadi genre baru.

Pasar tersebut kemudian yang melahirkan taksonomi dan klasifikasi dalam genre, yakni suatu cara pengorganisasian sesuatu ke dalam kelompok-kelompok yang mudah dikenali. Klasifikasi itu seperti sebuah standard yang melihat sisi aturan yang eksplisit, diformulasikan, dan ditentukan waktunya, yang praktiknya hal tersebut kemudian diperluas hingga melebihi kelompok-kelompok itu sendiri.Beberapa ahli seperti Brunetiere membuat taksonomi dan klasifikasi genre sastra seperti dalam ilmu alam model Darwinian. Tetapi Frow keberatan dengan hal tersebut dengan argumen bahwa genre yang pada dasarnya budaya, bukan alam, akan sulit dipetakan sama dengan alam. Morfologi  beberapa genre open-ended dan tidak terbatas pada bandingan spesies biologi. Budaya tidak mempunyai keberlanjutan genetik, sedangkan genus biologi dibatasi pada ketidakinterfertilan dengan genus lain. Dalam dunia diskursif, tidak hanya semua genre tersebut interfertile, genre-genre ini bisa setiap saat disilangkan  dengan berbagai genre yang pernah ada. Secara umum dalam sastra setiap individu teks  dapat dimodifikasi dengan perluasan dan dapat mengubah kelompok-kelompok. Tetapi  tidak mudah bagi alat-alat teks tersebut untuk dapat secara langsung disilangkan  dari  genrenya. Genre terbentuk dari kekuatan pembentuk teks yang dengan tepat jadi alasan dimasukkannya dalam klasifikasi suatu kelas.

Antara Plato dan Socrates dalam Mempertimbangkan Genre

Socrates yang disarikan  Jhon Frow (2006) mengatakan  tanggapannya pada buku Republik karya plato: bahwa seni verbal harus mempunyai fungsi moral, dan bentuk imitasi umum untuk hal itu berpotensi merusak kebajikan  dalam republic yang ideal. Segala sesuatu yang dikatakan  oleh penyair dan penulis cerita pendek menurut Socrates dari Plato 1961,  adalah sebuah narasi (diegesis) dari sesuatu masa lampau, kini, dan nanti. Dan ia memproses keduanya dengan narasi murni atau narasi yang dipengaruhi oleh imitasi. Perbedaan yang dibuat di sini adalah antara ujaran penyair dan karakter ujaran yang dihadirkan (dipentaskan); dlm mode ketiga, yaitu mode campuran yang diambil contoh dari epik Homerus, bahwa satu level ujaran yang menceritakan sebuah cerita, dan level lainnya ujaran yang diwujudkan dalam karakter yang penghadirannya pada level pertama. Baik penyair dalam suaranya sendiri atau ia bicara seakan ia adalah orang lain (Plato 1961)—dan kemungkinan peniruan suara dan karakteristik orang lain adalah inti yang yang dipermasalahkan Socrates tentang puisi dan drama.

Salah satu gerakan penting  meletakkan dasar teori genre di Barat dan kemudian menempatkannya ke dalam identifikasi tiga mode presentasi ujaran sebagai  genre-genre tertentu adalah Aristoteles.  Menurutnya poetika tidak hanya puisi. Puisi adalah sebagai salah satu dari genre spesifik. Semua jenis poetika adalah mode imitasi tetapi mereka membedakan diri satu sama lain; ada yang pembedanya berasal dari makna, objek, dan cara imitasi. Imitasi di sini dapat dilihat  pada warna dan bentuk, kalau dalam seni verbal adalah imitasi ritme, bahasa, dan harmoni dalam berbagai kombinasi (Aristolese 1941 dalam Frow, hlm: 57)

Seni verbal dalam cara penghadirannya kemudian dibagi menjadi dua: yaitu ujaran auktorial yang menarasikankan tentang tindakan manusia, dan ujaran tentang karakter orang yang bertindak. Dua katagori tersebut dalam bahasa Bachtin yang dikutip Frow adalah kata sebagai representasional dan kata yang direpresentasikan.

Kompleksitas lapisan bagian-bagian ujaran, tegangan antara  berbagai suara dalam berbagai quot puitika membuka pertanyaan tentang hubungan antara bahasa, suara dan tubuh yang disuarakan. Roland Barthes menurut Frow menyebutnya dengan “ qui parle?” atau Siapa  yang sedang berbicara di Sini?
(Bersambung.... )


Dina Amalia Susamto,
peneliti, cerpenis, eseis asal Metro, Lampung

Lahir di Metro, 10 Januari 1977.  Selain melakukan sejumlah riset berkaitan dengan folklore, ia juga menulis cerpen dan esei..  Beberapa penilitiannya antara lain; 1)Pemakaian Simbol-Simbol Puisi Sufi Dalam Antologi     Puisi ”der    West-  Oestliche Divan” ; Karya Goethe. 2) Transformasi Budaya Korea di Ruang Teve Kita (Obat Rindu pada Nilai-Nilai Tradisional?) dipublikasikan dalam Proceeding Multikultikulturalisme dan Analisis Wacana, editor Benny Hoed. 3) Budaya Hibrid Dalam Rekonstruksi Upacara Tahunan Masyarakat  Sunda, Serentaun di Sindangbarang Kabupaten Bogor. 4)  Marginalisasi Masyarakat Sakai di Riau, dalam Hak Minoritas. Ethnos,  Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: Yayasan Interseksi dan Tifa. 5) Daulat Raja, Daulat Tuhan: Menyigi Konsep Kepemimpinan Dinasti Banjar pada Hikayat Banjar (belum diterbitkan). 6)  Sempitnya Ruang Perlawanan Masyarakat Sakai. Jurnal Desantara Report Vol. I/Edisi 10/2011. 7) The Contestation of  identity politic in The Origin Story of Raja Ampat (belum dterbitkan). Beberapa cerpen dan eseinya dipublikasikan di Bandung Post, Galamedia, Pikiran Rakyat, Femina, Lampung Post, Jurnal Desantara Report. Cerpen Tak Sebatas Lorong, 30 Karya Terbaik Lomba Cerpen Nasional Diknas 2003 yang terkumpul dalam antologi cerpen Yang Dibalut Lumut. 2003.Creative Writing Institut, dan lain sebagainya. Sekarang bekerja di Badan Bahasa, Jakarta.

0 on: "Adaptasi Genre Epik “Dayang Rindu”, Tradisi Lisan Sumatra Selatan (1)"