![]() |
Fitri Yani, Pengajar di Global Surya School, Sastrawan |
Setiap pagi atau sore, sebelum berangkat atau sepulang mengajar, seorang perempuan berkulit putih bersih selalu menyempatkan untuk memunguti daun-daun mangga yang berjatuhan di halaman. Sesekali ia menatapnya dengan seksama, seperti menatap ingatan-ingatan tentang kampung halaman yang berserakan dalam kepalanya, yang kerap gagap ia maknai, dan terkadang gagal menjelma sebagai puisi.
Lalu,
ia akan duduk di beranda, sejenak menghela nafas, mengenang perjalanan dan
kisah yang sedang ia tuliskan. Sesekali ia teringat dermaga yang bertahun-tahun
tak bernama, sesekali terkenang warna langit sore atau selepas subuh, yang
Suluh.
Ia
tersenyum pada pintu gerbang yang setiap Rabu atau Sabtu malam dipanjatnya,
ketika sebagian orang sudah terlelap dalam mimpi-mimpi panjangnya masing-masing.
Ia mengenang semuanya. Termasuk dongeng panjang
tentang perempuan yang suka menggabar
wajah kekasihnya di halaman, yang dikisahkan daun mangga saat angin berhembus
pelan atau ketika gerimis kembali mengguyur Tanjungkarang.
Buku
puisi berbahasa Lampung, Suluh (2013) karya Fitri Yani mendapatkan Hadiah
Sastra Rancage 2014 seperti yang diumumkan Ketua Dewan Pembina Yayasan
Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi, 31 Januari 2014. Kumpulan sajak Fitri Yani
tersebut dinilai sarat nuansa kelampungan yang membuatnya terasa lengkap
sebagai karya sastra Lampung.
Karena
itulah, Suluh yang diterbitkan Lampung Literature, 2013, dipilih dewan juri
sebagai peraih Hadiah Sastra Rancage 2014 untuk sastra Lampung. "Bukan
saja karena disajikan dalam bahasa Lampung, melainkan juga membicarakan perkara
kelampungan. Tak ada satu pun sajak di Suluh yang tidak mengandung warna lokal
Lampung, utamanya Lampung Barat," kata Ajip Rosidi.
Torehan prestasi tersebut, merupakan hasil kerja kerasnya selama ini yang terus diprovokatori Ari Pahala Hutabarat untuk mencipta karya sastra Lampung.
"Saya
mendengar suara-suara bijak dan pesan yang tersembunyi dari para orangtua,
kenyataan-kenyataan hidup muda-mudi yang begitu luas, juga upacara-upacara dan
permainan yang membuat saya tertawa dan terkadang merenung, betapa setiap orang
selalu memiliki sebuah ruang sunyi untuk menyimpan kenangan," tutur Fitri.
Menuju Suluh
Sekitar
tahun 2009-2010, waktu itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung, bersama Yessi Sinubulan, ia hadir di pondok sederhana
kami, untuk setiap minggu, berkomitmen, berlatih menulis yang kami beri nama
Forum Para Pemikir. Memang namanya sedikit bombastis. Tapi tak apa. Ini hanya sebentuk
forum menulis kreatif, yang mewajibkan setiap peserta membawa satu karya boleh berupa puisi, prosa, esei,
opini, resensi buku, atau apa saja, lalu diapresiasi bersama, satu minggu sekali,
tepatnya setiap Kamis sore. Selain Fitri
dan Yessy, teman-teman Komunitas Berkat Yakin (Kober) seperti Agit Yogi
Subandi, Ahmad Tohamudin, Didi Arsandi, Dedi Apriansyah, Aulia Prayogi, Arya
Winanda juga terlibat, dengan Ari Pahala Hutabarat sebagai pembimbingnya.
Pada
forum inilah, di sebuah kesempatan Ari Pahala memintanya menulis puisi dalam dalam
bahasa Lampung. Ari Pahala menuntutnya bukan
semata menulis puisi modern yang dibahasa Lampungkan, tapi mesti seorang gadis Lampung
menulis puisi. Barangkali di situlah mulanya, dan baru pada tahun 2013,
terwujud juga hajat tersebut. Ia menerbitkan puisi Lampung yang diberi judul ‘Suluh’,
dan ditetapkan sebagai salah pemenang Rancage 2014. Suluh, kosa-kata berbahasa Lampung yang
berarti ‘merah’. Hadiah Sastra Rancage adalah penghargaan sastra berlevel nasional
yang diperuntukkan sastrawan yang dianggap turut serta melestarikan budaya
tanah kelahirannya.
Pada
proses kreatifnya, meski telah lama menulis puisi, Fitri mengaku tak jarang
mengalami kesulitan ketika harus menuliskannya dalam bahasa Lampung. “Harus
benar-benar belajar dari awal,” ujarnya dengan tatapan yang meyakinkan.
Menurut
Fitri, sebelum menulis dalam bahasa Lampung, dia harus mencari
metafora-metafora yang biasa dipakai masyarakat Lampung. Alhasil, dia lebih
sering menghubungi kedua orang tuanya untuk sekadar bertanya tentang kosakata.
Fitri
merasa puas dapat menyuguhkan sebuah karya berbahasa lampung. Dia pun teringat
pesan kedua orang tuanya. “Mau belajar bahasa asing apa pun jangan pernah
melupakan bahasa Lampung,” katanya menirukan pesan orang tuanya tersebut.
Akan
tetapi, Fitri kecewa ketika dirinya menemukan fakta baru saat mengikuti ajang
Rancage 2014. “Ternyata sastra Lampung masih jauh tertinggal dari sastra daerah
lain,” ujarnya.
Hal
tersebut dikatakan Fitri karena dalam ajang penghargaan bagi sastrawan yang
menulis dalam berbagai bahasa daerah itu, karya sastra berbahasa Lampung
menjadi karya yang paling sedikit. “Hanya ada dua karya sastra berbahasa
Lampung yang diajukan, yaitu karya sastrawan Udo Z. Karzi yang menulis bersama
Elly Dharmawanti dan karya saya,“ kata Fitri.
Fitri
mengaku iri dengan karya sastra daerah lain yang bisa mencapai puluhan karya.
Fitri berharap kelak lebih banyak masyarakat Lampung yang tertarik menulis
karya karyanya dalam bahasa lampung.
Sebab,
menurutnya, hal tersebut dapat mengangkat budaya daerah Lampung di tingkat
nasional maupun internasional. Atas dasar ini, Fitri berharap munculnya
penulis-penulis baru bidang sastra berbahasa Lampung.
Mengembangkan Tradisi
Tulis
Lampung
bisa dikatakan cukup beruntung memiliki khazanah budaya serta adat istiadat
beragam dan melimpah. Bahkan untuk level Sumatera, Lampung patut berbesar hati
karena memiliki aksara tulis sebagai warisan budaya masa lampau. Sayangnya,
anugerah tersebut tidak berbanding lurus dengan peninggalan kekayaan tradisi
tulis.
Itulah
salah satu keresehan Fitri Yani, mulai lampung yang berusaha memberikan
kontribusi nyata pada tanah kelahiran melalui goresan tangannya.
Kata
demi kata ia susun dalam antologi puisisnya, agar kelak generasi mendatang
mendapatkan warisan berharga atas sejarah ke Lampung mereka.
"Bangga
sebenarnya karena Lampung ternyata minim manuskrip, hasil budanya tulis
masyarakatnya," ungkapnya.
"Beda
banget dengan Jawa, Sunda, atau Bali yang punya segudang peninggalan
tulis," tuturnya membandingkan.
Meski
begitu, ia tidak lantas mengutuk masa lalu atas permasalahan yang terjadi. Ia
justru kian termotivasi mencipta karya yang tak lekang oleh waktu sebagai
warisan di masa depan. Tergabungnya jebolan FKIP Universitas Lampung ini dengan
UKMBS, seakan menjadi titik tolak atas apa yang dicita-citakan selama ini.
Hidup
dalam keluarga yang memiliki tradisi tutur yang kuat, perempuan kelahiran
Lampung Barat ini mengaku dunia kesustraan bukanlah suatu yang asing. Misalkan,
Fitri kecil selalu ditimang sang nenek dengan senandungan puisi Lampung atau
ayahnya, yang mengakrabkannya dengan karya seperti Siti Nurbaya.
"Selama
itu aku sudah dikenalkan dengan karya sastrawan kenamaan Indonesia. Tapi belum
juga mampu untuk menulis seperti itu. Barulah ketika kuliah dengan gabung di
UKMBS, kenal dengan seniman Lampung, seolah jalan itu terbuka untuk aku
menggeluti dunia kesenian," lanjut Fitri.
Termasuk
di dalamnya perkenalan dengan penyair kenamaan Lampung, Ari Pahala Hutabarat,
Sosok Ari, menurut Fitri, merupakan sosok yang paling berjasa dalam
memotivasinya menjadi seperti saat ini. "Yang selalu diiingat dari bang
Ari itu dia pernah bilang kalau aku itu harus bisa jadi besar. Aku yang
berusaha jadi penyair di Lampung yang merupakan asli keturunan Lampung, yang
mesti didorong untuk menelurkan karya yang berarti," kenang Fitri.
Maka
jangan heran, atas semangat itu karya Fitri mampu menghiasi halaman media
nasional dan lokal seperti Kompas, Jurnal Nasional, hingga Horison. Karya
puisi-puisi Fitri pun telah diterbitkan lewat dua antologi sajaknya yaitu
Dermaga Tak Bernama (2010) yang berisikan puisi berbahasa Indonesia. Lalu yang
kedua adalah Suluh (2013), antologi puisi berbahasa Lampung.
Khusus
karya kedua, Fitri mengatakan, tidak mudah merampunkan pekerjaan yang ia mulai
tahun 2009 silam. Kendala bahasa menjadi tantangan tersulit baginya.
"Bahasa Lampung itu istimewa, ada beberapa diksi yang tidak memiliki
padanan kata Indonesia,' ungkapnya.
Keistimewaan
karya Fitri itu yang akhirnya membuat Ari memberikan rekomendasi agar
"Suluh" didaftarkan pada ajang Sastra Rancage Award 2014.
"Beliau dan rekan-rekan di KoBer memberikan dukungan penuh atas apa yang
telah aku mulai," kata Fitri.
Kenangan dari Nyambai
Pernah
ada pengalaman tak menyenangkan, ketika untaian pantun menelusup ke dalam
gendang telinga, sontak tubuhnya panas dingin, bergetar dan merinding, bukan
karena tak paham artinya, melainkan ia tak mampu menjawab pantun yang
dialamatkan kepadanya. Apa daya, meski sudah beberapa menit berlalu, tetapi tak
satu pun bait terlontar dari bibir sang gadis untuk membalasnya. Muka si gadis
merah merona karena malu sebab tak mampu mengikuti nyambai hari itu dengan baik, saat ia masih duduk di bangku SMA
kelas XII.
Nyambai
merupakan kegiatan berbalas pantun antara muli dan mekhanai Lampung saat
berlangsungnya acara pernikahan. Budaya ini masih terpelihara di tanah Liwa,
tempat kelahiran Fitri Yani. Pengalaman ini yang juga mendorongnya untuk belajar
lebih dalam tentang kebudayaan dan bahasa leluhurnya. Meski Fitri mengaku
selalu menggunakan bahasa Lampung setiap berkomunikasi dengan anggota
keluarganya, ia tak pandai berpantun dalam bahasa Lampung kala itu, berbeda
dengan rekan rekan sejawatnya. Terlebih ketika gadis kelahiran 28 Februari 1986
itu memutuskan bersekolah di Bandar Lampung.
Peristiwa
itu sudah lama berlalu, tapi rasa malu masih terngiang hingga sekarang, yang
menyengatnya, yang memberinya tekad
untuk mengenal lebih dalam bahasa ibunya. Dan ‘Suluh’ adalah satu hasilnya. Fitri kini aktif menjadi koordinator kelas
menulis di Komunitas Berkat Yakin (Kober), komunitas teater dan sastra yang ada
di Bandar Lampung.
Sastra
memang menjadi panggung yang membesarkan namanya. Alumnus SMAN 8 Bandar Lampung
ini beberapa kali mengikuti lomba penulisan puisi dan menjadi juara. Lalu Fitri
tergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila.
Tak
sedikit pengalaman yang dirinya peroleh. Bergabung dengan komunitas yang
akhirnya mengenalkannya kepada sastrawan sastrawan Lampung seperti Isbedy
Stiawan, Iswadi Pratama, Inggit Putria Margha, Jimmy Maruli Alfian, Arman Az, dan
Ari Pahala Hutabarat.
Pada
2009 Fitri berkesempatan untuk hadir dalam Radar Bali Literary Award, sebuah
penghargaan, karena karya puisinya yang berjudul Di Depan Pintu Pertokoan
menjadi lima terbaik nasional.
Tak
hanya itu, Fitri juga kerap mendapatkan undangan dalam berbagai pertemuan
sastrawan baik nasional maupun internasional, pada 2012 lalu dirinya diundang
pada Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antarbangsa, di Pangkor, Malaysia, bersama
dengan Isbedy Stiawan, dan masih banyak lagi event-event sastra nasional yang
ia ikuti.
Di
tengah kesibukan dan rutinitasnya yang kini menjadi pengajar di SMP Global
Surya, Fitri kini menjadi koordinator kelas menulis di Kober yang sejak 2009
dia ikuti. Di Kober-lah Fitri mengaku memulai menulis berbagai puisi dalam
bahasa Lampung. “Saat itu Ari Pahala Hutabarat yang pertama kali menyarankan,”
ujarnya.
Forum Menulis Kreatif
![]() |
Creative Writing di Komunitas Berkat Yakin, KoBER |
Maka
itu, untuk menjadi seorang penulis, menurut Fitri, seseorang mesti banyak
memiliki referensi dan giat berlatih. Hal tersebut yang diakuinya menjadi bekal
menulis selama ini.
Sejak
SMP Fitri senang membaca. Berbagai buku bacaan menjadi langgananya. Hal
tersebut yang menurutnya berpengaruh dengan kemampuanya menulis sampai saat
ini.
Selain
itu, sejak di bangku sekolah ia kerap menulis buku harian. “Bertumpuk-tumpuk
buku harian masih saya simpan,” kata Fitri sambil mengembangkan senyumnya.
Buku-buku yang menjadi bukti menulis menjadi rutinitasnya sejak lama.
Selain
itu, menurut Fitri, menulis juga membutuhkan guru. Hal tersebutlah yang
akhirnya membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan komunitas menulis di
Kober. Sebab, di komunitas tersebut Fitri mendapat pengetahuan dari para
seniornya di bidang sastra.
Kini
setiap Rabu dan Sabtu malam Fitri selalu hadir di sebuah rumah yang berlokasi
di daerah Gunungterang, Bandar Lampung, itu. Di Sekretariat Kober itu dirinya
rutin berlatih bersama dengan beberapa penulis lain. Merangkai kata demi kata
hingga menjadi karya abadi.
Buku Kumpulan Puisi Fitri Yani, 2010
|
Biodata
Nama:
Fitri Yani
Tempat tanggal lahir: Lampung Barat, 28 Februari 1986.
Tempat tanggal lahir: Lampung Barat, 28 Februari 1986.
Pendidikan:
Universitas Lampung
Pekerjaan:
Pengajar di Global Surya.
Pengalaman
di Bidang Seni
-
UKMBS
Unila, Teater Kususetra
-
Komunitas
Berkat Yakin (KoBer)
Pengalaman:
Tergabung dalam 60 puisi terbaik Indonesia dalam ajang Pena Kencana Award 2009.
Tergabung dalam 5 puisi terbaik ajang Radar Bali Literary Award 2009).
Pertemuan Penyair Nusantara V and VI ini Palembang and Jambi 2011 dan 2012.
Ubud Writers and Readers Festival, Bali, tahun 2011. Temu Sastrawan Indonesia
IV, Ternate tahun 2011. Poetry Festival and Folk Songs. Pangkor Malaysia, tahun
2012, Peraih Hadiah Sastra Rancage 2014.
Karya:
-
Dermaga Tak Bernama (antologi sajak, 2010)
-
Suluh (kumpulan sajak Lampung, 2013)
Sumber:
Inspirasi,
Lampung Post, Sabtu, 8 Maret 2014
Smart
Women, Tribun Lampung, Minggu, 9 Februari 2014
0 on: "Fitri Yani; Guru plus Sastrawan & Gerakan Save Tradisi"