Sabtu, 31 Januari 2015

PEGANGAN ATAS BARA: SEKILAS CATATAN TENTANG DORONGAN ETIS SENI

Remi Silado, Novelis


REMY SYLADO*

[dibacakan di Sekolah Tinggi Seni dan Desain di Bandung pada 27 Januari 2015 dalam Kuliah Umum "Kaum Muda, Multikultur, dan Kreativitas" ]

1. Saya ingin melihat karya seni rupa dalam pengertian tunggal, antara seni-murni (fine art) dan seni-terpakai (applied art), tanpa direpotkan oleh diskursus estetika atasnya yang lazim berbelit-belit dan pakeukeuh-keukeuh uraiannya, kecuali saya hendak mengapresiasi ikhtiar kerjanya semata yang real menyangkut konteks lema kreativitas yang dilaraskan pada lema imaginasi.

2. Sebelum itu, terlebih dulu saya ingin menyimak dengan nalar dan hati atas suatu kosakata khusus bahasa Indonesia yang mengandung pengertian kreatif, yaitu verba 'mencipta'. Khusus dalam seni rupa, verba ini saya terima sebagai ikhtiar kerja kausal mulai dari menggagasnya sampai mewujudkannya menjadi substansi estetis nan kasatmata. Existensi materialnya dibuktikan dengan pancaindra.

3. Dalam bahasa Arab lama sebelum tarikh Hijriah, sebutan untuk orang yang mencipta karya seni rupa, atau pembuat, atau peseni yang melahirkan wujud karya estetis itu, baik patung maupun lukisan, sebutannya adalah 'al-bari'.

4. Tapi, sejak zaman Bahri Mamluk, kata 'al-bari' tidak dipakai untuk menyebut manusia karena sebutan ini berpindah, dipakai khusus untuk menyebut salahsatu dari asma Allah, dan bersamaan dengan itu seni rupa, baik patung maupun lukisan, dilarang. Dasarnya adalah kekuatiran kalau-kalau lukisan dan patung tersebut disembah seperti yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

5. Permisi, punten, kulanuwun. Walaupun kepalang saya menyebut di atas kata kafir, maaf, saya tidak terpanggil untuk membahasnya, baik dari sudut kebahasaan maupun sudut teologi.

6. Padahal saya tahu, dalam peta seni rupa modern yang kita kaji sejarahnya di dalam kebudayaan Barat, dan kemudian kita lintaskan di sini sebagai barang rampung dalam tindakan akulturasi, yaitu yang meliputi pemikiran filsafat keindahannya, maka pandangan tentang kafir atau bahasa Inggrisnya sekadar unbelief, atau Prancisnya 'infidèle dan Belandanya 'ongelovige pernah menjadi diakusi tersendiri ketika kekristenan yang menjadi fondasi peradaban Barat diuji dengan menerima Torah kitabnya Yahudi, menjadi kitab Kristen pula.

7. Adapun kata bari atau 'al-bari' tersebut diserap dari kata bahasa Ibrani, bara dalam lafal yang nyaris sama.

8. Sumber tulis dari filologi paling tua di dalam sejarah peradaban atas kata bara ini tersua pertama kali dalam kitab bahasa Ibrani yang dipegang oleh pihak Yahudi dan kemudian juga Kristen bernama 'Bereshith' pasal 1 ayat 1.

9. Kitab 'Bereshith' ini dipercaya sebagai karya perdana Nabi Musa. Atau setidaknya kitab ini ditulis sebagai pegangan suci bani Israel sejak abad ke-13 sebelum Masehi, yaitu sekitar masa hidupnya Nabi Musa.

10. Terjemahan kitab 'Bereshith' di dalam bahasa Barat, di luar bahasa Latin dan Yunani, lazimnya dikenal sebagai Genesis. Terjemahan Inggrisnya dibuat oleh Raja James pada 1611. Lalu terjemahan Belandanya diterbitkan pada 1618 di bawah pengawasan Staten-Generaal der Verenigde Nederlanden. Dan terjemahan Melayu dibuat di Jakarta oleh Melchior Leijdecker di bawah perintah VOC dan dicetak di Amsterdam pada 1733. Bahasa Indonesia sekarang menyebut kitab ini 'Kejadian'.

11. Kata bara sendiri dalam terjemahan Inggrisnya adalah create. Kemudian terjemahan Belandanya 'schiep. Dan terjemahan Prancisnya adalah créa. (Bahasa Prancis secara ofisial, dipakai di Indonesia pada masa pemerntahan Daendels).

12. Izinkan saya mengutip teks bahasa Ibrani dari kitab tersebut. Nasnya begini, "Bereshith bara Elohim eth hasyamayyim veth haaretz. Ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai In the beginning God created heaven and earth Lalu, terjemahan bahasa Belandanya "In den beginne schiep God den hemel en de aarde." Dan terjemahan Prancisnya Au commencement Dieu créa les cieux et la terre.

13. Apa sebenarnya yang saya inginkan dalam mengacu kutipan nas di atas? Tak lain untuk membahas kerja kreatif dalam mencipta seni rupa di mana saya mencirikan bahwa ikhtiar mencipta ini, merupakan pengejawantahan tubuh-roh-jiwa insani dari teladan ilahi yang dihubungkan dengan bacaan nas tersebut.

14. Dasarnya, Tuhan bekerja, maka manusia pun harus bekerja.

15. Kesimpulannya sederhana, namun praktiknya tertib, bahwa dengan mengacu kata 'bara' sebagai padan mencipta' itu, saya sudah menekankan pengertian paling asasi dari teladan ilahi itu yang harus dilakukan manusia dalam ikhtiar kerjanya sebagai kewajiban insaninya.

16. Ketika saya mengatakan tentang ikhtiar kerja di kasad teladan Tuhan yang bekerja, maka dengannya saya mengkotbahi diri sendiri, bahwa zaman apapun dan keadaan bagaimanapun, manusia harus bekerja supaya berhak makan dan hidup. Wabakdu setelah itu moga-moga bekerja seni dalam arti 'bara' ini, diberkati Tuhan, sebab di situ peseni mencontohi Tuhan: bahwa 'bara' adalah menjadikan yang tiada menjadi ada.

17. Sekian tahun silam orang-orang tua Indonesia geram melihat anaknya yang rasuk ke sekolah tinggi seni rupa. Waktu tu seni rupa yang diketahui awan hanya melulu melukis dan mematung saja. Dalam pandangan orang-orang tua itu, tidak ada masa depan bagi pelukis dan pematung, seakan-akan bakat seni rupa itu bukan anugrah ilahi melainkan kutukan dewata.

18. Tapi, alhamdulillah, keadaan itu berubah. Kini orangtua bijak-bestari melihat harapan tersendiri bagi anak-anaknya yang mempelajari seni rupa demi masa depannya nan terhormat. Sekadar hiburan untuk diketahui, mantan Gubemur Jakarta mengirim anaknya belajar seni rupa di Jerman supaya menjadi perupa yang dihormati.

19. Seni rupa pun tidak cuma patung dan lukis dipagari bingkai, tapi juga semuanya dalam artian rupa-rupa seni, yang berhubungan dengan kepandaian dan keterampilan tangan mewujudkan ikhtiar kerja kreatifnya tersebut, didukung oleh pikiran yang cendekia serta perasaan yang terbuka dan hasilnya menjadi bagian dari kebutuhan budaya dalam tatanan kontemporer, tatanan masakini.

20. Berbicara tentang kebutuhan budaya di dalam tatanan masakini, dengannya saya ingin disetujui, bahwa keahlian seni rupa dari hasil tempa pendidikan formal kesenirupaan merupakan sesuatu yang mustahak bagi kecendekiaan perupa. Dengannya saya tidak perlu bicara soal bakat yang terang merupakan wilayah Tuhan nan rahmani & rahimi, tapi terutama menghormati upaya perupa untuk menjadi cendekiawan lewat pendidikan formalnya tadi.

21. Di dalam pendidikan seni rupa yang saya maksudkan di atas, kita bicara lebih spesifik pada pengetahuan dasar kebudayaan, khususnya konteks keberadaan insani menyangkut hak hidupnya secara individual dalam lingkung kehidupan orang lain yang jamak. Rangsangan ke arah itu kiranya yang saya katakan di sini sebagai realitas nan niscaya, ditentukan oleh kemauan dan kesungguhan belajar dalam pendidikan formal kesenirupaan tersebut.

22. Dengan berbicara soal pendidikan formal kesenirupaan, maka gambaran masa depan yang akan kita masuki sebagai seseorang di antara orang-orang adalah menjadi diri sendiri dengan kemampuan tapi sekeligus juga keterbatasan di dasar fitrah paling asasi yang seyogyanya kita syukuri sebagai anugrah ilahi dan bukan kutukan dewata.

23. Maksudnya, manakala kita menjadi diri sendiri. lengkap dengan kerja alat driya dan sikap batin yang berbeda dengan orang lain maka tak pelak kita justru melihat adanya orang lain tersebut sebagai pihak jamak yang mesti kita hormati, karena mereka adalah penikmat yang mengapresiasi hasil kerja kreatif seni rupa kita.

24. Menjadi diri sendiri tidalah berarti tanpa mencamkan diri orang lain tersebut. Di tingkat mubtadi, mencamkan karya orang lain dapat berarti belajar dari pengalaman orang itu, yaitu menyerap secara sadar dan menerimanya sebagai pendorong yang memberi pengaruh.

25. Di luar itu, eksistensi orang lain tersebut, bolehlah dianggapnya sebagai pesaing terhadap kerja kreatifnya. Haruslah diterimanya itu sebagai isyarat objektif berkesenian, yaitu khususnya seni rupa di kasad ini. Bahwa memang di dalam realitas berkesenian harus selalu ada pesaing yang mesti diperhitungkannya secara terhormat. Pertumbuhan dan perkembanan seni justru sehat karena adanya pesaing tersebut.

26. Galibnya pesaing pun memberi pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan seni, bukan terbatas hanya seni rupa saja, tapi juga rupa-rupa seni yang lain.

27. Pengetahuan tentang pengaruh sebagai kekuatan, kita lihat dalam semua seni. Dalam istilah terpakai seni rupa, gejala ini disebut oleh Salvador Dali sebagai 'derivasi'. Dalam sastra antaralain T.S. Eliot menyebutnya sebagai encouragement. Dan dalam istilah musik, ketika dibahas soal melodi kontrapuntik J.S. Bach pada musik G.F. Handel, di situ pengaruh tersebut diistilahkan sebagai reminiscenza.

28. Setelah itu, yang mustahak pula untuk diungkap adalah, bahwa kualifkasi penemuan diri sendiri dari ikhtiar menyerap atau megamati karya orang lain yang mempengaruhinya, dan notabene telah menjadi dirinya sendiri, yaitu karena antaralain diejawantahkan melalui kerja alat driya yang berbeda disertai sikap batin yang karuan berbeda pula itu, selanjutnya menjadi diskusi tersendiri yang ajeg untuk diapresiasi. Ini dilaraskan dengan pengetahuan kita tentang hakikat bara. Tantangannya, bagaimana bara melahirkan karya yang personal dengan hasil maximal menurut citra individual sabagai ciri seni-seni kontemporer.

29. Apa yang saya maksudkan dengan pikiran di atas tak lain adalah ingatan akan ngengrengan hidup dalam tatanan kontemporer, bahwa setiap hasil kerja kreatif seni rupa dengan pegangan 'bara' yang dipelajari ilmunya secara sungguh-sungguh, memang harus menghasilkan harapan masa depan. Dengan bahasa kakilima saya ingin bilang, perupa adalah pedagang yang menjual karya dan masyarakat adalah pembelinya. Ini instansi kerjasama yang harus dipelihara dalam tatanan kontemporer tersebut.

30. Kerjasama merupakan kata elok akan subsistensi seni rupa yang dicipta dengan 'bara' oleh perupa. Artinya, perupa sebagai subjek, idealnya memandang peminat karya seni sebagai objek untuk diterangkan tentang visi dari sikap batin yang khas dan kerja alat driya yang berbeda itu, dalam rangka melahirkan sebentuk kerja seni yang personal dan tak sama dengan karya si anu dan si polan.

31. Salahsatu atau kalau tidak satu-satunya pegangan paling hakiki dalam memelihara kerjasama itu adalah dialog: yaitu bagaimana perupa sebagai intelektual memberi pandangan dalam wacana pertanggungjawaban verbal atas visi yang diejawantahkannya lewat 'bara' atas karya seni rupanya itu kepada awam yang mengapresiasinya.

32. Saya menganggap dialog merupakan pengetahuan paling cantik dalam pendidikan masa depan yang kudu dimulai sekarang lewat pengajaran seni. Sebab segala hal menyangkut pikiran dan perasaan seseorang dalam manifestasi kerja kreatifnya memang sangatlah personal dan karuannya individual, sehingga dibutuhkan isyarat-isyarat objektif yang pandai dan pengetahuan itu harus dibagikan. Dengan dialog kita bukan mencekok, tapi bertukar pikiran untuk mencapai tingkat objektivitas yang laras dan tahan kritik atas ciptaan seni yang mewakili visi personal tersebut.

33. Tahukah Anda, Puan-Puan & Tuan-Tuan, bahwa bahkan Allah pun berdialog ketika Ia mencipta manusia?

34. Dalam kitab 'Bereshith' tadi, pada pasal 1 ayat 26, teks aslinya adalah 'btzalmenu khidmuthenu'. Terjemahan Inggrisnya yang dikenal sebagai King James Version adalah "Let 'us' make man in 'our' image and after 'our' likeness." Perhatikan, 'us' dan 'our' itu plural, bukan singular. Artinya Allah nan mahaesa itu pun melakukan dialog dengan pihak lain. Dalam eksegesis filologis di dunia Kristen, pihak lain itu adalah Roh Kudus. Semua terjemahan bahasa-bahasa Barat untuk perikop ini mengartikan acuan plural itu sebagai sebuah dialog. Misalnya terjemahan bahasa Belandanya, "Lat 'Ons' mensen maken, naar 'Ons' beeld, naar 'Onze' gelijkenis." Atau terjemahan Prancisnya "Faisons lhomme, à notre image, selon notre ressemblance." Dan terjemahan dialog ini dalam bahasa Jawanya "Mara 'Kita' akarya manusa kang mirip gambar lan pasemon 'Kita'."

35. Alhasil, setelah selesai membaca catatan yang saya simpulkan sebagai dorongan etis untuk karya estetis, maka saya membuka hati untuk berdialog dengan Anda. Mari kita berdialog.

*Remy Silado
Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 69 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia.

Ia memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan puisi mbeling.

Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, drama, dan tahu banyak akan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.



sumber:
https://www.facebook.com/RemySylado23761/posts/665028066939523

0 on: "PEGANGAN ATAS BARA: SEKILAS CATATAN TENTANG DORONGAN ETIS SENI"