Tepuk tangan penonton terdengar ketika kelompok musik jazz asal Lampung membawakan sebuah lagu jazz dengan iringan musik modern dan alat musik tradisional Lampung dalam acara Ngayogya Jazz, pertengan November 2012 lalu. Pemain alat musik tradisional Lampung itu adalah Rajo Cetik alias Syafril Yamin, 43, seniman tradisional Lampung.
Safril Yamin sebenarnya bulan pemain musik jazz. Ia selama ini dikenal di Lampung sebagai salah satu pelestari alat musik pukul berbahan bambu bernama cetik atau gamolan. Berkat kegigihan Safril Yamin, alat musik yang nyaris punah itu memasyarakat lagi. Bahkan sudah ada beberapa penelitian tentang cetik. Cetik kini juga diajarkan di sekolah-sekolah.
***
”Untung ada Safril Yamin…”
Itulah kalimat yang sering diucapkan para seniman tradisional di Lampung ketika menyaksikan terancamnya seni musik kulintang bambu. Berkat kegigihan Safril Yamin, alat musik tradisional itu kini masih bisa dipertahankan keberadaannya. Itu karena alat musik yang diyakini sudah berusia ratusan tahun itu kini mudah didapatkan karena terus diproduksi oleh Safril.
Alat musik menyerupai kulintang itu di Lampung disebut sebagai cetik atau gamolan. Permainan alat musik yang terbuat dari bambu itu kini mulai diperkenalkan di beberapa sanggar sekolah menengah. Padahal, belasan tahun lalu alat musik ini sudah terancam punah.
Safril Yamin merupakan pewaris alat musik cetik. Ia memulai membuat cetik karena terinspirasi oleh sebuah cetik leluhurnya. Alat musik itu dibuat leluhurnya ratusan tahun lalu dan masih tersimpan di rumahnya.
Kecintaan Safril Yamin terhadap jenis alat musik dan seni kulintang bambu sebenarnya tanpa sengaja. Bermula dari masa kecilnya di Liwa, Lampung Barat, yang masih lekat dengan maraknya pertunjukan seni tradisional khas Lampung, Safril kecil pada tahun 1980-an sering menyaksikan orang-orang di kampungnya bermain kulintang yang terbuat dari bambu.
Lagu-lagu yang didendangkan dan diiringi alat musik kulintang bambu biasanya lagu-lagu Melayu berbahasa Lampung atau lagu-lagu puji-pujian terhadap Tuhan dan alam.
Ayah Safril adalah seorang pembuat alat musik kulintang bambu dan sering memainkan alat musik itu pada beberapa acara adat. Misalnya pada saat upacara pengantin, upacara khitanan, dan hiburan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Karena sering melihat orang-orang di kampungnya bermain kulintang bambu, Safril pun kemudian mulai mencintai permainan alat musik pukul itu. Setelah pandai bermain kulintang bambu , Safril bersama beberapa temannya sering diundang untuk mengisi acara hiburan di sejumlah acara adat.
Karena keasyikan mendapatkan uang secara mudah—dengan bermain alat musik kulintang bambu—sekolah Safril sempat terbengkelai selama beberapa tahun. Untunglah pada tahun 1989 ia kemudian pindah ke Kota Bandarlampung. Sambil terus bermain kulintang bambu, akhirnya pendidikan SMA berhasil diselesaikan Safril.
Tidak seperti di Liwa yang masih banyak orang Lampungnya dan suka pertunjukan kulintang bambu, di Bandarlampung yang warganya sangat plural, permainan kulintang bambu tidak berkembang dengan baik. Sangat jarang ada orang mau mengundang kelompok seni kulintang bambu untuk pentas.
Masyarakat suku Lampung biasa menyebut kulintang bambu dengan gamolan pekhing. Orang-orang Jawa di Lampung menyebutnya sebagai kulintang pring, yaitu alat musik kulintang yang terbuat dari pekhing atau pring (bambu). Pekhing adalah bahasa Lampung sementara pring adalah bahasa Jawa yang berarti bambu.
Sama seperti kulintang dari Sulawesi, alat musik kulintang bambu dari Lampung juga termasuk alat musik pukul (pentatonik) Bedanya, kalau kulintang dari Sulawesi bahannya kayu, maka kulintang dari Lampung bahannya bambu. Kulintang bambu terdiri atas 7 nada, minus Fa (4). Jadi nadanya adalah: do, re, mi, so, la, si, dan do tinggi.Bambunya pun tidak sembarang bambu. Hanya bambu betung besar yang bisa dijadikan kulintang. Cara menebang dan pembuatannya berbau mitos.
Menurut Safril, bambu yang bagus untuk dijadikan alat musik kulintang adalah pohon bambu yang sudah tua. Akan lebih bagus jika pohon bambu itu mati berdiri karena saking tuanya. Loginya, memang, bambu yang sudah tua seratnya jauh lebih tua dan kalau dibuat bilah-bilah untuk kulintang tidak akan berubah nadanya.
“Menebangnya pun tidak boleh sembarangan. Waktu yang palingh baik untuk menebang bambu adalah pada waktu malam gelap gulita. Menurut kepercayaan kami, bambu yang ditebang pada malam gelap gulita biasanya nadanya tidak berubah dan tidak disuka oleh rayap atau ngengat. Bambu untuk kulintang tidak boleh ditebang pada malam bulan bakha (bulan purnama),” kata pria kelahiran Liwa, Lampung Barat, 24 Mei 1969 ini.
Menurut kepercayaan orang Lampung, bambu yang ditebang pada malam bulan purnama akan seratnya akan terasa manis sehingga disukai bubuk Bubuk adalah sejenis binatang kecil yang suka makan kayu dan bambu.
Setelah ditebang dan dibersihkan daunnya, batang bambu harus diangin-anginkan selama satu setengah bulan. Setelah itu ruas bambu itu dipotong-potong dengan panjang 30 cm dan lebar 5 cm. Pekerjaan selanjutnya adalah mencari nada dengan cara memegangi ujung bilah bambu dalam posisi menggantung (vertical) lalu memukul-mukul bagian tengahnya dengan kayu.
“Untuk merendahkan nada gampang saja, yaitu dengan mengerok bagian tengah bilah bambu tersebut,” ujar Safril.
Setelah mendapatkan tujuh bilah bambu dengan tujuh nada, selanjutnya bilah-bilah bambu yang sudah bernada itu dibentuk menjadi alat musik kulintang.
Menjadi Sumber Nafkah
Pada waktu masih kecil dan remaja, Safril tak pernah membayangkan kecintaannya pada alat musik yang terbuat dari bambu itu akan berlanjut. Kini, kecintaan itu tidak hanya menjadikan alat musik langka itu menjadi berkembang di Lampung, tapi juga menjadi mata pencaharian Safril.
“Saya telah beberapa kali gonta-ganti pekerjaan sebagai pekerja kasar. Kesimpulannya, saya memang tak bisa meninggalkan kulintang bambu. Inilah jalan hidup dan sumber mata pencaharian saya. Kini saya tidak malu menyebut diri sabagai seniman kulintang,” ujar ayah dua anak ini.
Sejak awal tahun 1990-an Safril kemudian menekuni usaha pembuatan kulintang bambu sebagai sumber nafkahnya. Angka penjualan kulintang bambu ciptaan Safril per bulannya memang tidak terlalu banyak. Sebulan bisa terjual sepuluh kulintang saja sudah lumayan. Namun, terkadang Safril mendapatkan proyek pembuatan kulintang dalam jumlah besar.
Pada tahun 1996, misalnya, Safril mendapatkan order dari Dinas Pendikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung untuk membuat 250 kulintang bambu. Kulintang tersebut kemudian dibagikan kepada ratusan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Lampung.
Sementara pada saat Kongres Cerpen Indonesia yang digelar tahun 2003 lalu, Safril Yamin mendapatkan order membuat 50-an kulintang bambu. Kulintang tersebut kemudian dibagikan kepada para peserta kongres sebagai kenang-kenangan.
Soal harga alat musik karyanya, Safril mengaku tidak mematok harga pasti. “Semuanya bisa ditawar. Tapi biasanya saya menjual alat musik kulintang bambu antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu/buah,” ujar pengurus Dewan Kesenian Lampung ini.
Kemahirannya memainkan alat musik kulintang bambu juga membuat job Safril makin banyak. Baik itu dari instansi pemerintah, lembaga swasta, maupun kelompok masyarakat adat Lampung. Berkat kemahirannya memainkan kulintang bambu Safril pernah pentas di Surabaya, Jakarta, Bandung, Palembang, Jambi, Pekanbaru, Yogyakarta, Semarang, dan Padang.
Safril Yamin mengaku, meskipun mencari nafkah dari keahliannya membuat dan memainkan alat musik kulintang bambu, dia masih menyisakan waktunya untuk kerja sosial. Antara lain dengan melatih para pelajar untuk memainkan alat musik unik itu.
Selain memproduksi cetik, Syafril juga mengajarkan bagaimana memainkan alat musik cetik kepada siswa di Bandar Lampung. Pada 2008, Syafril pernah mengikuti Surabaya Full Music, Festival Jazz 2012 di Jakarta, dan selalu mengikuti Festifal Krakatau yang dihelat Pemprov Lampung.
Syafril mengaku sudah membuat sekitar 8.000 unit cetik. Ia berharap, cetik yang ia buat bisa membuat para pemain cetik selalu melestarikan budaya Lampung, serta mampu membawa nama harum Lampung di kancah nasional dan internasional
“Sampai sekarang saya masih melatih para siswa di SMP 4, SMP 1, dan SMP Taman Siswa Bandarlampung. Saya sangat senang jika alat musik warisan leluhur kami ini bisa memasyarakat dan dimainkan anak-anak sekolah,” kata penggemar batu akik ini. Oyos Saroso H.N./Lampung Review, Bandarlampung
0 on: "Rajo Cetik, Sang Penyelamat ‘Kulintang Pekhing’"