![]() |
Budayawan/sastrawan Lampung, Udo Z Karzi |
jak ipa
niku kuya
jak pedom
lungkop-lungkop
badan mak
rasa buya
ngena
kebayan sikop
dari mana kau kuya (nama binatang air)
dari tidur berbalik-balik
badan tiada letih
dapat pengantin cantik
GELINJANG kata sastra (lisan) Lampung ternyata tak hanya
hidup di pekon-pekon, tetapi masih terasa di Kota Bandar Lampung. Tanpa banyak
bicara, diam-diam Radio Republik Indonesia (RRI) Bandar Lampung terus berupaya
mengalirkan puisi-puisi dan prosa-prosa (sastra lisan) Lampung lewat gelombang
98 MHz.
Sudah dua tahun lebih, RRI menggelar acara "Ragom Budaya
Lampung" (RBL) setiap Sabtu malam. Kalaulah acara serba tradisi Lampung
ini tidak mendapat atensi dan apresiasi dari masyarakat, mungkin dia sudah lama
tenggelam dalam modernitas, terlibas budaya pop yang terus menggelontor.
Syukurlah, penutur dan pendengar sastra lisan Lampung masih ada, sehingga buat
sementara kekhawatiran akan punahnya berbagai jenis sastra lisan Lampung tidak
akan terjadi.
Merayakan ulang tahun kedua acara RBL, RRI Bandar Lampung
menyelenggarakan Pesta Canggot Budaya, Sabtu, 7 Juni lalu. Puluhan marga adat
dan 300-an pencinta seni tradisi Lampung terlibat dalam kegiatan ini. Aneka
seni tradisi Lampung pun mengalir ke pendengaran para hadirin dan pemirsa
radia.
Halijah Rai Sai Indah dan A. Roni Ratu Angguan pun ber-pattun setimbalan (berbalas-pantun): Tabik pai kidah numpang bubalah/Kimbang
nyeluga dikuti dija/Adik Hadijah Ghatu Sai Indah/Api pai mula kuti ghamik
ga//Tengisko kuti dipa jengan ni//Pubian ghik Abung siaran langsung/Ulah RRI debingi siji/Ulang tahun Ragom Budaya
Lampung (Tabik, kami numpa bertanya/Maaf seandainya kalian bertanya-tanya
di sini/Adik Hadijah Ratu yang Indah/Apa sebab ramai di sini//Kalian dengar
mana tikarnya/Pubian dan Abung siaran langsung/Karena RRI malam ini/Ulang tahun
Ragom Budaya Lampung).
Sesuai namanya, pengalan pattun
yang dilantunkan Halijah dan Roni itu bersanjak ab ab. Bentuk lain yang acap
disebut syair berima aa aa. Inilah ciri khas puisi lama yang kental dalam
tradisi (lisan) hampir semua daerah di tanah air, tak terkecuali sastra (lisan)
Lampung. Sealin pattun, dalam khasanah perpuisian Lampung juga dikenal wayak seperti penggalan di awal tulisan
ini, pepatcur, pisaan, adi-adi, segata, sesikun, memmang, wawancan, hahiwang,
dan lain-lain.
Dalam catatan koordinator acara RBL RRI, Sutan Purnama, sejak
diudarakan 1 Juni 2001, tak kurang 60 komunitas seni tradisi dari berbagai
pekon (tiuh, desa) mengisi acara ini. Berbagai tokoh adat dari berbagai marga
hadir dan ikut menyumbang kreativitas dalam olah seni tradisi Lampung.
Canggot Budaya Lampung yang diselenggarakan untuk
memperingati ulang tahun kedua RBL RRI pekan lalu menampilkan, antara lain
diker baru yang dilantunkan perwakilan Way Semah dan Negerikaton, acara
mengantar muli yang dibawakan Sutan Kaca dari Negerikaton, Marga Way Semah,
ngelapah atau Pegeh yang dipimpin Paksi Pak Marga Way Semah.
Lalu, acara pun bergulir menampilkan kecakapan berolah kata
Purandi Sutan Perdana dan Sutan Pangeran Pardasuka diiringi musik kulintang.
Ada juga ngigol dari Marga Abung, Selagai Lingga, Bukujadi, Marga Way Semah,
Nuban, Anak Tuho, dan Nunyai.
Ringget malam itu dibawakan seniman Bumi Nyerupa disambut pattun setimbalan A. Roni Angguan dan
Halijah Ratu sai Indah. Berikutnya, beberapa muli meghanai utusan marga Minjak
Naghi. Acara RBL yang biasanya dimulai pukul 21.00 WIB., malam itu
dimajukan pukul 20.00 WIB dan baru berakhir tengah malam. Bagi yang tak
mengerti bahasa Lampung, mungkin acara ini tak berarti apa-apa, tetapi bagi
warga adat Lampung, boleh jadi acara seperti ini memiliki kesan mendalam.
Di sela-sela acara Canggot Budaya, Ketua Panitia
Pelaksananya, Drs. Hermansyah MURP mengatakan, Ragom Budaya Lampung yang
disiarkan RRI setiap Sabtu malam membuktikan orang Lampung memiliki inisiatif
menumbuhkembangkan dan melestarikan seni-budaya Lampung.
Dia menyatakan kegembiraan sekaligus keharuannya melihat dua
tahun perjalanan RBL di radio pemerintah ini. Melihat antusiasme khalayak
setiap acara ini digelar dan diperdengarkan melalui udara ke pelosok-pelosok
Lampung, Hermansyah meyakini sastra (lisan) Lampung sebenarnya memiliki potensi
untuk berkembang.
Karena itu, Hermansyah meminta dukungan yang lebih besar lagi
dari pemerintah daerah, tokoh-tokoh adat, Dewan Kesenian Lampung, stakeholder, dan masyarakat pecinta seni
tradisional untuk pengembangan acara ini.
"Kita berharap sajian seni tradisi Lampung semakin
berkualitas dan memasyarakat, sehingga pada gilirannya, budaya Lampung dapat
menjadi tuan rumah di daerah sendiri. Ke depan, saya berharap budaya Lampung
dapat menjadi komoditas yang bisa dijual seperti di Bali
dan dearah lainnya," ujarnya.
Menurut Wali Kota Bandar Lampung Suharto, Canggot Budaya
dapat menjadi sarana melestarikan kebudayaan sekaligus memeberdayakan
masyarakat dalam memelihara nilai-nilai adat istiadat. "Canggot Budaya
dapat meningkatkan kecintaan terhadap budaya dan adat istiadat,
menumbuhkembangkan budaya Lampung di era global. Nilai estetika, etika, dan
moral dalam karya seni-budaya dapat menjadi pengatur temperatur batin untuk
memperkecil sifat-sifat individua dan egois," ujarnya.
RBL RRI Bandar Lampung terus mengudara setiap Sabtu malam.
Terakhir, Grup Wawai Hati dari Tiuh Bumiaji kecamatan Padangratu Anak Tuho
tampil, Sabtu, 28 Juni 2003. Dalam acara muncul Mismanto, siswa kelas 3 Sekolah
Dasar melantunkan diker baru. Setidaknya, inilah generasi baru penerus Ragom
Budaya Lampung di tengah gempuran kebudayaan baru dari berbagi penjuru angin.
Kembali ke sastra lisan Lampung, petikan di awal tulisan ini
adalah wayak, sebuah puisi lama dari khasanah sastra lisan Lampung dan dikenal
di Pesisir Lampung. Wayak Jak Ipa Niku Kuya ini seperti terpatri dalam
ingatan seorang anak Lampung karena sering dilafalkan saat mengiringi prosesi
perkawinan adat Lampung. Isinya, sebuah sindirin bagi seseorang (diibaratkan
kuya) yang pemalas, tetapi (seperti mimpi) tiba-tiba mendapatkan gadis cantik.
Sindir-menyindir dalam bahasa yang penuh petatah-petitih, tradisi ini masih
kuat dalam masyarakat tradisional Lampung di umbul-umbul (sejenis desa, red.).
Sastra lisan Lampung juga mengenal warahan, semacam kisah rakyat yang dituturkan seorang pewarah
(semacam pengisah atau pendongeng) kepada seseorang atau khalayak. Dalam
perkembangannya, warahan dapat berbentuk puisi, puisi lirik, atau prosa,
tergantung dari kemampuan di pewarah dalam bertutur. Kalau kemudian ada
kreativitas yang berupaya memasukkan warahan dalam seni olah peran, teater
modern, itu karena memang dalam tradisi warahan, terdapat unsur-unsur olah vokal
dan sesekali pewarah menirukan gerak tokoh yang ia ceritakan, meskipun dalam
bentuk yang sangat sederhana. Sebuah potensi yang belum tergarap baik
sebetulnya.
Dimuat di Tabloid Akar Edisi 07/Tahun I/9-23 Juli 2003
0 on: "Tradisi Lisan Lampung yang Terlupakan"