Jumat, 27 Februari 2015

PERFORMING ART DIALOG GESTUR: RITUS TUBUH

Kolaborasi Seniman Teater dan Perupa, Tony Broer , Yadi Muryadi , Teater KITA Banjarmasin
dan Sulistyono Hilda tersaji dalam acara DIALOG GESTUR yang diselenggarakan
 di Panggung Terapung ( Pasar Terapung ) siring Piere Tendean Banjarmasin , Rabu 25 Februari 2015.


Oleh: HE. Benyamine

Whatever leads to love seems beautiful;
Whatever seems beautiful leads to love;
Take love away and there is no more art;
Take art away and love is scarcely anything
But a physiological need.
                        (Remy De Gourmont)

Banjarmasin seakan kembali menjadi ada dan hidup, ketika ada gerak yang didorong art dan love, menyelaraskan tubuh sebagai bagian ritus dalam ruang bersama. Performing art Dialog Gestur  (25/2/15) dalam rangkaian acara milad ke-7 Teater KITA Banjarmasin dari Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan menuju siring Piere Tendean, telah memberi roh kembali kota Banjarmasin; kembali pada tubuh semesta. Walikota Banjarmasin sebagai orang banua, tentu mendarah daging tentang tubuh kebanuaan ini, yang sangat sayang, beliau mungkin tak mendapatkan informasi acara ini, sehingga tak berkesempatan menjadi bagian langsung menyentuh hal mendasar dalam dirinya sebagaimana orang banua lainnya.

Dialog gestur bagai ritus sebagaimana yang diungkapkan Erich Fromm, “menanggapi dunia dengan seluruh kesadaran kita dengan cara yang bermakna, terlatih, produktif, aktif dan bersama-sama.” Pada kesempatan ini, galam menjadi mamang sepanjang jalan dari Taman Budaya menuju siring Piere Tendean, karena galam seperti berkah yang disediakan alam Kalimantan Selatan tanpa harus bersusah payah menanamnya, meski kecenderungan orang banua tetap dalam kebudayaan meramu dan memungut galam dari alam.  Sebagai orang banua, Walikota Banjarmasin tentu sangat akrab dengan galam dan hutan galam, dan tentu pernah merasakan kedekatan yang bermakna, yang semestinya acara ini penting untuk menyentuh kembali ingatan tentang nilai galam dan hutan galam dalam kehidupan masyarakat Banjar.

Dialog gestur sebagai kolaborasi seni teater dan seni rupa, to express an idea or meaning, dengan properti kanvas, galam, dan tanah gambut, Yadi Muryadi dan Tony Broer (seni teater) bersama Sulistiono (seni rupa), serta peserta workshop teater, telah menggagas ritus terhadap kemurahan alam Kalimantan Selatan dan mengingatkan kembali pentingnya kesadaran ruang; yang di dalamnya adalah tubuh manusia itu sendiri. Yadi Muryadi menyentuh sisi gaib dalam alam Banjar, dengan mengundang para datu ketika membuka dialog, yang diikuti gerak tak beraturan Sulistiono serupa kuas yang tercebur dalam lumpur cat (tanah gambut) yang mulai kering; seakan galam hanya untuk diambil tak penting dipikirkan ketubuhannya, lalu Tony Broer membawa air dalam bakul purun seakan air di tanah rawa tak bertahan lama dengan memungut tanah gambut yang mulai terpisah dengan air, bagai ikan yang terpisah dari air, dengan gestur keteguhan dan kebertahanan, Tony Broer berusaha mengembalikan tanah gambut ke air yang meskipun itu begitu terbatas dalam bakul purun. Walikota Banjarmasin tentu paham sekali tentang galam dan hutan galam untuk kepentingan warga Kalimantan Selatan, sebagaimana beliau suka ikan dan teater mamanda.

Penyatuan tubuh dalam dialog gestur, alam sebelah (gestur Yadi Muryadi), alam rawa (Tony Broer), dan manusia (Sulistiono), mengembalikan roh orang Banjar dalam kesadaran ruang, ada keterikatan dan bersinergi sebagai tubuh, sebagai pohon kehidupan, yang tentu saja semestinya adanya kota Banjarmasin. Hal ini, tentu tidak jauh dari kenangan Walikota Banjarmasin, yang lahir dan meneguk air dalam perjalanan kehidupannya, seandainya beliau tahu acara dialog gestur ini, tentu ada bersama merasuk dialog ini menempatkan tubuhnya menjadi bagian dari ritus yang meski masa kecilnya tak pernah ada.

Tony Broer (alam rawa) berdialog dengan tegak dan tiada kata menyerah, seakan tak mau berhenti memberi kemurahan (tak mau menyapih) dengan gesturnya untuk manusia, meski dirinya sendiri termuntah-muntah ketika meneguk air sungai Martapura; pencemaran berat di atas ambang batas, yang menjadi bagian tubuh rawanya. Sementara Sulistiono (manusia) terus bergerak tak beraturan seakan sudah terlepas dari tradisinya, meski masih ada corak rupa banua dalam gesturnya, begitu mulai asing dengan alam rawa karena terbawa kecenderungan padat dan dan tak terhubung. Di sini, Yadi Muryadi (alam sebelah) seperti tak menjadi bagian dari tubuh banua, suara yang menggema dalam ingatan lama, jatuh bangun gesturnya tak terbaca, terbawa angin yang semakin leluasa bergerak karena tiada lagi pepohonan yang memberikan sentuhan dan sapaan.

Namun, pohon-pohon galam (peserta workshop) dengan kepala tertutup kertas koran, hanya pasrah dengan gestur yang statis terpaku di pinggiran, dan cenderung semakin terpinggirkan oleh gerak manusia yang tak beraturan dan cenderung memadatkan tumpuannya. Di sini, Walikota Banjarmasin tentu sangat paham keberadaan hutan galam bagi penataan kota dan penyangga keselarasan tubuh kota yang terus berkembang, karena beliau juga pernah bersentuhan dengan galam dan hutan galam dalam perjalanan hidupnya; sebagai gestur pencapaian beliau hingga di titik sekarang ini.

Dialog gestur, performing art yang secara langsung menyentuh roh banua, kesadaran ruang yang mulai menjauh dari kemurahan alam, sebagaimana rawa-rawa di Kalimantan Selatan yang dilacurkan pada perkebunan sawit dengan alasan yang mengabaikan ilmu pengetahuan dan tubuh banua,  benar-benar kehilangan ritus tubuh yang menyadari makna rasa syukur dan pengetahuan. Untuk mengatakan Walikota Banjarmasin terlalu sibuk dengan urusan jabatannya, hingga tak sempat hadir mengenang ritus tubuhnya sendiri dalam Dialog Gistur di siring Piere Tendean, terlalu menutupi kerinduan yang mendarah daging dalam tubuhnya – seakan orang di sekelilingnya tak mengenal beliau dan memposisikannya pada mengabaikan art and love.

Dialog gestur, Tony Broer (alam rawa), Yadi Muryadi (alam sebelah), dan Sulistiono (manusia) menyatu di atas klotok menyusuri sungai Martapura hingga jembatan Dewi lalu kembali, seakan mengatakan bahwa ruang ini tak satu pun yang akan berada di luar, sehingga kesadaran tubuh adalah kesadaran ruang bersama.

Dialog gestur ini akan berlanjut dengan pertunjukan Ritustubuhrituh (27/2/15) bersama Tony Broer (Bandung) kolaborasi dengan 13 komunitas teater Kalselteng di Balairung Sari Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan dan monolog naskah SOS karya Y.S Agus Suseno dengan aktor Yadi Muryadi, yang merupakan hasil dari workshop teater dalam rangka milad ke-7 Teater KITA Banjarmasin, sebagai wujud menyentuh kembali kesadaran tubuh untuk menggapi dunia dengan cara yang bermakna, terlatih, produktif, aktif dan bersama-sama.

Banjarbaru, 26 Februari 2015

0 on: "PERFORMING ART DIALOG GESTUR: RITUS TUBUH"