![]() |
Dahta Gautama, Penyair |
Dahta Gautama
Rabu, 24 Oktober 1974, di sebuah desa kecil yang bernama Hajimena, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, merupakan hari yang berbahagia bagi pasangan Saleh Nur dan Kartiah, S.N., karena pada hari itu telah lahir anak laki-laki yang kemudian diberi nama Dahta Gautama.
Ayah Dahta adalah orang yang terpandang di desanya, karena saat itu ekonomi keluarganya bisa dibilang ekonomi menengah ke atas. Selain berdagang, ia juga mempunyai usaha transportasi yang saat itu bisa dibilang menguntungkan. Namun, ketika Dahta duduk di bangku kelas IV SD, usaha ayahnya mengalami kemunduran dan akhirnya bangkrut. Kejadian tersebut membuat hidup Dahta dan keluarganya berubah. Hal tersebut lambat laun membuat pribadi Dahta berubah, ia cenderung tertutup dan lebih sering menyendiri. Saat itu untuk mengisi kesendirian, Dahta sering memancing ikan di sungai dekat rumahnya. Setiap pulang sekolah, Dahta kecil langsung bergegas pergi ke kali dengan membawa peralatan pancing milik ayahnya. Saat itu, ia enggan sekali berbicara, baik dengan teman-temannya maupun dengan saudara-saudara kandungnya.
Namun hal itu tidak bertahan lama, ia merasa bosan dengan aktivitas memancingnya. Membaca menjadi pengganti kebiasaannya memancing. Ibunda Dahta yang juga gemar membaca, mempunyai beberapa koleksi novel seperti Mira W. dan Marga T. Dari situlah Dahta mulai gemar membaca karya sastra. Dahta sangat menikmati hobi barunya dan membuat ia sering mengunjungi perpustakaan daerah. Buku memang menjadi teman akrab Dahta saat itu, buku juga yang mengisi hari-hari Dahta dalam kesepiannya.
Ketika memasuki bangku SMP tahun 1985, Dahta masih menjadi pribadi yang pendiam dan bisa dibilang kurang pergaulan. Jika waktu istirahat tiba, ia lebih memilih pergi ke perpustakaan untuk membaca dan menulis puisi daripada duduk-duduk di kantin. Saat itulah yang menjadi titik awal kecintaan Dahta terhadap sastra. Ketika berada di perpustakaan sekolah atau di rumah, Dahta sering menulis puisi tentang kesendiriannya.
Tahun 1988, saat memasuki bangku SMA, sifat pendiamnya belum juga hilang. Namun, di jenjang ini merupakan masa pendalaman Dahta terhadap puisi. Ia sering membaca puisi-puisi sastrawan terkenal seperti Kahlil Gibran dan Seamus Heaney. Tidak jarang juga ia membaca karya-karya sastrawan Indonesia seperti, Subagjo Sastrowardojo, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, Iwan Simatupang, Budi Darma dan Umar Kayam. Selain membaca buku sastra, Dahta juga mulai menggemari filsafat, seperti karya Albert Camus, Rene Descartes, Socrates, Plato, Aristotales. Membaca filsafat sedikit memengaruhi terhadap gaya penulisan Dahta.
Setelah lulus dari SMA, Dahta melanjutkan ke Universitas Negeri Bengkulu, jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Untuk membiayai biaya kuliah, Dahta bekerja di perusahaan CPO Agri Andalas, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Selain itu, ia juga bekerja di harian Semarak Post. Di koran itulah Dahta berani memublikasikan karyanya untuk pertama kali. Puisi “Ketika Aku Mempersunting Sepi” mempunyai kesan tersendiri bagi Dahta. Puisi itu diilhami oleh ketidakhadiran orang tuanya saat Dahta diwisuda.
Setelah menyelesaikan studinya di Bengkulu, ia pun kembali ke Lampung. Baru setahun di Lampung, tahun 1998, ia dikirim oleh CPO Agri Andalas, perusahaan tempatnya bekerja, ke Jepang dalam rangka penelitian. Setahun kemudian, Dahta pulang ke Lampung dan kembali menggeluti bidang jurnalistik.
Tahun 1997, Dahta bertemu dengan Mila Maharani, gadis kelahiran Tanjungkarang, 5 Februari 1973, saat acara reuni SMA. Setelah pertemuan itu, mereka sering berkomunikasi. Mila memang seorang teman yang setia saat itu. Ketika Dahta berada di rumah sakit jiwa akibat depresi mental, Mila selalu setia menemani Dahta. Awalnya Mila menolak saat diajak menikah dengan Dahta, karena saat itu Mila sedang memiliki kekasih. Sejalannya waktu, Tuhan Yang Maha Esa kembali mempertemukan mereka. Pada 11 Maret 1999, mereka melanjutkan hubungan dalam ikatan perkawinan. Dengan memakai adat Lampung, resepsi pernikahan dilakukan di kediaman orang tua Dahta.
Setahun kemudian, tepatnya 6 Desember 2000, istri Dahta melahirkan anak pertamanya, Savitri Gautama. Kehadiran anak pertama memberikan semangat kepada Dahta untuk lebih berkarya. Kebahagiaan kembali menyelimuti keluarga Dahta karena 9 Mei 2002, Dahta dan Mila dianugerahi anak laki-laki, Bima Dwi Gautama.
Dahta mengenal sastra lebih dalam sekitar tahun 1993. Ia belajar sastra secara otodidak. Pengalaman hidup, seperti keadaan yang perih dan sakit karena kemiskinan yang melanda keluarganya, menjadi inspirasi utama dalam penciptaan puisi-puisinya. Kehadiran istri dan kedua anaknya juga berperan besar terhadap karyanya yang dibuatnya.
“Aku menulis maka aku ada” merupakan prinsip hidup Dahta yang meminjam adagium seorang filsuf Rene Descartea, “Cogito Ergo Sum” yang berarti aku berpikir maka aku ada. Oleh karena itu, Dahta mengisi hari-harinya dengan menulis. Baginya, menulis merupakan mata pencaharian sekaligus wadah untuk menuangkan pengalaman hidup.
Puisi-puisi yang ia tulis dalam kurun waktu 1986—1996 dianggap sebagai proses pembelajaran dalam berpuisi. Sembilan tahun kemudian, Dahta membuat antologi puisi tunggal pertamanya yang berjudul Menjadi Camar dan diterbitkan oleh Logung Pustaka. Dalam buku tersebut, terangkum puisi yang ia tulis dalam kurun waktu 1998—2005.
Metamorfosis Kematian adalah antologi puisi Dahta Gautama kedua yang diterbitkan oleh Insist Press. pada Oktober 2006 dengan oplah terbatas.
Dalam berproses kreatif, Dahta tidak terlalu terpaku oleh waktu dan tempat dalam mendapatkan ide. Sastra menurut Dahta adalah mata angin dan mata hidup, dan ada semacam keselarasan batin yang paling dalam ketika menulis sebuah karya sastra.
Pada tanggal 13 Mei 2003, Dahta mendirikan komunitas Mata Angin. Komunitas ini didirikan untuk menampung karya-karya dari para penulis pendatang baru. Sistem yang ditawarkan Dahta dalam komunitas ini tidak bersifat mengikat. Anggota komunitas ini umumnya penulis muda yang dituntut berperan aktif dan produktif.
Tahun 2006 Dahta hijrah ke Jakarta dan menjadi redaktur politik pada surat kabar Metro Indonesia. Ia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkunjung ke Dewan Kesenian Jakarta untuk menyimak perkembangan kesastraan yang ada di Jakarta. Ia banyak bertemu dengan para sastrawan, salah satunya adalah Djenar Mahesa Ayu. Dahta sering berdiskusi dengan bertukar pikiran dan pengalaman dengan Djenar. Dahta juga pernah diundang oleh Maman S. Mahyana, seorang penyair Jakarta, untuk membacakan puisi-puisinya di Jurusan Sastra Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu, Maman S. Mahyana berpendapat bahwa puisi Dahta sesuai dengan karakteristik dan kepribadian Dahta serta mempunyai keciri-khasan tersendiri. “Dahta mampu mengekspresikan jiwa, perasaan, pengalaman batin dan lahirnya dalam kata-kata yang dituangkan dalam wujud puisi,” tambah Maman.
Berikut ini sebagian karya Dahta Gautama yang diterbitkan dalam bentuk buku atau pun pernah dimuat di media massa.
1. Puisi
1) “Bulan Madu”, Lampung Post, Minggu 12 Maret 2006.
2) “Bulan Madu II”, Lampung Post, Minggu 12 Maret 2006.
3) “Dunia Sunyi III”, Lampung Post, Minggu 12 maret 2006.
4) “Mata Sunyi IV”, Lampung Post, Minggu 12 Maret 2006.
5) Dian Sastro For President, End of Trilogy (antologi bersama) Insist Press, 2004.
6) Perjamuan Senja-Cakrawala Indonesia (antologi bersama) DKJ, September 2005.
7) Gerimis (dalam Lain Versi), Logung Pustaka-DKL, April 2005.
8) “Ekstase Daun”, Republika, 19 November 2006.
9) “Metamorfosis Desa”, Republika, 19 November 2006.
10) “Amsal, Seorang Penyair”, Republika, 19 November 2006.
11) Buku Kumpulan Puisi "Ular Kuning," Pijar Media, 2011
12) Manusia Lain, Artian Bumi Intaran, Yogyakarta 2013
2. Cerpen
1) “Perempuan Bersayap Belati”, Metro Indonesia, 5 November 2006.
2) “Cut Sirah”, Metro Indonesia dan Dinamika Lampung, 2006.
3) “Gila”, Lampung Post dan Dinamika Lampung, 2006.
4) “Pulang”, Lampung Post dan Dinamika Lampung, 2004.
5) “Aku dan Perempuan Pemanah Matahari”, Dinamika Lampung, 2005.
6) “Sungai di Mata Istriku”, Lampung Post dan Dinamika Lampung, 2003.
7) “Meniti Pelangi”, Lampung Post dan Dinamika Lampung, 2005.
8) “Aku Pergi ke Dunia Mimpi”, Lampung Post dan Dinamika Lampung, 2005.
9) “Perih”, Lampung Post dan Dinamika Lampung, 2004.
10) “Di Mata Ibu Ada Embun”, Dinamika Lampung, 2006.
3. Esai
1) “Puisi Generik Dalam Antologi”, Metro Indonesia, 2006.
2) “Kebudayaan Modern yang Gagap”, Jawa Post, 2005.
3) “Penyair, Tuhan bagi Puisinya”, Republika, 2006.
4) “Kiblat Puisi dalam Puisi Indonesia”, Lampung Post, 2006.
5) “Menelaah Kembali Manusia dalam Puisi”, Riau Pos, 2005.
6) “Sastra Profetik dalam Arus Globalisasi: Membaca Sajak Rahmatiah”, Dinamika, 2006.
7) “Melacak Jejak Kepenyairan Lampung”, Lampung Post dan Dinamika Lampung, 15 Januari 2006.
Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 29-34.
0 on: "Jejak Dahta Gautama "