Kamis, 08 Januari 2015

Masnuna: Sang Maestro Sastra Lisan Lampung


Masnuna, Maestro Sastra Lisan


oleh Udo Z. Karzi

Suatu Senja Sebuah Pekon Sedendang Dadi

Selepas ashar menjelang magrib di Kampung Tanjungkemala, Kecamatan Pubian, Kabupaten Lampung Tengah, seorang nenek, seorang ayah, seorang ibu, dan beberapa anak tengah duduk di kursi di sebuah rumah sederhana. Terlalu sederhana sebenarnya jika dibandingkan kondisi rumah beton di sekelilingnya di kiri-kanan dan depan rumah ini. Ke sinilah kami bersama seniman muda Lampung Riagus Ria bertandang, Minggu (6-2).

Padahal di sinilah Masnuna (73), maestro dadi, sebuah bentuk sastra lisan Lampung yang dalam membawakannya mempunyai kesulitan tinggi, tinggal sejak berpuluh-puluh tahun lalu sejak disunting Abdul Hasan, pemuda desa ini tahun 1955. Boleh dibilang, sepanjang hidupnya, ia mengabdikan diri pada dadi dan seni tradisi Lampung lainnya, termasuk melestarikan sekaligus menjadi penjaga seni dadi.

Syair dadi yang Masnuna ciptakan dan kemudian ia lantun (Masnuna menyebutnya dengan istilah nyuara), sebagaimana ia tuturkan adalah bagian kisah panjang perjalanan hidupnya. "Saya nyuara berdasarkan pengalaman hidup sendiri. Sekarang boleh dibilang saya yang bisa nyuara," ujarnya.

Seperti sore itu, Masnuna nyuara (melantunkan dadi) dengan nada-nada tinggi, melengking, dan naik-turun. Suasana magis terasa memancar dari sosok sepuh Masnuna yang masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya, yang membuat kami terpaku. Ah, tidak sembarang orang bisa seperti ini. Sebuah eksotisme yang tersimpan dari khazanah budaya Lampung yang selama ini tersembunyi. Nyaris punah. Hampir tak ada yang peduli dengan kekayaan ini.

Maka, dengarlah Masnuna berkisah melalui dadi.

Batang tebu di tengah ghang
Di ilik-ilik sapi
Salai penyingok idang
Manisan ni mak lagi

Masnuna beribarat tebu di tengah jalan yang diinjak-injak sapi dan tempat lebah yang tidak memiliki madu lagi. Secara tersirat dia ingin mengatakan anggapan orang tentang dia yang tak lagi berguna. Kehidupan yang memprihatinkan, boleh jadi membuat orang memandangnya (bisa juga tradisi seni budaya Lampung! red) tidak lagi bermanfaat. Lalu,...

Lamon haga dikenang
Tantu mak mema dai
Sekigha ya dipandang
Haghapan gila api

Hampir tak ada sesuatu yang patut menjadi kenangan. Jika memang perlu dilihat, apa yang dapat diharapkan? Ini cerita tentang keterpinggiran, keterbelakangan, dan keterpurukan orang-orang Lampung yang diwakili suara dadi Masnuna. Orang-orang yang kemudian menjadi asing dengan diri sendiri, adat sendiri, dan kebudayaan sendiri. Orang-orang yang seperti putus harapan, merasa tersingkirkan, dan makin tidak berguna.

Bunga layu di pampang
Tiyak di tengah kali
Ya lapah ngambang kambang
Miba nutuk way mili

Dan, bunga layu di cabang lalu jatuh di tengah sungai. Berjalan terombang-ambing menuruti arus air sungai. Masnuna menggambarkan dengan tepat bagaimana terjadi gegar budaya dalam komunitas tradisi orang Lampung. Malu menjadi orang Lampung, tetapi sesungguhnya nilai-nilai baru yang dianggap ideal sebagai pengganti jauh dari teraih.

Jadilah, orang yang serbabingung. Tercerabut dari akar dan lalu kehilangan jati diri. Dalam kondisi ini, terjadilah anomitas, sebuah kondisi masyarakat yang kehilangan nilai. Adat mak tipakai, tetapi menjadi manusia modern juga tidak.

Menghadapi kondisi ini, Masnuna hanya berujar lirih.

Sejarah sa dibuang
Kak ghadu kualami
Ibaghat ngubak bawang
Wat bawak mak buisi

Masa lalu telah berlalu ibarat mengupas bawang, ada kulit tapi tiada berisi. Barangkali, Masnuna hendak berkata berhati-hatilah dalam menjalani kehidupan kepada yang muda-muda. Jangan lupa dengan perjalanan kehidupan (seni-budaya?) agar tidak menjadi sia-sia. Semua itu harus benar-benar dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan.

Masnuna mengenang masa lalu saat dadi masih menjadi bagian yang integral adat-istiadat dan tradisi di pekon (desa, kampung). Muda-mudi fasih terdengar melantunkan dadi yang mempunyai kesulitan cukup tinggi. Soalnya, tidak semua orang Lampung mampu berbahasa Lampung dalam bahasa tinggi sebagaimana lazimnya syair-syair dadi.

Kini, boleh dibilang, Masnuna-lah satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang masih eksis. Sosok yang dulu sempat menjadi primadona dadi kini seperti terlupakan. Hidupnya terlampau sederhana. Kondisi rumah yang memprihatinkannya karena masih berlantai tanah dan berdinding bambu menjadi gambaran betapa sederhananya kehidupan keluarga Masnuna.

Bagi Masnuna, dadi agaknya menjadi bagian integral hidupnya. Ia terkenal luas karena kemampuan melantunkan dadi. Walaupun begitu, ia tidak pernah mau menerima bayaran atas jasanya men-dadi. Sehari-hari, seusai salat subuh, ditemani anaknya, Abdul Samat, dan dua cucunya, Sri Astuti dan Elisa, biasanya mereka pergi ke ladang. Suaminya yang menikahinya tahun 1955 telah meninggal.

Di ladang inilah, Masnuna kerap menurunkan ilmu dadi pada kedua cucunya. Dalam kehidupannya, Masnuna tak pernah alpa berdoa. Bahkan, di setiap langkah hidupnya, dia selalu mengawali dengan doa kepada Sang Pencipta.

Kekonsistenannya mempertahankan keberadaan dadi dan tradisi lisan Lampung lainnya seolah tidak mendapat perhatian banyak pihak. Terbukti, hanya dia yang kini mampu men-dadi dengan segenap totalitas.

Generasi muda? "Mereka jelas lebih tertarik dengan orkes, musik pop atau pesta-pesta yang jauh melenceng dari tradisi," kata Masnuna.

Akibatnya, kini hampir tidak ada generasi muda yang tertarik mempelajari dadi. Alasannya, sudah ketinggalan zaman dan sulit memahami bahasa dadi. Anaknya pun tak begitu menguasai. Wajar saja Masnuna prihatin.

Pelantun dadi lain yang hingga tahun 2000 masih bertahan, sudah meninggal. Seperti Pangeran Matapunai yang wafat tahun 2003 dan Ali Pangeran Pengadilan Yawafatas 1997. Sedangkan dua lainnya, yaitu Hasan Peyimbang Raja dan Saerah tengah menderita stroke.

Mata tua Masnuna langsung bersinar begitu kami memintanya melantunkan dadi. Ada kebanggaan yang tersisa dari tatapannya yang makin merabun. Ia mengaku beberapa syair dadi agak terlupakan.

Tapi, toh ketika men-dadi, ia dengan lancar melantunkannya. Cukup dengan mengingatnya sebentar dan tak lama kemudian ia ber-dadi dengan suara tinggi bak punai yang berceracau dengan penuh kegembiraan.

Kelisanan Masnuna ternyata tidak membuat Masnuna menjadi gampang lupa. Masnuna juga mampu menciptakan syair dadi secara spontan.

Ketika Lampung Post meminta Masnuna men-dadi dalam acara hari ulang tahun yang ke-30, Agustus 2004 lalu umpamanya, dia berhasil menciptakan syair dadi dalam beberapa jam dalam perjalanan dari Tanjungkemala ke Bandar Lampung.

Riagus Ria sempat khawatir Masnuna tak bisa membawakan dadi dengan sempurna dalam acara yang dihadiri berbagai kalangan itu. Tapi, kekhawatiran ini tak perlu karena terbukti Masnuna men-dadi dengan lancar dan mampu menyedot pesona dalam acara tersebut. Masnuna benar-benar maestro dadi!

Anak-Anak Muda Makin Jauh dari Tradisi

MASNUNA, lahir di Kampung Segalamider, Pubian, Lampung Tengah, tahun 1932. Bakat seninya mengalir dari ayahnya, Dalom Muda Sebuway, dan ibunya, Siti Aminah, yang menganggap seni sastra (tradisi) sebagai sesuatu yang sakral dan karena itu harus dipelajari.

Hidup dalam suasana penjajahan Belanda dan Jepang ikut menempa Masnuna menjadi pribadi yang kukuh dan pantang menyerah. Kegetiran hidup ini banyak mewarnai karya-karyanya.

Karena menganggap seni itu sakral, Masnuna rela berpuasa berhari-hari untuk mengolah vokal agar melengking nyaring dan menyelami dalam air sambil membaca memmang (mantra/doa). "Sekali menyelam dan menahan napas dalam air saya harus melafalkan tujuh mantra," kata Masnuna.

Prosesi menyelam sambil membaca mantra ini terus-menerus dilakukan sejak kecil untuk mendapatkan napas yang panjang. Sebab, untuk nyuara (istilah ini dipakai Masnuna menyebut kegiatan melantunkan berbagai sastra lisan seperti dadi, kias, dll.), terutama dadi, dibutuhkan suara panjang. Apalagi untuk melantunkan dadi dibutuhkan teknik vokal yang mumpuni.

Jangan heran, dadi yang meluncur dari bibir Masnuna terdengar merdu. Meskipun Masnuna mengaku biasa-biasa saja saat mendendangkan dadi, orang yang mendengar akan terkesima. Seakan ada daya magis saat dia melantunkan dadi. Memang, untuk mencapai kemampuan melantunkan dadi yang sempurna, tidak sembarang orang bisa.

Sebelum menciptakan atau melantunkan dadi umpamanya, Masnuna sedikit waktu untuk melakukan upacara kecil untuk merapalkan memmang. Dia menyebutkan tiga macam memmang, yaitu memmang betik bunyi untuk suara bagus agar yang mendengar terkesima, memmang penerang hati untuk memudahkan mengarang (inspirasi), serta memmang pesirep agar orang memperhatikan dan terpesona.

Sejak remaja, sekolah sampai kelas 4 sekolah rakyat, hingga menjadi ibu rumah tangga, Masnuna larut dalam seni. Selain dadi, ia mahir juga melantunkan berbagai seni tradisi lisan Lampung Pubian lainnya. Wajar saja jika peneliti sastra dari Amerika Serikat, Tim Smith, saat meneliti sastra lisan Pubian menjadikan Masnuna sebagai salah satu narasumbernya.

Masnuna menikah dengan Abdul Hasan, pemuda asal Tanjungkemala, Pubian, Lampung Tengah. Penikahannya ini tidak menyurutkan langkahnya untuk terus berkesenian. Dia menjadi guru dadi, pisaan, kias, babagh sughat, diker, dan mengaji. Kini, bakat keseniannya ia wariskan kepada putra satu-satunya, Abdul Somad St. Turunan yang menjadi penghulu di Tanjungkemala.

Selain telah tampil dalam berbagai acara adat di Lampung Tengah, Masnuna menjadi seniman andalan dalam acara Ragom Budaya Lampung (RBL), sebuah acara yang menampilkan berbagai kesenian tradisi Lampung di RRI Bandar Lampung setiap Sabtu malam. Dia juga pernah tampil membacakan dadi dalam Kongres Cerpen Indonesia III di Bandar Lampung (2002), Lampung Art Festival II (2003), Pertemuan Dua Arus (2004), dan HUT ke-30 Harian Lampung Post (2004).

Masnuna merasa kian sepuh. Ia makin khawatirkan tentang nasib kesenian tradisi. Sekarang saja, boleh dibilang hanya dia yang bisa melantunkan dadi. "Anak-anak muda makin jauh dari tradisi mereka sendiri," ujarnya.

Kondisi ini dibenarkan seniman muda yang mulai menekuni kesenian tradisi Lampung, Riagus Ria. Padahal, menurut Agus, sebagai aset budaya, berbagai seni tradisi ini bisa menjadi kekuatan lokal yang patut dibanggakan. "Sayang sekali kalau sampai punah," katanya.

Sastra Lisan 'Dadi' 

DADI yang dikenal dalam masyarakat adat Lampung marga Pubian, menurut seniman Riagus Ria, menuntut teknik pelafalan yang cukup rumit. Tidak sembarang orang bisa men-dadi karena untuk melantunkannya membutuhkan pernapasan panjang dan lengkingan suara.

Dalam bahasa Lampung, dadi mengandung arti sindiran dan makna yang sangat mendalam. Di samping menggunakan bahasa yang halus, ia bisa mengandung dua atau lebih makna. "Dadi biasanya dilantunkan saat pergantian tahun, panen raya, pertemuan bujang gadis, sebelum atau sesudah acara gawi, bahkan disiapkan dalam pertemuan khusus untuk mengadakan dadi," ujar Riagus.

Dadi biasa dilantunkan beberapa pasang gadis dan bujang. Di belakang gadis dan bujang ada guru yang mengajarkan jawaban-jawaban, sehingga mereka menirukan lagi kosakata yang diajarkan di belakang tadi. Di antara pengajar dan barisan bujang-gadis tadi dibatasi dengan lelit/kebung (tirai pembatas), sehingga yang mengajarkan tidak tampak.

Jika dua kelompok sedang beradu dadi, salah satunya pindah pematang (makna bait yang baru dilantunkan tidak sesuai dengan bait sebelumnya), ia dianggap kalah.

Menurut Masnuna, ada enam macam irama dadi: lagu dibi (irama senja), lagu tengah bingi (irama tengah malam), lagu kuwasan (irama menjelang pagi), lagu punia nanoh (irama naik-turun), lagu salah undogh (irama awal ditinggikan, kemudian irama berikutnya rendah), dan lagu ngelumpat (irama tidak beraturan).

kliping tentang Masnuna 1

Kliping Masnuna 2

0 on: "Masnuna: Sang Maestro Sastra Lisan Lampung"