![]() |
Rilief Tanpa Dinding produksi Stage Corner Community, 2014 |
Oleh Bambang Prihadi
Lakon Relief Tanpa Dinding yang digarap dan disutradarai Dadang Badut memang telah dipentaskan beberapa bulan lalu (9-10/9) oleh Stage Corner Community (SCC) di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Namun para pelaku dan penikmat seni (terutama teater) tetap bisa menggali pembelajaran berharga dari pertunjukan yang berbasis ide, semangat eksperimentasi dan permainan suasana yang disuguhkan peraih Hibah Seni Kelola 2014 ini.
SCC didukung para aktor, Yohana Gabe, Clara Putri, Lina Erent. Lainnya yang juga terlibat, Ratu Selvi Agnesia (pimpinan produksi), Pemila (penata gerak), Tomy Setiawan (manajer panggung), Didit Alamsyah (penata bunyi), Mamet Slasov (penata cahaya), Andi Bachtiar Yusuf (supervisi produksi), serta Budi Renil, Eggy Mamen, Anto, Kuman, The Anarcho Brothers Faiz, Edmond, Haris dan Noel (kru artistik).
Lakon Relief Tanpa Dinding diawali kemunculan seorang perempuan berkemben hitam yang duduk di atas bakul terbalik, mengucapkan kata-kata puitis berulang-ulang dan datar. Di belakangnya tampak tiga wanita dengan pakaian yang sama, tergeletak di antara kerangka bilahan bambu yang membentuk balok persegi panjang.
![]() |
Salah satu adegan RTD |
Andaikan kala adalah suatu lingkaran yang mengitari dirinya sendiri.
Demikianlah dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya dan selama-lamanya.
Pada masanya bumi akan musnah
Waktu terus berjalan
Teror hilang kendali
Pemusnahan manusia terus berlanjut
Gunung-gunung beterbangan, gurun terbelah, laut pasang
Itulah jiwa manusia yang ketakutan
Jiwa manusia yang menghancurkan dirinya sendiri
Maut sangat dekat, lebih dekat dari seorang hamba pada Tuhannya
Kesombongan manusia akar bencana
Kemuliaan berubah malapetaka
Beberapa saat ketiganya meneriakan kata “Kala,” “Manusia,” “Waktu,” “Sekarang,” secara bergantian. Irama pertunjukan mulai beranjak. Selanjutnya, adegan demi adegan bergulir membangun peristiwa dan kejadian.
Suara parau sosok Kalausang (Lina Erent) terus menerus melatari selama lebih dari setengah permainan. Atmosfer permainan sepanjang pertunjukan terasa kosong, sepi dan lengang, seperti mengajak penonton untuk diam dan berkontemplasi.
Di atas konblok seluas kira-kira 10 x 8 meter, tiga sosok perempuan (memerankan Kalapra, Kalakini) memainkan 11 rangka bambu berdiameter sekitar 50 cm dan tinggi mencapai 4 meter cukup atraktif dengan tenaga penuh.
Mereka menyeret, menggulingkan, mengangkat, memeluk erat, menegakan, menaiki hingga puncak, menata jajar, menumpuk, lalu merubuhkannya berulang hingga memasukan tubuh mereka ke dalamnya.
Sebelas rangka bambu membangun imaji benteng, dinding, penjara, puing-puing, rumah dan seterusnya. Menawarkan kepada penonton beragam bentuk tempat, peristiwa, kejadian, suasana yang merangsang daya imaji, ingatan dan reaksi berbeda setiap penonton.
Demikian potongan adegan dari pertunjukan Relief Tanpa Dinding. Sejak mula, pertunjukan yang berbasis ide, semangat eksperimentasi dan permainan suasana ini, menyuguhkan keadaan yang suram, kosong, sepi dan sunyi.
Tak ada warna-warni kehidupan yang tergambar dari pilihan kostum, bentuk set properti dan teks-teks yang meluncur dari mulut para pemain. Kecuali garis-garis cahaya horizontal tanpa fokus berwarna merah, biru, hijau, ungu dan putih yang dimainkan Mamet (penata cahaya) untuk memperkuat kepekatan suasana dan situasi batin permainan.
Bulan purnama seolah memayungi penonton (khusus pada malam pertama pertunjukan) dan bias lampu tembak dari menara derek proyek di sebelah Galeri Nasional (Galnas) membuat pertunjukan terasa khusyuk dan hening.
Sayup intensitas suara dentang baja, beton, gesekan peralatan bangunan, klakson kendaran, pluit kereta api serta teriakan para pekerja proyek di sekitar gedung Galnas menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pertunjukan itu.
Penata bunyi Didit menjadikannya bagian integral dari konsep pertunjukan. Karenanya, ia memilih bentuk bunyi yang minimalis dan memilih alat musik yang dapat luwes merespon dan berinteraksi dengan keadaan di luar perencanaan, namun sekaligus memperkuat konsep pertunjukannya.
Pertunjukan yang memakan durasi 75 menit ini digelar di bagian belakang Galnas dan ditonton oleh sekitar 500 orang selama dua hari. Umumnya datang dari kalangan komunitas teater di Jakarta, beberapa komunitas seni, NGO dan aktivis teater kampus.
Penonton duduk di kursi yang tertata rapi berhadap-hadapan dengan arena pertunjukan. Pada hari ke-dua, penonton lebih banyak dua kali lipat dari hari sebelumnya, sebagian duduk di atas konblok bagian depan batas garis arena permainan.
Tampak tiang-tiang bangunan Galnas bergaya klasik di sebelah kiri depan penonton dibiarkan menjadi bagian dari panggung. Di bagian belakang terlihat jelas kerangka bangunan gedung bertingkat dan kubah kecil musala.
Keberadaan kain hitam nyaris mendistorsi atmosfer ruang. Semuanya menjadi tanda dan bagian—idealnya—tidak dapat terpisahkan dari keutuhan konsep karya pertunjukan ini. Rangkaian peristiwa demi peristiwa digarap dalam alur yang tidak linier, namun memiliki benang merah yang jelas.
Hasilnya, situasi absurd, kehidupan yang tidak normal, tidak sesuai dengan harapan, mimpi dan keinginan seseorang sebagai anggota masyarakat. Kehidupan yang yang hanya dipenuhi kebingungan, nalar yang chaos akibat tak kuasa merumuskan dan memaknai keadaan.
Akibatnya, hidup terasa dalam kekosongan jiwa, kehampaan dan keterasingan akut yang tidak berkesudahan. Ujung dari segalanya hanyalah sia-sia dan putus asa. Lalu, kematian menjadi ruang jawaban terdekatnya.
![]() |
Salah satu adegan RTD |
(Koor)
Mati saja!
Jadi bangkai saja!
Apa yang bisa diperbuat!
Seolah kita hidup!
Nyatanya kita mati!
Kalakini
Benar, berburu kematian sekiranya lebih layak untukku. Inilah penyakit
Tidak menyakiti tapi menggerogoti hingga berjuta-juta sel di organ bernyawa ini
Satu-satunya kebaikan adalah memusnahkanya.Tapi aku tak bisa. Haaah!
Sang sutradara menawarkan pada penonton sebuah gambaran keadaan manusia yang telah kehilangan masa lalu, tercerabut dari akar sejarah, tak ada tempat pulang atau ziarah, sekaligus kehilangan mimpi dan harapannya. Membuatnya tidak mampu lagi menjejak bumi dan menggapai langit saat ini.
Mereka tidak hadir dengan keutuhan potensi kemanusianya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebaliknya cuma hidup dalam kebimbangan yang berkepanjangan. Hidup dalam kepanikan dan ketegangan tanpa pegangan.
Sebagai masyarakat urban yang—tak lebih—sekadar bisa hidup dalam bias lampu menara derek, di bawah kepungan dentang baja, terselip dalam formalitas program pengentasan. Semua ini menjadi latar semu retorika kampanye dan khotbah, terarsip rapi dalam statistika angka-angka transaksi, menjadi kelinci percobaan segala kebijakan dan menjadi sumber kemasan indah karya pertunjukan, film, rupa dan satra.
Sesungguhnya, mereka semakin sudah tak lagi kuasa sekadar memiliki stamina untuk mengenali dirinya. Sebab detik per detik hidup mereka hanya sibuk menangkis serangan kebutuhan dasar dan pengaruh gaya hidup yang telah lebih dulu melesat dengan kecepatan digit.
Alih-alih memiliki stamina untuk merenung, merumuskan keadaan dan merekreasinya menjadi sesuatu yang bermakna dan bermanfaat bagi orang banyak. Mereka lebih bersikap reaktif pada apa yang berdatangan dari lingkungan sekitar dan dunia lain, tanpa ada jeda dan ruang pelepasan yang dapat me-refresh beban hidupnya.
Pada titik ini, mereka hanya mengafirmasi proses kemiskinan struktural yang secara sistemik diciptakan oleh manusia kapitalis yang merasa telah berhasil menguasai waktu dan dunia.
Kalapra
…Dia akan berputar menjadi pusaran yang mematikan
Mengisap siapa pun, menelan siapa pun. Dunia kini hanya segenggam
Di mana pun kita bisa dilahirkan, kapan pun kita dapat mengganti identitas kita…
Pertunjukan SCC yang direpresentasi oleh tubuh empat wanita yang menggunakan kemben hitam dan kerangka bambu dan sebuah bakul menawarkan beragam pesan. Pertama, tubuh wanita mewakili tubuh korban yang lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik dan psikis, baik di lingkungan terkecil maupun di lingkungan terbesar. Bahkan kebijakan negara dalam berbagai perundang-undangan seringkali dalam praktiknya malah menambah kasus kekerasan sebelumnya yang dialami wanita.
Kedua, tubuh wanita bermakna nurani bumi sebagai benteng terakhir dari perilaku overdosis kaum laki-laki atau pandangan patriarkal. Karakter perempuan yang cenderung emosional ketimbang laki-laki nampak jelas dengan gaya dialog yang penuh dengan teriakan, keluhan, amarah, tangisan dan empati berlebihan pada keadaan.
Ketiga, tubuh wanita yang memperlihatkan kegagahan eksistensi dan semangat emansipasi. Mereka mengangkat, menggulingkan, menegakan dan merubuhkan bambu-bambu dengan sepenuh tenaga. Meski pada saat yang lain tubuhnya menggambarkan cacat fisik dan jiwa yang tak berdaya.
Keberadaan diri yang merasa diasingkan oleh zaman digital tampaknya hanya berbuah sikap emosional dan romantik yang tergambar dari dialog empat pemain. Simbol produk budaya masa lalu yang telah ditinggalkan dan punah perlahan pada saat yang bersamaan diharapkan hadir kembali sebagai dewa penolong dalam menghadapi kehidupan abad informasi dan komputasi.
Sebagaimana pandangan mistik dan klenik yang melekat dalam pri kehidupan masyarakat yang cenderung menjadi kompensasi dari ketidakmampuan untuk mengenali keadaan dan keberadaan dirinya melalui akal sehat.
Sebut saja istilah ratu adil, satrio piningit, imam mahdi, emas batangan, duit sukarno, batu merah delima, bambu kuning, sesajen dan lain-lain. Bahkan sebaliknya dalam kemasan trendi pun, semangat berjudi dan berspekulasi dalam kegiatan dagang di sektor non-ril seringkali tersembunyi pandangan mistik yang notabene membuat manusia di dalamnya bersikap pasif, hanya menanti keberuntungan. Kenyataan ini tidak bisa dilepaskan bahkan dinafikan dari cara pandang masyarakat umumnya, betapa pun ia telah mengenyam pendidikan oksidental.
Pada bentuk tata pentas (segala yang berada di luar tubuh para pemain) sutradara memilih produk warisan budaya masa lalu seperti; bakul, bambu, kain kemben, suling dan rebana biang sebagai idiom yang merepresentasi kearifan lokal sekaligus dimaksudkan sebagai sikap antitesis dari kehidupan modern hari ini yang individualistik, materialistik dan pragmatis.
Kenyataan dan perilaku masyarakat modern yang serba overdosis itulah yang membuat Kala begitu menyeramkan. Lebih menyeramkan dari bentuk mitologisnya. Sebagaimana waktu yang diibaratkan pedang dalam pepatah Arab, hari ini telah menjadi parang, celurit, belati, golok, pisau dapur, kampak, gir sepeda, pistol, tank baja bahkan nuklir dan bom bunuh diri yang seringkali dipertontonkan dalam aksi kejahatan, tawuran dan peperangan atas nama eksistensi, harga diri dan keyakinan. Mirisnya, ambisi dunia televisi, internet dan komputasi untuk mendekatkan yang jauh malah menambah kemiskinan jiwa dan ketidakpekaan sosial para penikmatnya.
Namun tradisi (produk kearifan masa lalu) yang menjadi basis penciptaan karya Dadang selama ini, sepertinya masih dibaca sebagai sesuatu yang statik, adiluhung dan sakral. Seolah steril dari kemungkinan adanya kepentingan kekuasan korup pada zamannya.
Apalagi konteks kemunculan produk tradisi itu masih sumir dan samar yang membuat nalar sehat kita tidak memiliki kapasitas untuk menemukan subtansinya. Di sini, dibutuhkan etos dalam menimbang tradisi agar spiritnya tetap dapat hadir menjadi bagian fundamental dari perilaku kehidupan muktahir.
Sebaliknya, ia tidak dijadikan sebagai artefak dan pajangan sekedar untuk meninggikan daya tawar dan menggantungkan diri pada kedigjayaan dan pencapaian karya masa lalu. Bukankah pengembangan manfaat pohon bambu dan produk industri kreatifnya semakin diminati oleh masyarakat dunia berdampingan dengan gaya hidup dijital? Bukankah besi, tembaga, perunggu ada di perut bumi sejak jutaan yang lalu dan diolah manusia pra sejarah pada belasan Sebelum Masehi yang kita kenal dengan zaman perunggu?
Impresi kerangka bambu sebagai pilihan bentuk tata pentas atau set properti, sepertinya hanya ingin menekankan kesenjangan dan kegagapan komunikasi dengan perkembangan zaman dan problematika hidup hari ini.
Namun sepertinya, Dadang masih mengalami kebingungan dalam membangun keherensi dan korelasi dari kreasi bentuk adegan yang bergulir dengan struktur dramatik yang tidak linier. Konsepsi tentang waktu yang disimbolisasi lewat Kala sebagai turunan dari mitologi raksasa Butakala, digambarkan sebagai sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan. Kehadirannya menghantui setiap laku kehidupan manusia di muka bumi.
Kala yang dibagi dalam tiga tokoh (Kalausang, Kalapra dan Kalakini) mengalami hal yang sama pada pewujudan karakter dan situasi batinnya ialah ketakutan. Sebuah akibat dari situasi chaos yang diciptakannya sendiri. Sehingga kekacauan di sini masih berdiri sendiri tanpa sebab yang dapat terbaca dan teralami penonton.
Ketiga pembagian waktu/masa menjadi bias pesan utamannya hingga tidak menjelaskan perbedaan satu sama lainnya. Gambaran pertunjukan tidak menunjukan adanya pertentangan dan konflik antara sesuatu sebagai dasar terciptanya sebuah peristiwa, kejadian dan suasana. Kecuali konflik batin lewat dominasi kata-kata puitik dan warna suram sepanjang permainan yang membuat pekat dan samar pesan.
Artinya, hubungan sebab akibat berbagai peristiwa yang tidak saling menguatkan bangunan korelasi dan sistem makna, adalah dampak dari uraian pandangan sutradara dan kreator lainnya yang belum adekuat dan artikulatif. Kedua hal itu merupakan syarat utama kekuatan sebuah konsep yang bertolak dan terkait dengan apa yang menjadi sumber inspirasi, bagaimana sistem pengelolaan ide, metode pelatihan dan proses seleksi serta pilihan bentuk artistika akhirnya.
Di sini jelas bahwa keberadaan segala tanda dalam pertunjukan SCC baik yang telah dipilih sutradara dalam proses latihan maupun segala tanda yang datang di arena terbuka Galnas masih belum terhubung dengan baik dan cenderung tidak dapat saling menguatkan keutuhan konsep pertunjukan dan ketajaman pesan.
Padahal, bukankah manusia pada dasarnya mendapat keistimewaan akal pikiran dan hati nurani untuk memaknai segala tanda. Tetapi sebaliknya, jika sikap, perilaku dan pandangan manusia yang hidup di zaman mutakhir ini hanya berhenti pada kebingungan dan keputusasaan bukankah hal itu menjadi awal dari malapetaka yang sesungguhnya?
Mengaitkan diri berlebihan pada masa lalu sesunggunya sama saja dengan upaya menggali kuburannya sendiri sebagaimana yang mereka telah alami selama hidupnya. Sebab bagaimanapun waktu dengan segala pemaknaannya akan tetap hadir dan mengalir hingga dunia selesai.
Sebagaimana yang ditunjukan dalam adegan terakhir karya ini, semua pemain rebah di antara tumpukan kerangka bambu, sebagai bentuk puing-puing kehancuran. Hanya sosok Kalausang yang hanya bisa bergumam mengulang kata puitis tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pertunjukan SCC memicu daya kritis penonton. Beberapa di antaranya menilai, pertunjukan cenderung monoton karena irama pertunjukan tak terasa dinamikanya. Lakonnya pun terasa berjarak dengan realitas hari ini.
Beberapa penonton juga menyayangkan, pertunjukan tidak memanfaatkan secara maksimal benda-benda di ruang terbuka sebagai arena pilihannya. Pemanfaatan lampu masih minim. Padahal jumlah lampu dan kualitasnya cukup untuk menjadi maksimal.
Begitu pun momen-momen dramatik tidak cukup tergarap dengan baik. Eksplorasi tubuh empat wanita belum maksimal. Sehingga teks-teks puitis yang meluncur dari pemain bertabrakan dengan peristiwa yang dibangun sutradara dalam beberapa adegan.
Tentu saja, kritikn ini diharapkan lebih menantang SCC dalam eksplorasinya, terutama garapan musik yang terasa gagap pada hari pertama di mana terjadi kebocoran suara di luar prediksi sang piñata. Karena kritikan tak lain batu loncatan menuju kesuksesan.
sumber: http://www.kelola.or.id
0 on: "Eksperimen dan Permainan Suasana dalam Lakon Teater"