Minggu, 25 Januari 2015

TENTANG TEATER TUBUH*


Ari Pahala Hutabarat, Pimpinan/Sutradara KoBER Lampung


Interview with Ari Pahala Hutabarat M.Pd.

Tanya
Apa alasan anda memilih bentuk atau jenis teater tubuh untuk pertunjukan yang Anda kreasikan, bukankah teater non tubuh atau teater realis sudah begitu rupa menyediakan dirinya?

APH
Karena bentuk teater tubuh menyediakan dan memungkinkan gagasan untuk berkomunikasi dalam beberapa level/lapisan/ layer komunikasi kepada audiensnya.

Pada teater non tubuh, teater realis misalnya, komunikasi hanya berlangsung pada satu layer, yaitu lapis kognisi—yang di dalam pertunjukan biasanya di-driver oleh kisah, cerita—dan pada mulanya bahasa verbal. Sedangkan kita tahu bahwa bahasa verbal amat terbatas medan pemaknaannya. Paling jauh medan komunikasi yang bisa dimasuki oleh teater realis adalah pada ranah atau layer afeksi atau emosi atau perasaan audiens. Nah, teater tubuh memungkinkan proses komunikasi bergerak ke lapisan yang lebih dalam, yang lebih primal dari individu yang berpartisipasi menonton pertunjukan—yaitu lapisan biologis atau fisikal.

Saya menyukai dan menghendaki agar bentuk pertunjukan yang saya garap atau mainkan menawarkan, secara serentak, kepada penonton beberapa lapisan/layer medan pemaknaan tersebut. Jadi pertunjukan tersebut bisa menyasar sekaligus tiga ranah/lapis pusat pemaknaan yang ada pada diri penonton, yaitu pusat kognisi, yang ada di kepala—medan dimana ‘bahasa/kisah’ berkomunikasi melalui pikiran dan pemikiran. Lalu pusat emosi, yang ada di dada—dimana ‘emosi, perasaan, empati dan simpati terhadap ksiah atau tokoh terjadi. Dan pusat fisikal/naluri—yang ada di bawah pusar—dimana interaksi antara tontonan dan penonton tak lagi bisa dibahasakan secara pikiran maupun emosional karena ia sudah bersifat biologis dan lebih dalam.

T
Apakah Anda menganggap bahwa teater non tubuh atau teater realis sudah tak kuasa menampung pikiran-pikiran atau ide-ide artistik Anda   pada situasi kekinian?

APH

Tergantung konteksnya. Jika kita berkeinginan untuk menyampaikan ‘sekedar’ gagasan melalui kisah atau sekedar hendak menyasar atau berkomunikasi dengan pikiran/aspek kognisi penonton, maka Realisme masih amat memungkinkan.

Sejauh ini saya berproses dengan keinginan dan hasrat yang kuat untuk tak hanya berkomunikasi dengan ‘pikiran’ penonton. Saya tak hendak ‘mengadu argumentasi, beradu intelektualitas’ dengan penonton. Karena kalau tak hati-hati kita akan terjebak hanya pada semacam snobisme. Saya berkehendak untuk ‘membagi pengalaman’ bersama penonton. Pengalaman yang tak hanya bersifat kognisi, tapi lebih dalam dari itu, yaitu pengalaman afeksi dan biologis atau ketubuhan.

Dan kehendak saya tersebut tak hanya berhenti pada apa yang terjadi pada diri audiens—saya menghendaki pengalaman tersebut pertama-tama dan terutama juga berlangsung dalam diri aktor-aktor saya. Dalam teater realis—dengan intensitas penghayatan dan keterampilan yang paling maksimal sekalipun—sang aktor pada akhirnya hanya ‘berperan’, ia ‘memainkan orang lain’. Dalam realisme akan selalu ada jarak, ada gap, antara sang aktor dengan tokoh atau peran yang dimainkannya. Dan jarak atau gap ini tak hanya terjadi antara aktor dengan tokoh yang ia perankan—tapi pada akhirnya—antara aktor dengan ‘dirinya sendiri’. Nah, aktor yang ‘berjarak dengan dirinya sendiri’ ini menurut saya merupakan ‘kecelakaan terbesar’ yang didapat dari dunia teater. Teater bukannya berhasil mengembalikan aktor dengan dirinya yang sejati atau the real self-nya, tapi malah menambah topeng-topeng baru/persona-persona bagi aktor. Pada titik ini—teater telah gagal menjalankan fungsinya. Ia tak mampu lagi melakukan transformasi.

Proses transformasi, menurut saya, pertama-tama haruslah terlebih dahulu berlangsung dan terjadi pada diri aktor—barulah setelah itu berlangsung pada diri penonton/audiens yang menyaksikan—dan setelah itu masyarakat banyak. Dan teater tubuh, jika dilakukan dengan ontologi dan epistemologi yang benar, akan mampu menjadi media bagi transformasi tersebut.  Ontologi di sini dimaksudkan—sebagai pertanyaan mendasar yang harus bisa dijawab terlebih dahulu; apa itu teater? Apa itu tubuh? apa fungsi tubuh dalam teater? Apa itu Teater Tubuh?  Apa yang membedakan teater tubuh dengan bentuk teater lainnya?

Epsitemologi dimaksudkan sebagai; how to-nya? Apa yang harus dilakukan agar ‘tubuh’ benar-benar mampu kembali menjadi ‘tubuh’? bagaimana cara training-nya agar tubuh menjadi maksimal dalam pertunjukan teater dan teater tubuh? Dan lain-lain…

Kedua ihwal ini harus mampu dirumuskan jawabannya terlebih dahulu. Kalau tidak, Teater Tubuh hanya akan menjadi semacam pelarian dari para insan teater karena tak mampu mendaya-gunakan kemampuan aktingnya dengan baik, karena tak mampu berperan ‘secara realis’ dengan baik, karena tak mampu ‘berkisah’ dengan baik. Kedua ihwal tersebut harus mampu dijawab terlebih dahulu, agar Teater Tubuh tak hanya sekedar eksentrik, tampil beda, ngulet-ngulet, yang penting bergerak, dan lain-lain—seperti yang banyak dituduhkan para penonton dan kritikus saat melihat presentasi Teater Tubuh.
T
Menurut Anda, apa yang terasa kurang pada teater realis/non tubuh pada konteks situasi kekinian?

APH
a) Yang kurang pada teater non tubuh pada konteks situasi kekinian adalah—ia, jika tak dilakukan dengan semacam kewaspadaan, hanya akan menambah hiruk-pikuk dunia yang sudah hiruk-pikuk dan cerewet ini.

Situasi saat ini sudah sangat banal, cerewet, dan banjir informasi. Teater, terutama yang masih mengandalkan bahasa dan cerita sebagai kendaraan utamanya, saat ini tak hanya berlangsung di panggung2 teater, tapi juga ada di facebook, twitter, media massa, televisi, dan lain-lain. Setiap hari kita dikepung dan dibanjiri oleh kisah dan bahasa.  Pertukaran ‘kisah dan cerita’ terjadi setiap menit. Jadi, jika tak hati-hati, maka teater hanya akan menambah ‘hiruk-pikuk informasi verbal’ tersebut.    

Hanya ‘pertukaran emosi dan tubuh’ yang masih bisa meloloskan diri dari kemajuan teknologi, meskipun melalui berita-berita TV kita masih juga kerap tersulut emosi. Berarti hanya pertukaran pengalaman ketubuhan/biologis yang tak bisa diperdagangkan oleh teknologi informasi.

b) Kekurangan teater realis/ non tubuh yang kedua pada situasi kekinian adalah—terbatasnya medan komunikasi yang terjadi antara pertunjukan dengan audiens. Seperti diuaraikan di atas—komunikasi teater realis hanya berlangsung pada ranah kognisi—dan paling mentok—afeksi/emosi. Penonton saat ini, menurut saya, membutuhkan komunikasi atau pengalaman yang lebih dalam dari sekedar dua hal itu. Penonton membutuhkan pengalaman yang bersifat ketubuhan, biologis, organik. Pengalaman yang dihasilkan karena adanya pertukaran energi antara tubuh aktor dan tubuhnya. Pengalaman yang dihasilkan karena adanya pertemuan antara ‘tubuh esensial/primal’ pada diri aktor dengan dengan ‘tubuh publik/kerumunan’ pada diri penonton.

T
Apakah kekuatan teater tubuh sehingga ia mampu mengambil alih kreatifitas untuk menjadi media pengucapan psiko-sosial di ruang publik?

APH
Kekuatannya terletak dari kedalaman medan komunikasi seperti yang diuraikan di atas—bahwa teater tubuh, sekali lagi jika ia mampu dipresentasikan dengan tepat dan benar ontologi dan epistemologinya, akan mampu ‘mentransformasi’ penonton dan masyarakat. Teater tubuh akan memberikan pengalaman yang lebih intens dan dalam.

Masyarakat atau penonton sekarang tak perlu lagi diajari dan atau ditawari kisah-kisah, karena mereka sudah pinter-pinter, sekolahnya sudah tinggi-tinggi, dan pergaulannya sudah kosmopolit. Hanya saja mereka bergerak, cepat, di level permukaan. Semua aspek bergerak di level permukaan/surface. Pergaulan tak memungkinkan dan tak menghendaki segala sesuatu yang subtil, intim, dan ‘antar-tubuh’. Dalam situasi yang kering semacam ini—teater tubuh bisa menjadi subversi. Teater tubuh bisa menjadi medan konfrontasi secara langsung dan badaniah antara ‘yang banal’ dengan ‘yang subtil’, antara ‘tahu/knowing’ dengan ‘mengalami/experiencing’.

Sekali lagi, transformasi hanya dimungkinkan oleh adanya perubahan pada level fisikal, laku, hara, dan bukan sekedar terjadi pada level tahu, pengetahuan, kepala.

T
Seiring waktu dan dinamika masyarakat, menurut Anda bagaimana masa depan teater tubuh?

APH
Sangat cerah dan pasti akan menuju ke sana, karena kemungkinan medan komunikasi-nya lebih luas dan dalam.

Semakin bertambah hari, maka akan semakin bertambah pula kemajuan teknologi—dan ini membawa konsekuensi akan bertambah terasing pula manusia/individu pada dirinya sendiri. Segala sesuatu akan bisa dilakukan tanpa perlu mengadakan interaksi fisikal secara langsung. Segala sesuatu bisa dipercepat. Dalam situasi seperti ini—maka individu secara naluriah akan kembali merindukan ‘dirinya’ sendiri. Setiap individu pasti akan kembali merindukan ‘interaksi organis’ terjadi dalam hidupnya. Dan di sinilah Teater Tubuh akan menemukan rujukannya yang semestinya. Teater tubuh akan menyediakan dirinya sebagai wahana, sebagai medium, bagi setiap individu untuk kembali menemukan dan mengalami ‘tubuh esensial-nya’. Teater Tubuh akan mengembalikan ‘tubuh-tubuh publik/kerumunan’ itu  kembali menjadi ‘tubuh-tubuh personal/primal’.

Jika teknologi akan membawa manusia mencari dan menemukan ‘surga’ yang ada di depan, maka Teater Tubuh akan membawa manusia mencari dan menemukan ‘surga’ yang ada di belakang, di kampung halamannya, di dalam dirinya.

Tanjung Karang, 17 Juli 2014


Ari Pahala Hutabarat
Sutradara dan Pimpinan Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung, selain sebagai sutradara teater dikenal sebagai penyair beberapa buku karyanya, Menanam Benih Kata (Tentang Menulis Puisi), 2010.  Akting Menurut Stanislavski (Sebuah Pengantar) dutulis bersama Iswadi Pratama, 2012, buku kumpulan puisi berjudul Dusta Hantu Hujan, 2012. Beberapa pementasan yang disutradarainya; Hamlet karya Willian Shakespeare, Inpektur Jendral karya Nikolai Gogol, Pinangan karya Chekov, Rhasomon karya Ryunosuke Akutagawa, Wu Wei dan Siapa Nama Aslimu karya Ari Pahala hutabarat,  The Song Of Dayang Rindu karya Ari Pahala Hutabarat. selain di KoBER ia juga adalah Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung, 2010 - 2014.   

* sebagian dari tulisan ini telah dimuat di Majalah Teater, Dramakala.

0 on: "TENTANG TEATER TUBUH*"