Jumat, 13 Februari 2015

DKL YANG REALISTIS DAN TIDAK AHISTORIS


Oleh: Bagus “Avip” S Pribadi
(Musisi, Ayahnya Inis, Osy, dan Ufay)
Tulisan ini tidak diniatkan untuk menanggapi atau pun menyetujui tulisan-tulisan sebelumnya yang telah dipublikasi oleh Lampung Post pada rubrik opini yang berkaitan dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL), seandai pun tulisan ini bersinggungan dengan isu dan pandangan sebelumnya, itu lebih merupakan respon atas “bacaan” saya selama ini. Tulisan ini lebih diikhtiarkan untuk mencoba menyusun dan merumuskankan kembali fungsi, peran dan posisioning DKL dalam upaya membangun kesenian dan kebudayaan (di) Lampung.
Tidak lama lagi, kemungkinan besar pada Bulan Februari 2015 ini, Dewan Kesenian Lampung (DKL) akan menyelenggarakan hajat rutin berupa Musyawarah DKL. Penyambutan hajat tersebut tampak cukup meriah dengan berbagai bumbu yang menarik; mulai dari penyingkapan calon Ketua Umum, kelayakan Ketua dan Pengurus Harian, sampai perlunya perbaikan tata kelola organisasi DKL. Di luar itu, ada juga yang menuntut perubahan secara radikal terhadap bentuk dan posisioning Dewan Kesenian Lampung yang ada pada saat ini.
Untuk Apa DKL ada?
Bagi saya, terlepas dari teks dan berbagai panduan organisasi yang terdapat dalam AD/ART Dewan Kesenian Lampung, pertanyaan tentang “untuk apa DKL ada?” adalah hal mendasar, yang bila dapat kita rumuskan jawabannya dengan tepat, dapat menjadi hal yang tak terbantah bagi gerak dan langkah menuju kebaikan DKL ke depan. Berbagai pandangan yang mengemuka, baik yang berupa ide tentang perlu adanya “lembaga kesenian yang baru” maupun yang menyoal kinerja dan tata kelola DKL saat ini, sedikit banyak tentunya memiliki relevansi dengan pertanyaan di atas.
Agar tidak ahistoris, jawaban atas pertanyaan tersebut mestinya juga memuat “rangkaian perjalanan” DKL dari mula hingga saat ini. Apakah “rangkaian perjalanan” tersebut mengandung “cacat bawaan” atau justru memuat cerita-cerita evolutif yang menjadi petunjuk arah bagi terwujudnya DKL yang gemilang, bukanlah hal itu yang akan dikemukakan. 
Meniti kembali jejak yang ada, juga bukanlah sebentuk kekangenan atas masa lalu atau mengidentifikasi perihal adanya “cacat bawaan”, tapi lebih dimaksudkan untuk membangun ruang dialog yang wajar tanpa mengabaikan sejarah yang ada. Dari hasil dialektika yang terjadi, diharapkan dapat menghasilkan ‘kondisi baru’ yang utuh dan susunannya merupakan cerminan dari kehendak bersama.
Sebagai organisasi yang diniatkan untuk memajukan kebudayaan dan kesenian (di) Lampung, DKL lahir dengan “menumpang” rahim kekuasaan (pemerintah). Sebagai “bayi dari rahim kekuasaan”, DKL sejatinya memiliki watak ganda: secara organisatoris berwatak birokratis dan “ekslusif”, sedangkan secara filosofis (sebagaimana watak “seniman” pada umumnya) memiliki watak yang humanis dan “inklusif”. Dua watak inilah, berdasarkan asumsi saya, yang secara terus-menerus berproses dalam upaya membangun “citra diri” Dewan Kesenian Lampung: individu yang mulanya birokratis berupaya tampak humanis, dan individu yang mulanya humanis mulai “beradaptasi” menjadi lebih birokratis.
Pada kutub birokratis, keberadaan DKL lebih dihasratkan untuk menjadi “roda penggerak” bagi berbagai aktivitas dan kegiatan kebudayaan dan kesenian yang berhubungan dengan agenda-agenda pemerintah. Sedangkan pada kutub lainnya, keberadaan DKL seharusnya lebih dimaknai sebagai “rumah bersama” bagi kalangan seniman dalam mewujudkan ekspresi diri dan mengatasi berbagai kendala yang menghambat ekspresi diri tersebut. Fakta ini, tanpa bermaksud melakukan dikotomi, secara obyektif telah membentuk kebiasaan-kebiasaan dan membangun “karakter” organisasi bagi Dewan Kesenian Lampung.
Dari dua kutub yang ada dalam gerak sejarah organisasi DKL tersebut, menjadi tidak adil bila kita menilai DKL hanya dari satu perspektif saja. Karena bagaimanapun, segala capaian yang telah dihasilkan oleh DKL hingga saat ini, mau tidak mau merupakan capaian yang didalamnya terdapat “saham” dari tangan kekuasaan yang membuka berbagai akses sumber daya, terutama sumber daya keuangan. Lalu pertanyaannya, apakah kondisi DKL sejak mula hingga saat ini adalah bentuk yang ideal? Bagi saya, jawabannya tentulah belum ideal. Namun, agar pikiran kita yang ideal tidak berubah menjadi utopis, ada baiknya kita mencari bentuk-bentuk organisasi kesenian yang ada dan kita anggap ideal serta “serupa” dengan DKL untuk diperbandingkan dengan kondisi obyektif DKL pada saat ini, sehingga segala macam tuntutan ‘ideal’ itu tidak menjadi sia-sia, terkesan visioner tapi meraba-raba.
Menuju DKL yang realistis
Bila kita bandingkan DKL dengan berbagai organisasi serupa, dalam artian ketergantungan yang cukup besar terhadap kekuasaan atas berbagai sumber daya, maka dapat saya duga pastilah memiliki watak organisasi yang serupa dengan DKL, walau pun mungkin sedikit berbeda dalam proses pengelolaan organisasinya. Anggapan-anggapan perihal DKL yang lebih memfungsikan dirinya sebagai event organizer dan donatur bagi aktivitas kesenian, bagi saya juga tidak sepenuhnya salah. Karena memang pada faktanya, banyak kalangan seniman maupun komunitas kesenian yang punya harapan besar agar DKL memiliki kemampuan finasial untuk membiayai berbagai bentuk event kesenian yang mereka ikuti dan lakukan. Kemudian, terkait kritik terhadap keadilan distribusi sumber daya dari DKL, di mana ada anggapan bahwa hanya seniman “top” saja yang mampu mengakses sumber keuangan DKL, untuk hal ini pun saya tidak sepenuhnya menyalahkan.
Bagi saya, bila kita mampu secara obyektif mengikuti dan mencermati dengan jernih “rangkaian perjalanan” DKL selama ini, pastilah kita dapat secara utuh menilai dengan pikiran yang realistis. Pikiran realistis tersebut bukanlah cerminan bahwa saya anti-perubahan dan lebih menjunjung status quo, tapi lebih menyiratkan kehendak saya untuk “berdamai” dengan kondisi obyektif yang ada dalam tubuh DKL. Kondisi “berdamai” dengan realitas artinya menyadari bahwa DKL sebagai organisasi yang lahir menumpang dari “rahim” kekuasaan, sudah dari mula secara “genetis” membawa watak birokratis.
Berdasar fakta yang ada, maka perubahan-perubahan yang kita harapkan terjadi pada diri DKL pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh “kehendak” yang diinginkan oleh pemangku kekuasaan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan bargaining position DKL yang rendah terhadap pemerintah, terutama bila berhubungan dengan segala akses sumber daya yang ada pada kekuasaan. Oleh karenanya, kepemimpinan DKL yang memiliki akses terhadap kekuasaan bukanlah hal yang remeh-temeh dan tidak penting, hadirnya kepemimpinan yang memiliki akses terhadap berbagai sumber daya sama pentingnya dengan membangun tata kelola organisasi yang demokratis dan humanis.
Berpikir realistis bisa jadi merupakan hasil dari proses dialog yang terjadi dalam tubuh Dewan Kesenian Lampung. Kompromi terhadap agenda kebudayaan dan kesenian yang telah dirancang oleh pemerintah, baiknya dimengerti sebagai sebuah strategi untuk menunjang berbagai tujuan “ideal” dari DKL dan semua stakeholder yang ada. Toh pada tataran operasional, DKL tetap bisa secara mandiri memberi ide kepada kekuasaan sekaligus juga dapat merancang dan melakukan berbagai upaya bagi terwujudnya kepentingan bersama kalangan seniman.
Perubahan terhadap DKL tanpa memperhitungkan dan berkompromi dengan kondisi obyektif yang ada, akan menjadi blunder dan bisa saja “menghilangkan” fungsi dan peran DKL yang telah dilakukan selama ini. Saya lebih sependapat dengan ide perlu adanya “reposisi” fungsi dan peran Dewan Kesenian Lampung. Selama ini memang DKL sepertinya memiliki “dwifungsi” dalam arti berposisi sebagai “penonton” sekaligus sebagai “pemain”, yakni: Selain membuka ruang bagi ekspresi kesenian, DKL juga banyak mengisi ruang ekspresi kesenian dimaksud.
Ke depan, posisi DKL yang realistis adalah lebih memaknai dirinya sebagai fasilitator bagi kehendak bersama kalangan seniman. Hiruk-pikuk dan gegap-gempita yang terjadi menjelang Musayawarah DKL saat ini, menurut penilaian subyektif saya lebih disebabkan adanya beberapa kehendak dari sebagian kalangan yang merasa kepentingannya tidak terakomodir. Oleh karenanya, hasil dari Musyawarah DKL harus mampu mencerminkan kehendak bersama kalangan seniman untuk secara kolektif membenahi dan mengatasi persoalan obyektif DKL.
Tabik

sumber: Opini 
Lampost, 4 Februari 2015

0 on: "DKL YANG REALISTIS DAN TIDAK AHISTORIS"