Jumat, 30 Januari 2015

Perlukah Redefinisi DKL dan Pembentukan YKL?

Alexander GB
Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Lampung
Menarik menyimak tulisan Panji Utama, Selamat Lahir YKL (Lampung Post, 22 Januari 2015). Panji mengapungkan tata kelola dan organisasi kesenian di Lampung termasuk yang ditawarkan Iwan Nurdaya-Djafar dalam Menuju Pusat Kesenian Lampung (Lampung Post, 19 Januari 2015). Semua ini tentulah karena pergulatan dan rasa cinta terhadap kesenian di lampung, dan spesifik DKL, yang tentu saja sangat saya apresiasi.

Menurut saya ada beberapa hal yang perlu diluruskan pada tulisan tersebut, karena juga menyangkut perbaikan peran dan fungsi dkl untuk masa pengurusan 2011-2015 dan selanjutnya.

Hal yang kemudian diamplifikasi sedemikian rupa oleh Panji Utama atau teman-teman pencinta dan pemerhati seni di Lampung, baik di media sosial, di berbagai diskusi serius, atau yang asyik-asyik saja adalah tentang ‘kelemahan mendasar’ yang membuat DKL dianggap tidak jelas posisi, peran, dan fungsinya.  Lalu ia mempertanyakan DKL itu organisasi massa, organisasi sosial, organisasi profesi, kini partai politik, LSM pelat merah atau apa.

Sesungguhnya definisi dan perannya sudah jelas dalam AD/ART DKL, termasuk tugas pokok dan fungsinya. Hanya mungkin aplikasinya dilapangan belum sungguh-sungguh tercermin pada etiap program yang dilaksanakan Komite yang ada di DKL dengan tepat.

Lalu, mari kita tengok pendapat Panji selanjutnya: “Sebab, statusnya mak jelas, DKL ibarat rumah tangga yang gagal: tidak jelas siapa orang tuanya (pengayom), anak-anak (seniman) hidupnya kocar-kacir dan morat-marit, tidak memiliki harta (aset sumber daya) yang dapat dijadikan penyelesai masalah akan datang, dan tidak memiliki harga diri (karya seni) yang wow. (YKL)”

Barangkali kalimat-kalimat ini terlalu bombastis dan mungkin juga perlu direnungkan penulisnya kembali,  khususnya menyangkut program dan nasib seniman. Perlu juga saya beritahukan bahwa komite-komite di DKL telah melaksanakan program-programnya. Jika masih ada kelemahan, ada beberapa catatan, itu pastilah.  Termasuk ada beberapa program yang mungkin dianggap kurang bisa mengakomodasi kebutuhan seniman yang ada di Lampung, ini bisa menjadi bahan introspeksi pengurus DKL. Termasuk gaungnya tidak sampai nasional apalagi internasional, dan dianggap belum mampu menyejahterakan seluruh seniman di Lampung. Namun, ini tidak bisa serta merta dianggap sebagai kegagalan.  Program hal ini tentu disebabkan beberapa hal, baik itu anggaran maupun daya dukung lain yang memang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pada periode ini.

***

Lalu Panji Utama juga menyatakan ‘DKL gagal sebagai rumah, senimannya morat marit,’ pendapat ini saya rasa sedikit gegabah, oelh sebab itu perlu dilihat atau dikaji kembali.  Sebab perlu ada tolok ukur yang jelas, sebelum sesuatu disebut gagal tidaknya, apalagi ini sebuah lembaga. Dan kita harus pula melihat kegagalannya itu tepatnya di mana?

Untuk menilai sesuatu, kita tentu menggunakan kacamata tertentu, berdasar pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Perlu kejelasan kriteria sesuatu dikatakan gagal dan tidak  agar kemudian tidak hanya bergerak di wilayah subyektif, yang setiap kepala bisa jadi berbeda. Kritik sangat diperlukan untuk perbaikan kita semua, dan menjadi bahan evaluasi DKL tentunya.

Namun, sekali lagi perlu diungkapkan poin mana yang dikatakan gagal; apa pada pengurus-pengurus yang dianggap tidak becus, kebijakan-kebijakannya yang kurang sejalan dengan seniman, program-programnya yang tidak berkualitas, sistem pertanggungjawaban ke kepada public yang dianggap kurang transparan, atau soal mekanisme pemilihan ketua umumnya saja? Dan mungkin perlu ada contoh lembaga kesenian yang berhasil itu yang seperti apa dan bagaimana?

Dan (mungkin) Bang Panji lupa, bahwa di Lampung, selain DKL, ada sekitar tujuh dewan kesenian: Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL), Dewan Kesenian Metro (DKM), Dewan Kesenian Lampung Timur (DKLT), Dewan Kesenian Tanggamus (DKT), Dewan Kesenian Lampung Selatan (DKLS), Dewan Kesenian Lampung Tengah (DKLT), Dewan Kesenian Lampung Utara (DKLU. Belum lagi ada Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Taman Budaya Lampung, dan sebagainya.

Semua Dewan Kesenian dan lembaga-lembaga ini saya rasa juga memiliki tanggung jawab untuk juga turut mengembangkan dan memperjuangkan kesenian sesuai dengan ruang lingkupnya. Sumbangsih DK kabupaten/kota, seperti kita ketahui bersama, juga punya peran yang tidak kecil dalam mendorong kehidupan seniman dan pelaku seni di Lampung saat ini. Jadi, tidak adil juga jika DKL jadi tersangka tunggal bagi kegagalan perkembangan seni kita.

***

Oke, sekarang kita mundur, sedikit lebih jauh. Ini pemikiran saya, dan tentu bisa salah. Entah sejak kapan, mungkin sejak Orde Baru atau bahkan sejak Orba, seni dan budaya, termasuk filsafat, bukan menjadi bagian penting dalam menggerakkan kehidupan dan laju peradaban kita bukan?

Hal ini berimbas pada sistem pendidikan, pada kurikulum yang diterapkan di sekolah, pada mental dan sikap masyarakat, termasuk dalam perencanaan pembangunan di setiap daerah. Seni tidak dimatikan atau dilarang, tapi dibiarkan telantar.

Seni dan budaya kemudian mulai diperhatikan ketika ada jargon pendidikan karakter dan yang terbaru adalah revolusi mental oleh pemerintahan baru kita. Namun, kondisi masyarakat sudah terlalau lama apriori terhadap seni, karena yang digemakan, digemparkan, digandakan, dan diproduksi secara berlebihan adalah sisi negatifnya semata. Pandangan dan sikap negatif terhadap kesenian sudah demikian mengakar, sudah demikian dalam tertanam, hingga ke bentuk yang paling banal adalah minimnya anggaran untuk kesenian.

Tentu, Bang Panji yang sudah puluhan tahun bergulat dan memperhatikan kesenian mahfum dengan kondisi peradaban Lampung yang setengah jahiliah bagi seni dan pemikiran ini, belum lagi minim juga orang yang sungguh-sungguh memperjuangkannya, dan dalam perjalanannya terus-menerus digerus oleh sejumlah kepentingan, baik politik maupun ekonomi.

Jika kepengurusan periode ini dianggap gagal atau tak berhasil memberi dampak nyata bagi perkembangan kesenian di Lampung, lalu dianggap pengurus DKL bukan orang yang berkompeten, tentu boleh-boleh saja, namanya opini kan. Dan saya sangat menunggu orang-orang yang berkompeten dan adilihung itu.

Sekali lagi, yang pasti, komite –komite di DKL telah berbuat, telah melaksanakan kegiatan-kegiatan sesuai dengan anggaran dan kapasitasnya.

***

Saya bersepakat dengan pembentukan Yayasan Kesenian Lampung, yang katanya tidak bisa ditunda itu. Barangkali memang benar bisa menjadi salah satu solusi untuk makin menggairahkan kehidupan kesenian di Lampung. Meski, mungkin terkesan buru-buru dan sporadis, respons yang muncul dari sebentuk kepanikan, yang bisa saja justru menimbulkan masalah baru.

Tapi, sebagai sebuah gagasan, mengapa tidak dicoba, meski tidak ada yang bisa menjamin, bahwa keberadaan YKL diisi orang-orang yang memiliki kompetensi dan karakter adiluhung, termasuk isu perang dingin yang membabi-buta, hingga ada pendapat ‘terwujudnya YKL sekarang, kesenian di Lampung moncer.’

Barangkali kita juga perlu meredefinisi DKL itu sendiri, meredefinisi seni dalam kepala kita, sambil menunggu sejumlah ahli yang sedang mengodok AD/ART DKL ke depan, semoga hasilnya bisa memenuhi harapan semua pihak.

Terakhir, soal seniman yang tidak punya harga diri (karyanya) dan morat-marit, itu hanya perspektif bang Panji saja. Bahwa nasib kesenian di Lampung masih perlu diperjuangkan, itu benar. Teater Satu pimpinan Iswadi Pratama dan Imas Sobariah dengan segala cara telah menunjukkan bahwa seni di Lampung kini juga pantas dibanggakan, termasuk prestasi di dunia sastranya.
Termasuk seniman-seniman dari bidang yang lain, yang memilih menyingkir dari keriuhan, menolak untuk merasa diri paling benar, paling tahu. Menghindar dari sikap yang tak mau sesekali berefleksi, yang lebih fokus pada apa yang sudah diperbuat untuk turut menghidupi seni di Lampung tercinta.

Banyak seniman yang memilih berproses, belajar dan berkarya saja, yang mungkin belum mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang sebanding untuk mereka. Nah, sekarang tentu masyarakat Lampung menunggu langkah konkret semua pihak, yang katanya, peduli dengan nasib kesenian kita.
Menunggu perbaikan kinerja Dewan Kesenian Lampung, perbaikan system evaluasi, kualitas program-programnya, termasuk kejelasan posisioning DKL sebagai salah satu lembaga yang (mestinya) bersinergi dengan seniman, dengan lembaga-lembaga seni dan budaya yang lain, serta dengan masyarakat dalam mendorong perkembangan seni di Provinsi Lampung yang (meminjam istilah Bang Panji) lebih “wow”.

Sumber:  Opini | Lampung Post, Rabu, 28 Januari 2015

0 on: "Perlukah Redefinisi DKL dan Pembentukan YKL?"