Saat
diajak menyimak ke belakang, membuka kembali lembar halaman pertama sebelum Dewan
Kesenian Lampung (DKL) saya teringat pada fotokopi kliping koran dari berita harian
Media Indonesia edisi Minggu tanggal 7 Maret 1993 dengan judul “ Semua
Propinsi Harus Bentuk DK Dibiayai APBD.” Fotokopi kliping tersebut masih saya
simpan dengan baik.
Berbekal
lembar fotokopi kliping koran tersebut, saya bertemu teman penyair Iwan
Nurdaya-Djafar (yang kemudian Ketua Harian DKL pertama) dan menemui wartawan
harian Kompas di Lampung, yaitu Bachtiar Amran Daeng Malewa (BAM). Semua
pertemyan itu terjadi pada sekitar Maret 1993.
Saya
sampaikan kepada mereka berdua, “Ini kesempatan yang harus ditangkap, Lampung
harus punya dewan kesenian.” Gayung bersambut, BAM menawarkan untuk mengadakan
pertemuannya di rumahnya, di Jl Jl. Gajah, Kedaton.
Diskusi
kecil pun terjadi. Dalam beberapa kali pertemuan yang disuguhi makanan mie
instan, kopi dan teh, wacana perlunya didirikan sebuah dewan kesenian pun
disepakati. Dalam pertemuan itu hadir, selain Saya, Iwan, juga ada Isbedi
Setiawan ZS, Uten Sutendy (Redaktur Lampung
Post), AM. Zulqarnain, Syaiful Irba Tanpaka dan Bambang Suroboyo (pelukis).
Akhirnya gagasan tentang format dan bentuk
cikal dewan kesenian Lampung pun tuntas dibahas. Setelah konsep dan gagasan
pembentukan DKL matang dibahas, muncul problem: bagaimana menyampaikan gagasan
dan konsep tersebut kepada Gubernur Lampung yang waktu itu dijabat Poedjono
Pranyoto?
Karena
teman-teman seniman nyaris tak punya akses saat itu, lalu BAM bersama saya
(saat itu masih menjadi wartawan Lampung Post) dalam kapasitas sebagai
wartawan mencoba bertemu dengan Gubernur Poedjono Pranyoto. Secara lisan
gagasan tersebut kami sampaikan.
Gubernur
Poedjono Pranyoto memberi respon dan menyediakan waktu untuk bertemu dengan
teman-teman seniman. Akhirnya terjadi pertemuan antara teman-teman seniman yang
telah mempersiapkan konsep pembentukan DKL dengan Gubernur Lampung. Gubernur
setuju dan mendukung terbentuknya Dewan Kesenian Lampung (DKL) sebagai
implementasi dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5A tahun 1993 yang waktu
itu ditandatangani Menteri Dalam Negeri Rudini.
Dari
pertemuan itu, ada peristiwa yang tidak terlupakan. Gubernur Poedjono Pranyoto
memesan patung kepala kuda kepada Igoen Gunarno. Dan Igoen menyanggupi pesanan
itu. Sambil membahas membentuk kepengurusan DKL, diantaranya dengan melakukan
sarasehan pada 27 Juli 1993 sebagai bagian dari sosialisasi DKL. Patung kepala kuda
usai dibuat dan kepengurusan DKL pun terbentuk. Saksi untuk peristiwa ini masih
hidup, termasuk Igoen Gunarno sendiri.
Pembentukan
DKL nyaris serupa dengan pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). DKJ dibentuk
pada masa jabatan Gubernur Ali Sadikin, bermula dari pertemuan Ali Sadikin
dengan seniman seperti Ilen Surianegara, Ajip Rosidi, dan Ramadhan KH (Horison,
11/ XXVII/ November 1993). DKL pun lahir setelah seniman Lampung yang
dijembatani dua wartawan bertemu Gubernur Poedjono Pranyoto di ruang kerjanya.
Saat
mengukuhkan kepengurusan DKL yang pertama periode 1993 – 1996 tanggal 17
September 1993, Gubernur Poedjono Pranyoto dalam sambutannya mengakui,
pembentukan Pentas Kesenian Lampung sebagai cikal DKL bukan dibentuk pemerintah
daerah, melainkan bekerjasama dengan para seniman. Bahkan konsep Pentas
Kesenian Lampung itu justru datang dari seniman (dalam Jurnal Pentas
edisi perdana terbitan DKL).
Kilasan
dari catatan historis yang masih membekas dalam ingatan ini menjadi cermin dari
kolaborasi antara wartawan dengan seniman tanpa keterlibatan para birokrat
dalam mendirikan Dewan Kesenian Lampung di era rezim Orde Baru. Baru saat
pengukuhannya dan peresmian DKL yang bertempat di GedunG Wanita melibatkan
pemerintah daerah (karena situasi dan kondisi politik masa Orde Baru
mengharuskan atau membentuk format yang seperti itu).
Dalam proses
perjalanannya sampai usia 17 tahun, keberadaan DKL, khususnya kepengurusannya
selalu menuai kritik. Sejak keluar dari kepengurusan DKL periode 1993 –
1996, saya melihat DKL tercerabut dari teman-teman seniman. Bukti konkretnya,
selama ini belum satu periode kepengurusan, seniman menjadi Ketua Umum DKL,
paling tinggi jabatan seniman di DKL adalah Ketua Harian atau Wakil Ketua Umum.
Awal
terbentuknya DKL, keberadaan birokrat sebagai ketua umum DKL memang sempat
memicu penolakan di sebagian teman-teman seniman. Namun masa itu jangan
dibayangkan seperti era reformasi sekarang. Para penggagas dan pendiri DKL
sempat menerima jalan kompromi, bahwa ketua umum DKL berasal dari birokrat yang
pangkatnya setingkat kepala dinas. Namun dengan catatan, pada periode
berikutnya, para seniman harus menjadi ketua umum DKL. Silahkan tanya komitmen
ini kepada teman-teman penggagas dan pendiri DKL.
Selain
masalah kepengurusan yang mendapat kritik dan protes dari para seniman, kinerja
DKL juga menuai kritik. Bahkan ada seniman atau pengurus yang ribut bahwa DKL
tidak mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART). Jika
menelusuri sejarahnya, memang DKL bukan diatur oleh AD/ ART tetapi oleh pedoman
dasar. Pada awal pembentukan, memang sempat muncul gagasan perlu tidaknya AD/
ART?
Akhirnya
gagasan AD/ ART tereliminir, karena yang dibentuk adalah “Pentas Kesenian
Lampung” yang di dalamnya ada Dewan Kesenian Lampung, Yayasan Kesenian Lampung
dan Dewan Kehormatan Seniman Lampung (baca SK Gubernur Lampung No. G/ 423/
B.III/ HK/ 1993 yang ditandatangani Poedjono Pranyoto). Saat itu disepakati
bahwa AD/ ART akan diperlukan apa bila Yayasan Kesenian Lampung terbentuk,
sebuah yayasan memang mengharuskan adanya AD/ ART. Entah, tidak ada informasi
lengkap yang saya terima, apakah Yayasan
Kesenian Lampung sudah terbentuk atau belum?
Kinerja
kepengurusan DKL mendapat kritik karena standar yang digunakan adalah
memposisikan DKL sama dengan organisasi kesenian seperti organisasi artis lakon
di televisi atau pemusik. Juga muncul pemahaman dari pengurus sendiri bahwa DKL
diperlakukan tak berbeda dengan production house, sanggar tari atau
bisnis orgen tunggal.
Saya
sempat mengkritik ketika DKL membentuk kine klub. Padahal waktu itu sudah ada
kine klub di kampus Universitas Lampung dan IAIN Raden Intan. Saya protes,
“Seharusnya DKL mensupport agar kine klub yang ada bisa lebih aktif,
bukan membentuk kine klub sendiri.” Tapi protes saya seperti angin lalu saja.
Hanya satu tahun saya duduk di kepengurusan DKL pada Komite Film, saya
mengundurkan diri, karena saya sadar, DKL itu rumahnya seniman, saya sebagai
wartawan hanya mengantarkan pembentukan DKL.
Menjawab
berbagai kritik tersebut, sudah saatnya DKL dikembalikan kepada seniman sebagai
pemegang mandat agar kritik dan saran bisa terjawab. Selama ini mungkin DKL
telah alpa menempatkan posisinya sebagai katalisator segenap potensi kesenian
di daerah Lampung. Posisi tempat berpijak DKL menjadi penting agar tidak
terjadi tumpah tindih, fungsi dan peran seperti dengan institusi lain yang
mengurus kesenian dan kebudayaan.
Sebagai katalisator DKL mempunyai peran khas,
DKL berada pada posisi dan peran yang mempengaruhi, menimbulkan atau
mempercepat berbagai reaksi dan aksi kesenian tanpa harus DKL mengalami
perubahan fungsi dan penampilannya dengan menjadi seperti production house,
sanggar tari, kelompok teater atau pengusaha orgen tunggal. Apa lagi menjadi
dinas kesenian dan kebudayaan saingan karena menganggap saat ini adalah era
otonomi daerah yang kemudian mengarah menjadi lembaga proyek kesenian dan
kebudayaan yang profit motif.
Sebagai orang yang pernah mengantarkan
berdirinya DKL, sekarang saya bisa tersenyum, harapan DKL menjadi rumahnya
seniman sepertinya lambat laun mulai terwujud. Dari lima periode kepengurusan
sejak periode kepengurusan pertama 1993 – 1996 sampai periode 2007 – 2010
figur-figur birokrat mulai tersingkir dan tergantikan dengan para seniman
Lampung.
Yang patut
menjadi catatan pada kepengurusan DKL periode ke depan adalah regenerasi. Saya
imbau kepada teman-teman seniman yang sudah beberapa periode menjadi pengurus,
kini saatnya berganti peran dengan generasi yang muda dari seniman Lampung.
Mohon maaf, tidak bermaksud mengecilkan arti dan peran teman-teman seniman yang
senior.
Sebagai akhir dari catatan dalam menyongsong
kehadiran DKL yang sudah berusia 17 tahun, saya mengajak teman-teman seniman
untuk merenungkan ucapan budayawan Emha Ainun Najib yang disampaikannya di
Semarang tahun 1991. “Di beberapa tempat berlangsung kesibukan-kesibukan
kesenian yang dicari-cari. Polarisasi, polemik, konflik atau ‘pengadilan’
artifisial. Padahal problem sesungguhnya dihadapi adalah ketidakmengertian
fungsional mereka sendiri di tengah sistem nilai sosial baru yang membingungkan
mereka.
Chaos juga beberapa ketidaktahuan menempuh jalan
dalam berkesenian. Juga akibat dari makin terbuangnya ‘kursi kultural’ bagi
kreativitas seni sungguh-sungguh.
Pada saat seperti itu, kemungkinan yang terjadi
ada dua. Pertama, sikap subordinatif
dan permisif, dimana kreator seni bersedia melakukan dan memberikan apa saja
untuk memungkiknan eksistensinya di tengah-tengah tatanan sosial yang
mengaturnya. Kedua, coba menciptakan
dunianya sendiri yang meskipun sunyi namun ‘di-pemerintahi’ nya sendiri.”
Semoga
semua ini berkenan. Hidup seniman Lampung. Jadikan DKL rumah seniman!
*Maspriel Aries adalah
salah penggagas dan pendiri Dewan Kesenian Lampung. Sekarang Wartawan Harian Umum REPUBLIKA dan
Koordinator Institut Jurnalistik Palembang (IJP).
0 on: "DKL: Rumah bagi Seniman"