Ahmad Yulden Erwin, Penyair |
Satu Catatan Tentang Puisi
Oleh Ahmad Yulden Erwin
Pada mulanya, puisi imajisme maupun surealisme bertolak dari kontradiksi untuk mematahkan personalisasi sang penyair di dalam teks puitik. Individuasi sang penyair yang tegak menjulang sebagai pusat dari estetika romantisme telah dipatahkan oleh estetika imajisme dan surealisme dengan melakukan depersonalisasi teks. Dengan demikian, diharapkan, sang penyair tak lagi hadir di dalam teks-teks puitik modern, oleh sebab “aku” yang ingin hidup seribu tahun lagi itu mesti lebih dulu mati sebelum puisi dituliskan.
Stilistika imajisme berfokus pada satu-dua objek-tematik serta menghadirkannya secara mendalam dan intensif dengan teknik jukstaposisi. “Jeda”, salah satu aspek penting dalam prosodi, tidak dihasilkan oleh permainan sintaksis puitik tetapi oleh bias semantik, melalui ambiguitas yang ditimbulkan dari kesenjangan antara makna denotatif benda dalam ruang rutin sehari-hari dengan makna konotatif benda dalam ruang imaji. Itulah sebabnya sejak mula para pelopor imajisme di Amerika Serikat pada awal abad ke-20, seperti Ezra Pound dan William Carlos Williams, secara interteks sangat dipengaruhi oleh puisi-puisi Cina klasik dan haiku Jepang.
Sementara di sisi lain stilistika surealisme menggunakan teknik penghadiran serentak aneka objek-tematik dalam satu ruang-waktu secara dialektik, menumpuk-numpuk benda serta renung batin dalam satu teks, menciptakan jeda dengan patahan-patahan sintaksis atau frase puitik untuk menghadirkan lompatan-lompatan makna, demi menghadirkan keheningan dalam satu bidang teks yang penuh. Untuk itu Andre Breton dan Paul Eluard di Prancis, sebagai pelopor dari puisi surealisme pada awal abad ke-20, membangun ars poetica surealisme dengan bertolak dari prinsip-prinsip dialektika Marxisme dan psikoanalisa Sigmund Freud. Andre Breton berpendapat dalam esainya, “Manifesto Surealisme”, bahwa hanya di dalam mimpilah dialektika sejarah dapat menjadi nyata. Rasa saya, pernyataan Andre Breton itu lebih merupakan sebuah parodi, atau ironi yang pahit, ketimbang sebuah afirmasi untuk mengubah sejarah.
Jujur saya akui, saya memang banyak terpengaruh oleh puisi-puisi imajis, dan, terutama, surealisme. Namun, kini saya tengah menapaki kembali jalan “sugesti” di dalam puisi. “Aku” dari sang penyair itu memang tidak mati, tetapi telah secara serentak menerima kehadiran aku-aku yang lain, baik aku-pembaca atau aku-lirik atau aku-objek sebagai “subjek-puitik”, untuk secara partisipatoris membuka dan sekaligus mencipta ruang estetik yang lain, untuk merayakan keanekaan, dari saat kini ke saat kini. Jeda di dalam teks puitik itu mungkin bukanlah sebuah ruang kosong yang alami, yang terberi, tetapi sebuah ilusi dari gerak materi dan pikiran yang dipilih oleh partisipan dalam medan komunikasinya. Hingga, dengan kehadiran jeda dalam ruang puitik itu, teks-teks puitik dapat menjadi organisme yang terbuka, menjadi “puisi yang hidup”.
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “sugesti” di dalam teks puitik? Bertahun-tahun pertanyaan itu ada terpendam di dalam pikiran saya. Dan, perlahan, saya mulai menyadari kini bahwa ia, sugesti itu, adalah semacam upaya sadar untuk mengafirmasi kehadiran subjek-puitik yang memang tidak pernah hilang, melainkan hanya terbelah, hanya terpecah, di dalam satu teks puitik.
Hal itu sama halnya seperti saat seorang ilmuwan fisika kuantum memilih sendiri persepsi dan “peralatan” yang dibutuhkannya untuk “mengamati” objek dari materi apatah akan menjelma sebagai subpartikel atau jejaring dawai hetoretik. Dalam fisika kuantum tak ada subpartikel atau dawai hetoretik yang bisa teramati tanpa partisipasi dari subjek pengamat. Begitu pun dalam konteks subjek-puitik. Subjek-puitik itu tidak hilang ke dalam apa yang disebut objektivisme dalam puisi-puisi modern, tetapi itu bukan pula subjektivisme naif dari era romantisme. Subjek-puitik itu hanya membelah diri menjadi aku-pembaca, aku-lirik, dan aku-objek demi menghadirkan dawai-dawai estetika ke dalam ruang puitik, dan dengan itu pula memungkinkan ruang penciptaan yang terus berulang setiap kali kita membaca satu teks puitik, lagi dan lagi, sekali pun itu satu puisi yang sama.
Pelan-pelan, tatkala saya tengah duduk di beranda sembari menatap gumpalan awan kemerahan yang lembut di langit senja, saya mulai menyadari bahwa kecenderungan saya menulis puisi-puisi “khaotik” selama ini dilatari oleh hal yang lebih mendalam ketimbang sekedar bermain stilistika atau memanfaatkan linguistika sebagai sarana eksperimentasi semata.
Saat menulis puisi saya memang memiliki kecenderungan untuk mencari “keluasan” di dalam segala aspek yang dianggap kecil, seperti, berhibuk menghitung jumlah grafem dalam medan fonem, atau menelisik relasi antara jeda dan rima antarkata demi menemukan satu irama puitik yang selaras dengan makna dari sintaksis, baik klausa maupun kalimat, pada satu teks puitik. Pula, saya memiliki kecenderungan untuk mematahkan struktur yang dianggap “tertib” (sekaligus membikin “beku” itu) demi menghadirkan kekosongan yang menghardik kebisuan dalam satu komposisi puitik.
Pada titik itu saya benar-benar melihat bahwa subjek-puitik memang selalu hadir di sana, melekangkan dirinya menjadi tiga pecahan: aku-lirik, aku-pembaca, dan aku-objek. Mungkin oleh itulah, saat menulis puisi, saya membiarkan saja sekian banyak subjek yang menjadi aku-lirik ganti-berganti bertukar peran menjadi kau, dia, kita, mereka, bahkan “ini” atau “itu untuk mengungkapkan selapis-selapis persoalannya di dalam satu teks puitik.
Begitulah, saya mulai melihat bahwa subjek-puitik di dalam puisi-puisi yang saya tuliskan memang tidak memiliki “persona” yang solid, sesolid “cogito” bagi Descartes, pun tak memiliki pusat sebagai rahim komposisi teks bagi puisi-puisi modern. Subjek-puitik itu sama sekali bukan persona yang mampu menghadirkan sosok binatang jalang atau pemeluk teguh. Juga bukan personafikasi dari benda-benda dalam semangat objektivisme Ezra Pound atau serakan benda-benda dalam dialektika alam mimpi Andre Breton. Lalu, apa?
Seperti gema genta kecil dari sebuah kuil di dalam memori saya, gema yang mengalirkan keheningan, pelan-pelan saya menemukan jawabannya secara paradoks dari satu konsepsi dalam ars poetica “Puisi Sugesti” yang saya tulis empat belas tahun lalu, bahwa subjek-puitik memang tidak mati di dalam ars poetica modern. Subjek-puitik itu terus hadir dari kini ke kini, bukan sebagai sebuah persona, tetapi sebagai latar yang retak, sebagai jeda dalam ruang puitik.
Dan sugesti, seperti yang kini saya pahami, lebih seperti sepotong afirmasi yang lirih untuk menyadari kembalinya kehadiran subjek-puitik sebagai latar bagi aku-lirik, aku-pembaca, dan aku-objek, dan, dalam terang cahaya itu, sugesti dapatlah dikatakan sebagai semacam “jalan-pulang”, semacam jalan setapak primordial bagi kembalinya subjek-puitik yang sesungguhnya memang tidak pernah pergi. Sugesti memang lebih seperti sebuah momen kekinian saat kita terjaga dari sepotong tidur yang gelisah, dan, tatkala kita membuka mata, serasa-rasa didekap oleh keharuan yang lembut, pelan-pelan kita pun mulai menyadari bahwa langit nan biru “di sana”, seperti juga langit temaram “di sini”, selalu terbentang sebagai sebuah lanskap yang hening di dalam ruang batin kita, di dalam jeda puitik itu.
Menulis puisi, bagi saya, kini bukan sekadar berhibuk mengejar untaian kata-kata puitis belaka, tetapi, lebih lagi, merupakan sebuah upaya untuk mengembalikan “lanskap sugestif” itu ke dalam teks puitik, sebuah lanksap yang retak dan sekaligus serupa cermin. Ia, cermin itu, bukan hanya dapat menampilkan wajah kita pada satu bidang retakannya, tetapi juga akan memantulkan bayangan paling gelap dari diri kita pada bidang retakan lainnya. Meski demikian, seperti karya seni lainnya, puisi hadir dalam peradaban manusia bukan untuk menghakimi, bukan untuk membatui, melainkan untuk memahami. Laiknya sepasang mata yang teduh dan penuh empati, puisi sungguh-sungguh dapat melihat bahwa engkau, sang aku-lirik itu, tiada lain adalah sang pembaca itu sendiri.
Suatu petang, sekira dua bulan lalu, tatkala saya tengah membaca buku “Tractus Logico-Philosophicus” karya Ludwig Wittgenstein, tiba-tiba saja saya melihat pada halaman buku itu ada terselip satu nota pembelian, begini tertulis: $ 7.95 in USA, Barnes & Nobel, DC.
Ingatan saya mendadak melayang pada pagi musim semi saat 15 derajat celcius memeluk bulan April, sepuluh tahun lalu. Saat itu saya sedang duduk minum kopi di satu sudut kafe yang sepi di Maryland, tak jauh dari stasiun kereta api metro di Dupont Circle, sembari membaca buku filsafat bahasa yang ringkas dan sekaligus luar biasa rumit karya Wittgenstein itu.
Tatkala saya tengah merenungkan beberapa kali mat pada bab terakhir buku itu, tanpa sadar saya tengah menatap lurus-lurus ke depan, dan, sekira dua meja, nampak seorang gadis manis bermata hijau tengah tersenyum menatap saya. Sedikit rikuh saya ba las senyumnya, sebelum geser mata membaca kalimat terakhir pada buku Wittgenstein itu: “Whereof one can not speak, thereof one must be silent.”
Tepat pada kata 'silent' saya mendengar derit kursi ditarik dan sebuah sapa lembut seorang gadis, “May I...”
Mungkin, takdir puisi pada abad ke-21 ini, bersama sealun nada dasar melankoli, bukan untuk mengubah sejarah, namun untuk “membangunkan” manusia-manusia yang ada dalam dialektika sejarah itu dari setiap mimpi mesianiknya, dari setiap utopianisme.
Buku Kumpulan Puisi karya Ahmad Yulden Erwin |
* Esai ini menjadi catatan pembuka dalam kumpulan puisi "Perawi Tanpa Rumah" karya Ahmad Yulden Erwin, cetakan kedua, 2015.
sumber: teraslampung.com
0 on: "Jeda dalam Ruang Puitik "