Djadjat Sudradjat*
1:
LAMPUNG adalah sebuah tanda. Tanda tentang sebuah provinsi yang berada di Pulau Sumatera di ujung paling timur. Sebagai sebuah tanda, makna atau tafsir tentang tanda bernama Lampung bisa berbeda-beda sesuai pengalaman dan
persepsi masing-masing yang memaknainya.
Begitulah jika kita mengikuti cara pandang semiotik untuk mencari jalan memahami
sebuah realitas kebudayaan.
Ferdinand de Saussure, tokoh
semiotik terkemuka, membagi tanda atas dua
hal, yakni significant (penanda) dan signifie
(petanda). Penanda berkaitan dengan
bentuk (yang diucapkan dan dilihat) dan petanda berkaitan dengan makna atau
tafsir tentang bentuk. Artinya,
Lampung sebagai sebuah tanda dengan yang
diucapkan/dilihat dan makna yang terkandung bisa jadi berbeda.1)
Sebagai sebuah tanda, meskipun
mempunyai medan makna secara khusus, secara umum Lampung tetap terbuka ditafsirkan
oleh siapa saja sesuai dengan latar belakang pengalamannya. Jadi, jika ada beragam persepsi tentang
provinsi ini, adalah risiko dari sebuah tanda yang terbuka itu.Tulisan ini juga
adalah "tafsir" tentang tanda yang terbuka yang bernama Lampung.
Lazim sebuah wilayah punya banyak
tanda. Ada geografi yang khas. Mungkin ada monumen, benda-benda jejak budaya, plaza yang unik, dan lapangan yang bersejarah. Ada masyarakat yang hidup dan bahasa (daerah) yang mungkin berbeda dengan di tempat
lain. Dan, selain tanda yang sudah ada, masyarakat setiap hari juga memproduksi
aneka tanda lain. Begitu juga Lampung, yang mempunyai penduduk beragam etnik, yang jumlahnya saat ini (2010) sekitar 7,5 juta jiwa. Kolonisasi yang
bermula pada 1905 dan migrasi penduduk dari banyak tempat yang terus-menerus
membuat Lampung menjadi wilayah multietnik. Suku Lampung sendiri hanya sekitar 11,92%, sementara suku Jawa
mencapai 61.88%, dan Sunda 11.27%.2)
Komposisi masyarakat yang
plural itu perlu disebut, karena sekecil
apa pun punya relasi bagaimana mereka memproduksi beragam tanda. Juga kesenian,
bagaimana kesenian tradisi di provinsi ini hidup? Adakah banyak ragamnya dan
adakah kesinambungannya dengan kesenian modern? Adakah dadi (puisi lisan) dan warahan (prosa dalam bentuk dongeng) punya
kontribusi signifikan terhadap puisi modern yang ditulis oleh para penyair Lampung hari ini? Adakah Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS,
Syaiful Irba Tampaka, Iswadi Pratama,
Binhad Nurohmat, Ari Pahala
Hutabarat, Inggit Satria Marga, Dina Oktaviani --sekadar menyebut beberapa
nama—‘mewarisi” jejak sastra tradisi itu? Termasuk Udo Karzi yang menulis puisi dalam
bahasa Lampung?3) Untuk menjawab pertanyaan ini tentu perlu penelitian khusus.
2:
BENDERA-BENDERA partai, gambar-gambar para calon presiden-wakil
presiden, calon anggota parlemen, calon gubernur dan wakil gubernur, calon
bupati dan walikota, yang dipasang di
berbagai tempat (dalam berbagai ukuran),
ini apa artinya? Terlebih lagi disertai tulisan jual kecap misalnya,
"Partai Pembela Rakyat", “Partai Peduli Perempuan”, "Partai Jaminan Mutu", "Partainya
Orang Beriman", “Partai untuk Semua”, dan lain-lain.
Lalu,
para calon pemimpin publik mengumbar slogan begini, "Terbukti Santun
dan Sabar", "Muda, Jujur, Gesit, Berani", “Untuk Urusan Pertanian
Serahkan pada Ahlinya”, “Muda dan Tidak Sombong”,
“Tokoh Harapan Masa Depan”, “Pemimpin
Pas untuk Lampung”, dan sederet panjang lagi tanda “jual kecap ” yang bertempur di ruang publik.
Dalam konteks merebut dukungan publik, Lampung yang
satu versus Lampung yang lain. Perang tanda saling mengalahkan bisa
menegangkan, memang.
Contoh “ketegangan”
yang paling terasa adalah konlik politik pascapemilihan
gubernur Lampung 2002. Konflik yang semula antara Alzier Dianis Tabrani versus pemerintah pusat
(Departemen Dalam Negeri), berlanjut
menjadi Sjahroedin ZP versus DPRD
Lampung. Alzier berada di belakang DPRD. Bahkan, kemudian, paket gubernur-wakil
gubernur juga pecah. Konflik antara Sjahroedin dan Syamsurya pun tak bisa
dihindari.
Sisa-siasa konflik ini terasa hingga kini. Perang tanda ini
sungguh melelahkan. Siapa yang memenangi pertarungan? Bagi rakyat yang terpenting adalah dampak
ekonomi apa dari masing-masing tanda itu!
Konflik politik di Lampung muncul
dalam pemberitaan secara nasional. Publik nasional pun memahami Lampung sebagai
provinsi yang terus “memanas” selama hampir 10 tahun terakhir. Lampung muncul
dengan penanda baru: bergolak!
Penanda lain sebelumnya juga masih tertancap: Lampung subur akan kriminalitas. Ada cerita yang agak menggelikan, seorang
dokter dari Solo yang pindah tugas ke Lampung diratapi oleh segenap keluarganya
karena berarti masuk sarang penyamun. Padahal, setelah tahu Lampung,
saudara-saudara sang dokter berbondong-bondong pindah ke Lampung. Karena
realitasnya Lampung aman, modern, dan prospektif secara ekonomis. Beberapa wilayah lain, peringkat kejahatannya justru lebih tinggi,
tetapi tak menghasilkan petanda yang
menakutkan.
Tetapi, apa pun petanda itu
muncul pasti tak begitu jauh dari penanda-nya. Tak ada asap kalau tak ada api. Lampung memang mesti “belajar tersenyum” dan “menyapa” dalam bahasa pelayanan yang
membuat yang dilayani merasa nyaman. (Ada banyak cerita bagaimana orang-orang
dari luar Lampung bersitegang dengan beberapa pelayan di pusat-pusat
perbelanjaan karena cara mereka melayani dianggap kurang berkenan).
Kearifan lokal daerah ini yang
bernama piil pesinggiri (yang merupakan norma, tata krama
masyarakat Lampung yang berfungsi menjaga kehormatan dan martabat) mestinya “ditegakkan”
kembali. Keterbukaan dan toleransi masyarakat Lampung yang luar biasa, yang menerima siapa saja pendatang, mestinya harus
menjadi nilai utama dalam pergaulan antar-etnis. Realitas ini tak boleh
tenggelam oleh aneka penanda yang lain yang merugikan Lampung.
3:
JUSTRU karena Lampung sebagai
penanda yang menghasilkan petanda yang “tak
sepenuhnya sama” bahkan ada yang menimbulkan perasaan tak nyaman, maka provinsi
ini menjadi amat penting untuk terus membangun oasis, penanda lain yang bisa
mengimbangi penanda yang sudah ada. Di mana pun sering
mengharapkan dunia kreatif (penciptaan) yang paling mungkin untuk menjadi
tumpuan menerima tugas “mulia” itu.
Begitulah, dulu, DKI Jakarta
di bawah Gubernur Ali Sadikin melakukannya. Membangun oasis membangun tanda
budaya. Di tengah citra buruk masyarakat Jakarta yang keras, egois, kriminal
tinggi, di awal Orde Baru Ali Sadikin membangun Pusat Kesenian Taman Ismail
Marzuki (dengan Institut Kesenian Jakarta-nya), mendirikan gelanggang remaja dan
aneka sanggar di lima kotamadya Jakarta.
Segera di Ibukota yang sibuk dan “lebih kejam dari ibu tiri” (demikian dulu
Jakarta dipersepsikan publik), sibuk dengan aneka kreativitas. Dunia penciptaan
menjadi amat bergairah dan gemanya hingga ke seantero negeri.
TIM benar-benar menjadi rumah
yang tidak saja nyaman, tetapi juga merangsang seniman untuk berkarya
“sekreatif” mungkin di bidang masing-masing: sastra, teater, seni rupa, tari, dan
film. Tim juga menjadi pusat aneka seni dan budaya didiskusikan. Tim juga
membangun tradisi pidato kebudayaan dari berbagai tokoh terkemuka. Nama-nama besar pun “lahir” dari rahim yang
bernama TIM. Sebagai oasis, TIM tidak saja menjadi pusat tontonan seni yang
membangun kesadaran kritis penontonnya, tetapi juga memberi inspirasi sekian
banyak anak-anak muda yang meneguhkan diri untuk berhidmat memilih hidup
sebagai seniman. Bahwa seniman adalah pilihan yang sama gagah bdan mulianya dengan
profesi mentereng seperti “dokter” dan “insinyur”, yang dulu sebagai simbol
status tertinggi di tengah masyarakat agraris yang tengah bermimpi menjadi bangsa
industri itu..
Ali Sadikin mungkin menjadi
contoh gubernur yang terlalu ideal. Tidak hanya visi keseniannya yang tak
tertandingi, tetapi juga kepemimpinanya yang inspiring. Sebagai sesuatu
yang ideal, ia amat sulit diterapkan di
tempat lain.
TIM memang kini telah
meluruh, karena semangat mendekonstruksi apa saja yang bernama “pusat” yang dikemukakan Marshall McLuhan –dengan
desa globalnya-- memang lebih cocok untuk zaman ini. Tetapi, apa pun, tak bisa dibantah, TIM telah menjadi
rahim yang subur, tempat dilahirkannya sekian banyak seniman modern yang karya-karyanya
bergema di seluruh kota Indonesia.
4:
LAMPUNG yang berpenduduk kira-kira sama dengan
Swiss dan wilayahnya jauh lebih luas dari umumnya negara-negara Eropa –dan
multiketnik lagi-- mestinya punya mimpi untuk menjadi bagian penting berkesenian dan aktivitas kebudayaan. Seniman,
dunia akademik, dunia pendidikan,
DPRD, dan pemerintah provinsi, harus benar-benar mimikirkan bagaimana membuat strategi
kebudayaan yang tepat agar seluruh potensi
budaya di provinsi ini menjadi bermanfaat bagi masyarakatnya. Terlebih
lagi Lampung seperti juga suku Jawa,
Bali, dan Batak mempunyai sistem aksara sendiri, selain bahasa Lampung tentu
saja.
Realitas ini bisa faktor pendukung
yang kuat. Alasan lain lagi, provinsi ini menjadi wilayah di luar Jawa yang
paling dekat dengan Jakarta, sebagai kota yang menjadi kiblat kesenian modern. Takdir
ini mestinya menjadi dorongan untuk melaksanakan “tugas” menciptakan penanda Lampung
yang lain agar menghasilkan petanda yang “berbeda”: seni. Bukankah Bali dikenal dunia bukan semata karena keindahan
pulaunya melainkan karena ada aktivitas tradisi dan kesenian yang melekat pada
kehidupan masyarakat Bali? Juga Solo dan
Yogyakarta.
(Terlebih lagi, sejak
beberapa tahun ini pemerintah Indonesia tengah mengembangkan apa yang disebut
ekonomi kreatif. Ekonomi yang berbasis
pada alam dan kebudayaan sendiri. Jika
saja daerah-daerah juga mengembangkannya, negeri ini tak akan kekurangan sumber
penciptaan).
Memang, harus kita syukuri, Lampung sejak 20 tahun terakhir ini menjadi rahim yang subur untuk melahirkan
para penyair. Sastra, dalam pemahaman
sosiologi (sastra), memang bukan sesuatu yang datang dari langit. Ia selalu
berkaitan dengan penciptaan sebelumnya,
juga dengan tradisi. Lingkungan budaya dari old societies (masyarakat lama),
meminjam Clifford Geertz,
sesungguhnya bisa menjadi inspirasi dan topangan budaya modern.
Meskipun kita bisa bertanya lahir dari tradisi
macam apakah Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad (masing-masing sebagai penyair
dan eseis terbaik) yang kita punya. Setiap membaca sajak Chairil, sungguh kita
selalu mendapatkan kenikmatan baru dari bahasa yang seolah mendahului waktu.
Begitu juga membaca esai-esai sastra dan seni Goenawan, saya selalu menemukan relasi sintagmatik (hubungan
antar unsur dalam teks) yang indah, tetapi juga relasi paradigmatik (hubungan
unsur dalam teks dengan unsur di luar teks) yang menawan dan kaya, yang membuka
cakrawala pikiran. Goenawan mengakuinya sebagai seorang “Malin Kundang” yang
terkutuk itu. Ia merasa menjadi penyair tanpa tradisi. “Di belakang puisi yang
dituliskannya, tidak ada perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk
menopangnya,” tulisanya dalam “Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin
Kundang”, esai yang amat memikat yang ditulisnya pada usia 20-an.2)
Tapi, dalam konteks Lampung,
agaknya tak ada penyair (khususnya) yang merupakan “anak tiri” dari sejarah
sastra Indonesia, meskipun mungkin berjarak dengan kesenian tradisi. Umumnya,
saya kira, penyair Lampung hari ini adalah mereka yang punya kesetiaan terhadap
sejarah dan tradisi sastra (modern) Indonesia. Semoga asumsi ini tak meleset
benar. Meskipun, seperti Goenawan, ada juga penyair Lampung yang merasa sebagai
“Si Malin Kundang”. Ada rasa tak nikmat
dan bahkan, mungkin khianat, terhadap masa silamnya. Simak sajak “Arketipe”
karya Iswadi Pratama:
“engkau tak sedikit pun
menyisakan tanda
di dalam dirimu hanya peta
lama yang berulang kali
kutafsirkan sebagai kampung
halaman,
kota-kota masa lalu, dan
sebuah jalan yang
menelikung bayang pohon lalu
tenggelam
di balik punggung pegunungan
atau sebuah pelabuhan yang
entah sejak kapan
hanya mencatat sesuatu yang cuma
numpang lewat”
Masa silam bagi Iswadi tak
“menyisakan tanda”, “hanya mencatat sesuatu yang cuma numpang lewat”.
Tak ada keharusan yang
menuntut seorang penyair harus setia dengan masa lalunya. Itu pasti. Sebab, kesenian
modern pada hakekatnya adalah karya individual, yang menurut Goenawan memang
tak bisa dipaksa “mengikuti rumus-rumus umum”. Sajak “Pohon di Depan Rumah”
karya Isbedy Stiawan ZS, justru memperlihatkan hal sebaliknya dengan Iswadi, yang
menyikapi masa silam sebagai nikmat untuk pemandu jalan pulang, alinea pertama
dan empat:
“pohon yang kutanam semasa
kecil
di depan rumahku, masih
melambai
daun-daunnya bagi pulangku
setelah lama kutinggalkan
………………………………………
seperti masa kanak-kanak
aku menulis lagi kenangan
ke dalam anganku
tentang pohon yang kini
selalu melambai setiapkali
aku lupa jalan pulang”
Bagi Isbedy, masa silam
justru menjadi pembimbing setiap kali mengalami sebuah sesat. “Selalu melambai setiap kali aku lupa jalan
pulang”. Ada rasa nikmat, sebab masa silam justru mensublimasi masa kanak-kanak
yang kaya aneka pengalaman.
Lampung, yang dalam peta
sastra hari ini (juga teater dengan Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat
sebagai lokomotifnya), mungkin yang paling produktif di luar pulau Jawa, mestilah
terus memantapkan tradisi kepenyairan yang kokoh. Selain terus mengasah
kemampuan puitik dalam bahasanya, juga mesti punya banyak “tabungan” yang
merupakan hasil penjelajahan ke berbagai realitas kehidupan. Sehingga teks-teks yang ditulisnya, selain
nikmat dibaca, juga punya relasi asosiatif yang memperkaya pembacanya.
Untuk pencapaian itu, tidak
saja harus menjelajahi banyak pengalaman lewat banyak buku, persentuhan dengan
aneka dunia, juga perlu ruang untuk
terus mendiskusikan “oleh-oleh” hasil interaksi sosial dan permenungannya baik dengan
diri sendiri maupun dengan banyak kepala. Ini agar seni bukan hanya sebuah rutinitas, melainkan
juga sebuah upaya pencarian “makna” yang terus menerus.
Menjadi seniman, adalah pilihan yang tidak main-main. Perlu
komitmen dan kecintaan, perlu tangguh untuk tidak goyah pada godaan, dan ini
sungguh tak mudah. Justru karena menjadi seniman tak ada sertifikasinya dan pusatnya
diri sendiri, karenanya perlu kejujuran,
juga kejujuran artistik. Kemampuan artistik dan
“gelisah melihat realitas” adalah modal penting bagi seniman.
Para seniman Lampung yang
sebagian telah disebut itu adalah kelompok yang telah dikenal publik
dengan tafsir sebagai orang-orang yang kreatif. Saya tak ingin terjebak diskusi lama tentang
peran sastrawan yang setara dengan “nabi”
atau hanya sebagai “penghibur” belaka seperti pernah ditulis Takdir Alisyahbana.
Jauh lebih penting adalah terus
“memprovokasi” , bahwa tugas seniman adalah terus mencipta.
Tak ada yang bisa memaksa
seorang seniman, kecuali dorongan dari dirinya untuk memilih genre seni apa yang akan digelutinya. Tetapi,
sebagai penikmat sastra bolehlah bertanya kenapa penulis cerita pendek tak
sesubur penulis puisi di provinsi ini?
Kenapa pula lebih dari 50 penulis Lampung, hanya seorang Dyah Merta yang menulis novel? Selaian dua karya Dyah Pinissi:
Petualangan Orang-Orang Setinggi Lutut (2005) dan Peri Kecil di Sungai Nipah (2007),
pecinta sastra (Lampung) pasti merindukan lahirnya novel yang lain. Novel, yang menurut
Sutan Sjahrir, tempat mempelajari masyarakat yang paling tepat. Bahkan, di
Sumatera Barat, beberapa novel, khususya
Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, telah menjadi semacam
“pusaka budaya”.
Di luar pertanyaan itu, dunia kreatif juga perlu ruang apresiasi. Perlu media yang secara teratur memuat karya-karya
mereka, termasuk ulasan-ulasannya .
Perlu ruang tempat berdiskusi secara
rutin. Lampung beruntung punya Unit
Kegiatan Mahasiwa Bidang Seni (UKMBS) yang secara rutin menyelenggarakan diskusi, kadang-kadang juga pentas (selain
Taman Budaya Lampung). Sastra memang
akan terus ditulis, dibutuhkan atau
tidak. Tetapi, diskusi menjadi ruang pertukaran yang bisa menambah gizi bagi para penulis dan
penikmat seni.
Di sinilah perlunya peran kritikus
sastra . Ada yang percaya, karya seni yang baik akan bicara sendiri dengan
pembacanya. Tetapi, seni sering mengandung banyak kode budaya, yang tak serta
merta bisa begitu saja sampai kepada
semua penikmatnya, perlu ada yang
menjelaskan dengan segenap pengetahuannya yang memadai. Di sinilah kritikus
berperan. Menjadi sangat penting peran akademik di sini. Fakultas Keguruan Ilmu
Pendidikan yang mempunyai Jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia/Inggris, mesti
punya peran penting untuk tugas
ini.
Perlu juga ada semacam “pembagian tugas” dalam
berkesenian: selain ada yang terus menulis kreatif, juga ada yang secara khusus menjadi pengamat
atau kritikus. HB Jassin, bukan tak bisa
menulis kreatif, tetapi ia kemudian memilih menjadi kritikus yang kemudian
“melahirkan” begitu banyak
sastrawan berkelas. Seperti juga dalam
seni rupa, Jim Supangat, almarhum Sanento Yuliman, Mamanoor, mengambil tugas
menjadi kritikus dan meninggalkan aktivitas perupa.
Harapan lain, bertumbuh dan berkembangnya seni rupa dan
tari. Geografi dengan komposisi
masyarakat multikultur mestinya bisa mendorong kedua kesenian ini bergema. Adakah peran Dewan Kesenian Lampung, kurang
“merangsang” bertumbuhnya kedua kesenian ini? Apa penyebabnya? Ini pertanyaan
yang harus dijawab.
5:
MEMBACA buku, menonton teater, menikmati pameran seni rupa, membaca puisi,
menonton konser musik dan pertujukan tari, adalah aktivistas menyalamatkan
peradaban. Terlebih lagi bagi bagi para kreatornya (para seniman), jelas berada
di depan dalam menyelamatkan peradaban itu. Aktivitasnya ini harus terus
berlanjut .
Menyelamatkan peradaban akan
menghasilkan penanda dan petanda bagi kemanusiaan. Buku-buku para seniman akan menjadi milik masyarakat
secara terbuka. Seniman-seniman sesudahnya dan masyarakat umum tak perlu studi
banding jauh-jauh untuk mendapatkan legacy dari para seniman terdahulu itu. Bandingkan
dengan aktivitas politik dan birokrasi yang
kerap berdusta untuk mendapatkan
pengetahuan ini-itu. Studi banding,
misalnya.
Karena itu, selain
pribadi-pribadi yang menyimpan sendiri buku-buku dan seluruh karya seni, Lampung perlu perpustakaan umum
yang memadai. Yang secara lengkap menyimpan dan mendokumentasikan aneka karya,
juga karya seni, yang kapan saja bisa dikunjungi masyaralat.
6:
MENJADI seniman bukankah sebuah takdir melainkan sebuah
pilihan. Bukan untuk sekadar meneruskan
rutinitas, melainkan untuk terus memaknai kehidupan. Sebab, seni adalah laku
simpati pada kehidupan, kepada kemanusiaan. Pemberontakannya kepada realitas,
kata Albert Camus, justru untuk menangkap seluruh “jerit dan getarnya” realitas
itu.
Untuk melaksanakan simpati
kepada hidup, ia tidak peduli adakah ia didukung oleh pemerintah atau tidak.
Bukankah para sastrawan dunia, sekelas Destoyevsky, Anton Chekov, Alexander Solzhenitsyn –hanya menyebut
beberapa nama-- dalah orang-orang yang oleh pemerintahnya disebut terkutuk?
Memang menjengkelkan
gedung sekelas Taman Budaya
Lampung tak punya genset. Padahal, provinsi ini kerap menjadi korban
PLN; mati lampu. Pengalaman ini pernah saya alami ketika hendak menonton pentas
Teater Satu karya sutradara Iswadi Pratama di Taman Budaya Lampung di
penghujung tahun lalu. Berjam-jam penonton yang umumnya anak-anak SMA menunggu.
Mereka tak beranjak dari tempat duduk. Ini sungguh menakjubkan. Jika, ini pentas
musik pop, mungkin sudah kacau. Kenapa
pemerintah tak mampu membeli genset seharga Rp500 juta? Padahal, untuk dunia politik yang
kerap memproduksi konflik, selalu tersedia dana, berapa pun.
Tetapi, sekali lagi, faktor pemerintah jangan jadi
penghalang. Contoh Ali Sadikin dan TIM agaknya cuma terjadi di Jakarta, dulu.
Karena itu, dari pada terus berharap belas kasihan pemerintah, sebaiknya tetap terus mencipta tanpa atau dengan peran pemerintah.
Sesungguhnya, yang membutuhkan
seniman, yang membutuhkan gedung kesenian yang memadai, perpustakaan yang
lengkap, ruang diskusi yang baik, bukanlah seniman, melainkan masyarakat. Di negeri mana pun pemerintahlah
yang paling punya kekuatan memenuhi “kebutuhan” masyarakat itu…
Sementara bagi seniman, kemerdekaan itulah ruang yang paling berharga
.... ***
Catatan:
1). Buku De Saussure tentang semiotik yang terkenal berjudul Course in General Linguistics
(1986) dari terjemahan bahasa Prancis Cours de Linguistique Generale
(1916).
2). Selengkapnya menurut BPS tahun 2000 , suku Jawa (61,88%), Lampung
(11,92%), Sunda (11,27%), Semendo dan Palembang (3,55%), dan
Bugis, Bengkulu, Batak,
Minangkabau, dan lain-lain (11,35).
3). Kumpulan puisi Udo Karzi
dalam bahasa Lampung berjudul Mak Dawah
Mak Dibingi (2007) memenangi Hadiah Sastra Rancage Tahun 2008.
4). Pemilihan Gubernur Lampung 30 Desember 2002 dimenangi pasangan Alzier
Dianis Thabrani-Ansyori Yunus. Pemerintah
pusat membatalkan kemenangan Alzier
karena ada dugaan pelanggaran tata tertib. Konflik kemudian berujung pada drama
pengangkutan Alzier ke Jakarta dengan helikopter. Alzier ditahan. Konflik politik terus berlanjut meskipun telah
digelar pemilihan gubernur berikutnya
pada 2004 yang dimenangi Sjahroedin ZP-Syamsurya Ryacudu. Alzier
kemudian mengungat keputusan
Mendagri No.161.27-598 Tahun 2003 yang berisi pembatalan pelantikan dirinya sebagai
gubernur Lampung. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Alzier dengan putusan Mahkamah Agung (MA) RI No.
437/Tun/2004 tanggal 17 Jumi 2005. Konflik
politik pun meruncing. Berpegang pada
putusan MA DPRD Lampung menerbitkan SK No.15
Tahun 2005 yang isinya mencabut surat penetapan Sjahroedin-Syamsurya
Ryacudu sebagai gubernur-wakil gubernur Lampung periode 2004-2009. Dalam perkembangannya konflik berlanjut makin
runyam, karena justru terjadi antara gubernur versus wakilnya: Sjahroedin versus Syamsurya.
0 on: "Lampung: Upaya Memaknai Sebuah Tanda "