Selasa, 20 Januari 2015

Musda DKL 2015 dan Masa Depan Seni Kita

Ini Pai Mei, bukan siapa-siapanya robert koplak
wawancara eksklusif
bersama Robert Koplak (seniman gadungan, yang merasa pemikir)

oleh tim warta seni

Bang Iwan Nurdaya Djafar, budayawan Lampung, sastrawan, dewan pembina dan pendiri Dewan Kesenian Lampung baru-baru ini menulis, bahwa dalam waktu dekat Dewan Kesenian Lampung melaksanakan musyawarah seniman untuk memilih pengurus baru periode 2015—2019. Pada rapat pleno DKL 10 Januari lalu telah terbentuk panitia yang akan melaksanakan musyawarah tersebut. Menjelang musyawarah itu fokus perhatian galibnya hanya tertuju kepada calon ketua umum yang akan menggantikan Syafariah Widianti yang sudah menjabat selama dua periode. Termasuk Ketua Harian dan pengurusnya.

Maka ada baiknya, tim warta seni, untuk meminta saran, pandangan-pandangan, dari salah satu seniman gadungan yang meski koplak tapi kadang punya ide-ide segar juga. Dibilang seniman ya seniman, dibilang bukan ya bukan. Tapi dia merasa seniman, meski karyanya meski bertahun-tahun kami selidiki, kami tak menemukan bukti apa pun. foto, pemberitaan, tidak ada. Tapi mungkin ada baiknya berbincang dengannya. Meski harus menempuh dua hari perjalanan untuk sampai ke persinggahannya, di Bukit Jika.

Setelah melewati 124 undakan, menembus hutan pakis dan padang alang-alang, akhirnya sampai juga di tempat narasumber kita tercinta, Robert Koplak. Meski sedikit hawatir, cuaca sedang memburuk, awan menggantung, berarak dan bergandengan seperti sepasang kekasih di taman-taman kota itu. Maka, dengan menepis rasa cemas itu kami melanjutkan langkah, mengabaikan angin yang terus menderu, kabut yang tak juga beringsut dari pucuk-puck rumput atau pohonan di sepanjang jalan yang kami lewati. Semakin dekat,  jalanan setapak itu semakin terjal, yang terkadang licin dan berbahaya, maka harus ekstra hati-hati meniti jembatan gantung menuju persinggahannya, tempat seniman gadungan kita, yang biasa ngomong semaunya, lompat sana, lompat sini, yang tanpa rujukan teori itu, hingga kerap lupa topik yang diperbincangkannya sendiri.

Ia merasa merasa tahu segala hal, dari soal dupa, jenis-jenis buinga, tanaman hias   hingga rancangan bangunan gaya post-modern. kadang ia ingin diskusi soal filsafat, ilmu sosial, psikologi, culture study, dia selalu merasa tahu. Padahal kalau ada orang pinter, yang bener-bener mengejar pemahamannya, bisa jadi ia kelabakan. Meski begitu, dia tetap sok tahu. Kadang berbincang tentang kuda lumping, perkembangan senirupa, opera, hingga film. Dia kadang sok mengulas tentang akting, dari stanislavski, grotowski, butoh, dan lain sebagainya. Termasuk soal pengelolaan sanggar seni yang amatir sampai menajemen paling modern,.ia merasa tahu.. 

Tentang jembatan itu, memang sedikit aneh, dan boleh percaya atau tidak, jika pikiran sedang tidak menentu, maka jembatan bambu dan akar pohon, yang panjangnya tak sampai 50 meter itu akan bergoyang hebat, seolah-olah hendak melempar kita ke jurang tak berdasar yang tak menjanjikan apa-apa kecuali sekumpulan hati yang patah, atau terkapar diantara onggokan kesedihan. Ia menyebutkan jembatan sesuai dengan suasana hati.

Tapi jika hati sedang bahagia, serasa ada pelangi yang melingkupi jembatan itu, lengkap dengan warna langit yang kemerahan, butir-butir gerimis yang disiram cahaya keemasan, dan bunga-bunga seolah bermekaran, diselingi kicau burung dan kepak kupu-kupu.

Segelas kopi dan beberapa potong gula merah yang dipotong kecil-kecil, singkong rebus yang masih menguap, dan sepertinya baru diangkat dari kukusan, kami mulai ngobrol, ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, hingga sampai sudut-sudut yang biasa tak terjamah dalam berbagai perbincangan.

Sambil mengisap rokok kreteknya, mengunyah singkong rebus, yang mungkin saja lupa, sebab sejak tadi ia tak kunjung menawarkan, sehingga kami enggan untuk menyentuh, padahal perut rasanya lapar juga. Tapi, seperti yang kami duga, meski mungkin ia tahu, ia tetap membiarkan, hingga air liur kami sesekali berjatuhan. ia tersenyum, dan mempersilahkan kami meneguk kopi dan singkong rebus, yang entah gimana caranya tetap hangat, meski sudah lebih satu jam didiamkan.

Kami pun makan singkong rebus ditemani kopi dan potongan-potongan gula merah. Rasanya enak sekali. Kami menikmatinya, sangat menikmatinya. Hingga lupa, bahwa kami datang untuk wawancara tentang Musda DKl yang sebentar lagi akan dihelat itu. Ketika membuka beberapa catatan pertanyaan yang telah kami siapkan, karena perut yang ternyata kekenyangan, kami mulai menguap, kantuk menyerang dengan dahsyatnya. Dan akhirnya tertidur,dan mungkin begitu lama, sebab ketika terbangun, Robert Koplak sudah tidak ada di tempatnya.

Akibatnya, wawancara Ekslusif tentang Musda DKL 2015 dan Masa Depan Seni kita dengan Robert Koplak berantakan. Dan kami harus menunggu dia pulang. Bisa satu hari,  dua hari, seminggu atau lebih lama dari itu. Entahlah.   

0 on: "Musda DKL 2015 dan Masa Depan Seni Kita"