Jumat, 13 Februari 2015
DKL dan Kekuasaan
DKL dan Kekuasaan
Isbedy Stiawan ZS
Sastrawan
SYAHDAN tokoh kita ini semasa muda berjalanlah ditemani kekasihnya di sebuah kota yang tengah membangun. Ia pandangi bangunan yang ada di kotanya itu. Begitu indah dan mewah, warna-warni dindingnya, dan ragam arstitekturnya.
Tokoh kita amatlah takjub menyaksikan kemajuan kota tersebut. Sekiranya kota seindah ini sebagai cermin dari penduduknya, tentu tiada lagi yang hidup prasejahtera. Ia bergumam.
Tetapi, langkahnya sekonyong-konyong terhenti. Layaknya terpaku. Kenapa ia berhenti tiba-tiba? Wajahnya merunduk? Kelopak matanya berair? Sang kekasih yang selalu berada di sisinya, juga terlongo. Dan simpatinya semakin membunga.
Ternyata buruh bangunan terjatuh dari gedung bertingkat saat bekerja, dan tewas di tempat. Tokoh kita pun segera mendekat, menolong, mengevakuasi, dan ia tak henti menangis.
“Apakah kau tidak bersedih? Apa kau pikir yang tewas terjatuh ini adalah binatang? Kepada hewan saja yang terluka, kita mesti bersedih? Ia adalah seorang buruh,” jawab tokoh kita ketika ditanya kekasihnya mengapa ia menangis.
Keterharuan amatlah mahal. Mungkin di zaman kini rasa haru itu nyaris sulit dicari, boleh jadi sudah tidak ada lagi. Orang menolong kecelakaan, karena siapa tahu ada “imbalan” dari yang ditolong. Atau malah bisa ada yang “dikutil” dari korban yang mungkin sudah tak sadar dan tewas.
Rasa harus tokoh kita makin menumbuhkan cinta kasih dalam diri sang kekasih. Kekasihnya meyakini, lelaki inilah pilihannya menjadi suami: pemimpin bagi diri dan anak-anaknya. Teladan bagi keluarganya kelak. Rasa haru dan saling menolong sesama. Keterharuan adalah modal untuk melindungi orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Rasa haru membuat seseorang tak akan “ambisius” untuk memiliki, apalagi dalam kepemilikan nanabadi. Orang-orang yang mempunyai rasa haru akan sadar bahwa rumah dan kekuasaan sifatnya sementara. Sebagaimana politik, kekuasaan tak abadi. Kepentingan itu hanya sesaat. Oleh karena itu, dalam politik ada adagium: “Tak ada kawan abadi, seperti juga tiada lawan yang abadi. Tetapi yang ada adalah kepentingan.”
Keterharuan spontan itu telah membuat kekasihnya makin mencintainya. Orang-orang lain, para buruh, juga begitu sangat simpati dan tumbuh rasa cinta padanya. Ingin “menjadikannya” pemimpin/ketua/kepala, dan sebutan lainnya.
Singkat cerita, tokoh kita akhirnya dielu-elu menjadi pemimpin kaum buruh. Digadang-gadang sebagai ketua bagi para wong cilik. Tanpa harus musyawarah atau kongres; secara aklamasi warga mengangkat tokoh kita sebagai ketua (kaum buruh; warga prasejahtera).
Seharusnya, pengangkatan itu adalah berkah, merupakan amanah, sekaligus “bencana” sebab yang dia ayomi adalah warga prasejahtera. Tokoh kita akan mengangkat warganya dari kehidupan prasejahtera menjadi sejahtera.
Setelah banyak pengikut, tokoh kita pun “menjadi besar” oleh kelimunan massa yang juga besar sebagai sebuah partai (bisa disebut juga: organisasi) besar. Dana terus mengalir. Para dermawan tak sungkan-sungkan menghibahkan separuh dari kekayaannya untuk perjuangan tokoh kita demi menyejahterakan rakyat.
Setelah dukungan banyak, tokoh kita pun “melirik” kursi kekuasaan. Peluang ini tak ia abaikan karena entah seribu atau sejuta tahun lagi peluang baru datang lagi. Apatahlagi saat kini, seluruh negeri tengah mencintainya sebagai “penguasa harapan” masa depan. Pemimpin yang dinanti-nanti karena sudah lama diimpikan. Sebagaimana kerindungan bangsa Indonesia pada “Ratu Adil” yang hingga kini belum juga hadir membawa keadilan.
Tokoh kita lupa pada perjuangan awal: menghidupkan rasa haru—keterharuan—saat ia menolong buruh, yang kemudian menarik simpati masyarakat dan juga sang kekasih. Ia menjadi buta oleh kekuasaan dan pujian. Ia gelap hati karena jabatan. Ia menjadi kikir dan ingin selalu menindas karena uang.
Dia kemudian menjadi “algojo” dan memagas orang-orang yang tak sehaluan, menyalurkan anggaran bagi mereka yang kelaparan, menjanjikan hal-hal muluk bagi warga yang mengambang.
Hanya saja, masyarakat sudah berubah antipasti. Sang kekasih mulai membenci tokoh kita karena sifat harunya sekonyong-konyong hilang setelah kekuasaan di pundaknya. Paling miris, tatkala berkuasa tokoh kita ini kerap menilap anggaran atau mengutil sebelum dibagikan ke warga—untuk kekayaan pribadi.
Rakyat pun meninggalkannya. Sang kekasih “menalak” dia. Jika begini, apa yang bisa diambil dari makna jabatan, kecuali kekuasaan cenderung korup? Dan, peribahasa bahwa orang-orang besar karena di sampingnya ada istri yang selalu mendukung, kini tak ada lagi dalam diri tokoh kita.
Tokoh kita pada akhirnya hidup dalam kesunyian. Di luar rumah yang dulu amat dicintai karena indahnya, bernama partai-komunitas-lembaga.
Semoga kita masih memiliki rasa haru… n
Tulisan #2
Kenduri Seniman
Pulung Swandaru
Penggiat dan Pelaku Seni Rupa, tinggal di Bandar Lampung
“Mahardiko iku jarwanyo nora mung lepasing pangereh, nanging ugo kuwat kuwoso amandiri prionggo.” = “Merdeka itu artinya bukan hanya terlepas dari perintah, melainkan juga sanggup memerintah diri sendiri.” (Ki Hajar Dewantara, 1962).
KENDURI, secara umum dipahami sebagai: selamatan, sedekahan, perjamuan, atau santap bersama pada acara tertentu. Lazim pula ada peramalan yang dibaca bersama, ada doa yang diamini bersama, dan tidak alpa ada jabat tangan saat tiba di tempat, saat pamit pulang sembari menenteng oleh-oleh.
“Kenduri seniman" dianalogikan sebagai penyesuaian atau persamaan dengan sebuah acara yang sudah ditunggu-tunggu oleh sebagian banyak seniman Lampung, yaitu MDKL (Musyawarah Dewan Kesenian Lampung) pada awal tahun ini. Kenduri seniman ketujuh kali ini (kalau tidak salah hitung) ada yang patut untuk dicermati dan diapresiasi, yaitu bakal dibedah lahirkan beberapa konsep “aduhai” bernarasi panjang diusung dalam bentuk rekomendasi, dinamai Pusat Kesenian Lampung. Ada Akademi Lampung, ada Yayasan Kesenian, ada Badan Pengelola Gedung Kesenian dan DKL itu sendiri yang telah lahir 21 tahun yang lalu pada era Orde Baru. Konon embrio gagasan itu pun telah mencuat, tapi belum sempat lahir.
PKL telah dipublikasikan sekaligus sudah dan akan terus dikomentari oleh berbagai pihak. Dari komentar yang enak disimak, pendapat yang sependapat, kritik yang menggelitik, sampai celoteh, olok-olok, cemooh, bahkan cacimaki (?); lengkap sudah. Seperti supernutrisi yang diharapkan menyuburkan persemaian biji adu bantah di belantara berkesenian bumi Lampung ini. Asyik untuk dinikmati tetapi kadang perut menjadi mual, muak untuk dicerna. Ya, itulah romantika dan dinamika jelang acara MDKL.
Cobalah tengok di sebelah sana ada sekelompok seniman “kubu perahu” serempak beranekdot ria, tersenyum bareng tetapi sengaja disiniskan. Sementara tidak jauh dari bengkel di mana saya sering nongkrong, banyak sohib juga sebagai “kubu dalam”, kompak menggerutu sinis tetapi tampak elok karena disenyumkan. Adapula kelompok yang sengaja mengambil jarak sebagai penonton untuk menunggu dan melihat hasil perhelatan.
Baik yang tersenyum sinis maupun yang sinis disenyumkan, bagi saya biasa-biasa saja, tidak pula aneh-aneh amat. Anggap saja itu banyolan dan itu sangat sah.! Seperti kata almarhum Abdul Rahman Wahid (Gus Dur): “banyolan itu bantal kebudayaan”, apalagi yang suka berbanyolan itu para seniman. Pastikan saja meskipun hangat memanas, tidak serem-serem amat. Jadi, kita semua berharap kiranya MDKL berjalan dengan lancar, tertib dan sukses menghasilkan sesuatu.
Adu Konsep Lebih Baik
“Sejak zaman dahulu, seniman itu orang kelas satu, ia aset utama dari orang-orang yang berkuasa. Tetapi ia juga aset utama bagi dirinya sendiri yang merdeka! Karena itu, sekali lagi seniman adalah warga negara terkemuka”. (Fadjar Sidik, 1960).
Setiap orang yang menyandang predikat seniman, sungguh memiliki dan menjunjung tinggi kebebasan atau kemerdekaan. Dia lepas dari perintah tidak in order, dia sanggup memerintah dirinya sendiri, dia bebas berekspresi lewat karya-karyanya. Karakternya tegas kalau hitam ya hitam, kalau putih ya putih, bukan abu-abu, dia punya kapasitas penuh dan berintegritas!
Karena itu alangkah elok dibuka ruang untuk “Ayo, adu konsep” dan bukan adu apriori; kalau adu apriori akan lahir suara lantang isinya berburuk sangka yang sama sekali tidak perlu. Perbedaan konsep dan pertentangan pendapat tidak selamanya berujung penyelesaian. Bahkan tidak akan pernah rampung ketika ada seruan klasik, “jangan beginilah, jangan begitulah”. Sepanjang rasionalitas dikedepankan dan argumentasinya “oke” mengapa tidak. Campakkan jauh-jauh perpecahan apalagi kebencian meskipun konsep dan pendapat berbeda.
Ilmu tentang toleransi dan saling menghargai akan lebih bisa memberikan hasil sebagai upaya penyejuk, peredam pertentangan yang menjurus permusuhan sekadar berebut “dingklik”. Tidak ada masalah yang tidak bisa dibereskan, tetapi tidak semua masalah bisa dibereskan seorang diri.
Tak Berubah Berarti Kalah (?)
Orang bijak berkata: “Semua yang ada dalam hidup dan kehidupan ini selalu dan terus akan berubah, yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri.”
Akan halnya dengan konsep perubahan yang lantang diteriakkan oleh banyak sohib seniman; ini berarti kita sudah sepakat untuk sengaja, sadar dan siap melakukan perubahan. Melakukan perubahan sebaiknya tidak perlu tergopoh-gopoh karena ketidakpahaman akan apa saja yang layak pantas berubah. Bahkan, ketidaktepatan memberi interpretasi makna yang terlampau luas tanpa batasan “demarkasi” tertentu, justru akan terjebak pada situasi besar pasak dari pada tiang. Perubahan tidak pula harus total dan ekstrem, tetapi bertahap dan berkelanjutan, bergerak maju dan naik “vertical mobility” secara berkualitas.
Sangat menarik hitung-hitungan sohib saya Juperta Panji Utama (Lampung Post, 3/2) bertanya santun kurang tambah: “Ikhlaskah rakyat membiayai organisasi yang tambun ini melalui kocek APBD?” Kalau saya boleh menjawab: “Tentu saja tidak ikhlas, bila kemudian gelontoran biaya itu untuk bancaan seniman”. Pertanyaannya adalah: “Seberapa perlu keberadaan dan kehadiran lembaga dimaksud bagi rakyat?” Juperta Panji Utama juga sangat khawatir, “Kalau lembaga ini tidak benar dikelola, sangat subur untuk melahirkan syahwat gelap dan korup”.
Itulah pula yang banyak diteriakkan teman-teman, mutlak perlunya perubahan sistem, tata kelola, pola pikir (mindset), disiplin, transparansi anggaran, dst. Sungguh pertanyaan dan kekhawatiran yang sama pernah merapat di benak saya. Karena merasa kurang nyaman, dalam rapat pleno DKL (10/1) dengan tegas saya katakan: “Kacamata empiris saya dalam melihat kiprah dan peran DKL selama ini ternyata ada sebagian kawan dengan serampangan dan gampang menjadikan DKL sebagai sawah ladang mata pencaharian”.
Akhirnya muncul pertanyaan kembar yang cukup penting, yaitu: “Apakah pemerintah provinsi yang memerlukan DKL? Ataukah DKL yang memerlukan Pemerintah Provinsi? Sepenting apa gerangan pertanyaan dan jawabannya, saya serahkan bulat-bulat (untuk menjawab atau tidak menjawab) kepada semua pihak yang terkait dan terlibat.
Salam takzim dan salam budaya
sumber: Opini | Lampung Post, Kamis, 12 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 on: "DKL dan Kekuasaan"