Isbedy Stiawan ZS
Sastrawan
SUNGGUH ruang Opini Lampung Post beberapa hari ini menghadirkan tema Dewan Kesenian Lampung (DKL) benar-benar telah mengasah dan (tempat) mengaca para seniman—baik di luar maupun di dalam lembaga kesenian ini.
Mari mundur ke belakang sebagai ingatan pada langkah pertama rindunya para seniman untuk memiliki wadah bernama Dewan Kesenian Lampung. Manakala Poedjono Pranjoto menjadi orang nomor satu di Lampung begitu “terpana” dengan kedatangan sejumlah seniman yang “dituntun” Bachtiar Amran—kala itu wartawan Kompas untuk Lampung.
Keterpanaan Gubernur Lampung Poedjono itu karena kehadiran para seniman dengan membawa lengkap konsep pendirian DKL dan lain-lainnya. Pada saat bersamaan, sesungguhnya Dinas Pendidikan Provinsi Lampung nyaris menggulirkan DKL yang tentu pengurusnya adalah pegawai di sana, dan seorang dari luar: Iwan Nurdaya-Djafar.
Bisa dibayangkan sekiranya waktu itu DKL merupakan besutan Disdik? Tetapi, Poedjono langsung menghubungi Indra Bangsawan yang kala itu sebagai kepala Dinas Pendikan. Gubernur Lampung kala itu hanya berucap, kira-kira begini: “Ini teman-teman seniman menghadap saya, dan kita hanya tut wuri handayani.”
Singkat cerita, musyawarah Dewan Kesenian Lampung pun dilangsungkan. Anggaran musda dibantu oleh Disdik. Nah, kami berpikir—di dalam tim ini ada Maspril Aries, Iman Untung Selamet, Iwan Nurdaya-Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Igoen Gunarno dsb-nya—sebagai “pembantu dana” tentu jangan lupakan jasanya.
Selain itu, pada saat itu kami berpikir dan tahu “diri” yang mungkin belum bisa bargaining dengan pemerintah, maka dibuatlah struktur yang berbeda dari DKJ, yakni ada KETUA UMUM, yang diharapkan sosoknya dekat atau memiliki kekuatan di pemerintahan. Hal ini untuk “menggampangkan” kucuran anggaran (APBD).
Walaupun ketua umum dari kalangan pejabat atau dekat dengan kekuasaan tak juga menjamin lancar keuangannya. Anggaran DKL pernah nol rupiah, pernah juga “disandera” saat Oemarsono jadi gubernur. Bahkan, DKL juga pernah layaknya kucing beranak lantaran berpindah-pindah sekretariat atau “dipindahkan” oleh penguasa. Tetapi ini semua sejarah lama, tak perlu disebut orang yang paling “garang” memperjuangkan ini semua.
Nah, akhirnya menjadi tradisi di DKL. Ketua umum (Ketum) adalah orang yang berdekatan dengan kekuasaan, dan ini terbukti: setelah Indra Bangsawan memegang tampuk tertinggi DKL selama dua periode, diganti dengan Herwan Ahmad (almarhum) juga 2 periode (1 periode mulus, tapi pada perjalanan ke dua periode Herwan meninggal dunia), setelah itu Syafariah Widianti (Atu Ayi) juga 2 periode.
Kini yang tengah digadang-gadang—dan dimungkinkan tak ada yang menolak—adalah Apriliani Yustin, istri Gubernur Lampung M Ridho Ficardo. Jadi kalau ada “kenyiniran” bahwa DKL (juga seniman) selalu “berapat” dengan kekuasaan—dalam hal ini pemerintah—tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena sejarah sudah membentuk. Kecuali kelak, seniman Lampung sudah memiliki posisi tawar dengan pemerintah.
Soal Yustin bakal memegang tampuk tertinggi DKL, berbuah sinisme, sarkas, dan berikut “fitnah-fitnah” (?), yang katanya saya “menolak istri Gubernur Lampung menjadi ketum” atau lain hal. Apakah begini politik seniman kita?
Sejarah dalam musda DKL (MDKL) memang hanya memilih ketua umum, sementara kepengurusan di bawahnya dirapatkan oleh tim formatur yang terdiri dari seluruh bidang seni, dan dipimpin oleh ketum terpilih. Di area ini kecenderungan yang “ditawarkan” panitia pelaksana (OC) bakal diaminkan oleh ketum, kalaupun ada perubahan hanya dua tiga nama.
Tak ayal, bagi yang hendak menduduki ketua harian (ketua harian), sekretaris umum (sekum), dan mungkin bendahara, mestilah masuk barisan OC. Jadi agak bisa dibenarkan pernyataan Syaiful Irba Tanpaka, jika ingin menjadi pengurus DKL mesti jadi pengurus atau “bergabung” di OC/SC. Sedangkan Juperta Panji Utama mengistilahkan “musda kocok bekem”. Kedua istilah terus-terusan mengusik saya karena selalu terngiang. Tetapi, aku mesti mengangguk-angguk.
Ketua Harian Dipilih
Kalau selama ini ketua harian “bergantung” pada ketum yang notabene dipastikan secara aklamasi, eloklah pula jika ketua harian dipilih dalam sesi tersendiri pada musda DKL. Misalnya, siapa saja yang siap maju menjadi ketua harian di daftar. Lalu kasih panggung “pidato politik” soal visi-misinya menjayakan DKL jika terpilih.
Kalau ini dilaksanakan, niscaya ketua harian yang pada periode sebelumnya hanya “melempem” atau tak transparansi dan sebagainya, pastilah ditinggal para seniman. Kecuali ada hal-hal lain di luar sportivitas.
Pemilihan ketua harian pasti akan lebih menarik ketimbang “mendapuk” ketum. Karena ketum memang harus punya kedekatan dengan kekuasaan, selain memiliki kepedulian memajukan DKL. Siapa saja: apakah birokrat, keluarga gubernur, atau istri gubernur, wakil gubernur, hingga sekprov maupun asisten serta kepala SKPD. Jaminan ketum ialah DKL punya anggaran dari kucuran APBD, yang sejatinya “wajib” ada bagi pembangunan kesenian-kebudayaan-dan-sp
Nah, pada tataran ini, ketua harian dipilih oleh peserta MDKL akan lebih menarik dan semarak. Boleh-boleh saja saling hujat kok, asal bukan nujah. Boleh-boleh pula menyerang, selagi tak masuk kategori fitnah.
Dengan demikian, DKL tak di-bully sebagai sebagai “sarang penyamun” para seniman. Istilah penyamun kerap digunakan tatkala seorang perempuan berada di antara para lelaki sebagai candaan. Tetapi “penyamun” di sini, jangan sampai kita—para seniman—dicap pengutil anggaran. Dan, saya yakin kita tak menginginkan sebutan itu. Para seniman yang cenderung selalu independen dan individualis (positif) tak akan masuk ke ranah itu.
Ke depan, saya kira ini perlu dipertimbangkan. Atau sekiranya Akademi Lampung disetujui dalam musda DKL kelak, bisa jadi sebagai badan yang menentukan ketua harian dan pengurus lainnya. Ini sudah dilakukan di DKJ, kepengurusannya melalui test and properties di hadapan para Akademi Jakarta (AJ, kalau di Jakarta). AL jangan statusnya selama hidup, tapi dipilih oleh sepuh seniman-budayawan, akademisi, dan dari pemerintah. Seperti juga pemilihan komisioner KPU, KPK, dan lembaga negara lain.
Lalu, tak bisa pula diabaikan, DKL ke depan mesti transparansi—khususnya soal pengelolaan dan masuknya anggaran dari Pemprov Lampung—karena dengan begini, kita semua sudah menjunjung adil dan “bersih” sebagai bagian dari NGO—plat merah, kata Syaiful Irba Tanpaka—yang turut membantu pemerintah di bidang kesenian, dan bukan sebagai benalu!
Inilah yang saya kira sedikit diabaikan oleh pengurus periode 2011—2014; dua kali pada pleno pernah saya tanyakan masalah ini namun jawabannya sangat normatif. Kecuali kemudian tatkala pemberitaan tentang DKL mencuat di media cetak dan medsos, digelarlah rapat BPH dan di sana dibagikan draf keuangan DKL tahun anggaran 2014. Sementara 2013 hingga 2011, sampai pleno di Hotel Inna tak pula dibagikan.
Karena itu pula, saya sering “meradang” karena mereka yang di luar DKL bertanya-tanya: berapa anggaran DKL per tahun? Saya mau menjawab apa, sedangkan saya adalah “orang dalam” DKL. Meski kemudian, dengan gagahnya laiknya “detektif Conan” saya mencari tahu, dan datanya terekam di benak saya.
Tulisan ini tidak menghujat kawan-kawan yang lebih dulu menulis di Lampung Post juga tak “berani” menambah-nambah apatah lagi memberi saran untuk tulisan teman-teman: Iwan Nurdaya-Djafar, Alexander GB, Juperta Panji Utama, Syaiful Irba Tanpaka, dan teranyar (Rabu, 4/2), Bagus “Aviev” Pribadi. Seluruh tulisan itu, seperti saya katakan dalam komentar di sebuah status: dengan adanya opini itu, kita bisa mengasah dan mengaca (kemampuan) diri masing-masing. Sebuah pembelajaran yang tak ada di dalam ruang belajar.
Sebagai penutup, DKL ke depan harus mampu menyikapi kesenian yang terus berkembang dan lahir dari para seniman di bawah usia kita. Tabik pun.
Sumber: Opini | Lampung Post, Kamis, 5 Februari
0 on: "DKL Bukan Sarang Penyamun Seniman"