Remy Silado |
Hidup di era modern dan tinggal di kota besar, menurut Remy Sylado membutuhkan kesadaran yang total untuk menjadi manusia kosmopolit.
“Kita harus sadar, tidak ada satu kota besar atau metropolitan di dunia manapun yang hanya didiami satu atau beberapa golongan saja. Semua kota besar, bahkan kota-kota di Jerman di zaman nazi di mana pernah punya kebijakan arogan menyatakan diri sebagai ras unggul sekalipun, kehidupan kota-kota di Jerman tetap dihuni warga masyarakat intertribal,” ujarnya kepada Katakini.com, Selasa 27 Januari 2015, sesaat setelah mengisi acara seminar Seni di Kampus Sekolah Tinggi Desain Indonesia (STDI) Bandung.
Karena itu, masyarakat di perkotaan, terutama pejabatnya harus memiliki kesadaran nasional dan internasional. “Kaki kita berpijak pada lokal, tapi harus berpikir nasional, kebangsaan, dan juga memiliki kesadaran internasional di mana kita hidup senantiasa harus menjunjung tinggi solidaritas interasial dan intertribal,” jelasnya.
Remy Sylado mencontohkan, misalnya masyarakat dan pemerintah Bandung dan kota lain, harus sadar bahwa hidup di kota ini tidak bisa berpikir cupet sukuisme karena isinya Bandung adalah orang-orang dari beragam suku. “Dari yang terdekat saja sudah komplek, misalnya Suku Banten, suku Jawa, suku Cirebon. Belum lagi suku dari luar pulau Jawa dan juga suku-suku dari bangsa luar negara. Ini berlaku bagi warga dan pemerintah di Surabaya, Semarang, Jakarta, Yogya, Medan dan seterusnya,” jelasnya.
Karena itulah Penulis Novel Perempuan Bernama Arjuna ini berpesan, “jangan sampai sudah tinggal di kota besar, kelakuannya masih missing link, sukuisme atau daerahisme,”katanya.
Remy juga menyinggung, pentingnya kesadaran Civic, yaitu kewargaan masyakarat perkotaan agar tidak melupakan semangat substantif dari Civil terkait dengan nilai-nilai dan hak-hak azasi manusia.
”Civic dan Civil terkait dengan virtue di mana nilai-nilai di dalamnya harus diperhatikan, dan kesemuanya untuk tujuan kemanusiaan, termasuk civic-islam yang sering dibicarakan di Bandung saat ini.”-Ika/Indri
*Remy Silado
Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 69 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia.
Ia memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan puisi mbeling.
Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, drama, dan tahu banyak akan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
Sumber: http://m.katakini.com/berita-remy-sylado-hidup-di-kota-jangan-sukuisme.html#sthash.n48c2ABm.dpuf
0 on: "Remy Sylado, Hidup di Kota Jangan Sukuisme"