Kamis, 29 Januari 2015

DKL Mau ke Mana?

Alexander GB, ANggota Komite Teater DKL
MENYIMAK pemikiran Iwan Nurdaya-Djafar, Lampung Post, 19 Januari 2015, saya turut tergugah, tersadar, betapa jauh tertinggal kesenian kita. Dari soal capaian estetika, konsep, penghargaan, hingga besarnya anggaran yang dikelolanya. Tidak perlu jauh-jauh, dibanding dengan Riau, Jakarta, Surabaya saja sudah jelas bahwa pemerintahan kita, Lampung, tidak sungguh-sungguh mendukung kesenian untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Itulah sebabnya, harapan besar yang digemakan Bang Iwan sangat sulit terwujud dalam waktu dekat ini, mengingat minimnya post anggaran untuk seni dan budaya di provinsi tercinta ini. Selain bahwa DKL begitu bergantungnya dengan APBD. Padahal, mungkin, masih ada peluang dari lembaga lain, dari CSR perusahaan yang ada di Lampung, atau yang lainnya.

Yang selama ini belum tersentuh, Bang Iwan menawarkan Yayasan Kesenian Lampung sebagai solusinya. Namun, mungkin dalam pelaksanaannya bisa jadi akan kisruh, jika sistemnya tidak dibangun dengan jelas. Terlebih untuk membangun dan menghidupi yayasan yang baru, dibutuhkan orang yang berkapasitas, membutuhkan anggaran lain lagi. Nah, kalau untuk DKL saja sudah minim, lantas dari mana post anggaran untuk lembaga lainnya?

Dalam situasi berkehidupan berkesenian di Lampung yang nyaris absurd ini, apa yang bisa kita lakukan dalam waktu singkat tapi dahsyat?

Jika kita menunggu terbentuk dan berjalannya Pusat Kesenian Lampung yang meliputi DKL, Badan Pembina DKL, Badan Pengelola Gedung Kesenian DKL, dan Yayasan Kesenian Lampung, mungkin keburu komunitas atau kelompok seni, baik modern maupun tradisi, akan mati suri.

Ya, dalam waktu dekat Dewan Kesenian Lampung melaksanakan musyawarah seniman untuk memilih pengurus baru periode 2015—2019. Pada rapat pleno DKL, 10 Januari lalu, telah terbentuk panitia yang akan melaksanakan musyawarah tersebut. Menjelang musyawarah itu fokus perhatian galibnya hanya tertuju kepada calon ketua umum yang akan menggantikan Syafariah Widianti yang sudah menjabat selama dua periode.

Menimbang, kemungkinan terbatasnya anggaran, atau bahkan mungkin tidak ada, untuk kepentingan efektivitas dan fleksibiltas, maka perbaikan sistem dan pemilihan pengurus DKL yang berkualitas menjadi kuncinya. Selain itu, DKL juga perlu menimbang, apakah ia hanya sebagai lembaga yang memediasi antara seniman dan pemerintah, atau memang mesti menanggung program tertentu, yang saya kira hampir sama dengan dinas-dinas di pemerintahan yang asyik sendiri dengan program-programnya, tapi belum sungguh-sungguh menyentuh kepentingan masyarakat dan kesenian itu sendiri.

Program-program DKL masih sulit dibedakan dengan Dinas Pariwisata, Taman Budaya Lampung, atau bahkan Dinas Pendidikan. Maka perlu adanya kejelasan peran dan fungsi DKL itu sendiri di kemudian hari sehingga program tidak tumpah tindih dan komunitas seni yang ada di Lampung merasa juga terfasilitasi. Tetapi lagi-lagi, mungkin bergantung berapa banyak anggaran yang mendukung DKL itu sendiri.

Selain soal besarnya anggaran, ke depan, DKL juga perlu memberikan pertanggungjawaban terhadap publik sehingga masyarakat dan seniman yang ada di Bumi Lada ini tidak dipenuhi sahwa sangka yang negatif. Perlunya pembangunan sistem evaluasi yang jelas dan transparan, termasuk kejelasan peran dan fungsi DKL. Jika hal ini terpenuhi, mungkin akan mempermudah pengurus nantinya untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.

Tentu, perlu ada sanksi jika ada penyelewengan, perlu ada penghargaan bagi pengurus yang berprestasi. Kejelasan sistem evaluasi dan kontrol di DKL dengan sendirinya akan memperbaiki kinerjanya. Transparasi dan keberpihakan DKL ini yang mungkin masih perlu kita perbincangkan daripada membangun lembaga-lembaga atau bidang lain, yang hanya membuat DKL akan dipenuhi oleh anggota atau pengurus, tetapi pekerjaan dan perannya tetap tidak jelas.

Sebab, menurut hemat saya, sudah cukup banyak lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang bergerak di bidang seni dan budaya. Ada Dinas Pariwisata, ada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, ada Taman Budaya Lampung, ada Dewan Kesenian Bandar Lampung, dan kemudian Dewan Kesenian Lampung dan lain sebagainya. Tapi, keberadaan lembaga-lembaga ini belum sungguh-sungguh menyentuh pelaku seni dan masyarakat. Seperti asyik sendiri dengan program-programnya.

Sekali lagi, kurang optimalnya kinerja DKL mungkin disebabkan ketidak jelasan peran, tugas dan fungsinya sebagai lembaga kesenian yang semi-pemerintah ini. Jadi DKL, TBL, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata tidak saling sinergis. Atau, barangkali orang-orang yang duduk di lembaga-lembaga tersebut kurang berkualitas, dan kurang care dengan komunitas seni yang lain. Atau bahkan beberapa di antaranya sengaja membuat komunitas/sanggara seni sendiri, yang menjadi langganan untuk difasilitasi.

Pada konteks ini, DKL sesungguhnya diharapkan mampu menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga lain sehingga bisa mendorong adanya penghargaan tahunan terhadap seniman berprestasi secara berkala, termasuk menyelenggarakan program orasi kebudayaan, menerjemahkan buku, menerbitkan buku kesenian dan/atau kebudayaan Lampung, dan jika perlu bertugas memilih pengurus DKL, sebagaimana yang disampaikan oleh Bang Iwan Nurdaya Djafar, secara merata dan bukan itu-itu saja. Ide semacam ini tentu sudah sering didengungkan. Tapi pada kenyataanya nasib kesenian kita tak kunjung membaik, atau bahkan boleh dikatakan menurun, dan sebentar lagi terkubur oleh hiruk-pikuk politik dan kebutuhan ekonomi.

Termasuk mengetuk hati pengelola atau dosen sejumlah lembaga pendidikan tinggi (universitas) kita, yang seolah-olah antiseni itu. Termasuk belum optimalnya peran media yang kadang abai atau setengah tak peduli dengan berbagai peristiwa kesenian, dan kehidupan komunitas seni yang ada di Lampung.

Saya bersepakat dengan Bang Iwan, bahwa tugas terakhir ini bukan suatu hal yang aneh jika kita merujuk kepada Akademi Jakarta yang bertugas memilih pengurus Dewan Kesenian Jakarta. Selama ini pengurus DKL dipilih oleh tim formatur yang dibentuk secara dadakan pada saat musyawarah seniman oleh para peserta musyawarah. Kiranya hal ini dapat dipertimbangkan kembali seraya menimbang manfaat dan mudaratnya.

Termasuk pendapatanya tentang musyawarah seniman yang terkesan demokratis, tetapi hasilnya belum tentu membuahkan orang yang tepat untuk sesuatu jabatan. Musyawarah juga relatif mahal dari segi biaya, menyita energi karena mesti membentuk panitia dan melaksanakan musyawarah dengan segala dinamikanya yang belum tentu produktif, dan bisa menimbulkan perpecahan di kalangan seniman serta rentan “masuk angin”. Persoalan akan menjadi jauh lebih sederhana, murah, dan bisa menghasilkan pengurus yang tepat jika pengurus DKL dipilih oleh Badan Pembina DKL, yang menarik untuk direnungkan dan diperdebatkan dengan sungguh-sungguh.

Barangkali DKL lebih tepat sebagaimana Yayasan Seni dan Budaya Kelola, yang mencari dana, kemudian membentuk semacam badan kurasi untuk menyeleksi seniman atau kelompok seni yang layak diberi bantuan atau penghargaan, memberikan biaya untuk residensi dan lain sebagainya. DKL juga diharapkan mampu memediasi antara seniman dan pemerintah. Sekali waktu mungkin perlu membuat workshop dan pelatihan, menerbitkan buku dan sebagainya dalam rangka peningkatan kualitas seniman agar juga bisa bersaing dengan seniman dari daerah lain dan mungkin negara lain. Dan, itu semua bergantung peran dan fungsi DKl, sistem evaluasi-transparansi, termasuk besarnya anggaran yang dikelola tentunya.

Terakhir, kita juga perlu mengevaluasi, pelaku seni yang ada di Lampung. Benarkah sudah berprestasi? Benarkah layak untuk difasilitasi? Benarkah sudah menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, baik dalam konteks konsistensi dalam memproduksi pertunjukan/pameran yang berkualitas, riset/studi yang telah dilakukan, maupun event-event yang diikutinya? Jangan-jangan hanya merasa besar, jangan-jangan hanya merasa sudah berbuat, jangan-jangan hanya merasa hebat.

Sumber: Opini | Lampung Post, Rabu, 21 Januari 2015

0 on: "DKL Mau ke Mana?"