Ari Pahala Hutabarat, Pimpinan/Sutradara KoBER Lampung |
Interview with Ari Pahala Hutabarat M.Pd.
Tanya
Apa alasan anda
memilih bentuk atau jenis teater tubuh untuk pertunjukan yang Anda kreasikan,
bukankah teater non tubuh atau teater realis sudah begitu rupa menyediakan
dirinya?
APH
Karena bentuk teater tubuh menyediakan dan memungkinkan gagasan untuk berkomunikasi dalam beberapa level/lapisan/ layer komunikasi kepada audiensnya.
Karena bentuk teater tubuh menyediakan dan memungkinkan gagasan untuk berkomunikasi dalam beberapa level/lapisan/ layer komunikasi kepada audiensnya.
Pada teater non tubuh, teater realis misalnya, komunikasi
hanya berlangsung pada satu layer, yaitu
lapis kognisi—yang di dalam pertunjukan biasanya di-driver oleh kisah, cerita—dan pada mulanya bahasa verbal.
Sedangkan kita tahu bahwa bahasa verbal amat terbatas medan pemaknaannya.
Paling jauh medan komunikasi yang bisa dimasuki oleh teater realis adalah pada
ranah atau layer afeksi atau emosi atau perasaan audiens. Nah, teater tubuh
memungkinkan proses komunikasi bergerak ke lapisan yang lebih dalam, yang lebih
primal dari individu yang berpartisipasi menonton pertunjukan—yaitu lapisan
biologis atau fisikal.
Saya menyukai dan menghendaki agar bentuk pertunjukan yang
saya garap atau mainkan menawarkan, secara serentak, kepada penonton beberapa
lapisan/layer medan pemaknaan
tersebut. Jadi pertunjukan tersebut bisa menyasar sekaligus tiga ranah/lapis
pusat pemaknaan yang ada pada diri penonton, yaitu pusat kognisi, yang ada di
kepala—medan dimana ‘bahasa/kisah’ berkomunikasi melalui pikiran dan pemikiran.
Lalu pusat emosi, yang ada di dada—dimana ‘emosi, perasaan, empati dan simpati
terhadap ksiah atau tokoh terjadi. Dan pusat fisikal/naluri—yang ada di bawah
pusar—dimana interaksi antara tontonan dan penonton tak lagi bisa dibahasakan
secara pikiran maupun emosional karena ia sudah bersifat biologis dan lebih
dalam.
T
Apakah Anda menganggap bahwa teater non tubuh atau teater realis sudah tak kuasa menampung pikiran-pikiran atau ide-ide artistik Anda pada situasi kekinian?
APH
Tergantung konteksnya. Jika kita berkeinginan untuk
menyampaikan ‘sekedar’ gagasan melalui kisah atau sekedar hendak menyasar atau
berkomunikasi dengan pikiran/aspek kognisi penonton, maka Realisme masih amat
memungkinkan.
Sejauh ini saya berproses dengan keinginan dan hasrat yang
kuat untuk tak hanya berkomunikasi dengan ‘pikiran’ penonton. Saya tak hendak
‘mengadu argumentasi, beradu intelektualitas’ dengan penonton. Karena kalau tak
hati-hati kita akan terjebak hanya pada semacam snobisme. Saya berkehendak
untuk ‘membagi pengalaman’ bersama penonton. Pengalaman yang tak hanya bersifat
kognisi, tapi lebih dalam dari itu, yaitu pengalaman afeksi dan biologis atau
ketubuhan.
Dan kehendak saya tersebut tak hanya berhenti pada apa yang
terjadi pada diri audiens—saya menghendaki pengalaman tersebut pertama-tama dan
terutama juga berlangsung dalam diri aktor-aktor saya. Dalam teater
realis—dengan intensitas penghayatan dan keterampilan yang paling maksimal
sekalipun—sang aktor pada akhirnya hanya ‘berperan’, ia ‘memainkan orang lain’.
Dalam realisme akan selalu ada jarak, ada gap,
antara sang aktor dengan tokoh atau peran yang dimainkannya. Dan jarak atau
gap ini tak hanya terjadi antara aktor
dengan tokoh yang ia perankan—tapi pada akhirnya—antara aktor dengan ‘dirinya
sendiri’. Nah, aktor yang ‘berjarak dengan dirinya sendiri’ ini menurut saya
merupakan ‘kecelakaan terbesar’ yang didapat dari dunia teater. Teater bukannya
berhasil mengembalikan aktor dengan dirinya yang sejati atau the real self-nya, tapi malah menambah
topeng-topeng baru/persona-persona bagi aktor. Pada titik ini—teater telah
gagal menjalankan fungsinya. Ia tak mampu lagi melakukan transformasi.
Proses transformasi, menurut saya, pertama-tama haruslah
terlebih dahulu berlangsung dan terjadi pada diri aktor—barulah setelah itu
berlangsung pada diri penonton/audiens yang menyaksikan—dan setelah itu
masyarakat banyak. Dan teater tubuh, jika dilakukan dengan ontologi dan
epistemologi yang benar, akan mampu menjadi media bagi transformasi tersebut. Ontologi di sini dimaksudkan—sebagai
pertanyaan mendasar yang harus bisa dijawab terlebih dahulu; apa itu teater?
Apa itu tubuh? apa fungsi tubuh dalam teater? Apa itu Teater Tubuh? Apa yang membedakan teater tubuh dengan bentuk
teater lainnya?
Epsitemologi dimaksudkan sebagai; how to-nya? Apa yang harus dilakukan agar ‘tubuh’ benar-benar mampu
kembali menjadi ‘tubuh’? bagaimana cara training-nya agar tubuh menjadi
maksimal dalam pertunjukan teater dan teater tubuh? Dan lain-lain…
Kedua ihwal ini harus mampu dirumuskan jawabannya terlebih
dahulu. Kalau tidak, Teater Tubuh hanya akan menjadi semacam pelarian dari para
insan teater karena tak mampu mendaya-gunakan kemampuan aktingnya dengan baik,
karena tak mampu berperan ‘secara realis’ dengan baik, karena tak mampu
‘berkisah’ dengan baik. Kedua ihwal tersebut harus mampu dijawab terlebih
dahulu, agar Teater Tubuh tak hanya sekedar eksentrik, tampil beda, ngulet-ngulet,
yang penting bergerak, dan lain-lain—seperti yang banyak dituduhkan para
penonton dan kritikus saat melihat presentasi Teater Tubuh.
T
Menurut Anda, apa yang terasa kurang pada teater realis/non tubuh pada konteks situasi kekinian?
Menurut Anda, apa yang terasa kurang pada teater realis/non tubuh pada konteks situasi kekinian?
APH
a) Yang kurang pada teater non tubuh pada konteks situasi
kekinian adalah—ia, jika tak dilakukan dengan semacam kewaspadaan, hanya akan
menambah hiruk-pikuk dunia yang sudah hiruk-pikuk dan cerewet ini.
Situasi saat ini sudah sangat banal, cerewet, dan banjir
informasi. Teater, terutama yang masih mengandalkan bahasa dan cerita sebagai
kendaraan utamanya, saat ini tak hanya berlangsung di panggung2 teater, tapi
juga ada di facebook, twitter, media massa, televisi, dan lain-lain. Setiap
hari kita dikepung dan dibanjiri oleh kisah dan bahasa. Pertukaran ‘kisah dan cerita’ terjadi setiap
menit. Jadi, jika tak hati-hati, maka teater hanya akan menambah ‘hiruk-pikuk
informasi verbal’ tersebut.
Hanya ‘pertukaran emosi dan tubuh’ yang masih bisa
meloloskan diri dari kemajuan teknologi, meskipun melalui berita-berita TV kita
masih juga kerap tersulut emosi. Berarti hanya pertukaran pengalaman
ketubuhan/biologis yang tak bisa diperdagangkan oleh teknologi informasi.
b) Kekurangan teater realis/ non tubuh yang kedua pada
situasi kekinian adalah—terbatasnya medan komunikasi yang terjadi antara
pertunjukan dengan audiens. Seperti diuaraikan di atas—komunikasi teater realis
hanya berlangsung pada ranah kognisi—dan paling mentok—afeksi/emosi. Penonton
saat ini, menurut saya, membutuhkan komunikasi atau pengalaman yang lebih dalam
dari sekedar dua hal itu. Penonton membutuhkan pengalaman yang bersifat
ketubuhan, biologis, organik. Pengalaman yang dihasilkan karena adanya
pertukaran energi antara tubuh aktor dan tubuhnya. Pengalaman yang dihasilkan
karena adanya pertemuan antara ‘tubuh esensial/primal’ pada diri aktor dengan
dengan ‘tubuh publik/kerumunan’ pada diri penonton.
T
Apakah kekuatan teater tubuh sehingga ia mampu mengambil alih kreatifitas untuk menjadi media pengucapan psiko-sosial di ruang publik?
Apakah kekuatan teater tubuh sehingga ia mampu mengambil alih kreatifitas untuk menjadi media pengucapan psiko-sosial di ruang publik?
APH
Kekuatannya terletak dari kedalaman medan komunikasi
seperti yang diuraikan di atas—bahwa teater tubuh, sekali lagi jika ia mampu
dipresentasikan dengan tepat dan benar ontologi dan epistemologinya, akan mampu
‘mentransformasi’ penonton dan masyarakat. Teater tubuh akan memberikan
pengalaman yang lebih intens dan dalam.
Masyarakat atau penonton sekarang tak perlu lagi diajari
dan atau ditawari kisah-kisah, karena mereka sudah pinter-pinter, sekolahnya
sudah tinggi-tinggi, dan pergaulannya sudah kosmopolit. Hanya saja mereka
bergerak, cepat, di level permukaan. Semua aspek bergerak di level permukaan/surface. Pergaulan tak memungkinkan dan
tak menghendaki segala sesuatu yang subtil, intim, dan ‘antar-tubuh’. Dalam situasi
yang kering semacam ini—teater tubuh bisa menjadi subversi. Teater tubuh bisa
menjadi medan konfrontasi secara langsung dan badaniah antara ‘yang banal’
dengan ‘yang subtil’, antara ‘tahu/knowing’
dengan ‘mengalami/experiencing’.
Sekali lagi, transformasi hanya dimungkinkan oleh adanya
perubahan pada level fisikal, laku, hara,
dan bukan sekedar terjadi pada level tahu, pengetahuan, kepala.
T
Seiring waktu dan dinamika masyarakat, menurut Anda bagaimana masa depan teater tubuh?
Seiring waktu dan dinamika masyarakat, menurut Anda bagaimana masa depan teater tubuh?
APH
Sangat cerah dan pasti akan menuju ke sana, karena
kemungkinan medan komunikasi-nya lebih luas dan dalam.
Semakin bertambah hari, maka akan semakin bertambah pula
kemajuan teknologi—dan ini membawa konsekuensi akan bertambah terasing pula
manusia/individu pada dirinya sendiri. Segala sesuatu akan bisa dilakukan tanpa
perlu mengadakan interaksi fisikal secara langsung. Segala sesuatu bisa
dipercepat. Dalam situasi seperti ini—maka individu secara naluriah akan
kembali merindukan ‘dirinya’ sendiri. Setiap individu pasti akan kembali
merindukan ‘interaksi organis’ terjadi dalam hidupnya. Dan di sinilah Teater
Tubuh akan menemukan rujukannya yang semestinya. Teater tubuh akan menyediakan
dirinya sebagai wahana, sebagai medium, bagi setiap individu untuk kembali
menemukan dan mengalami ‘tubuh esensial-nya’. Teater Tubuh akan mengembalikan
‘tubuh-tubuh publik/kerumunan’ itu kembali menjadi ‘tubuh-tubuh personal/primal’.
Jika teknologi akan membawa manusia mencari dan menemukan
‘surga’ yang ada di depan, maka Teater Tubuh akan membawa manusia mencari dan
menemukan ‘surga’ yang ada di belakang, di kampung halamannya, di dalam
dirinya.
Tanjung Karang, 17 Juli 2014
Ari Pahala Hutabarat
Sutradara dan Pimpinan Komunitas
Berkat Yakin (KoBER) Lampung, selain sebagai sutradara teater dikenal sebagai
penyair beberapa buku karyanya, Menanam Benih Kata (Tentang Menulis Puisi),
2010. Akting Menurut Stanislavski (Sebuah Pengantar) dutulis bersama Iswadi Pratama, 2012, buku kumpulan puisi berjudul Dusta Hantu Hujan, 2012. Beberapa pementasan yang disutradarainya; Hamlet karya Willian Shakespeare, Inpektur Jendral karya Nikolai Gogol, Pinangan karya Chekov, Rhasomon karya Ryunosuke Akutagawa, Wu Wei dan Siapa Nama Aslimu karya Ari Pahala hutabarat, The Song Of Dayang Rindu karya Ari Pahala Hutabarat. selain di KoBER ia juga adalah Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung, 2010 - 2014.
* sebagian dari tulisan ini telah dimuat di Majalah Teater, Dramakala.
0 on: "TENTANG TEATER TUBUH*"