Rabu, 25 Februari 2015

Penyebarluasan Kesadaran Konservasi Alam melalui Kesenian Tanen



Purnawan Andra*

Seni sebagai karya kreatif dalam bentuk dan cita rasa estetis merupakan bagian dari hidup masyarakat. Keberadaan seni berkembang dari aktivitas kognitif yang murni dengan cara-cara yang dipakai manusia. Sajak bermula dari ucapan, dialog. Tari berawal dari gerakan atau gesture. Begitu juga seni yang lain.

Oleh karena itu keberadaannya telah berakar kuat dalam sebuah kerangka kerja tentang kehidupan kolektif. Seni merupakan sebuah bentuk komunitas umum yang intens, sehingga menambah kekuatan komunikasinya dan bahkan memperluas maknanya. Itulah sebab mengapa di setiap kesatuan masyarakat tumbuh dan berkembang berbagai kesenian.

Di Dusun Grintingan, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali, terdapat kesenian Tanen yang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dalam bertani. Sesuai namanya, Tanen menggambarkan semangat mereka dalam mengolah tanah ladang pertanian, mencangkul, menyabit dan menyiangi rerumputan, memupuk sampai dengan sukacita panen.

Kesenian yang berkembang dari seni ketoprak yang hidup di dusun tersebut sejak dua dekade lalu itu, dimainkan oleh 7 pasang pemuda berpakaian sorjan ala petani, diiringi gamelan Jawa lengkap. Diluar kenyataan kaya dan beragamnya jenis kesenian di daerah Merapi-Merbabu, kebanyakan kesenian rakyat wilayah ini menampilkan sosok prajurit dengan atau tanpa menunggang kuda, maupun bertokohkan buto (raksasa). Tanen menjadi alternatif tontonan yang menarik untuk melihat potret realitas masyarakat setempat.

Sebagai bagian dari masyarakat agraris, Tanen memiliki penyikapan yang jelas dalam bidang pertanian, konservasi alam dan lingkungan hidup. Selain dengan tegas terlihat pada geraknya, hal ini juga muncul dalam lirik lagu yang digunakan (Syiar Budaya dan Konservasi), properti iringan musik (kentongan) dan konteks awal fungsi keseniannya.

Sistem Simbol

Ditinjau dari ilmu sosial, tari menghubungkan antara kesadaran kolektif, struktur sosial, individu, fungsi tari dalam struktur itu. Secara tekstual, tari dapat dipahami dari bentuk dan teknik yang berkaitan dengan komposisinya (analisis bentuk atau penataan koreografi) atau teknik penarinya (analisis cara melakukan atau ketrampilan). Sementara secara konsep yang berhubungan dengan sosiologi ataupun antropologi, tari adalah bagian integral dari dinamika sosio-kultural masyarakat. Keduanya diberlangsungkan melalui simbol-simbol yang ada dalam tariannya.

Sistem simbol adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari sehingga memberi pengertian hakekat ”manusia”, yaitu suatu kerangka yang penuh arti untuk mengorientasikan dirinya kepada yang lain, kepada lingkungannya dan pada dirinya sendiri, sekaligus sebagai produk dan ketergantungannya dalam interaksi sosial (Sumandiyo Hadi, 2005). Jadi tari dipandang sebagai sistem simbol yang merupakan representasi mental dari subyek dan wahana konsepsi manusia tentang suatu pesan untuk diresapkan.

Tari sebagai sistem simbol dapat pula dipahami sebagai sistem penandaan. Artinya kehadiran tari tidak lepas dari aspek geraknya, iringan, tempat, pola lantai, waktu, tata pakaian, rias dan properti. Sistem penandaan ini mengandung makna harfiah dan langsung ditunjukkan menurut konvensi yang dibentuk bersama oleh masyarakat atau budaya dimana simbol atau tanda itu berlaku.

Dalam konteksnya, Tanen dipentaskan pada setiap perayaan tanggal 28 Sapar. Sebagaimana halnya arti bulan Sura di sebagian besar daerah Jawa, Sapar mempunyai arti penting di Grintingan. Di bulan ini dilakukan upacara memohon berkah keselamatan dan kesejahteraaan bagi masyarakat setempat. Terkait dengan sebagian besar penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani, maka dilakukan ritual kenduri dan penanaman bibit pohon di sekitar mata air yang mengairi dusun mereka.

Di luar kepercayaan adanya pepundhen seperti umumnya kelompok masyarakat Jawa lainnya, kesadaran konservasi alam telah tersurat di Grintingan. Dan hal ini berlanjut pada bentuk pementasan Tanen.

Dari lirik lagunya terungkap seruan konservasi: He prakanca aja bingung/ Ayo jaga gunung-gunung/ Merbabu lan Merapi/ Lumakune konservasi/ Uga penghijauan iki/ Dadi sarana sayekti panguripan/ Warga ing Lencoh, Selo (hai teman-teman jangan bingung/ mari menjaga gunung-gunung/ Merbabu dan Merapi/ berlangsungnya usaha konservasi/ dan juga penghijauan ini/ menjadi cara mencapai hidup yang lebih baik/ bagi warga di Lencoh, Selo).

Dalam geraknya, secara tidak langsung Tanen telah menyiratkan langkah-langkah pola pertanian yang selama ini dirumuskan pemerintah melalui kebijakan pertaniannya. Masyarakat Grintingan justru telah melampaui kesadaran semacam itu dengan cara mereka sendiri, yang tercermin dalam gerak-gerak kesenian Tanen. Vokabuler gerak yang dimaksud adalah nyabit, ngarit, macul dan juga jlong-jlong.

Inilah kebijaksanaan lokal berupa pengetahuan diri, menggali makna dan hubungan secara lebih luas, memiliki perspektif luas, mengambil perspektif dalam pertimbangannya, mempunyai pandangan akurat mengenai kelebihan dan kekurangan dirinya (termasuk batas-batas apa yang dapat dilakukan), serta melihat dengan hati terhadap persoalan-persoalan penting (Leary, 2005).

Media Efektif

Meski demikian patut dipahami bahwa pandangan sistem simbol menunjuk pada konsep,, bukan pada bendanya. Tari merupakan simbol presentasional yang menunjuk pada makna tersembunyi yang memerlukan interpretasi, yaitu mengungkap makna yang tersembunyi di balik makna yang langsung tampak, atau mengungkapkan tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harfiah (Langer, 1983)

Selain fungsi integratif bagi masyarakatnya, Tanen justru menampakkan konsep pertunjukannya sebagai mediator, tanpa jatuh pada penampakan yang vulgar, dan oleh karenanya banal. Konsep konservasi alam dan lingkungan hidup mengalir dengan lancar dan nyaman tergabung dalam ekspresi keseniannya.

Tanen mempunyai nilai lebih sebagai kesenian yang unik, berbeda dengan kesenian sekitarnya, yang justru merepresentasikan ciri khas daerahnya. Oleh karenanya ia mampu menarik banyak penonton. Pada titik inilah Tanen bisa menjadi media efektif untuk penyebarluasan nilai kesadaran konservasi alam dan lingkungan.

Tidak hanya pada masyarakat petani yang tentu saja mempunyai ketergantungan mutlak pada kelestarian alam, seiring dengan meningkat isu pemanasan global, konservasi alam memang menjadi suatu keniscayaan.

Kesenian setipe bisa jadi banyak terdapat di Indonesia. Beberapa tari seperti tayub, maengket dari Minahasa atau tari lenso dari Maluku berlaku sebagai ritus kesuburan, baik kesuburan tanah maupun kesuburan manusia itu sendiri.

Akan tetapi dengan sistem simbol yang berlapis dalam elemen artistik, konteks dan perwujudannya, menjadikan pemahaman mengenai nilai yang ada di baliknya diterima searah dan tidak seluruhnya tersampaikan kepada masyarakat yang mempunyai bekal pemahaman beragam. ”Kegagalan” semacam ini pula yang menjadi alasan tudingan kepada tayub sebagai satu kesenian yang patologis.

Tanen justru menampilkan suatu kesederhanaan bentuk dan cara ucap yang mampu menunjukkan bernasnya nilai-nilai yang ada di baliknya. Konsep konservasi menjadi terbahasakan dan oleh karenanya tersampaikan kepada masyarakat. Hal ini penting untuk bangsa Indonesia yang bhinneka dan sebagian besar penduduknya petani.

Élan vital yang berkelanjutan semacam ini berkontribusi sebagai daya hidup bagi proses peradaban bangsa yang multikultur. Termasuk sebagai upaya transformasi nilai, sikap, disparitas terhadap upaya memandang modernitas dan pembangunan (Fauzan, 2005).


*Purnawan Andra l mahasiswa Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta l diterbitkan 15 Oktober 2008 rubrik Forum di Harian KOMPAS JATENG

sumber: http://www.kelola.or.id/blog

0 on: "Penyebarluasan Kesadaran Konservasi Alam melalui Kesenian Tanen"