Selasa, 30 Desember 2014

Refleksi Akhir Tahun dan Mengingat Sitor Situmorang

Refleksi Akhir Tahun oleh Iswadi Pratama
oleh Alexander GB
Berlatar daun dan bunga kamboja, remang lampu, bangku panjang, sebuah foto dengan mata yang masih menyala, yang seolah ingin memberi tanda semangat yang tak turut padam dari Opung yang telah berpulang dalam dekapan kasih Tuhan--yang kini bergema lewat sajak-sajaknya. Diinisiasi Komite Sastra DKL dan UKMBS Unila, sejumlah sastrawan Lampung membacakan sajak-sajak Sitor Situmorang di Graha Mahasiswa lantai 1 Unila (26/12).  Sekadar mengingat, sekadar takziah, sekadar melantunkan doa-doa sederhana dari generasi yang kini telah ditinggalkannya.

Dimulai dengan mengheningkan cipta sejenak, mendengarkan riwayat singkat Opung Sitor yang dibacakan oleh MC, diikuti pembacaan sajak Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, M Arman Az, Syaiful Irba Tampaka, Enthus Al-rafi, Iin Mutmainah, Fitri Yani, Fitri Ana, Dina Amalia Susamto, Yulizar Fadli, Edi Samudera Kertagama, Nada, Rarai, Nevia Setiana-perwakilan UKMBS Unila, Sando-perwakilan UKM - SBI IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Teater Mentari UM Metro, dan lain sebagainya.

Acara sederhana ini dilanjutkan dengan refleksi akhir tahun oleh salah satu sastrawan terkemuka Lampung, dengan sangat indah dan syarat makna dalam setiap kata-katanya, Iswadi menyapa hadirin dan sebuah malam di Tanjungkarang.

Iswadi Pratama membacakan pandangannya tentang Spritualitas dalam Seni. Menurutnya spiritualitas dalam seni akan terpenuhi jika kita mampu menjalani dan menjadikannya sebagai bakti, sebagai tugas, sebagai peran, yang perlu disadari, perlu dihayati dan dijalankan dengan segenap kesungguhan dan keiklasan.

Ia juga mengajak semua yang hadir untuk merenung sejenak, tentang hidup, tentang pelaku seni yang mesti menempuh jalan terjal karena tak dikehendaki oleh pemerintah sejak orba hingga sekarang, yang dihimpit sepi, dicibir ekonomi, dipinggirkan secara sosial, diserang industri dan teknologi.

Pendiri dan Sutradara Teater Satu itu juga mengajak yang hadir pada malam Mengingat Sitor untuk meninggalkan kepongahan, meninggalkan sikap mata gelap pada pengetahuan, pada sikap sembarang dalam berkesenian. Dan akhirnya ia menutup dengan sebuah ujaran, hidup yang tak bisa direfleksikan tak pantas dijalani.

Ya, Jumat malam selepas isya,  di bawah langit Tanjungkarang yang disesaki awan kelabu itu, sajak-sajak Opung Sitor telah digemakan, tawasuf seni melalui refleksi akhir tahun pun telah dibacakan. Saatnya kembali pada diri masing-masing, untuk melihat apa yang telah kita lakukan, proses yang sudah dijalani.

Sudah tepatkan proses yang sedang kita lakukan ini? Sudah benarkan jalan yang kita tempuh ini, sudah layakkah kita disebut sebagai manusia, sebagai halifah di bumi yang mestinya tak henti menyuarakan kebenaran, menyuarakan cinta kasih, mengendepankan kepentingan bersama di banding kepentingan segelintir orang apalagi hanya melulu eksistensi pribadi.

Hanya kita yang tahu, sekarang kita bermuslihat atau sebaliknya.

Iswadi Pratama melalui refleksi akhir tahun yang dibacakannya itu benar-benar telah membuka mata lahir dan batin kita, telah menyalakan satu lilin di gelapnya peradaban Lampung dan Indonesia. Telah memperjelas yang semula kabur, telah menegur yang semula nglantur, telah menunjukkan jalan bagi yang sempat tersesat, telah membangunkan bagi yang semula masih tertidur.

Semoga Malam Mengingat Sitor adalah juga malam mengingat dan kembali pada diri kita yang kerap kita abaikan, kembali mengingat bahwa wajah kita masih penuh coreng moreng ini, kembali mengingatkan bahwa kita mestinya masih memiliki nurani dan cita-cita yang layak diperjuangkan.

Refleksi Iswadi Pratama, tampak begitu sederhana, bersahaja, namun begitu dalam menukik ke palung-palung jiwa dan syarat makna. Sesungguhnya banyak air bening mestinya berjatuhan di sana, saat itu, mungkin. Kita menjadi telanjang, menjadi pejalan yang kehilangan peta, menjadi penempuh yang kerap hilang iman, atau menjadi manusia yang kehilangan kewaspadaan atau kesadarannya.

Pada penutupnya Iswadi Pratama kembali mengingatkan, bakti sebagai segala sesuatu yang menimbulkan ketenangan dan hati dan jiwa kita. Sebagaimana penggalan tegur sapa beliau jumat malam itu:
.....
Bisakah kesenian kita beranjak sedikit demi sedikit hingga mencapai kualitas bakti? Ia disebut "bakti" karena dilakukan untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang lebih besar dan tinggi dari dirinya dan tindakan itu sendiri.

Mampukah kita perlahan-lahan beringsut dari posisi kita seabagai pesaklitan menjadi manusia pecinta yang merubah batu menjadi peluru, pasir jadi permata, gombal jadi busana, ranting jadi senjata, kalibut jadi tata, bunyi jadi gema, luka jadi karya dan mempersembahkannya sebagai bakti bagi peradaban ini, kepada kehidupan, kepada sesama manusia, kepada Tuhan?

Sanggupkah sebentar saja kita bertahan dari rasa lapar dan kepayahan tanpa keluh kesah dan dengan tetap menghormati diri kita sendiri hingga Sang Tangan Kehidupan berkenan meraih dan mengangkat kita di mana setetes kesejatian ilmu dan hikmah mengaliri darah dan memperbaiki setiap bopeng kita?
(Spriritualitas dalam Seni, Iswadi Pratama),
........

Selamat jalan Opung. Semoga keberkahan dan Kasih Tuhan menyertaimu. Selamat merayakan Natal dan tahun Baru.

0 on: "Refleksi Akhir Tahun dan Mengingat Sitor Situmorang"