Iwan Nurdaya Djafar, Budayawan, Pendiri dan Dewan Pembina DKL |
Iwan Nurdaya-Djafar
Budayawan
DALAM waktu dekat Dewan Kesenian Lampung melaksanakan musyawarah seniman untuk memilih pengurus baru periode 2015—2019. Pada rapat pleno DKL 10 Januari lalu telah terbentuk panitia yang akan melaksanakan musyawarah tersebut. Menjelang musyawarah itu fokus perhatian galibnya hanya tertuju kepada calon ketua umum yang akan menggantikan Syafariah Widianti yang sudah menjabat selama dua periode.
Menurut saya, persoalannya jauh lebih besar daripada itu. Mencermati perkembangan prasarana dan sarana serta untuk mendukung kehidupan berkesenian yang layak di Lampung, diperlukan Pusat Kesenian Lampung yang meliputi DKL, Badan Pembina DKL, Badan Pengelola Gedung Kesenian DKL, dan Yayasan Kesenian Lampung.
Setakat kini, baru ada DKL dan Badan Pembina DKL. Pengurus DKL yang mestinya hanya bertugas menyusun program kesenian. Karena belum adanya Badan Pengelola Gedung Kesenian DKL, “terpaksa” juga harus melaksanakan program tersebut yang semestinya menjadi tugas dari Badan Pengelola Gedung Kesenian DKL. Dengan terbangunnya gedung kesenian di lingkungan PKOR Way Halim, perlu dibentuk badan pengelola gedung tersebut.
Badan ini di samping melaksanakan program yang disusun DKL, juga melaksanakan program seni pertunjukan di luar program DKL. Namun, mengingat pembangunan gedung kesenian belum rampung seratus persen, diharapkan Pemerintah Provinsi Lampung dapat merampungkannya dalam waktu dekat.
Untuk mendukung keuangan DKL, Badan Pembina DKL, dan Badan Pengelola Gedung Kesenian DKL, diperlukan Yayasan Kesenian Lampung. Sejauh ini, dua lembaga yang disebut pertama hanya mengandalkan anggaran dari Pemerintah Provinsi Lampung yang besarannya fluktuatif dari tahun ke tahun, namun bisa dipastikan jauh dari mencukupi.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, perlu dibentuk yayasan kesenian yang bertugas menggali dana dari sumber lain. Sesuai dengan tugasnya, pengurus yayasan kesenian mesti melibatkan para pengusaha yang cakap menggalang dana dan memiliki komitmen terhadap kemajuan kehidupan kesenian.
Ke depan, Badan Pembina DKL juga diharapkan dapat lebih progresif dengan menyusun program tersendiri, di samping tugas pembinaan terhadap pengurus DKL. Misalnya dengan memberikan penghargaan tahunan terhadap seniman berprestasi, secara berkala menyelenggarakan program orasi kebudayaan, menerjemahkan buku, menerbitkan buku kesenian dan/atau kebudayaan Lampung, dan jika perlu bertugas memilih pengurus DKL.
Tugas terakhir ini bukan suatu hal yang aneh jika kita merujuk kepada Akademi Jakarta yang bertugas memilih pengurus Dewan Kesenian Jakarta. Selama ini, pengurus DKL dipilih oleh tim formatur yang dibentuk secara dadakan pada saat musyawarah seniman oleh para peserta musyawarah. Kiranya hal ini dapat dipertimbangkan kembali seraya menimbang manfaat dan mudaratnya.
Musyawarah seniman memang terkesan demokratis, tetapi hasilnya belum tentu membuahkan orang yang tepat untuk sesuatu jabatan. Musyawarah juga relatif mahal dari segi biaya, menyita energi karena mesti membentuk panitia dan melaksanakan musyawarah dengan segala dinamikanya yang belum tentu produktif, dan bisa menimbulkan perpecahan di kalangan seniman serta rentan “masuk angin”. Persoalan akan menjadi jauh lebih sederhana, murah, dan bisa menghasilkan pengurus yang tepat jika pengurus DKL dipilih oleh Badan Pembina DKL.
Terhadap terma Badan Pembina DKL agaknya perlu diganti dengan terma Akademi Lampung. Terma “badan pembina” tidak khas untuk ranah kesenian dan lazimnya dipakai oleh orpol dan ormas. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk diganti dengan sebutan Akademi Lampung. Terma “akademi” (academy) dalam arti ‘kelompok orang yang memajukan kesusastraan, kesenian, dan ilmu pengetahuan’ setidaknya sudah terpakai sejak berdirinya Akademi Florensia yaitu lingkaran pemikir yang berkumpul di sekitar Marsilio Ficino antara tahun 1462—1494 di sebuah desa di Careggi. Kelompok ini merupakan pusat pengaruh intelektual dalam Renaisans Italia dengan aktivitas utamanya meliputi penerjemahan, studi, dan penafsiran ulang tulisan Platonik dan Neoplatonik.
Diilhami oleh Renaisans, pada abad ke-16 dan ke-17 Benua Eropa menyaksikan suatu peningkatan besar dari akademi-akademi estetika dan susastra, seperti Accademia degl' Intronati, Academi Vignaiuoli, atau Vinegrowers (1530), dan Accademia della Virtù (1538). Ini diikuti sebuah akademi baru di taman Orti atau Farnese. Di sana ada juga akademi-akademi Intrepidi (1560), Animosi (1576), Illuminati (1598); Notti Vaticane, atau Vatican Nights, Accademia di Diritto civile e canonico, Accademia Eustachiana, Accademia e Compagnia delle Arti del Disegno (1563).
Di samping itu, yang masih bertahan hingga abad ke-21 ini adalah Akademi Jakarta, Akademi Prancis, Akademi Swedia yang setiap tahun memberi Hadiah Nobel, Akademi Nasional (Colegio Nacional) yang merupakan akademi seni dan sains Meksiko yang sangat selektif yang didirikan pada 8 April 1943, Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) yang memberi Academy Award atau Piala Oscar sebagai penghargaan atas film paling terutama di Amerika Serikat.
Menariknya, keanggotaan sejumlah akademi di atas biasanya suatu komitmen seumur hidup meskipun bisa kehilangan di bawah kondisi-kondisi tertentu. Ini berlaku untuk Akademi Prancis, Akademi Jakarta, dan Colegio Nacional Meksiko.
Untuk menuju Pusat Kesenian Lampung sebagaimana terperikan di atas, tentu saja tidak akan rampung pada forum musyawarah seniman DKL. Namun, diharapkan dapat dipertimbangkan sebagai rekomendasi musyawarah tersebut guna ditindaklanjuti pada pascamusyawarah.
Opini | Lampung Post, Senin, 19 Januari 2015 |
0 on: "Menuju Pusat Kesenian Lampung"