Senin, 02 Februari 2015

Dinosaurus Kesenian Lampung

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan  
oleh
Iwan Nurdaya-Djafar
Budayawan

POLEMIK menjelang musyawarah Dewan Kesenian Lampung yang akan digelar Kamis, 5 Februari 2015, di Balai Keratun, Bandar Lampung, telah menyumbangkan sejumlah gagasan akan perlunya suatu pusat kesenian Lampung. Tulisan saya Menuju Pusat Kesenian Lampung beroleh tanggapan dari Panji Utama, Aleksander Gebe, dan Syaiful Irba Tanpaka. Meskipun terjadi perbedaan pendapat dalam segi-segi teknis, pada intinya terjadi kesepakatan atas perlunya pusat kesenian Lampung (PKL) yang terdiri atas Dewan Kesenian Lampung, Yayasan Kesenian Lampung, Akademi Lampung, bahkan perlunya Badan Pengelola Gedung Kesenian dan lembaga pendidikan kesenian.

Melalui tulisannya Selamat Lahir YKL, Panji Utama setuju atas dibentuknya yayasan kesenian dengan langsung merujuk kepada UU Yayasan, sedangkan saya menekankan hubungan kerja antarlembaga yang terdapat dalam PKL. Demikian pula Syaiful Irba Tanpaka melalui tulisannya Mengapa DKL Eksklusif?—bahkan melangkah lebih jauh dengan memosisikan YKL yang membawahkan Badan Pengelola Gedung Kesenian dan lembaga pendidikan kesenian.

Adapun Alexander GB melalui dua tulisannya DKL Mau ke Mana dan Redefinisi YKL, prinsipnya setuju dengan gagasan perlunya yayasan kesenian, tetapi bersikap hati-hati seraya mengingatkan jangan sampai YKL nanti malah mengambil jatah anggaran kesenian dari Pemprov Lampung yang selama ini diberikan kepada DKL. Padahal, YKL digagas justru untuk menggalang dana dan mendanai aktivitas kesenian.

Melalui tulisannya di atas, Syaiful juga menilai saya tidak konsisten di dalam penggunaan istilah Pusat Kesenian Lampung, alih-alih pentas kesenian Lampung yang saya dan teman-teman pendiri DKL perkenalkan pada 1993 dalam iklim Orde Baru yang serba-terpusat dan merebaknya postmodern saat itu yang menolak keberpusatan. Rupanya Syaiful alergi benar dengan term “pusat” dalam arti keberpusatan aktivitas kesenian. Rupanya Syaiful memiliki kerinduan nostalgik yang akut terhadap term “pentas kesenian Lampung”.

Sejatinya, dengan menggunakan term “pusat” alih-alih pentas, saya sendiri tidak bermaksud menuju kepada keberpusatan aktivitas kesenian yang dicemaskan Syaiful. Term pusat dalam konteks kesenian dan/atau kebudayaan tidaklah merujuk kepada keberpusatan aktivitas kesenian yang membawahkan lembaga-lembaga kesenian lainnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, pada halaman 911 mengartikan “pusat kebudayaan” dalam arti tempat membina dan mengembangkan kebudayaan. Hal senada, misalnya, juga berlaku untuk “pusat kebugaran” dan entah apa lagi.

Setakat kini, DKL juga tidak membawahkan dewan-dewan kesenian kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung, tetapi hanya hubungan konsultatif dan koordinatif yang bersifat setara. Demikian pula terhadap sanggar-sanggar kesenian, DKL memfasilitasi dan mempercepat perkembangannya belaka, bukan membawahkannya. Hal ini mesti dipertahankan.

Namun, anehnya, dalam anggaran dasar DKL yang sekarang berlaku, Badan Pembina justru dimasukkan sebagai bagian dari DKL. Saya menggagas agar Badan Pembina dibedakan dari DKL, tetapi tidak terpisah, dengan mengembangkannya menjadi Akademi Lampung yang punya program tersendiri, bukan sekadar memberi nasihat kepada Badan Pekerja Harian DKL.

Polemik menjelang musyawarah DKL yang diuar-uarkan Lampung Post, menurut saya, telah melahirkan gagasan besar yang tentu saja tidak selesai pada forum musyawarah DKL yang hanya berlangsung satu hari, Oleh karena itu, perlu ditindaklanjuti pada pascamusyawarah. Para peserta musyawarah DKL mesti mencermati dan menyadari bahwa lingkungan eksternal (peluang dan tantangan) dan lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan internal) DKL telah berubah, dan karena itu DKL mesti berubah.

DKL mesti melakukan reposisi dalam arti penempatan ke posisi yang berbeda atau baru demi merespons perkembangan yang terjadi. Jika tidak, DKL akan menjelma jadi dinosaurus kesenian Lampung. Ya, dinosaurus, binatang raksasa dari zaman prasejarah yang kini telah musnah dan karenanya hanya pantas dikenang. Dinosaurus sudah tidak ada dan mengada.

Peserta musyawarah diharapkan merespons gagasan besar yang diapungkan melalui polemik ini. “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” kata Rendra. Karena itu, jangan terperangkap pada kepentingan jangka pendek dan involutif.

DKL senyatanya sedang dihadapkan pada keniscayaan perubahan. Dalam kaitan ini, pakar budaya organisasi ternama dari India menandaskan: “You must change, if you don’t change, you die; Anda mesti berubah, jika Anda tak berubah, Anda mati”.

Opini | Lampung Post, Senin, 2 Februari 2015

0 on: "Dinosaurus Kesenian Lampung"