Sabtu, 18 Januari 2014

DKL: Rumah bagi Seniman




Maspril Aries*

Saat diajak menyimak ke belakang, membuka kembali lembar halaman pertama sebelum Dewan Kesenian Lampung (DKL) saya teringat pada fotokopi kliping koran dari berita harian Media Indonesia edisi Minggu tanggal 7 Maret 1993 dengan judul “ Semua Propinsi Harus Bentuk DK Dibiayai APBD.” Fotokopi kliping tersebut masih saya simpan dengan baik.

Berbekal lembar fotokopi kliping koran tersebut, saya bertemu teman penyair Iwan Nurdaya-Djafar (yang kemudian Ketua Harian DKL pertama) dan menemui wartawan harian Kompas di Lampung, yaitu Bachtiar Amran Daeng Malewa (BAM). Semua pertemyan itu terjadi pada sekitar Maret 1993.

Saya sampaikan kepada mereka berdua, “Ini kesempatan yang harus ditangkap, Lampung harus punya dewan kesenian.” Gayung bersambut, BAM menawarkan untuk mengadakan pertemuannya di rumahnya, di Jl Jl. Gajah, Kedaton.
         
Diskusi kecil pun terjadi. Dalam beberapa kali pertemuan yang disuguhi makanan mie instan, kopi dan teh, wacana perlunya didirikan sebuah dewan kesenian pun disepakati. Dalam pertemuan itu hadir, selain Saya, Iwan, juga ada Isbedi Setiawan ZS, Uten Sutendy (Redaktur Lampung Post), AM. Zulqarnain, Syaiful Irba Tanpaka dan Bambang Suroboyo (pelukis).

 Akhirnya gagasan tentang format dan bentuk cikal dewan kesenian Lampung pun tuntas dibahas. Setelah konsep dan gagasan pembentukan DKL matang dibahas, muncul problem: bagaimana menyampaikan gagasan dan konsep tersebut kepada Gubernur Lampung yang waktu itu dijabat Poedjono Pranyoto?

Karena teman-teman seniman nyaris tak punya akses saat itu, lalu BAM bersama saya (saat itu masih menjadi wartawan Lampung Post) dalam kapasitas sebagai wartawan mencoba bertemu dengan Gubernur Poedjono Pranyoto. Secara lisan gagasan tersebut kami sampaikan.
         
Gubernur Poedjono Pranyoto memberi respon dan menyediakan waktu untuk bertemu dengan teman-teman seniman. Akhirnya terjadi pertemuan antara teman-teman seniman yang telah mempersiapkan konsep pembentukan DKL dengan Gubernur Lampung. Gubernur setuju dan mendukung terbentuknya Dewan Kesenian Lampung (DKL) sebagai implementasi dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5A tahun 1993 yang waktu itu ditandatangani Menteri Dalam Negeri Rudini.

Dari pertemuan itu, ada peristiwa yang tidak terlupakan. Gubernur Poedjono Pranyoto memesan patung kepala kuda kepada Igoen Gunarno. Dan Igoen menyanggupi pesanan itu. Sambil membahas membentuk kepengurusan DKL, diantaranya dengan melakukan sarasehan pada 27 Juli 1993 sebagai bagian dari sosialisasi DKL. Patung kepala kuda usai dibuat dan kepengurusan DKL pun terbentuk. Saksi untuk peristiwa ini masih hidup, termasuk Igoen Gunarno sendiri.

Pembentukan DKL nyaris serupa dengan pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). DKJ dibentuk pada masa jabatan Gubernur Ali Sadikin, bermula dari pertemuan Ali Sadikin dengan seniman seperti Ilen Surianegara, Ajip Rosidi, dan Ramadhan KH (Horison, 11/ XXVII/ November 1993). DKL pun lahir setelah seniman Lampung yang dijembatani dua wartawan bertemu Gubernur Poedjono Pranyoto di ruang kerjanya.

Saat mengukuhkan kepengurusan DKL yang pertama periode 1993 – 1996 tanggal 17 September 1993, Gubernur Poedjono Pranyoto dalam sambutannya mengakui, pembentukan Pentas Kesenian Lampung sebagai cikal DKL bukan dibentuk pemerintah daerah, melainkan bekerjasama dengan para seniman. Bahkan konsep Pentas Kesenian Lampung itu justru datang dari seniman (dalam Jurnal Pentas edisi perdana terbitan DKL).

Kilasan dari catatan historis yang masih membekas dalam ingatan ini menjadi cermin dari kolaborasi antara wartawan dengan seniman tanpa keterlibatan para birokrat dalam mendirikan Dewan Kesenian Lampung di era rezim Orde Baru. Baru saat pengukuhannya dan peresmian DKL yang bertempat di GedunG Wanita melibatkan pemerintah daerah (karena situasi dan kondisi politik masa Orde Baru mengharuskan atau membentuk format yang seperti itu).

Dalam proses perjalanannya sampai usia 17 tahun, keberadaan DKL, khususnya kepengurusannya selalu menuai kritik.  Sejak keluar dari kepengurusan DKL periode 1993 – 1996, saya melihat DKL tercerabut dari teman-teman seniman. Bukti konkretnya, selama ini belum satu periode kepengurusan, seniman menjadi Ketua Umum DKL, paling tinggi jabatan seniman di DKL adalah Ketua Harian atau Wakil Ketua Umum.

Awal terbentuknya DKL, keberadaan birokrat sebagai ketua umum DKL memang sempat memicu penolakan di sebagian teman-teman seniman. Namun masa itu jangan dibayangkan seperti era reformasi sekarang. Para penggagas dan pendiri DKL sempat menerima jalan kompromi, bahwa ketua umum DKL berasal dari birokrat yang pangkatnya setingkat kepala dinas. Namun dengan catatan, pada periode berikutnya, para seniman harus menjadi ketua umum DKL. Silahkan tanya komitmen ini kepada teman-teman penggagas dan pendiri DKL.

Selain masalah kepengurusan yang mendapat kritik dan protes dari para seniman, kinerja DKL juga menuai kritik. Bahkan ada seniman atau pengurus yang ribut bahwa DKL tidak mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART). Jika menelusuri sejarahnya, memang DKL bukan diatur oleh AD/ ART tetapi oleh pedoman dasar. Pada awal pembentukan, memang sempat muncul gagasan perlu tidaknya AD/ ART?

Akhirnya gagasan AD/ ART tereliminir, karena yang dibentuk adalah “Pentas Kesenian Lampung” yang di dalamnya ada Dewan Kesenian Lampung, Yayasan Kesenian Lampung dan Dewan Kehormatan Seniman Lampung (baca SK Gubernur Lampung No. G/ 423/ B.III/ HK/ 1993 yang ditandatangani Poedjono Pranyoto). Saat itu disepakati bahwa AD/ ART akan diperlukan apa bila Yayasan Kesenian Lampung terbentuk, sebuah yayasan memang mengharuskan adanya AD/ ART. Entah, tidak ada informasi lengkap yang saya terima, apakah  Yayasan Kesenian Lampung sudah terbentuk atau belum?

Kinerja kepengurusan DKL mendapat kritik karena standar yang digunakan adalah memposisikan DKL sama dengan organisasi kesenian seperti organisasi artis lakon di televisi atau pemusik. Juga muncul pemahaman dari pengurus sendiri bahwa DKL diperlakukan tak berbeda dengan production house, sanggar tari atau bisnis orgen tunggal.

Saya sempat mengkritik ketika DKL membentuk kine klub. Padahal waktu itu sudah ada kine klub di kampus Universitas Lampung dan IAIN Raden Intan. Saya protes, “Seharusnya DKL mensupport agar kine klub yang ada bisa lebih aktif, bukan membentuk kine klub sendiri.” Tapi protes saya seperti angin lalu saja. Hanya satu tahun saya duduk di kepengurusan DKL pada Komite Film, saya mengundurkan diri, karena saya sadar, DKL itu rumahnya seniman, saya sebagai wartawan hanya mengantarkan pembentukan DKL.

Menjawab berbagai kritik tersebut, sudah saatnya DKL dikembalikan kepada seniman sebagai pemegang mandat agar kritik dan saran bisa terjawab. Selama ini mungkin DKL telah alpa menempatkan posisinya sebagai katalisator segenap potensi kesenian di daerah Lampung. Posisi tempat berpijak DKL menjadi penting agar tidak terjadi tumpah tindih, fungsi dan peran seperti dengan institusi lain yang mengurus kesenian dan kebudayaan.

Sebagai katalisator DKL mempunyai peran khas, DKL berada pada posisi dan peran yang mempengaruhi, menimbulkan atau mempercepat berbagai reaksi dan aksi kesenian tanpa harus DKL mengalami perubahan fungsi dan penampilannya dengan menjadi seperti production house, sanggar tari, kelompok teater atau pengusaha orgen tunggal. Apa lagi menjadi dinas kesenian dan kebudayaan saingan karena menganggap saat ini adalah era otonomi daerah yang kemudian mengarah menjadi lembaga proyek kesenian dan kebudayaan yang profit motif.

 Sebagai orang yang pernah mengantarkan berdirinya DKL, sekarang saya bisa tersenyum, harapan DKL menjadi rumahnya seniman sepertinya lambat laun mulai terwujud. Dari lima periode kepengurusan sejak periode kepengurusan pertama 1993 – 1996 sampai periode 2007 – 2010 figur-figur birokrat mulai tersingkir dan tergantikan dengan para seniman Lampung.

Yang patut menjadi catatan pada kepengurusan DKL periode ke depan adalah regenerasi. Saya imbau kepada teman-teman seniman yang sudah beberapa periode menjadi pengurus, kini saatnya berganti peran dengan generasi yang muda dari seniman Lampung. Mohon maaf, tidak bermaksud mengecilkan arti dan peran teman-teman seniman yang senior.

 Sebagai akhir dari catatan dalam menyongsong kehadiran DKL yang sudah berusia 17 tahun, saya mengajak teman-teman seniman untuk merenungkan ucapan budayawan Emha Ainun Najib yang disampaikannya di Semarang tahun 1991. “Di beberapa tempat berlangsung kesibukan-kesibukan kesenian yang dicari-cari. Polarisasi, polemik, konflik atau ‘pengadilan’ artifisial. Padahal problem sesungguhnya dihadapi adalah ketidakmengertian fungsional mereka sendiri di tengah sistem nilai sosial baru yang membingungkan mereka.

 Chaos juga beberapa ketidaktahuan menempuh jalan dalam berkesenian. Juga akibat dari makin terbuangnya ‘kursi kultural’ bagi kreativitas seni sungguh-sungguh.

 Pada saat seperti itu, kemungkinan yang terjadi ada dua. Pertama, sikap subordinatif dan permisif, dimana kreator seni bersedia melakukan dan memberikan apa saja untuk memungkiknan eksistensinya di tengah-tengah tatanan sosial yang mengaturnya. Kedua, coba menciptakan dunianya sendiri yang meskipun sunyi namun ‘di-pemerintahi’ nya sendiri.”

Semoga semua ini berkenan. Hidup seniman Lampung. Jadikan DKL rumah seniman!

*Maspriel Aries adalah salah penggagas dan pendiri Dewan Kesenian Lampung. Sekarang Wartawan Harian Umum REPUBLIKA dan Koordinator Institut Jurnalistik Palembang (IJP).

0 on: "DKL: Rumah bagi Seniman"