Sabtu, 18 Januari 2014

Merintis DKL: Membangun Rumah bagi Seniman Lampung*



Isbedy Stiawan ZS

LIMA tahun menjelang kejatuhan penguasa rezim Orde Baru, Menteri Dalam Negeri Rudini melakukan terobosan yang bersejarah dalam dunia kesenian di Tanah Air. Mendagri mengintruksikan kepada  seluruh gubernur di Indonesia agar memfasilitasi terbentuknya dewan kesenian. Sebelumnya, di Indonesia hanya ada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang berdiri pada era Gubernur DKI Ali Sadikin.

Instruksi Mendagri No 5A tahun 1993 tersebut disambut sukacita, terutama oleh para seniman dan wartawan Lampung,  yang waktu itu dimotori Iwan Nurdaya-Djafar, Maspril Aries, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Igoen Gunarno, Sugandi Putra, dll.

Instruksi Mendagri itu sebenarnya juga sudah diketahui Gubernur Lampung Poedjono Pranyoto. Gubernur Poedjono pun  kemudian menugaskan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Indra Bangsawan untuk membentuk Dewan Kesenian Lampung (DK)L. Bahkan,  Dinas Pendidikan Lampung telah menyusun struktur organisasi yang di isi oleh karyawan instansi tersebut, kecuali satu seniman dari luar yaitu Iwan Nurdaya-Djafar.

Gagasan DKL versi Dinas Pendidikan itu tentu saja tak “diterima” oleh para seniman Lampung. Para seniman sudah memiliki bayangan buruk jika lembaga kesenian dipegang atau dikendalikan oleh para birokrat. Kerja sebagai seorang birokrat itu sendiri sudah menyita waktu. Bagaimana mungkin mereka akan bisa mengelola lembaga kesenian? Apalagi, di daerah yang sudah nyata-nyata memiliki Dewan Kesenian semisal Jakarta, pengurusnya terdiri atas para seniman dan profesional.

Maka, para seniman kemudian, melalui “tangan” Maspril Aries—wartawan yang juga seniman Lampung dan kini wartawan Republika untuk Sumater Selatan—merapat untuk meminta dukungan kepada Bachtiar Amran, wartawan Kompas di Lampung.

Para seniman dan wartawan sepakat: harus memotong jalan. Untuk menangkap seekor ular, yang harus “dikuasai” adalah kepalanya. Begitu kata pepatah lama. Sementara Abang Bam—kami menyapa Bachtiar Amran—sangat dekat dengan Gubernur Poedjono Pranyoto. Para seniman dan wartawan yang terlibat pun kian bertambah. Misalnya, Hermansyah (kartunis/wartawan Lampung Post), Iman Untung Selamet (wartawan), A.M. Zulqornain Ch., Didi Pramudya Muchtar (almarhum).

Sebelum bertemu Gubernur Poedjono, bermalam-malam para seniman dan wartawan itu menyusun gagasan dalam bentuk sebuah proposal. Pertemuan demi pertemuan pun dilaksanakan di rumah kediaman Bachtiar Amran di Kedaton, Bandar Lampung. Lebih dari sebulan para seniman dan wartawan Lampung menggodok pembentukan DKL yang dikemas dalam satu berkas proposal. Sementara Bachtiar Amran menjajaki kemungkinan jadwal pertemuan dengan Poedjono Pranyoto. Kepastian jadwal pertemuan sangat diperlukan, karena sebagai seorang gubernur, Poedjono Pranyoto tentu amat sibuk.

Suatu kali Gubernur Poedjono sempat menyatakan kesiapan untuk bertemu. Namun, setelah setelah kami datangi, protokol gubernur mengatakan pertemuan ditunda karena Gubernur Poedjono Pranyoto ada kegiatan lain di luar.

Lumayan lama para seniman itu menunggu kepastian bertemu Gubernur. Sampai tibalah saatnya, suatu hari, Bang Bam mengabarkan bahwa dia sudah berada di kantor Pemda Provinsi Lampung. Bang Bam mengabarkan bahwa Gubernur Poedjono siap ditemui pukul 10.00 WIB. Segera Iwan Nurdaya-Djafar mengontak beberapa teman yang mungkin bisa bertemu. Pertemuan itu pun hanya bisa diwakili Iwan Nurdaya, Syaiful Irba Tanpaka, Igun Gunarno, Isbedy Stiawan ZS, Maspril Aries (wartawan), dan Bachtiar Amran.

Bagi sebagian besar seniman, itulah pertemuan pertamanya dengan Gubernur Poedjono Pranyoto. Pertemuan itu membuat mereka terkesan. Bahkan, beberapa seniman seolah sudah melihat masa depan kesenian yang cerah seolah sudah terbentang di cakrawala.

 “Kami menangkap kesan bahwa Pak Poedjono Pranyato adalah gubernur yang hangat dan sangat terbuka dengan para seniman. Sepanjang pertemuan tersebut lebih banyak di isi dengan percakapan di luar kesenian. Poedjono yang sebelumnya kami nilai berpenampilan cool, ternyata periang dan murah senyum,” kata Isbedy Stiawan ZS.

Para seniman dan wartawan itu agak tersentak ketika Poedjono Pranyoto berujar,”Kenapa pertemuan seperti ini tidak setahun atau dua tahun yang lalu?”

***

Sungguh sampai kini para seniman yang beraudiens dengannya belum bisa menafsir ucapan gubernur itu.

Kami baru tahu kalau Poedjono Pranyoto menyukai kuda, ketika melihat  ruang kerja Gubernur Lampung itu banyak patung dan lukisan kuda. Dia boleh dibilang kolektor berbagai lukisan dan patung kuda. Karena Igoen Gunarno pandai membuat patung dari bahan piperglas, akhirnya berjanji akan menghadiahi sebuah patung kuda kepada Poedjono Pranyoto. Gubernur sangat senang menerimanya.

Kenapa menyukai kuda? Ada filosofinya. Menurutnya, kuda tak akan pernah melupakan majikan (pemilik)nya. “Sekuat-kuatnya ringkik kuda, tak akan melebihi suara majikannya. Sekencang-kencangnya lari kuda, tak pula akan meninggalkan majikannya,” jelas gubernur yang purnawirawan ABRI itu.

Artinya, menurut dia, dalam melaksanakan tugas dia tak akan pernah mengabaikan peran menteri atau presiden sebagai atasan (majikan). Jadi, kesimpulannya—ini menurut pemikiran kami—dia akan marah apabila bupati atau kepala dinas/kepala badan di bawahnya yang bekerja sendiri tanpa koordinasi dengannya sebagai gubernur.  

Dari pertemuan itu, Gubernur Poedjono langsung menelepon Kepala Dinas Pendidikan Lampung Indra Bangsawan agar menerima kedatangan para seniman. Dia juga berpesan, pemerintah harus tut wuri handayani apa yang dikehendaki seniman. Dalam hati kami setelah keluar dari ruang gubernur, kami telah mengantongi kartu AS yang diberikan gubernur untuk berhadapan dengan Dinas Pendidikan.

Tetapi pertemuan dengan Indra Bangsawan saat itu bukanlah gampang. Bahkan ketika kami kembali ingin beraudiens, Indra Bangsawan—kini politisi PDIP dan anggota DPRD Provinsi Lampung—hanya mau menerima Bachtiar Amran dan Iwan Nurdaya-Djafar. Bachtiar-Iwan menolak pertemuan tersebut jika yang lain tidak diperkenankan masuk, dan bahkan akan kembali menemui gubernur. Alasan Bachtiar, kami datang bersama maka harus didengar secara bersama pula. Akhirnya Indra Bangsawan menyetujui.

Pertemuan di ruang rapat Dinas Pendidikan Provinsi Lampung itu, meski terjadi insiden kecil yaitu kursi yang diduduki Bachtiar Amran patah hingga membuatnya terjerembab, para seniman hanya mengajukan satu usul: pembentukan DKL dan pemilihan pengurus harus melalui Musyawarah Daerah (Musda) Seniman Lampung.

Akhirnya disepakati. Musyawarah Daerah Seniman Lampung pertama pun berlangsung di Aula Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung—kini menjadi Kantor Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Lampung setelah Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan digabung—dan musyawarah inilah yang tetap dipertahankan hingga sekarang.

Sebelum musyawarah, sebagaimana kita memasuki dunia politik, para seniman mulai mematut-matut struktur. Para seniman Lampung sebenarnya sepakat untuk mendukung Bachtiar Amran menjadi Ketua Umum DKL yang pertama. Alasannya, dia adalah lebih dari bidan untuk melahirkan DKL. Bukan saja pikiran dan tenaga, melainkan tempat tinggalnya dan segala macamnya dia yang menanggung. Waktu itu kami ikhlas, bahkan kalau pun harus “bertarung” dengan Indra Bangsawan, hanya untuk menempatkan Bachtiar Amran di kursi tertinggi DKL.

Kami tak menduga bahwa Bachtiar Amran menolak mentah-mentah tawaran kami. Dia menegaskan, hanya ingin menghantar para seniman “memiliki rumah” bernama DKL. Dia juga berpesan, jika sudah memiliki rumah dan mungkin kelaknya DKL ini “makmur” jangan sampai jadi arena pertarungan demi jabatan dan karena uang. Bachtiar selalu mengobarkan semangat bahwa perjuangan secara bersama-sama akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, tetapi sesuatu hasil yang diperjuangkan bersama-sama dan bermanfaat bagi banyak orang justru itu lebih baik.

Barangkali itulah mengapa dia menyerahkan hasil perjuangan bersama, yaitu DKL, kepada para seniman. Kalianlah ahlinya—mungkin itulah yang hendak ditegaskan bang Bam.

Musyawarah Seniman Lampung yang pertama di bulan September 1993 menyepakati Ketua Umum DKL adalah Indra Bangsawan, Ketua Harian (Iwan Nurdaya-Djafar), dan Sekretaris Umum (Syaiful Irba Tanpaka). Sementara komite terdiri dari Komite Film, Sastra, Senirupa, Teater, Musik, dan Tari.

Mengenai adanya ketua umum yang berbeda dengan daerah-daerah lain, waktu itu kami berpikir politis saja. Ketua Umum harus dijabat oleh orang yang dekat dengan sumbu kekuasaan dan artinya birokrat. Dengan demikian, permintaan atau penyaluran anggaran bisa lebih mudah. Apalagi pada tahun pertama terbentuknya DKL melalui SK Gubernur Lampung yang ditetapkan 17 September 1993 tidak ada anggaran dalam APBD. Otomatis setiap program yang akan digelar DKL harus mengajukan proposal ke gubernur. Sedangkan ketua harian harus seniman dan tugasnya merencanakan program-program kesenian.

Meskipun belum masuk dalam mata anggaran APBD, pelantikan DKL yang langsung dihadiri Geburnur Lampung Poedjono Pranyoto di Gedung Wanita Durianpayung, Bandar Lampung sangat meriah—kalau tak ingin dibilang “mewah”. Gubernur Poedjono Pranyoto pada sambutannya berjanji pemda akan membangun gedung kesenian, dan diakhir sambutan itu ia membacakan sebuah puisi karya W.S. Rendra....

Pada 17 September 1993, dewan kesenian resmi terbentuk di Provinsi Lampung dan berkantor di salah satu ruang GOR Saburai Enggal, Bandar Lampung. Kegiatan pertama yang digelar DKL adalah Krompi (Keronsong Sambil Minum Kopi) untuk merayakan HUT RI di Pendopo Gubernur (rumah Gubernur Lampung). Selain musik keroncong, sejumlah Muspida Lampung membaca puisi dari karya para penyair Indonesia, baik puisi cinta, religius, perjuangan, hingga kritik sosial.

Pasca-Krompi DKL pun mulai dikenal birokrat dan lgislatif. Namun, soal anggaran belum juga membahagiakan. Ternyata kelemahan dari para seniman umumnya ialah kurang memiliki kepekaan lobi dengan eksekutif dan legislatif. Sehingga tahun-tahun awal kepenguruan DKL periode 1993-1998, APBD tidak menganggarkan DKL. Karena itu tatkala DKL mengundang penyair Jamal D Rachman untuk meluncurkan kumpulan puisi Air Mata Diam di Taman Budaya Lampung, kami harus bekerja sama dengan Lampung Post untuk penginapan dan sekadar ongkos penyair tamu.

Sementara tatkala DKL menggelar Temu Penyair Sumatera, Jawa, dan Bali kami mengajukan proposal ke gubernur. Kami bersyukur memiliki gubernur seorang Poejono Pranyoto di masa itu. Dia bukan saja memiliki kepedulian tinggi bagi kehidupan kesenian, namun sangat mudah mengeluarkan uang dari laci meja pribadinya di ruang kerjanya. Hal ini dibuktikan tatkala pengurus DKL yang dipimpin Indra Bangsawan menemui gubernur di ruang kerja untuk menyampaikan rencana Temu Penyair se Sumatera, Jawa, dan Bali, pada hari itu juga ia menyerahkan Rp10 juta.  Itu pun ditambah dengan rekomendasi kepada Biro Keungan Pemprov Lampung agar dibantu.

Pada masa itu, dana senilai Rp10 juta sudah cukup untuk menggelar satu event seperti itu. Itu sebabnya keberadaan seorang Poedjono Pranyoto di awal-awal pembentukan DKL sangat berarti. Meskipun pelaksanaan Temu Penyair se Sumatera, Jawa, dan Bali berbuah tak sedap bagi panitia. Kenapa tak sedap? Kami akan sedikit bercerita soal gelar Temu Penyair se Sumatera, Jawa, dan Bali di bawah ini.

Komite Sastra sebagai pelaksana mendapat “tekanan” dari Biro Sospol saat itu. Salah satu pejabatnya saat itu, Sutoto, meminta puisi-puisi yang akan dibacakan. Pemerintahan refresif pernah kami alami. Selain itu Sospol juga menanyakan apakah Ratna Sarumpaet hadir dalam kegiatan itu? Untuk kedua pertanyaan itu, panitia menjawab bahwa buku puisi masih dicetak di Jakarta. Sedangkan pimpinan Panggung Merah Putih itu bukan penyair, jadi tidak diundang. Mendapat jawaban panitia, pemerintah mewanti-wanti agar para penyair membacakan puisi yang telah dibukukan panitia. Alasannya sudah dianggap “steril” mengingat DKL merupakan katalisator dari pemerintah. Namun selama tiga hari event itu digelar, intel berpakaian preman “berkeliaran” di Taman Budaya Lampung. Itu sebabnya tatkala penyair Aceh yaitu Fikar W Eda membacakan puisi di luar dari buku puisi terbitan panitia dan mengandung kritik sosial yang sangat keras, sampai juga ke telinga Sospol. Sehingga beberapa kali seusai kegiatan itu, panitia dipanggil Sospol!

Pemerintah yang refresif kembali menimpa DKL. Saat ingin menampilkan Ratna Sarumpaet dengan “Marsinah Menggugat”-nya pada 1997, pihak kepolisian melarang pementasan tersebut hanya sehari sebelum digelar. Pengurus DKL menemui pihak kepolisian untuk bernegosiasi agar pementasan tersebut tetap berlangsung. Namun keputusan pihak keamanan tak dapat lagi berubah. Akhirnya, karena didukung oleh sejumlah seniman di luar DKL, LSM, dan LBH Bandar Lampung, pementasan “Marsinah Menggugat” tetap berlangsung. Sejumlah jalan menuju Taman Budaya Lampung dipagar-kawat. Sejumlah intel “berkeliaran” di sekitar lokasi.

Meski pertunjukan tetap dilaksanakan, pimpinan Panggung Merah Putih menganggap pihak keamanan telah mencekal. Itu sebabnya, berlanjut tuntutan Ratna Sarumpaet kepada DKL hingga ke pengadilan. Beberapa kali sidang digelar tanpa hasil “menyeret” kepolisian ke pengadilan, akhirnya gugatan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu dicabut. Meski insiden itu amat sangat melelahkan DKL.

Perjalanan DKL juga telah menggoreskan sejarah yang fenomenal. Seperti gelar pameran lukisan para perupa se-Sumatera. Kegiatan itu mjenelurkan gagasan “Lampung sebagai Garda Senirupa Melayu” yang mampu “menghebohkan’ khasanan senirupa di Indonesia.

Bulan madu DKL tak lama. Episode Poedjono Pranyoto sebagai gubernur pun berakhir, sebagaimana di dunia ini tak ada yang abadi. Poedjono diganti Oemarsono yang sebelumnya wakil gubernur. Masa-masa pahit pun dialami DKL. Beberapa tahun DKL tidak mendapatkan anggaran serupiah pun. Pengajuan proposal untuk kegiatan juga sangat sulit membuahkan hasil yang membahagiakan. Apalagi Provinsi Lampung sempat mendapat “transfer’ pejabat dari Depatrtemen Dalam Negeri, makin lengkaplah “jamu brotowali” yang diminum DKL.

DKL juga pernah bernasib “malang”, yaitu tatkala Bappenas mengucurkan anggaranbagi DK se Indonesia, anggaran untuk DKL yang masuk liwat pintu Pemprov Lampung, dianggap sebagai “sumbangan” pemerintah pusat kepada kegiatan kesenian di Lampung yang dikelola Dinas Pendidikan yang saat itu dijabat oleh Wirdati Ali. Para pengurs DKL berulangkali menemui Kepala Disdik Wirdati Ali, namun jawabannya selalu nihil. Padahal, anggaran yang dikucurkan Bappenas berkat lobi Ketua DKJ Salim Said dengan putri sulung Soeharto yakni Mmbak Tutut. Ternyata “nasib malang” DKL ini juga dirasakan oleh sejumlah DK lain di Tanah Air.

Lalu dua periode Indra Bangsawan menjabat ketua umum DKL, meski banyak kemajuan, tetap tak menggairahkan dalam soal anggaran. DKL belum masuk dalam mata anggaran khusus di APBD Provinsi Lampung, kecuali dalam bentuk bantuan rutin. Padahal kala itu Indra Bangsawan menjabat Asisten Sekprov Lampung. Tentu bukan kesalahan ini ditimpakan ke bahu Indra Bangsawan. Melainkan ketidakpedulian eksekutif dan legislatif bagi kemajuan kesenian di Lampung. DKL belum dilirik penuh oleh pemerintah. Melalui bebagai LSM yang ada saat berunjukrasa di DPRD, suara DKL terus digelorakan di hadapan anggota Dewan. Orasi seniman yang “menyusup” ke berbagai LSM yang berunjukrasa, mengingatkan Dewan bahwa DKL punya hak hidup dan dihidupi yakni dengan mengucurkan anggaran di APBD.


Selain itu, DKL juga menggelar diskusi setiap Sabtu di sekrrteriat. Diskusi ini yang berakhir mendatangkan anggota DPRD Provinsi Lampung Cladius Dalu Maran, tak lebih hanya untuk menyuarakan bahwa Dewan perlu peduli atas nasib DKL yang sempat anggarannya nol rupiah. Dari hasil diskusi-diskusi tersebut, DKL beraudiens dengan anggota Dewan dari Komisi C.

Setelah periode Indra Bangsawan, para seniman yang bermusyawarah “mendapuk” Sekretaris Pemprov Lampung Herwan Achmad sebagai ketua umum DKL untuk periode 2000-2005. Sementara itu Ketua Harian dipercayakan kepada Syaiful Irba Tanpaka, dan Sekretaris Umum dijabat Hari Jayaningrat. Tiga sekawan Herwan-Syaiful-Hari pada tahun pertama juga kembali tidak mendapatkan anggaran. Padahal asumsinya kala itu, selain dari anggaran rutin juga dana DKL dititip di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Baru tahun anggaran berikutnya bisa terwujud.

Pada tahun-tahun ini DKL mulai banyak kegiatan. Ada diskusi tiap sepekan sekali yang didanai Disdik Lampung, selain gelar Lampung Arts Festival (LAF) yang mana dana itu dititipkan di Disdik Lampung. Begitu pula gagasan Krakatau Award masuk dalam agenda LAF. Selanjutnya Kongres Cerpen Indonesia ke 3 digelar di provinsi ini. Temu koreografer se-Indonesia juga bisa dilaksanakan DKL. Periode Hrwan Achmad, Komite Tradisi kembali dikukuhkan. Hal ini guna mengaktualisasikan dan mengkatalisasikan seni tradisi yang ada.

Begitu pula struktur DKL makin “digendutkan”, yakni diberdayakannya Badan Pembina DKL. BP ini di isi para tokoh dan seniman senior. Salah satu BP-nya adalah Syafariah Widianti (Atu Ayi), kakak kandung Sjachroedin ZP.

Terpilihnya Atu Ayi sebagai ketua umum, ketika jabatan itu ditinggal Herwan Achmad yang meninggal dunia sebelum jabatan periode kedua masih berjalan. Musyawarah Luar Biasa (Muslub) Seniman untuk mengganti jabatan Herwan Achmad digelar di Gedung Pusiban pada 2005 yang kemudian mengembalikan lagi Hari Jayaningrat sebagai sekretaris umum yang sebelumnya dijabat Ucok Hutasuhut dari hasil Musyawarah Seniman di Wisma Pertiwi Pahoman tahun 2004.

Di bawah kepemimpinan Atu Ayi yang notabene ayunda Gubernur Lampung Sjachroedin ZP barulah tampak para seniman diwongke, meski secara nominal yang dianggarkan ungtuk DKL masih jauh untuk banyak kegiatan yang diimpikan para seniman. Secara pribadi SZP punya perhatian pada DKL, sebagaimana ia sangat tinggi memperhatikan masyarakat adat/tradisi seperti adanya MPAL (Masyarakat Penyiambang Adat Lampung), namun yang dinanti para seniman ialah strategi pembangunan kesenian di daerah ini. Sehingga kesenian bukan ansich sebagai tradisi dan lebih spisifik adalah tari, melainkan regulasi. Dengan adanya kebijakan yang strategis terhadap kesenian, maka otomatis anggaran yang memadai akan mengikutinya.

Pengaruh Politik

Selain itu, dengan strategi kebudayaan itu maka apa pun yang terjadi di ranah politik diharapkan tidak berimbas kepada dunia kesenian. Sebab selama ini, peran politik sangat besar memengruhi lini-lini lainnya: ekonomi, sosial, maupun kebudayaan. Hal ini juga dialami DKL.

Ketika Herwan Achmad, ketua umum DKL, masuki ranah politik dengan mendaftarkan diri dalam Pilkada Provinsi Lampung maka peta kesenian—terutama DKL—terasa berubah. Sebagai ketua umu, sejumlah seniman Lampung membuat pernyataan dukungan kepada Herwan Achmad menjadi gubernur. Herwan bersaing dengan atasan sendiri, Gubernur Lampung Oemarsono.

Herwan yang masa itu adalah Sekprov gagal dalam pemilihan gubernur yang dipilih DPRD, begitu pula Oemarsono yang incumbent. Tetapi imbasnya bukan sebatas di ruang Dewan, tetapi kemudian sejumlah dana DKL di APBD ikut “dicekal” Oemarsono. Begitu pula sebelum Oe—panggilan akrab gubernur—meninggalkan gedung Pemprov Lampung, dana DKL dipangkas separuh lebih dari tahun sebelumnya. Para pengurus DKL beraudiens dengan anggota Dewan, dan bertemu dengan para wakil rakyat seperti di antaranya Abdul Hakim, Cladius, Eddy Irawan. Pertemuan tersebut untuk “mengingatkan” anggota Dewan, terutama panitia anggaran, agar memasukkan lagi DKL di dalam APBD.

Perjuangan melelahkan. Alzier Dianis Thabranie yang memenangkan pemilihan gubernur bersi Dewan itu tak juga dilantik oleh Presiden Megawati. Bahkan Depdagri mentransfer pejabatnya yakni Tursandi untuk pelaksana tugas (Plt) Gubernur Lampung. Politik seperti virus yang mampu mengganggu seluruh organ tubuh yang ada. Dan DKL ikut menjadi “bulan-bulanan” oleh politik.

Betapa tidak? Tatkala Sjachroedin ZP yang dipilih DPRD menjadi gubernur bersama Syamsurya Ryacudu sebagai wakilnya, kembali berlaga dalam Pilkada langsung dia harus meninggalkan jabatannya. Syamsurya menjadi orang nomor satu di Provinsi Lampung setelah ditinggal Sjachroedin.

Selama hampir dua tahun dari rencana pelaksanaan pilkada hingga Sjachroedin ZP kembali dilantik sebagai gubernur, terasa “diskriminatif” pemprov atas DKL. Harmonisasi hubungan Sjachroedin-Syamsurya yang memang terasa retak semenjak keduanya sebagai gubernur dan wakil, semakin “terang-terangan” setelah keduanya berpisah. Gesekan politik hasil pilkada itu, tak bisa tidak juga dirasakan oleh DKL. Apalagi dimaklumi bahwa ketua umum DKL adalah Sjafariah Widianti yang notabene ayunda Sjahroedin ZP. “Kita harus sabar dan mengetatkan ikat pinggang, sampai matahari benar-benar bersinar esok bagi DKL,” ujar Atu Ayi setiap ada keluhan pengurus DKL mengenai anggaran dan program yang harus terbengkalai.

Tentu semasa Syamsurya Ryacudu menjabat gubernur, bukan berarti DKL kehilangan anggaran sama sekali. Akan tetapi, Syam yang melanjutkan periode Sjachroedin juga hanya meneruskan APBD yang ada. Cuma untuk anggaran DKL yang masuk dalam mata anggaran bantuan rutin, rutin pula program DKL yang ditunda. Termasuk pengajuan permintaan anggaran tiap triwulan, tak sepenuhnya disetujui.

Paragraf ini sengaja dimasukkan tentu saja punya alasan. Para seniman di daerah mana pun menginginkan masalah politik, tidak lantas berpengaruh terhadap kehidupan berkesenian. Suhu politik boleh saja memanas, namun tidak sertamerta merembet ke bidang-bidang lain termasuk kesenian. Gonjang-ganjing peprolitikan tidak pula mengakibatkan goyangnya dunia kesenian atau seniman. Ini pula yang pernah digagas Dirjen Kebudayaan Depdiknas dengan mempertemukan para seniman dan budayawan se Sumatera di Pangkalpinang Kepulauwan Riau semasa BJ Habibie menjadi presiden. Para seniman dan budayawan kala itu sepakat untuk mendesak pemerintah pusat agar gonjang-ganjing politik di Tanah Air tidak terimbas bagi kehidupan kesenian.

Kesimpulannya, siapa pun pemimpin di negeri ini maka renstra (rencana strategi) tentang kesenian (kebudayaan) tidak boleh dimatikan. Begitu pula siapa pun dan dari golongan mana pun yang menjadi gubernur atau bupati/wali kota, kehidupan kesenian harus tetap diperhatikan oleh pemerintah. Hal sama bagi anggota Dewan yang diakui sangat berperan untuk “mencoret atau menyetujui” anggaran setiap tahun. Karena kebudayaan (kesenian) adalah bagian dari nafas setiap manusia, betapa pun ia adalah eksekutif maupun legislatif. Dan paling penting, karya seni bisa lahir tanpa anggaran namun apresiasi dan memasyarakatkan kesenian tentu tak bisa lepas dari tumpuan dana.

Sementara politik sifatnya sementara—dan bertumpu pada kepentingan sesaat, sedangkan kesenian kekal dan universal. Maka tak ada alasan apabila kesenian menjadi rapuh saat berhadapan dengan politik. Politik mungkin boleh jadi panglima di negeri ini, akan tetapi kesenian hendaknya diyakini jadi mahkota kehidupan ini. Sehingga ke depan, betapapun kursi gubernur berganti-ganti pemiliknya, maka kebijakan bagi pengembangan dan kemajuan kesenian tidak akan berubah. 

Analogi yang sudah begitu mengental: jika politik bengkok maka puisi (seni) yang meluruskan, semestinya masih menjadi relevan di saat politik kala ini nyaris memuruk dan memorakporandakan hampir semua tatanan kehidupan manusia (sosial, ekonomi, bahkan kebudayaan). Karena itu, ke masa datang, betapa pun atau siapa pun yang memimpin negeri ini dan mengepalai daerah ini, kehidupan kesenian tidak terimbas oleh hal-hal politik tersebut.

Karena kesenian adalah “ruh” setiap insan. Tiada manusia di muka bumi ini yang tak memerlukan atau tanpa kesenian, seyogyanya kesinambungan kesenian hendaknya tetap dijaga dan dihidupkan. Dan, untuk “menghidupkan” kesenian, tak bisa mengelak dari urusan anggaran. Kesenian yang “menjaga” keseimbangan hidup ini, juga memerlukan anggaran agar tetap eksis, stabil, dan—tentunya—harus tetap kritis. Betapa pun dianggap kecil, barangkali, kesenian memunyai peran bagi pembangunan bangsa. Terutama dalam hal spirit dan nilai-nilai.

Itulah kenapa tokoh-tokoh negara di dunia, nyaris amat dekat—dan bahkan langsung bersentuhan—dengan kesenian. Dari John F Kennedy, Soekarno, hingga Barack Obama: mereka adalah “pecandu” pada karya seni. Obama, ternyata, telah menulis sejumlah puisi. Sedangkan John F Kennedy, telah melempar statemen: “kalau politik bengkok, puisi yang meluruskan”. Dan, Soekarno kita tahu bagaimana ia sangat dekat dan penikmat paling baik terhadap seni.


 * Tulisan ini merupakan sebagian dari 'calon buku' sejarah Dewan Kesenian Lampung

0 on: "Merintis DKL: Membangun Rumah bagi Seniman Lampung*"