Isbedy Stiawan ZS
LIMA tahun menjelang kejatuhan penguasa rezim Orde Baru, Menteri Dalam Negeri Rudini melakukan terobosan yang bersejarah dalam dunia kesenian di Tanah Air. Mendagri mengintruksikan kepada seluruh gubernur di Indonesia agar memfasilitasi terbentuknya dewan kesenian. Sebelumnya, di Indonesia hanya ada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang berdiri pada era Gubernur DKI Ali Sadikin.
LIMA tahun menjelang kejatuhan penguasa rezim Orde Baru, Menteri Dalam Negeri Rudini melakukan terobosan yang bersejarah dalam dunia kesenian di Tanah Air. Mendagri mengintruksikan kepada seluruh gubernur di Indonesia agar memfasilitasi terbentuknya dewan kesenian. Sebelumnya, di Indonesia hanya ada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang berdiri pada era Gubernur DKI Ali Sadikin.
Instruksi Mendagri No 5A tahun 1993 tersebut
disambut sukacita, terutama oleh para seniman dan wartawan Lampung, yang waktu itu dimotori Iwan Nurdaya-Djafar,
Maspril Aries, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Igoen Gunarno, Sugandi
Putra, dll.
Instruksi Mendagri itu sebenarnya juga sudah
diketahui Gubernur Lampung Poedjono Pranyoto. Gubernur Poedjono pun kemudian menugaskan Kepala Dinas Pendidikan
Provinsi Lampung Indra Bangsawan untuk membentuk Dewan Kesenian Lampung (DK)L.
Bahkan, Dinas Pendidikan Lampung telah
menyusun struktur organisasi yang di isi oleh karyawan instansi tersebut,
kecuali satu seniman dari luar yaitu Iwan Nurdaya-Djafar.
Gagasan DKL versi Dinas Pendidikan itu tentu
saja tak “diterima” oleh para seniman Lampung. Para seniman sudah memiliki
bayangan buruk jika lembaga kesenian dipegang atau dikendalikan oleh para
birokrat. Kerja sebagai seorang birokrat itu sendiri sudah menyita waktu.
Bagaimana mungkin mereka akan bisa mengelola lembaga kesenian? Apalagi, di
daerah yang sudah nyata-nyata memiliki Dewan Kesenian semisal Jakarta,
pengurusnya terdiri atas para seniman dan profesional.
Maka, para seniman kemudian, melalui “tangan”
Maspril Aries—wartawan yang juga seniman Lampung dan kini wartawan Republika untuk Sumater Selatan—merapat
untuk meminta dukungan kepada Bachtiar Amran, wartawan Kompas di Lampung.
Para seniman dan wartawan sepakat: harus
memotong jalan. Untuk menangkap seekor ular, yang harus “dikuasai” adalah
kepalanya. Begitu kata pepatah lama. Sementara Abang Bam—kami menyapa Bachtiar
Amran—sangat dekat dengan Gubernur Poedjono Pranyoto. Para seniman dan wartawan
yang terlibat pun kian bertambah. Misalnya, Hermansyah (kartunis/wartawan Lampung Post), Iman Untung Selamet
(wartawan), A.M. Zulqornain Ch., Didi Pramudya Muchtar (almarhum).
Sebelum bertemu Gubernur Poedjono, bermalam-malam
para seniman dan wartawan itu menyusun gagasan dalam bentuk sebuah proposal.
Pertemuan demi pertemuan pun dilaksanakan di rumah kediaman Bachtiar Amran di Kedaton,
Bandar Lampung. Lebih dari sebulan para seniman dan wartawan Lampung menggodok
pembentukan DKL yang dikemas dalam satu berkas proposal. Sementara Bachtiar
Amran menjajaki kemungkinan jadwal pertemuan dengan Poedjono Pranyoto.
Kepastian jadwal pertemuan sangat diperlukan, karena sebagai seorang gubernur,
Poedjono Pranyoto tentu amat sibuk.
Suatu kali Gubernur Poedjono sempat menyatakan
kesiapan untuk bertemu. Namun, setelah setelah kami datangi, protokol gubernur mengatakan
pertemuan ditunda karena Gubernur Poedjono Pranyoto ada kegiatan lain di luar.
Lumayan lama para seniman itu menunggu
kepastian bertemu Gubernur. Sampai tibalah saatnya, suatu hari, Bang Bam
mengabarkan bahwa dia sudah berada di kantor Pemda Provinsi Lampung. Bang Bam
mengabarkan bahwa Gubernur Poedjono siap ditemui pukul 10.00 WIB. Segera Iwan
Nurdaya-Djafar mengontak beberapa teman yang mungkin bisa bertemu. Pertemuan
itu pun hanya bisa diwakili Iwan Nurdaya, Syaiful Irba Tanpaka, Igun Gunarno,
Isbedy Stiawan ZS, Maspril Aries (wartawan), dan Bachtiar Amran.
Bagi sebagian besar seniman, itulah pertemuan
pertamanya dengan Gubernur Poedjono Pranyoto. Pertemuan itu membuat mereka
terkesan. Bahkan, beberapa seniman seolah sudah melihat masa depan kesenian
yang cerah seolah sudah terbentang di cakrawala.
“Kami
menangkap kesan bahwa Pak Poedjono Pranyato adalah gubernur yang hangat dan sangat
terbuka dengan para seniman. Sepanjang pertemuan tersebut lebih banyak di isi
dengan percakapan di luar kesenian. Poedjono yang sebelumnya kami nilai
berpenampilan cool, ternyata periang
dan murah senyum,” kata Isbedy Stiawan ZS.
Para seniman dan wartawan itu agak tersentak
ketika Poedjono Pranyoto berujar,”Kenapa pertemuan seperti ini tidak setahun
atau dua tahun yang lalu?”
***
Sungguh sampai kini para seniman yang
beraudiens dengannya belum bisa menafsir ucapan gubernur itu.
Kami baru tahu kalau Poedjono Pranyoto
menyukai kuda, ketika melihat ruang
kerja Gubernur Lampung itu banyak patung dan lukisan kuda. Dia boleh dibilang
kolektor berbagai lukisan dan patung kuda. Karena Igoen Gunarno pandai membuat
patung dari bahan piperglas, akhirnya berjanji akan menghadiahi sebuah patung
kuda kepada Poedjono Pranyoto. Gubernur sangat senang menerimanya.
Kenapa menyukai kuda? Ada filosofinya.
Menurutnya, kuda tak akan pernah melupakan majikan (pemilik)nya.
“Sekuat-kuatnya ringkik kuda, tak akan melebihi suara majikannya.
Sekencang-kencangnya lari kuda, tak pula akan meninggalkan majikannya,” jelas
gubernur yang purnawirawan ABRI itu.
Artinya, menurut dia, dalam melaksanakan tugas
dia tak akan pernah mengabaikan peran menteri atau presiden sebagai atasan
(majikan). Jadi, kesimpulannya—ini menurut pemikiran kami—dia akan marah
apabila bupati atau kepala dinas/kepala badan di bawahnya yang bekerja sendiri
tanpa koordinasi dengannya sebagai gubernur.
Dari pertemuan itu, Gubernur Poedjono langsung
menelepon Kepala Dinas Pendidikan Lampung Indra Bangsawan agar menerima
kedatangan para seniman. Dia juga berpesan, pemerintah harus tut wuri handayani apa yang dikehendaki
seniman. Dalam hati kami setelah keluar dari ruang gubernur, kami telah
mengantongi kartu AS yang diberikan gubernur untuk berhadapan dengan Dinas
Pendidikan.
Tetapi pertemuan dengan Indra Bangsawan saat
itu bukanlah gampang. Bahkan ketika kami kembali ingin beraudiens, Indra
Bangsawan—kini politisi PDIP dan anggota DPRD Provinsi Lampung—hanya mau
menerima Bachtiar Amran dan Iwan Nurdaya-Djafar. Bachtiar-Iwan menolak
pertemuan tersebut jika yang lain tidak diperkenankan masuk, dan bahkan akan
kembali menemui gubernur. Alasan Bachtiar, kami datang bersama maka harus
didengar secara bersama pula. Akhirnya Indra Bangsawan menyetujui.
Pertemuan di ruang rapat Dinas Pendidikan
Provinsi Lampung itu, meski terjadi insiden kecil yaitu kursi yang diduduki
Bachtiar Amran patah hingga membuatnya terjerembab, para seniman hanya
mengajukan satu usul: pembentukan DKL dan pemilihan pengurus harus melalui
Musyawarah Daerah (Musda) Seniman Lampung.
Akhirnya disepakati. Musyawarah Daerah Seniman
Lampung pertama pun berlangsung di Aula Kanwil Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Lampung—kini menjadi Kantor Dinas Pendidikan Nasional
Provinsi Lampung setelah Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
digabung—dan musyawarah inilah yang tetap dipertahankan hingga sekarang.
Sebelum musyawarah, sebagaimana kita memasuki
dunia politik, para seniman mulai mematut-matut struktur. Para seniman Lampung
sebenarnya sepakat untuk mendukung Bachtiar Amran menjadi Ketua Umum DKL yang
pertama. Alasannya, dia adalah lebih dari bidan untuk melahirkan DKL. Bukan
saja pikiran dan tenaga, melainkan tempat tinggalnya dan segala macamnya dia
yang menanggung. Waktu itu kami ikhlas, bahkan kalau pun harus “bertarung”
dengan Indra Bangsawan, hanya untuk menempatkan Bachtiar Amran di kursi
tertinggi DKL.
Kami tak menduga bahwa Bachtiar Amran menolak
mentah-mentah tawaran kami. Dia menegaskan, hanya ingin menghantar para seniman
“memiliki rumah” bernama DKL. Dia juga berpesan, jika sudah memiliki rumah dan
mungkin kelaknya DKL ini “makmur” jangan sampai jadi arena pertarungan demi
jabatan dan karena uang. Bachtiar selalu mengobarkan semangat bahwa perjuangan
secara bersama-sama akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, tetapi sesuatu
hasil yang diperjuangkan bersama-sama dan bermanfaat bagi banyak orang justru
itu lebih baik.
Barangkali itulah mengapa dia menyerahkan hasil
perjuangan bersama, yaitu DKL, kepada para seniman. Kalianlah ahlinya—mungkin
itulah yang hendak ditegaskan bang Bam.
Musyawarah Seniman Lampung yang pertama di
bulan September 1993 menyepakati Ketua Umum DKL adalah Indra Bangsawan, Ketua
Harian (Iwan Nurdaya-Djafar), dan Sekretaris Umum (Syaiful Irba Tanpaka).
Sementara komite terdiri dari Komite Film, Sastra, Senirupa, Teater, Musik, dan
Tari.
Mengenai adanya ketua umum yang berbeda dengan
daerah-daerah lain, waktu itu kami berpikir politis saja. Ketua Umum harus
dijabat oleh orang yang dekat dengan sumbu kekuasaan dan artinya birokrat.
Dengan demikian, permintaan atau penyaluran anggaran bisa lebih mudah. Apalagi
pada tahun pertama terbentuknya DKL melalui SK Gubernur Lampung yang ditetapkan
17 September 1993 tidak ada anggaran dalam APBD. Otomatis setiap program yang
akan digelar DKL harus mengajukan proposal ke gubernur. Sedangkan ketua harian
harus seniman dan tugasnya merencanakan program-program kesenian.
Meskipun belum masuk dalam mata anggaran APBD,
pelantikan DKL yang langsung dihadiri Geburnur Lampung Poedjono Pranyoto di
Gedung Wanita Durianpayung, Bandar Lampung sangat meriah—kalau tak ingin
dibilang “mewah”. Gubernur Poedjono Pranyoto pada sambutannya berjanji pemda
akan membangun gedung kesenian, dan diakhir sambutan itu ia membacakan sebuah
puisi karya W.S. Rendra....
Pada 17 September 1993, dewan kesenian resmi
terbentuk di Provinsi Lampung dan berkantor di salah satu ruang GOR Saburai
Enggal, Bandar Lampung. Kegiatan pertama yang digelar DKL adalah Krompi
(Keronsong Sambil Minum Kopi) untuk merayakan HUT RI di Pendopo Gubernur (rumah
Gubernur Lampung). Selain musik keroncong, sejumlah Muspida Lampung membaca
puisi dari karya para penyair Indonesia, baik puisi cinta, religius, perjuangan,
hingga kritik sosial.
Pasca-Krompi DKL pun mulai dikenal birokrat
dan lgislatif. Namun, soal anggaran belum juga membahagiakan. Ternyata
kelemahan dari para seniman umumnya ialah kurang memiliki kepekaan lobi dengan
eksekutif dan legislatif. Sehingga tahun-tahun awal kepenguruan DKL periode
1993-1998, APBD tidak menganggarkan DKL. Karena itu tatkala DKL mengundang
penyair Jamal D Rachman untuk meluncurkan kumpulan puisi Air Mata Diam di Taman Budaya Lampung, kami harus bekerja sama
dengan Lampung Post untuk penginapan
dan sekadar ongkos penyair tamu.
Sementara tatkala DKL menggelar Temu Penyair
Sumatera, Jawa, dan Bali kami mengajukan proposal ke gubernur. Kami bersyukur
memiliki gubernur seorang Poejono Pranyoto di masa itu. Dia bukan saja memiliki
kepedulian tinggi bagi kehidupan kesenian, namun sangat mudah mengeluarkan uang
dari laci meja pribadinya di ruang kerjanya. Hal ini dibuktikan tatkala
pengurus DKL yang dipimpin Indra Bangsawan menemui gubernur di ruang kerja
untuk menyampaikan rencana Temu Penyair se Sumatera, Jawa, dan Bali, pada hari
itu juga ia menyerahkan Rp10 juta. Itu
pun ditambah dengan rekomendasi kepada Biro Keungan Pemprov Lampung agar
dibantu.
Pada masa itu, dana senilai Rp10 juta sudah
cukup untuk menggelar satu event seperti itu. Itu sebabnya keberadaan seorang
Poedjono Pranyoto di awal-awal pembentukan DKL sangat berarti. Meskipun
pelaksanaan Temu Penyair se Sumatera, Jawa, dan Bali berbuah tak sedap bagi
panitia. Kenapa tak sedap? Kami akan sedikit bercerita soal gelar Temu Penyair
se Sumatera, Jawa, dan Bali di bawah ini.
Komite Sastra sebagai pelaksana mendapat
“tekanan” dari Biro Sospol saat itu. Salah satu pejabatnya saat itu, Sutoto,
meminta puisi-puisi yang akan dibacakan. Pemerintahan refresif pernah kami
alami. Selain itu Sospol juga menanyakan apakah Ratna Sarumpaet hadir dalam
kegiatan itu? Untuk kedua pertanyaan itu, panitia menjawab bahwa buku puisi
masih dicetak di Jakarta. Sedangkan pimpinan Panggung Merah Putih itu bukan
penyair, jadi tidak diundang. Mendapat jawaban panitia, pemerintah
mewanti-wanti agar para penyair membacakan puisi yang telah dibukukan panitia.
Alasannya sudah dianggap “steril” mengingat DKL merupakan katalisator dari
pemerintah. Namun selama tiga hari event itu digelar, intel berpakaian preman
“berkeliaran” di Taman Budaya Lampung. Itu sebabnya tatkala penyair Aceh yaitu Fikar
W Eda membacakan puisi di luar dari buku puisi terbitan panitia dan mengandung
kritik sosial yang sangat keras, sampai juga ke telinga Sospol. Sehingga
beberapa kali seusai kegiatan itu, panitia dipanggil Sospol!
Pemerintah yang refresif kembali menimpa DKL.
Saat ingin menampilkan Ratna Sarumpaet dengan “Marsinah Menggugat”-nya pada
1997, pihak kepolisian melarang pementasan tersebut hanya sehari sebelum
digelar. Pengurus DKL menemui pihak kepolisian untuk bernegosiasi agar
pementasan tersebut tetap berlangsung. Namun keputusan pihak keamanan tak dapat
lagi berubah. Akhirnya, karena didukung oleh sejumlah seniman di luar DKL, LSM,
dan LBH Bandar Lampung, pementasan “Marsinah Menggugat” tetap berlangsung.
Sejumlah jalan menuju Taman Budaya Lampung dipagar-kawat. Sejumlah intel
“berkeliaran” di sekitar lokasi.
Meski pertunjukan tetap dilaksanakan, pimpinan
Panggung Merah Putih menganggap pihak keamanan telah mencekal. Itu sebabnya,
berlanjut tuntutan Ratna Sarumpaet kepada DKL hingga ke pengadilan. Beberapa
kali sidang digelar tanpa hasil “menyeret” kepolisian ke pengadilan, akhirnya
gugatan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu dicabut. Meski insiden itu amat
sangat melelahkan DKL.
Perjalanan DKL juga telah menggoreskan sejarah
yang fenomenal. Seperti gelar pameran lukisan para perupa se-Sumatera. Kegiatan
itu mjenelurkan gagasan “Lampung sebagai Garda Senirupa Melayu” yang mampu
“menghebohkan’ khasanan senirupa di Indonesia.
Bulan madu DKL tak lama. Episode Poedjono
Pranyoto sebagai gubernur pun berakhir, sebagaimana di dunia ini tak ada yang
abadi. Poedjono diganti Oemarsono yang sebelumnya wakil gubernur. Masa-masa
pahit pun dialami DKL. Beberapa tahun DKL tidak mendapatkan anggaran serupiah
pun. Pengajuan proposal untuk kegiatan juga sangat sulit membuahkan hasil yang
membahagiakan. Apalagi Provinsi Lampung sempat mendapat “transfer’ pejabat dari
Depatrtemen Dalam Negeri, makin lengkaplah “jamu brotowali” yang diminum DKL.
DKL juga pernah bernasib “malang”, yaitu
tatkala Bappenas mengucurkan anggaranbagi DK se Indonesia, anggaran untuk DKL
yang masuk liwat pintu Pemprov Lampung, dianggap sebagai “sumbangan” pemerintah
pusat kepada kegiatan kesenian di Lampung yang dikelola Dinas Pendidikan yang
saat itu dijabat oleh Wirdati Ali. Para pengurs DKL berulangkali menemui Kepala
Disdik Wirdati Ali, namun jawabannya selalu nihil. Padahal, anggaran yang dikucurkan
Bappenas berkat lobi Ketua DKJ Salim Said dengan putri sulung Soeharto yakni
Mmbak Tutut. Ternyata “nasib malang” DKL ini juga dirasakan oleh sejumlah DK
lain di Tanah Air.
Lalu dua periode Indra Bangsawan menjabat
ketua umum DKL, meski banyak kemajuan, tetap tak menggairahkan dalam soal
anggaran. DKL belum masuk dalam mata anggaran khusus di APBD Provinsi Lampung,
kecuali dalam bentuk bantuan rutin. Padahal kala itu Indra Bangsawan menjabat
Asisten Sekprov Lampung. Tentu bukan kesalahan ini ditimpakan ke bahu Indra
Bangsawan. Melainkan ketidakpedulian eksekutif dan legislatif bagi kemajuan
kesenian di Lampung. DKL belum dilirik penuh oleh pemerintah. Melalui bebagai
LSM yang ada saat berunjukrasa di DPRD, suara DKL terus digelorakan di hadapan
anggota Dewan. Orasi seniman yang “menyusup” ke berbagai LSM yang berunjukrasa,
mengingatkan Dewan bahwa DKL punya hak hidup dan dihidupi yakni dengan
mengucurkan anggaran di APBD.
Selain itu, DKL juga menggelar diskusi setiap
Sabtu di sekrrteriat. Diskusi ini yang berakhir mendatangkan anggota DPRD
Provinsi Lampung Cladius Dalu Maran, tak lebih hanya untuk menyuarakan bahwa
Dewan perlu peduli atas nasib DKL yang sempat anggarannya nol rupiah. Dari
hasil diskusi-diskusi tersebut, DKL beraudiens dengan anggota Dewan dari Komisi
C.
Setelah periode Indra Bangsawan, para seniman
yang bermusyawarah “mendapuk” Sekretaris Pemprov Lampung Herwan Achmad sebagai
ketua umum DKL untuk periode 2000-2005. Sementara itu Ketua Harian dipercayakan
kepada Syaiful Irba Tanpaka, dan Sekretaris Umum dijabat Hari Jayaningrat. Tiga
sekawan Herwan-Syaiful-Hari pada tahun pertama juga kembali tidak mendapatkan
anggaran. Padahal asumsinya kala itu, selain dari anggaran rutin juga dana DKL
dititip di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Baru tahun anggaran berikutnya
bisa terwujud.
Pada tahun-tahun ini DKL mulai banyak
kegiatan. Ada diskusi tiap sepekan sekali yang didanai Disdik Lampung, selain
gelar Lampung Arts Festival (LAF) yang mana dana itu dititipkan di Disdik
Lampung. Begitu pula gagasan Krakatau Award masuk dalam agenda LAF. Selanjutnya
Kongres Cerpen Indonesia ke 3 digelar di provinsi ini. Temu koreografer
se-Indonesia juga bisa dilaksanakan DKL. Periode Hrwan Achmad, Komite Tradisi
kembali dikukuhkan. Hal ini guna mengaktualisasikan dan mengkatalisasikan seni
tradisi yang ada.
Begitu pula struktur DKL makin “digendutkan”,
yakni diberdayakannya Badan Pembina DKL. BP ini di isi para tokoh dan seniman
senior. Salah
satu BP-nya adalah Syafariah Widianti (Atu Ayi),
kakak kandung Sjachroedin ZP.
Terpilihnya Atu Ayi sebagai ketua umum, ketika
jabatan itu ditinggal Herwan Achmad yang meninggal dunia sebelum jabatan
periode kedua masih berjalan. Musyawarah Luar Biasa (Muslub) Seniman untuk
mengganti jabatan Herwan Achmad digelar di Gedung Pusiban pada 2005 yang
kemudian mengembalikan lagi Hari Jayaningrat sebagai sekretaris umum yang
sebelumnya dijabat Ucok Hutasuhut dari hasil Musyawarah Seniman di Wisma
Pertiwi Pahoman tahun 2004.
Di bawah kepemimpinan Atu Ayi yang notabene ayunda Gubernur Lampung
Sjachroedin ZP barulah tampak para seniman diwongke,
meski secara nominal yang dianggarkan ungtuk DKL masih jauh untuk banyak
kegiatan yang diimpikan para seniman. Secara pribadi SZP punya perhatian pada
DKL, sebagaimana ia sangat tinggi memperhatikan masyarakat adat/tradisi seperti
adanya MPAL (Masyarakat Penyiambang Adat Lampung), namun yang dinanti para
seniman ialah strategi pembangunan kesenian di daerah ini. Sehingga kesenian
bukan ansich sebagai tradisi dan
lebih spisifik adalah tari, melainkan regulasi. Dengan adanya kebijakan yang
strategis terhadap kesenian, maka otomatis anggaran yang memadai akan
mengikutinya.
Pengaruh
Politik
Selain itu, dengan strategi kebudayaan itu
maka apa pun yang terjadi di ranah politik diharapkan tidak berimbas kepada
dunia kesenian. Sebab selama ini, peran politik sangat besar memengruhi
lini-lini lainnya: ekonomi, sosial, maupun kebudayaan. Hal ini juga dialami
DKL.
Ketika Herwan Achmad, ketua umum DKL, masuki
ranah politik dengan mendaftarkan diri dalam Pilkada Provinsi Lampung maka peta
kesenian—terutama DKL—terasa berubah. Sebagai ketua umu, sejumlah seniman
Lampung membuat pernyataan dukungan kepada Herwan Achmad menjadi gubernur.
Herwan bersaing dengan atasan sendiri, Gubernur Lampung Oemarsono.
Herwan yang masa itu adalah Sekprov gagal
dalam pemilihan gubernur yang dipilih DPRD, begitu pula Oemarsono yang incumbent. Tetapi imbasnya bukan sebatas
di ruang Dewan, tetapi kemudian sejumlah dana DKL di APBD ikut “dicekal”
Oemarsono. Begitu pula sebelum Oe—panggilan akrab gubernur—meninggalkan gedung
Pemprov Lampung, dana DKL dipangkas separuh lebih dari tahun sebelumnya. Para
pengurus DKL beraudiens dengan anggota Dewan, dan bertemu dengan para wakil
rakyat seperti di antaranya Abdul Hakim, Cladius, Eddy Irawan. Pertemuan
tersebut untuk “mengingatkan” anggota Dewan, terutama panitia anggaran, agar
memasukkan lagi DKL di dalam APBD.
Perjuangan melelahkan. Alzier Dianis Thabranie
yang memenangkan pemilihan gubernur bersi Dewan itu tak juga dilantik oleh
Presiden Megawati. Bahkan Depdagri mentransfer pejabatnya yakni Tursandi untuk
pelaksana tugas (Plt) Gubernur Lampung. Politik seperti virus yang mampu
mengganggu seluruh organ tubuh yang ada. Dan DKL ikut menjadi “bulan-bulanan”
oleh politik.
Betapa tidak? Tatkala Sjachroedin ZP yang
dipilih DPRD menjadi gubernur bersama Syamsurya Ryacudu sebagai wakilnya,
kembali berlaga dalam Pilkada langsung dia harus meninggalkan jabatannya.
Syamsurya menjadi orang nomor satu di Provinsi Lampung setelah ditinggal
Sjachroedin.
Selama hampir dua tahun dari rencana
pelaksanaan pilkada hingga Sjachroedin ZP kembali dilantik sebagai gubernur,
terasa “diskriminatif” pemprov atas DKL. Harmonisasi hubungan
Sjachroedin-Syamsurya yang memang terasa retak semenjak keduanya sebagai
gubernur dan wakil, semakin “terang-terangan” setelah keduanya berpisah.
Gesekan politik hasil pilkada itu, tak bisa tidak juga dirasakan oleh DKL.
Apalagi dimaklumi bahwa ketua umum DKL adalah Sjafariah Widianti yang notabene ayunda Sjahroedin ZP. “Kita
harus sabar dan mengetatkan ikat pinggang, sampai matahari benar-benar bersinar
esok bagi DKL,” ujar Atu Ayi setiap ada keluhan pengurus DKL mengenai anggaran
dan program yang harus terbengkalai.
Tentu semasa Syamsurya Ryacudu menjabat
gubernur, bukan berarti DKL kehilangan anggaran sama sekali. Akan tetapi, Syam
yang melanjutkan periode Sjachroedin juga hanya meneruskan APBD yang ada. Cuma
untuk anggaran DKL yang masuk dalam mata anggaran bantuan rutin, rutin pula
program DKL yang ditunda. Termasuk pengajuan permintaan anggaran tiap triwulan,
tak sepenuhnya disetujui.
Paragraf ini sengaja dimasukkan tentu saja
punya alasan. Para seniman di daerah mana pun menginginkan masalah politik,
tidak lantas berpengaruh terhadap kehidupan berkesenian. Suhu politik boleh
saja memanas, namun tidak sertamerta merembet ke bidang-bidang lain termasuk
kesenian. Gonjang-ganjing peprolitikan tidak pula mengakibatkan goyangnya dunia
kesenian atau seniman. Ini pula yang pernah digagas Dirjen Kebudayaan Depdiknas
dengan mempertemukan para seniman dan budayawan se Sumatera di Pangkalpinang
Kepulauwan Riau semasa BJ Habibie menjadi presiden. Para seniman dan budayawan
kala itu sepakat untuk mendesak pemerintah pusat agar gonjang-ganjing politik
di Tanah Air tidak terimbas bagi kehidupan kesenian.
Kesimpulannya, siapa pun pemimpin di negeri
ini maka renstra (rencana strategi) tentang kesenian (kebudayaan) tidak boleh
dimatikan. Begitu pula siapa pun dan dari golongan mana pun yang menjadi
gubernur atau bupati/wali kota, kehidupan kesenian harus tetap diperhatikan
oleh pemerintah. Hal sama bagi anggota Dewan yang diakui sangat berperan untuk
“mencoret atau menyetujui” anggaran setiap tahun. Karena kebudayaan (kesenian)
adalah bagian dari nafas setiap manusia, betapa pun ia adalah eksekutif maupun
legislatif. Dan paling penting, karya seni bisa lahir tanpa anggaran namun
apresiasi dan memasyarakatkan kesenian tentu tak bisa lepas dari tumpuan dana.
Sementara politik sifatnya sementara—dan bertumpu
pada kepentingan sesaat, sedangkan kesenian kekal dan universal. Maka tak ada
alasan apabila kesenian menjadi rapuh saat berhadapan dengan politik. Politik
mungkin boleh jadi panglima di negeri ini, akan tetapi kesenian hendaknya
diyakini jadi mahkota kehidupan ini. Sehingga ke depan, betapapun kursi
gubernur berganti-ganti pemiliknya, maka kebijakan bagi pengembangan dan
kemajuan kesenian tidak akan berubah.
Analogi yang sudah begitu mengental: jika
politik bengkok maka puisi (seni) yang meluruskan, semestinya masih menjadi
relevan di saat politik kala ini nyaris memuruk dan memorakporandakan hampir
semua tatanan kehidupan manusia (sosial, ekonomi, bahkan kebudayaan). Karena
itu, ke masa datang, betapa pun atau siapa pun yang memimpin negeri ini dan
mengepalai daerah ini, kehidupan kesenian tidak terimbas oleh hal-hal politik
tersebut.
Karena kesenian adalah “ruh” setiap insan.
Tiada manusia di muka bumi ini yang tak memerlukan atau tanpa kesenian,
seyogyanya kesinambungan kesenian hendaknya tetap dijaga dan dihidupkan. Dan,
untuk “menghidupkan” kesenian, tak bisa mengelak dari urusan anggaran. Kesenian
yang “menjaga” keseimbangan hidup ini, juga memerlukan anggaran agar tetap
eksis, stabil, dan—tentunya—harus tetap kritis. Betapa pun dianggap kecil,
barangkali, kesenian memunyai peran bagi pembangunan bangsa. Terutama dalam hal
spirit dan nilai-nilai.
Itulah kenapa tokoh-tokoh negara di dunia,
nyaris amat dekat—dan bahkan langsung bersentuhan—dengan kesenian. Dari John F
Kennedy, Soekarno, hingga Barack Obama: mereka adalah “pecandu” pada karya
seni. Obama, ternyata, telah menulis sejumlah puisi. Sedangkan John F Kennedy,
telah melempar statemen: “kalau politik bengkok, puisi yang meluruskan”. Dan,
Soekarno kita tahu bagaimana ia sangat dekat dan penikmat paling baik terhadap
seni.
* Tulisan ini merupakan sebagian dari 'calon buku' sejarah Dewan Kesenian Lampung
0 on: "Merintis DKL: Membangun Rumah bagi Seniman Lampung*"