Sabtu, 03 Januari 2015

Dalam Jukstaposisi dan Lingkaran Nersalya Renata


Nersalya Renata


Mati

jika aku mati
apakah kau 
akan mengawetkanku 
dalam puisi

Nersalya Renata, Jakarta, 2008

Peluncuran dan Diskusi Buku Kumpulan Puisi
"Lima Gambar di Langit-langit Kamar"
karya Nersalya Renata

oleh Alexander GB
Hujan telah reda, jalanan dan udara masih basah ketika tim Warta Seni berkunjung ke sanggar Teater Satu. Tempat dilangsungkannya acara "Peluncuran dan Diskusi Buku Kumpulan Puisi Lima Gambar di Langit-langit Kamar karya Nersalya Renata (Echa), yang adalah juga isteri penyair kondang, Nur Zain Hae, pada hari Jumat, 2 Januari 2015.

Kami disambut personil muda Teater Satu yang ramah dan hangat, disuguhi segelas teh atau kopi, beberapa  kue, dan sebuah makalah Lingkaran Itu Bernama Puisi (Sebuah Catatan Pembacaan atas Kumpulan Puisi Lima Gambar di Langit-langit Kamar karya Nersalya Renata) yang di tulis kritikus sastra dari Lampung, Ahmad Yulden Erwin. Malam itu kami luput dari sergapan gigil di awal Januari.

Laras saat memandu acara

Disiram cahaya kebiruan, di antara beberapa kursi kayu, sebuah meja, tumpukan kayu, Laras (aktor Teater Satu) memandu jalannya acara, dan memberikan kesempatan kepada Echa, yang adalah juga personil Teater Satu untuk memberikan sebentuk kata pengantar atas karyanya, sedikit proses kreatif dan tentu saja ucapan terimakasih pada semua pihak yang telah mendorong hingga pada  peluncuran buku antologi puisinya ini.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Teater Satu ini dihadiri sejumlah seniman, antara lain Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung, Hary Djayaningrat, Dana E. Rahmat (KD, perupa), Joko Irianta (perupa), M.Yunus (Direktur KoAK Lampung), Aulia Prayogi, Daniel H.Ghanie, Liza Mutiara, Dodi, Ema Lutfiani,  Rahmat Saleh, Ulunk M.Rusdi (Rumah Seni Lampung), perwakilan dari Komunitas Berkat Yakin (KoBER),  Teater Jabal Pagelaran-Tanggamus, UKMBS UNILA, UKM-KSS FKIP Unila, Sanggar Kuntara Bandarlampung, Pak Edi dari SMAN 2 Negeri Katon-Pesawaran.Sejumlah sastrawan.seperti Ari Pahala Hutabarat, Udo Z Karzi (Redaktur Seni dan Budaya SKH Lampung Post), Inggit Putria Marga, Fitri Yani, Agit Yogi Subandi, dan undangan lainnya.  

Usai beberapa seremoni, giliran Rarai Masae membacakan salah satu sajak Echa, lalu disusul Inggit Putria Marga, Fitri Yani, Imas Sobariah, beberapa musikalisasi puisi dari personil Teater Satu Lampung, dan tentu saja, penyair kita yang kini tinggal di Jakarta, Nersalya Renata.

Acara kemudian berlanjut pada diskusi, dimoderatori Iswadi Pratama (Penyair/Sutradara Teater Satu), Ahmad Yulden Erwin yang didaulat sebagai pembahas pun kemudian memaparkan hasil telisiknya. Mata peserta pun kemudian beralih, dari panggung beracahaya kebiruan ke 14 halaman makalah yang dibuat Ahmad Yulden Erwin, yang telah digandakan dan berada di tangan atau meja mereka masing-masing.

Dalam makalah tersaebut, AYE mengulas beberapa sajak-sajak Echa, tentang Jukstaposisi (penyandingan dua hal yang saling bertentangan), tentang aspek visual yang di tawarkan dalam buku kumpulan ini. Termasuk membahas posisi pengarang dalam konteks feminisme, kedalaman tema, teknik dalam mengungkapkan gagasan berdasarkan diksi dan sikap pengarang terhadap suatu persoalan.

Karya-karya Nersalya Renata, menurut Ahmad Yulden Erwin, bergerak dalam ars poitica  yang diusung oleh Ezra Pound. Tekanan pada aspek visual (bukan berarti aspek irama diabaikan), membuat puisi Nersalya Renata terasa lebih cair, lebih prosais, tetapi juga menjadi lebih akrab. Jarak atau "pengasingan" dalam bahasa, sebagai pembeda antara bahasa sastra dan noinsastra, tidak diciptakan berdasarkan irama, melainkan melalui juksta posisi. Diksi yang dipilih menjadi akrab, bisa jadi "sehari-hari", namun makna yang dihasilkan dengan teknik jukstaposisi, juga presisi dalam memilih metafora dan imaji atau simbol visual, telah membuat puisinya berada pada situasi ambang, situasi batas yang memungkinkan batin pembaca mengalami transendensi untuk keluar dari "ruang rutin" itu, ruang yang memfragmentasi kehidupan manusia menjadi sekadar benda, menjadi sekadar rumah yang selalu ditinggalkan dan dimasuki kembali itu.

Lima Gambar di Langit-langit Kamar

Gambar 1
seorang lelaki dengan hati yang berisi 3 kuntum
mawar: mawar putih, anggrek bulan ungu, dan
krisan kuning.

Gambar 2
ibu mencium seekor katalk yang takkan pernah
berubah menjadi pangeran

Gambar 3
sebuah kanvas kosong

Gambar 4
seorang perempuan yang terus menerus berbicara
dalam kepala seorang laki-laki

gambar 5
mayat seorang perempuan
dengan selembar pesan di tangan:
aku tak butuh puisi-puisi dan cintamu yang fiksi

Jakarta, 2008

Membaca sajak ini, juga sajak-sajak lainnya, barangkali kita akan bersepakat dengan AJ Erwin bahwa bahasa puisi yang dihadirkan Nersalya Renata ini memang sederhana, jauh dari segala macam alkimia linguistik yang seringkali dihadirkan oleh para penyair kontemporer Indonesia. Namun, gema dalam ruang renung dan haru seperti tak habis-habis, untuik merasakan rasa perih dan haru terus menerus.

Meski tetap saja medan pemaknaan setiap orang akan berbeda-beda, bergantung pengalaman dan wawasan, dan mungkin juga bergantung pada selera, yang boleh berbeda, termasuk sudut pandang yang kita gunakan dalam memandang realitas, puisi dan lain sebagainya.

Iswadi Pratama, saat membacakan salah satu puisi Nersalya Renata

Dan pembacaan puisi oleh Iswadi Pratama dan Ahmad Yulden Erwin penjadi penanda diakhirinya acara, peserta bertepuk tangan, meberikan selamat dan foto bersama. Apresiasi yang tinggi dan ucapan selamat pada Nersalya Renata atas dedikasi dan kualitas karyanya ini.


Peluncuran dan diskusi buku, di Sanggar Teater Satu

Bersama Zen Hae (suami) dan  Fayla (buah hati)

0 on: "Dalam Jukstaposisi dan Lingkaran Nersalya Renata"