Jumat, 13 Februari 2015

Sengketa AD/ART DKL, Tidak Konstitusional


M Sidik Mustofa
Penyair

OBJEK perselisihan itu harus diselesaikan dengan mengedepankan kebersamaan karena sudah ada jalur dan tata caranya. Satu aspek itu tetap membawa konsekuensi berupa membawa beban jika hak suara di dalam Dewan Kesenian Lampung (DKL) selalu dipaksakan dengan berpikir seperti yang dilansir Hermansyah GA dalam tulisannya Dongeng DKL yang Penuh Cinta-Ceria. (Lampost, 10/02)

Dalam alinea ke delapan dengan mengaitkan dan atau menanggapi tulisan Saudara Juperta Panji Utama berbunyi: “Catatan saya terkait tulisan Juperta Panji Utama “Save DKL” (Lampost, 4/2) saya berharap ucapan itu hanya lelucon. Sebab, musyawarah DKL itu amanah AD yang berkekuatan hukum dengan peserta dan peninjau adalah orang-orang yang memiliki intregritas dan kapabel. Khawatir ada dugan keliru atas kalimat tersebut”.

Kemudian alenia berikutnya “Bijaksana itu pilihan, tua itu pasti.” Selalu menggiring opini yang bertentangan dengan alinea sebelumnya. Dengan demikian, banyak unsur-unsur dipaksakan dalam penyelenggaraan musyawarah DKL. Orientasi ini tidak mencerminkan konstitusi dalam menyelenggarakan musda DKL.

Jika dalam melaksanakan musyawarah DKL akan mencerminkan konstitusi, diperlukan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) DKL, kata bijaksana tersebut akan mendapat dukungan dan sukses apabila musyawarah dilaksanakan dengan mengundang seluruh seniman, baik muda maupun tua, karena ukuran integritas dan kapabel tidak berdasarkan muda atau tua, ukurannya tidak ada, bahkan akan menjerumuskan hasil musyawarah itu sendiri.

Di dalam AD/ART DKL, disebutkan bahwa hak suara ada pada seniman dan atau pekerja seni person to person. Jadi, musyawarah itu akan sah jika seluruhnya diundang yang mempunyai hak suara. Konyolnya lagi penyelenggara selalu bersikukuh dengan kemunafikan dan bersembunyi di balik gelar kesarjanaan dan atau mantan anggota Dewan yang konon tidak mampu mengartikannya.

Salah satu potensi yang akan menggugurkan hasil musda DKL adalah jumlah seniman yang mempunyai hak suara tidak diundang, pengaruhnya sangat besar, peran penting yang pertama adalah sahnya musyawarah tersebut, jika tidak memenuhi kourum, akan sia-sia terlaksananya musyawarah, rentan akan gugatan hasil musda, berarti akan terjadi peristiwa tahun 1998 negeri ini di dalam Dewan Kesenian Lampung (DKL). Makin runcing konflik di rumah berwarna kunyit, pinjam kalimat Dana E Rachmat seorang perupa dalam tulisannya DKL, Rumah Berwarna Kunyit.

Kemarahan demi kemarahan telah terlontar pedas di berbagai media cetak, sosial, dan bahkan jelas perang dingin di antara seniman di Rumah Kunyit. Selama ini sering muncul keluhan-keluhan dengan menuding sistem yang tidak sempurna, bahkan foto fitnah sudah mulai digulirkan tetapi kita tetap harus memilih agar bisa melakukan perbaikan dan perubahan, kita tidak boleh menengok kebelakang yang penuh persoalan dan menimbulkan perpecahan.

Di sisi lain, Hermansyah GA lupa akan baju yang dikenakannya sekarang dan jangan bersembunyi di balik tulisan Iwan Nurdaya-Djafar yang sangat marah dalam tulisannya sehingga memberikan opsi penyelesaian yang berbeda dan memberikan tiga pilar sebagai penyelesaian Musyawarah Dewan Kesenian Lampung (MDKL). Sebab, yang dicita-citakan dalam pembentukan organisasi tersebut telah beralih fungsi. N

Tulisan #2
Membumikan DKL
Syaiful Irba Tanpaka
Sastrawan

DEWAN Kesenian Lampung (DKL) menjadi pembicaraan yang seksis. Berbagai gagasan pemikiran yang ideal konseptual hingga menyodorkan permasalahan yang terjadi pada tataran implementasi sistem, program dan SDM-nya, diwacanakan teman-teman seniman. Bersyukur Lampung Post mau memfasilitasinya secara netral, objektif, dan terbuka.

Dua tulisan terbaru dari Dana E Rachmat (DKL, Rumah Berwarna Kunyit), dan Hermansyah GA (Dongeng DKL yang Penuh Cinta-Ceria) merupakan tulisan yang “hanya” menyajikan pandangan DKL pada tataran ideal konseptual, tanpa menyentuh persoalan-persoalan empiris yang terjadi pada tataran implementasinya. Bahkan, ironisnya Hermansyah GA yang berharap tulisan Juperta Panji Utama (#Save DKL atau Musyawarah Dagelan, 4/2) hanya sebuah lelucon dengan menuliskan bahwa “Musyawarah DKL itu amanah AD yang berkekuatan hukum”, tapi judul tulisannya menganggap DKL sebagai dongeng. Suatu hal yang paradoks! Lantaran pikiran-pikirannya menjadi surealis. Ya!

Untuk apa DKL ada? Pertanyaan ini menarik di bedah Bagus “Aviv” S Pribadi dalam tulisannya DKL yang Realistis dan Tidak Ahistoris (5/2), menyebutkan bahwa keberadaan DKL seharusnya lebih dimaknai sebagai “rumah bersama” bagi kalangan seniman. Itu berarti kiprah lembaga DKL mestilah mengakomodasi segenap potensi kesenian (seniman dan karya seninya) di Provinsi Lampung, baik dalam hal program maupun kesempatan berpartisipasi dalam kepengurusan sehingga seniman Lampung merasa memiliki DKL.

DKL: Kiambang di Air

Dalam AD/ART DKL jelas tertulis bahwa DKL merupakan mitra pemerintah daerah dalam melaksanakan pembinaan, pelestarian, dan pengembangan segenap potensi kesenian di provinsi Lampung, dengan peran sebagai fasilitator dan katalisator. Artinya, DKL memiliki visi meningkatkan kualitas seniman dan karya seni. Dua sasaran ini yang penting dicapai DKL dalam menjalankan kebijakan-kebijakan program kerjanya.

Namun, permasalahan timbul ketika mempertanyakan daulat DKL di kalangan seniman. Kenapa? Ini dimungkinkan lantaran AD/ART DKL yang bersifat tertutup dan eksklusif. Secara hierarki DKL tidak memiliki sentralistik, baik ke pusat maupun ke daerah kabupaten/kota. Tidak memiliki keanggotaan yang jelas, kecuali pengurus yang dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur Lampung. DKL berdiri sendiri sebagai organisasi seniman tingkat provinsi. Bak kiambang di air; ke atas tak berpucuk ke bawah tak berakar.

Oleh karena itu, seiring laju reformasi dan perkembangan zaman yang menuntut keterbukaan serta partisipasi kalangan terkait, seniman harus melakukan perubahan-perubahan positif (ke arah yang lebih baik) bagi DKL. Terlebih visi Gubernur Lampung M Ridho Ficardo saat ini ingin mewujudkan Lampung maju dan sejahtera. Maka setiap komponen masyarakat (termasuk DKL) mestilah mendukungnya. Jika tidak, DKL akan gagal menjalankan fungsinya.

Perubahan itu memang harus dimulai dari perubahan AD/ART DKL. Misalnya, bagaimana membentuk keanggotaan DKL di tengah masyarakat seniman sehingga DKL memiliki keanggotaan yang permanen. Bagaimana hubungan DKL dengan Dewan Kesenian Kabupaten/Kota tidak sekadar hubungan konsultatif dan koordinatif, tetapi melibatkannya sebagai anggota ex-officio. Ini akan membuat DKL berakar di kalangan seniman, selain akan memiliki peserta Musyawarah DKL yang jelas integritasnya sehingga DKL betul-betul menjadi “rumah bersama” para seniman, yang bukan sekadar slogan ataupun lipservis.

Perubahan harus menjadi nada dasar untuk DKL yang akomodatif dan berkembang sesuai harapan (bersama) seniman. Karena itu, membiarkan “cacat bawaan” (pinjam istilah Bagus “Aviv” S Pribadi) menjadi tato budaya di DKL, sama halnya dengan status quo. Yang positif harus dikembangkan, tapi kecelakaan sejarah harus direhabilitasi.

Perubahan Struktur DKL

Gagasan Iwan Nurdaya Djafar tentang Pusat Kesenian Lampung yang berisi Yayasan Kesenian Lampung (YKL), Akademi Lampung (AL), Badan Pengelola Gedung Kesenian Lampung (BPGKL), dan DKL (yang dikatakan Juperta Panji Utama menjadi tambun dan berebut dana APBD), bukanlah solusi terbaik untuk membuat DKL bersinar. Selain kedaluwarsa, lantaran (serupa) bentuk struktur Pentas Kesenian Lampung periode 1993—1996 (yang ternyata tidak berjalan), juga belum tentu bisa diterapkan secara baik. Sebab, kondisi Jakarta dan Lampung berbeda.

Karena itu, yang paling mungkin adalah menetapkan struktur DKL yang terdiri dari Badan Pembina (Akademi Lampung), Badan Pelaksana Harian (BPH), dan Anggota Ex-officio (yang terdiri dari ketua-ketua Dewan Kesenian Kabupaten/Kota).

Badan Pembina (Akademi Lampung) terdiri dari tokoh seniman budayawan ditambah tokoh eksekutif dan legislatif yang kelak bertugas memilih pengurus BPH, dan tanpa harus mendapat insentif bulanan.

Lantas bagaimana dengan yayasan dan gedung kesenian?
YKL dibentuk secara independen dengan para penanam saham untuk mendirikan perguruan tinggi kesenian. Sedang BPGKL; dibuat sebagai UPTD setelah dilakukan rehab dan pembangunan lanjutan atas gedung kesenian dimaksud. Semoga bermanfaat. Tabik pun.


sumber: Opini | Lampung Post, Jumat, 13 Februari 2015

0 on: "Sengketa AD/ART DKL, Tidak Konstitusional"