Sedikit Catatan Tentang
Festival Monolog DKL 2014
By Alexander GB
Sudah sejak lama kita mengetahui, bahwa dalam dunia seni pertunjukan, panjang dan pendek durasi pementasan tidak menjadisoal. Yang terpenting adalah apakah pementasan itu bisa dinikmati penonton dengan baik atau tidak? Apakah akting aktornya meyakinkan atau tidak? Apakah suatu pementasan membawa gagasan-gagasan yang kalau pun tidak baru minimalnya menyegarkan? Bagaimana orang-orang peduli, menggeluti dengan segenap hati dan body pada dunia seni peran ini?
Lalu perbincangan akan terus berlanjut, pencatatan dan diskusi dilakukansetiap sesi, dan teater, tidak akan pernah akan ada kata selesai.
Ketika setiap pemeran telah mengenali dan mampumengoptimalkan perangkat keaktorannya, lalu perhatian kita akan tertuju bahwa pertunjukanyang harus jelas struktur pementasannya, iramanya, perspektifnya, bagaimanamenjalin adegan demi adegan, unsure-unsur yang lebih detail pada setiap aktingaktor-aktornya, tikungan-tikungan, keakuratan dalam mengartikulasikan teks kepadapenonton.
Lalu ada dokumentasi, ada manajerial, ada permerhati,ada peneliti, stakeholder, ada penonton –masyarakat. Hingga sampai pada suatu titik, bagaimana mengajarkan teater ke sekolah dan merasionalisasi setiap proses yang dilakukan, menemukan manfaat teater bagi individu dan dalam konteks pendidikan, bagi kecerdasan majemuk, bagi spritualitas, atau media yang mendorong individu menjadi lebih berkarakter, lebih jelas visi dan misinya dalam berkehidupan.
Semua itu adalah kerja-kerja konkrit, riil,nyata, yang tak cukup diperbincangkan di ruang-ruang diskusi, kata-kata sambutan, meja-meja rapat-rapat atau obrolan-obrolan di pinggir jalan. tentang yang tema dan proses yang berat atau ringan, teori-teori yang bertebaran di buku-buku dan internet dan lain sebagainya. Teater menuntut kesadaran, disiplin, dan dedikasi yang total dari kita semua.
Jika suka, jika ingin tahu, jika peduli, jika ingin memfasilitasi, jika ingin berproses, atau bahkan jika sekadar ingin publik teater, semua harus dijalani dengan penuh kesungguhan, bukan pura-pura. Sebab kepura-puraan tidak menghasilkan apa-apa, hanya menambah keruh perjalanan teater, sebagai seni pertunjukan, sebagai ilmu, sebagai media ekspresi, satu media yang diharapkan mampu menyibak hal-hal yang tersembunyi bahkan sampai pada alam bawah sadar kita, yang enggan kita akui, yang direpresi, ditutup-tutupi. Jadi tTeater menuntut kejujuran, kesungguh-sungguhan, keterbukaan,keberanian, keterampilan, kesetiaan, dan sebagainya, dan sebagainya.
Kebiasaan sekadar beretorika, membuat teater di Lampung hanya menyisakan sedikit kelompok teater yang mampu bertahan, yang secara konsisten tetap memproduksi pementasan, yang terus berlatih dan belajar.
Sementara di lingkungan pendidikan, tidak semua sekolah dan perguruan tinggi menjadikan teater sebagai kegiatan ekstrakurikuler utama, karena faktor keterbatasan-keterbatasan. Meski banyak orang mengatakan mengetahui banyaknya mafaat teater bagi perkembangan anak didiknya.
Lihatlah, komunitas teater independen yang hingga kini masih dan selalu memproduksi pertunjukan dan berproses, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Karena itu kita harus mencari strategi penciptaan dan penghadiran yang lebih sederhana tetapi tidak asal, lebih mudah tetapi tidak bukan berarti murahan, sehingga lebih bisa diterima pelaku dan publiknya. Sehingga teater semakin memasyarakat.
Pada titik inilah Komite Teater Dewan Kesenian Lampung mencoba merespon dan berharap selalu terlibat dalam setiap upaya untuk menciptakan situasi yang kondusif teater di Provinsi Lampung. Program yang diberi tajuk Festival Monolog DKL 2014 ini kami pikir menemukan relevansinya. Komite Teater DKL kemudian menggandeng UnitKegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung dalam penyelenggaraan kegiatannya.
Monolog atau one man play yang bertumpu pada aktor—keaktoran memungkinkan pementasandilakukan di mana saja. Di ruang yang kecil, yang tidak didukung fasilitaspertunjukan lengkap pun tetap bisa diberlangsungkan. Monolog sejak dulu telah menjadistrategi penciptaan teater Indonesia. Karena selain sederhana, murah, tetapi tidak murahan—tetap berwibawa. Monolog juga bisa menjadi solusi terbatasnyaaktor, terbatasnya naskah lakon, terbatasnya gedung pertunjukan yangrepresentatif, dan terbatasnya dana atau biaya produksi dan lain sebagainya.Pendanaan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menghantuikelompok-kelompok teater amatir ketika hendak berproduksi. Dan monolog bisamenjadi strategi bagi kelompok-kelompok untuk survive dimasa sulit sepertisekarang ini.
Sengaja kami tidak membatasi naskah dan genrenya, agar setiap peserta bebasmenentukan naskah dan proses penciptaan yang mereka kelola sendiri; daripemilihan dan pengembangan gagasan, menyusun struktur/notasi pertunjukan,perwujudan idiom-idiom kreatif sampai strategi dan bentuk presentasi karya di depan publik.
Sejak dulu monolog menjadi salah satu strategipenciptaan teater yang lebih efektif. Kerja teater yang lebih sederhana tidak perlu dibayang-bayangi ketakutandengan durasi panjang dan banyaknya pemain. Aktor secara mandiri mengatur lalulintas ide dan gagasan kreatifnya sendiri. Selain itu sumber teks juga lebihlonggar, bisa mengadaptasi dari lakon monolog yang sudah ada, cerpen, ataubahkan puisi.
Maka Festival Monolog 2014 adalah sebentuk upaya untuk menciptakan ruang bagi berlangsungnya peristiwa teater di Lampung,baik dalam kerangka produktivitas maupun kualitas, yang lebih kompetitif dan kondusif. Sehingga kehidupan teater di Lampung akan lebih terarah, semakin semarak, lebih asyik, lebih sederhana, lebih sublime, mampu menumbuhkansemangat dan daya kreatif pelaku teater, disertai proses laku cipta karya yang otentik dalam berkesenian.
Komite Teater DKL akan berkomitmen untuk mendorong terciptanya ruang-ruang kompetitif bagi pelaku seni di Lampung, untuk menguji kemampuan berteater khususnya keaktoran. Bersama teman-teman berupaya menciptakan situasi yang kondusif dalam berkarya atau berkreasi.. Memang ada banyak keterbasan, tetapi dari keterbatasan itu kita akan melihat kemungkinan untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi di masa mendatang. Sambil tetap berupaya untuk menjadikan teater sebagai wadah yang sesekali bisa diuji kemampuan berekspresi dan komunikasinya. Dan yang terpenting, adalah menjadi ruang silaturahmi yang intin bagi kita semua, membangun jaringan kerjasama antar pelaku dan stakeholder teater di Lampung.
Festival Monolog DKL 2014 telahj dilaksankan selama tiga hari, dari tanggal 28 - 30 November 2014 yang lalu dengan peserta 14 penampil, dari berbagai komunitas teater yang ada di Lampung. Setelah melihat penampilan seluruh peserta selama tiga hari itu, Juri memutuskan: Erika Bunga Rph, lakon Prita Isteri Kita karya Arifin C Noor, sebagai penampil terbaik I, Dwi Novita Safitri, lakon Permpuan Pilihan karya Iswadi Pratama sebagai penampil terbaik II, dan Anzanis Mardiana, lakon Sekaleng Lem dan Burung di Langit karya AS Laksana sebagai penampil terbaik III.
Apresiasi dan penghormatan yang tinggi kami sampaikan kepada seluruh peserta yang telah bertisipasi, yang telah dengan sepenuh hati mempersiapkan pertunjukannya, dan juga kepada seluruh penonton, yang selama tiga hari menjadi saksi beragam pertunjukan di Graha Mahasiswa Unila. Evaluasi dari Dewan Juri sudah disampaikan, soal pemilihan naskah, soal penyutradaraan, soal pendalaman dan pemanfaatn perangkat keaktoran dan lain sebagainya..
Terakhir,jika ingin menjadi pelaku, sungguh-sungguhlah dalam berproses, berlatih, berdisiplin, memburu pengetahuannya. Jika ingin sekadar peduli, tunjukkanlah kepedulianmu, jika ingin jadi pemerhati maka perhatikan dengan seksama, jika tertarik pada sisi keilmuannya pelajarilah dan tulis menjadi buku yang keren, menjadi esei atau apa pun, jika ingin donatur, sediakan dana yang memadai, jika ingin menjadi public jadilah public yang menyenangkan, dan jika ingin sekadar berteman, jadilah teman yang baik. Semoga Festival Monolog DKL ke depan akan lebih baik lagi.
Terimakasih.
Salam
Komite Teater DKL
0 on: "Teater: Menyadari Keterbasan, Melihat Kemungkinan"