Jumat, 13 Februari 2015
DKL, Rumah Berwarna Kunyit
Dana E Rachmat
Perupa, tinggal di Bandar Lampung
Lebih baik di sini
Rumah kita sendiri
…
Semuanya ada di sini (syair lagu)
RUMAH merupakan tempat yang paling nyaman dalam sebuah ikatan sosial manusia. Kenyamanan sebuah rumah bukan saja karena di dalamnya kita bisa berteduh, beristirahat, dan berkarya, namun kita juga bisa bebas mengekspresikan jati diri kita sampai pada hal-hal pribadi sekalipun.
Esensi sebuah rumah yang paling riil adalah sebagai tempat yang paling nyaman untuk pulang ketika salah satu, salah dua, bahkan salah tiga anggota keluarganya ada yang berbuat salah. Dorongan kerinduan terhadap anggota keluarga (adik bagi yang lebih muda, kakak bagi yang lebih tua) adalah sesuatu yang wajar, karena rumah adalah sebuah tempat yang nyaman bagi makhluk sosial yang bernama manusia.
Jika Dewan Kesenian Lampung dianalogikan sebuah rumah, dari sekian rumah yang berwarna putih (mayoritas), DKL merupakan rumah yang unik. Bukan hanya warna dindingnya yang berwarna kunyit, dengan kain gorden kotak-kotak pastel yang apik, di ruang tengah terdapat perpustakaan yang berisi buku-buku sastra dunia, menyiratkan betapa penghuninya adalah seorang yang intelektual walau bukan akademisi.
Di dinding utara tergantung lukisan naturalis yang apik, dengan panorama alam tanah lado nan kayo rayo, di atas lemari hias yang tingginya tidak seberapa, terlihat player dengan beberapa kepingan compack disc tertumpuk, terbaca The Beatles, George Benson, Salena Jones, Michael Frank, Gun and Roses, Heavy Metal, bahkan Rastafara Trailer duet Marley-Mbah Surip. Sungguh sebuah keluarga yang dinamis, walau di bawah majalah yang berkover wanita rada seksi (Virgin) terlihat juga keping CD lagu lampung Sebik Hati.
Dalam sebuah keluarga, adalah suatu hal yang wajar jika sesekali terjadi keributan, pemicunya bermacam-macam, dari persoalan dorongan pup yang bersamaan sementara rumah tersebut hanya memiliki dua kamar mandi, sampai gara gara channel televisi, yang satu memiliki hobi bola, tantangan alam dan eksplorasinya National Geografic, sementara sang kakak senang lihat fashion-nya Louis Fuitong di TV Prancis yang mengeksplorasi keindahan wanita, yang paling kecil malah senang lihat channel Animal dan Just Kidding.
Tuhan Mahaindah juga Mahatahu, dalam keluarga itu ndilalah-nya Ia takdirkan kedua orang tua yang bijak itu. Seorang ayah yang bertanggung jawab, tegas, dan penuh kasih sayang, adalah seorang ibu yang tanpa reserve mendidik anak-anaknya yang beragam dengan hati dan tangannya tanpa lelah.
Bagaimana tidak, pada satu peristiwa betapa makan hatinya ibu ketika si sulung marah dan menimpuki genting rumah, para tetangga mengintip dari balik gorden, jendela yang juga putih warnanya sambil tersenyum nyinyir, para tetangga menganut paham SOS bukan ISIS (senang lihat orang susah dan susah jika lihat orang senang). Yang lebih membuat ibu mengelus dada adalah ketika ia mulai mengajak kakak kedua dan ketiganya untuk bergabung, tidak lain karena masalah “uang jajan” yang dirasa tidak adil.
Sesuatu mengejutkan adalah kenapa dalam situasi tersebut ibu malah tertawa, bagaimana tidak karena ia yang tau berapa rupiah ayah memperoleh gaji dari seragam PNS yang dikenakan dan kadang-kadang harus jual ikan lele di samping rumah hanya agar dapat penghasilan tambahan.
Kalau dihitung-hitung, alangkah lebih banyak uang jajan yang dikeluarkan ibu untuk si sulung dan kakak kedua yang mainnya sudah relatif jauh nyebrang kampung. Hal ini masih dianggap wajar dengan saudaranya yang lain karena adil bukan berarti sama rata dan ibu juga sadar kenapa adik bungsu hanya jajan permen burung-burungan yang ditiup oleh Pak Marjuk.
Rumah, itulah esensi sebuah rumah. Pengulangan kata, apabila kita analogikan Dewan Kesenian Lampung sebagai rumah kesenian, sudah barang tentu kita yang notabene sebagai umat seni harus sama-sama menjaganya. Sebuah pertanyaan, kenapa rumah DKL berwarna lain (kunyit) dibendingkan dengan rumah-rumah yang lain yang bercat putih? Di sini hal yang menarik dan sudah barang tentu eksklusif.
Adalah seorang Leonardi Da Vinci dari kampung seberang pernah lahir dan mencoret-coret/ber-sketching ria, benda bersayap yang beberapa abad kemudian dinamakan Lion Air, di balik human error Lion Air lebih banyak maslahat dari mudaratnya.
Leonardo Da Vinci adalah sebuah contoh genre yang lahir dari rumah berwarna kunyit, karya lain yang mirip opera sabun adalah lukisan Monalisa yang ditafsirkan para kurator sebagai senyum manisnya sendiri. Da Vinci sah saja ber-selfie ria pada zamannya tidak ada larangan juga undang-undangnya untuk itu, walau itu dikecam dalam syair ironisnya Iwan Fals dengan kata “onani”.
Ada juga alkisah bahwa kekejaman Nazi yang dikomando Hitler merupakan produk yang lahir dari salah menafsirkan keindahan dan keharmonisan yang ada pada keluarga dari rumah yang berwarna kunyit. Sebelum masuk militer, sebenarnya Hitler ingin masuk ISSI Yogya Jurusan Seni Rupa, ia kuat ingin menjadi bagian dari rumah yang bercat kunyit, namun ia gagal, bahkan ia menjadi sangat kejam. Namun, ada juga karyanya yang bisa kita nikmati sampai sekarang, Volkswagen (mobil rakyat) dengan suspensi nyaman, BBM irit, serta perawatan yang sederhana.
Ambulans di Jerman pada saat itu juga memakai VW Kombi (Krunken Wagen) namanya. Nyaman dan lega, bahkan sampai sekarang para penggemar burung kicau (Murai Kota Agung) kerap menggunakan Kombi untuk sarana kendaraan ketika mereka tanding ke luar daerah, berbeda jika mereka menggunakan produk mobil Jepang, kebanyakan burung pada mabung ketika akan tampil di panggung laga.
Itulah fenomena-fenomena yang ada didalam rumah bercat kunyit, anugerah yang diberikan-Nya kadang tidak dibarengi dengan pencerahan yang semestinya tetap dijaga, masing-masing memiliki kegembiraan yang berbeda, kegembiraan yang hakiki adalah ketika kita kembali ke alam, kembali pada akar, bahwa dari awal kita dilahirkan dianugerahi simbol yang agung (kunyit=kuning=agung).
Yang membedakan produk rumah bercat kunyit adalah mahakarya yang muncul dengan kedewasaan dan kejujurannya, bukan produk adopsi dari apa yang dilihat di etalase toko-toko, karena anugerah otak kanan yang aktif tentu tidak kehilangan ide untuk membuat banyak hal yang baru, bermanfaat, memberi edukasi bagi umat dari penghuni rumah-rumah yang lain, bukan kumpul-kumpul arisan yang ibu pun sangat tidak suka dengan kebiasaan ini.
Apakah unsur-unsur hakikat tersebut dimiliki seluruh anggota keluarga yang ada di rumah yang berwarna kunyit itu? Rasanya kita tidak perlu bertanya pada Ebiet G Ade, karena karya Ebiet pada saat ngamen di lesehan Kota Gudeg dengan karyanya ketika ia sudah top dengan BMW-nya sangatlah berbeda, tidak lagi menjadikan merinding bulu-bulu kita untuk mendengar lagu-lagunya. Fenomena merinding bukan hal yang biasa, karena karya seni yang tercipta memiliki kekuatan tersembunyi yang bisa ditangkap alam bawah sadar kita sebagai manusia.
Alam merupakan fenomena tafsir yang sangat jujur. Kalau saja kita menjadikan tafsir alam tersebut sebagai cermin, mungkin tidak terjadi Hitler membunuh banyak orang, tidak terjadi kakak julid hati terhadap adik-adiknya sendiri, tidak terjadi egosentris yang kuat untuk merasa benar sendiri, pintar sendiri, dan akhirnya mau menang sendiri.
Rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk pulang, ibu tidak akan tega mengusir anaknya, jangan takut ayah tidak memberikan uang jajan kembali, karena ayah tau kita anak-anaknya belum mampu mencari jajan sendiri.
Tunjukkan pada dunia bahwa kita adalah penghuni-penghuni rumah yang bercat kunyit itu, dengan karya yang baik, sesuai dengan alam tempat kita berpijak, alam yang penuh dengan kearifan lokal, indah, pusaka penuh makna, Lampung is gold heritage. N
>> Tulisan #2
Dongeng DKL yang Penuh Cinta-Ceria
Hermansyah GA
Pelaku seni di Lampung
Dongeng DKL sudah merambah ke arena pemikir tingkat prestise untuk bagaimana membangun etika dan moralitas kesenian secara harmoni. Lampost memediasinya secara leluasa. Saya meresapi adanya romantisme para seniman yang semuanya nyata sahabat karib saya. Sebagai pelaku seni, saya akui kegairahan akan munculnya person dalam kepengurusan DKL menjadi hasrat atau mudarat tinggal menilik dari sudut pandang apa dan bagaimana.
Sahabat saya, Iwan Nurdaya-Djafar, lantang menyeru terbentuknya Pusat Kesenian dengan tiga pilar: Akademi Lampung, Badan Pengelola Gedung Kesenian, dan Yayasan Kesenian. Sungguh gagasan inovatif yang konstruktif meski arah penegakannya masih dalam format yang belum final.
Ironisnya, Syaiful Irba Tanpaka menanggapi inmutual yang diistilahkan telah kedaluwarsa. Istilah pusat kesenian dalam peristiwa kelahiran DKL Pentas Kesenian Lampung yang semestinya tiga pilar itu lahir bersamaan dengan DKL. Kedua istilah itu merupakan peristiwa biasa yang lazim dipanggungkan, tetapi secara historis yang menjadi mercusuar adalah musyawarah seniman yang membidani lahirnya DKL.
Di dalamnya sederet nama para seniman seperti dilansir Isbedy Stiawan ZS "DKL Bukan Sarang Penyamun Seniman" lalu dikisahkan dalam Pentas Kesenian Lampung. Pecahlah telur bulat kesenian dalam satu Lembaga Dewan Kesenian Lampung pada 17 September 1993 dan meletakkan dasar-dasar aturan dalam naskah Pedoman Dasar DKL.
Seiring perjalanan waktu masa periodisasi telah lima kali pergantian pengurus secara periodik. Pedoman dasar ditingkatkan menjadi aggaran dasar dan anggaran rumah tangga DKL yang jadi landasan pijak merawat dan membesarkan dengan segenap upaya.
Keluh-kasah soal-soal minimnya anggaran yang diskriminatif pemerintah lalu bersih masih saja menghantui para pengurus DKL. Padahal, DKL trahnya sebagai mitra kerja pemerintah walau pejabat sekalipun sebagai ketua umumnya. "Memang tidak menjamin seorang pejabat pemerintah, keluarga gubernur, atau siapanya. Gubernur yang menjadi ketum DKL akan memprioritaskan anggaran bagi kemajuan DKL," begitu kalimat miris Iswadi Pratama.
Kalimat Iswadi Pratama saya analogikan pejabat pemerintah saja sebagai ketum DKL kehidupan kesenian masih klepar-kleper, bagaimana jika bukan pejabat. Realistis memang kesenian belum memiliki posisi tawar. Telaahnya cuma klise "bantu" cuma separuh hati. Tantangan yang cuma memenuhi catatan kegelisan belum menuai kepastian.
Akankah DKL mampu menebar aroma keindahan membersihkan debu kegetiran? Siapa yang mampu menjawab? "Kita semua" setidaknya berkomitmen meneladankan kesenian sebagai nilai estetis dan primadona bagi pelakunya. Sejatinya memegahkan DKL renjadi rumah aspiratif para seniman berpancar keindahan dan cinta.
Catatan saya terkait tulisan Juperta Panji Utama “Save DKL” (Lampost, 4/2). Saya berharap ucapan itu hanya lelucon. Sebab, Musyawarah DKL itu amanah AD yang berkekuatan hukum dengan peserta dan peninjau adalah orang-orang yang memiliki integritas dan kapabel. Khawatir ada duga keliru atas kalimat tersebut.
"Bijaksana itu pilihan, tua itu pasti." Mari kita ke arah bijak dengan menghargai apa pun Lakon yang diperankan orang lain secara positif. Keindahan kata-kata sesungguhnya dapat mengubah kegairahan kehidupan seni yang dipenuhi rasa cinta. Kita akan mengetahui itu cinta jika kebersamaan mendetikkan tahun, dan perpisahan, perpecahan menahunkan detik.
Kita akan mengenali itu cinta jika kita menjadi lebih ceria, lebih kuat, lebih tabah, lebih bersemangat, dan lebih berharapan karenanya. Kita akan mengenali cinta jika tidak ada keindahan yang mengalahkan imajinasi tentangnya dan tidak ada langit yang bisa mengatapi ketinggian impian kita di dalamnya.
Kita pasti akan mengenali itu cinta jika tidak ada kepedihan yang lebih menyayat dan kekecewaan yang lebih menerpurukkan daripada pengkhianatan di dalamnya. Cinta menuntun kita untuk menemukan nilai terindah dari selaksa impian, kemampuan tertinggi dari imajinasi, dan kekuatan terbesar dari hati kita.
Dari waktu ke waktu, cinta akan menyayat dinding jantung kita, menguliti hati, dan mengoyak impian untuk memeriksa kedalaman dari kesedihan yang mewaduki air mata. Tapi, luka karena cinta bukanlah luka yang mencacatkan, tapi yang menuntun kita untuk mengenali keindahan hakiKi dari jiwa kita. Sesungguhnya, kita mengenali cinta dari keindahan yang disebabkannya atas jiwa. Naluri yang terasah dan ketulusan hati.
sumber: Opini | Lampung Post, Selasa, 10 Februari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 on: "DKL, Rumah Berwarna Kunyit"