Syaiful Irba Tanpaka Sastrawan, Anggota Badan Pembina DKL |
Kita (seniman Lampung) berpikir dan karena itu Dewan Kesenian: Lampung (DKL) ada. Saya coba mengadaptasi kalimat fenomenal Rene Descartes “Cogito ergo sum” (Aku berpikir dan karena itu aku ada). Setidaknya begitulah saya mengapresiasi tulisan Iwan Nurdaya Djafar (IND, Menuju Pusat Kesenian Lampung, Lampost, 19/1), Alexander Gebe (DKL Mau ke Mana?, Lampost 21/1), dan Juperta Panji Utama (JPU) (Selamat Lahir YKL, Lampost, 22/01), yang menunjukkan kepeduliannya terhadap lembaga yang (seharusnya memang) menjadi kebanggaan seniman Lampung ini.
Meskipun kemudian saya membaca IND tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri. Atau mungkin waktu 21 tahun membuat ia berpandangan lain? Sebab, di awal pembentukan DKL, IND bersikeras untuk menolak keberpusatan bagi aktivitas kesenian. Karena itu, lahirlah Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/423/B.III/HK/1993 Tanggal 17 September 1993 tentang Pengukuhan Pengurus Pentas Kesenian Daerah Lampung Periode 1993—1996, yang terdiri dari DKL, Yayasan Kesenian Lampung (YKL), dan Dewan Kehormatan Seniman Lampung
(DKSL). Pentas dan bukannya pusat!
Padahal, waktu itu merujuk AD/ART Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang terdiri dari Akademi Jakarta (AJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ). Seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, sekarang Institut
Kesenian Jakarta) merupakan perangkat YKJ yang pengelolanya bertanggung jawab kepada Badan Pengurus YKJ.
Artinya, jika PKL jadi terbentuk, Badan Pengelola Gedung Kesenian (BPGK) (baiknya memang) merupakan perangkat dari YKL. Kita harapkan YKL juga mampu mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Lampung (LPKL). Sebab, keberadaan LPKL ini tidak saja menjadi prestise bagi daerah, tetapi juga membuka kesempatan luas bagi para seniman Lampung dalam proses belajar dan mengajar dalam pendidikan formal.
Posisi dan Pengurus DKL
Menarik untuk dicermati dari tulisan JPU mengenai DKL tidak jelas menyatakan posisi. Hal yang sama ditulis Alexander Gebe apakah (DKL) sebagai lembaga mediasi antara seniman dan pemda, atau menjalankan program tertentu yang (pada implementasinya) tupoksinya sama dengan dinas/instansi lain yang menangani kesenian.
Jika merujuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, DKL adalah organisasi (kemasyarakatan) seprofesi. Sementara dalam teori non govermental organization (NGO), pola hubungan DKL dengan pemerintah daerah bersifat asosiatif dan independen, adapun tujuannya membangun iklim berkesenian yang kondusif, meningkatkan apresiasi masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan hidup seniman.
Peran sebagai katalisator dan fasilitator segenap potensi kesenian yang dijalankan DKL merupakan upaya-upaya pengembangan aktivitas, produktivitas, kualitas karya seni, serta meningkatkan wawasan seniman. Dengan demikian, yang menjadi sasaran binaan DKL cukup jelas, sehingga tidak overlap dengan lembaga atau dinas/instansi lain.
Karena itu pengurus DKL, khususnya mulai dari ketua harian, sekretaris, bendahara, dan jajaran ke bawahnya lazimnya adalah orang-orang yang tidak saja memiliki kepedulian terhadap perkembangan seni budaya, tetapi juga mau dan mampu berpikir secara manajerial. Punya waktu luang untuk betul-betul mengurus DKL. Sebab, jika hanya cepat bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, tetapi lamban bertindak untuk kemaslahatan publik, terlebih lagi pinjam ungkapan pelukis Pulung Swandaru, (hanya) menjadikan DKL sebagai sawah ladang, (atau mempertahankan status quo), pertanyaan kita tentu sama seperti Gebe; DKL Mau ke Mana?
Lain halnya memilih ketua umum. Sejak DKL berdiri ada semacam konsensus, sebagaimana dalam tulisan saya, DKL dan Gedung Kesenian Lampung (Lampost, 10/10/2014), bahwa ketua umum DKL mestilah memiliki kepedulian terhadap pengembangan seni budaya, memiliki posisi strategis dan akses ke berbagai kalangan, serta mendapat persetujuan gubernur Lampung. Oleh sebab itu, sekadar pandangan yang perlu dipertimbangkan oleh ketua umum DKL yang baru nanti, terlebih jika tokoh itu dekat dengan pusat kekuasaan.
Karena itu, agar DKL lebih eksis dan mencor (pinjam istilah JPU) di tingkat nasional, memilih ketua harian mestinya ialah juga tokoh seniman Lampung yang tidak duduk di pemerintahan atau PNS. Hal ini untuk menghindari dualisme kepentingan, sehingga DKL benar-benar terurus dan tidak menjadi sosok yang hidup sungkan mati tak mau. Sebagai pelaksana sehari-hari ketua harian harus gesit, suka blusukan, serta memahami situasi dan kondisi untuk mengambil langkah-langkah strategis setelah melapor dan mendapat persetujuan dari ketua umum.
Perubahan AD/ART DKL
Perubahan AD/ART DKL sangat urgen dilakukan. Bukan saja untuk mewujudkan gagasan tentang PKL, atau menjadikan pengurus DKL dipilih oleh badan pembina seperti yang disarankan Gebe dan JPU, tetapi lebih dikarenakan (mungkin) satu-satunya organisasi yang belum tersentuh reformasi. Sebab, AD/ART DKL sekarang bersifat tertutup. Artinya, tidak ada pasal yang dengan jelas menyebutkan kriteria seniman yang harus diundang mengikuti musyawarah DKL (MDKL). Sementara pola hubungan dengan dewan kesenian kabupaten/kota hanya bersifat koordinatif dan konsultatif. Dengan demikian, kebijakan DKL tidak memiliki pengaruh absolut bagi dewan kesenian kabupaten/kota, sebagaimana organisasi-organisasi yang memiliki hirarki kepengurusan, mulai dari DPP hingga dewan pimpinan tingkat kecamatan.
Akibatnya, di satu sisi panitia MDKL dengan leluasa dapat mengundang mayoritas seniman yang akan mendukung rencana dan kepentingannya, dengan imbalan kemungkinan jadi pengurus. Lantaran hal inilah lahir anekdot buat DKL bahwa kalau mau jadi pengurus DKL harus jadi pengurus terlebih dahulu. Nah loh.
Sementara di lain sisi, seniman-seniman yang berada di luar kepengurusan bereaksi, mulai dari marah, kecewa, hingga apriori. Merasa tanpa DKL pun tetap bisa berkarya, berkreasi, dan berkesenian. Yang agresif menunjukkan ketidakpuasannya dengan aksi. Ini menjadi satu di antara banyak alasan kenapa MDKL sering berjalan panas dan tegang. Lantaran seniman di luar kepengurusan merasa jauh dari lembaga yang semestinya memperjuangkan hak-hak mereka.
Eksklusivisme serupa ini tentu saja harus segera disudahi. Perubahan AD/ART yang lebih terbuka mesti dilakukan. Kalau tidak, keberadaan DKL yang diamanahkan sebagai wadah kebersamaan seniman yang saling asah, asih, dan asuh justru akan sebaliknya; menjadi sebab perpecahan seniman. Tabik.
Sumber: Opini | Lampung Post, Kamis, 29 Januari 2015
0 on: "Kenapa DKL Eksklusif?"