Featured Posts

Rabu, 08 Juli 2015

Aprilani Yustin Ficardo Jadi Nakhoda Baru DKL

- Tidak ada komentar
BANDARLAMPUNG-- Istri Gubernur Lampung, Aprilani Yustin Ficardo, secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) 2015-2019 dalam Musyawarah VII DKL di Balai Keratun Pemprov Lampung, Senin (6/7/2015).

Yustin dipercaya para seniman Lampung menggantikan Ny. Syafariah Widianti yang sudah kali menjabat sebagai Ketua Umum DKL. Terpilihnya Yustin juga tidak lepas dari keinginan Atu Ayi, sapaan akrab Syafariah Widianti, yang menginginkan agar DKL dipimpin oleh sosok muda yang bisa mengakomodasi kepentingan para seniman dan Pemrov Lampung untuk memajukan kesenian di Lampung.

Karena terpilih sebagai formatur tunggal, istri Gubernur Lampung Ridho Ficardo dipercaya untuk membentuk kepengurusan DKL. Ia diberi hak untuk menentukan nama-nama pengurus yang akan duduk di DKL.

Penyerahan tampuk pimpinan baru DKL ditandai dengan penyerahan pataka DKL kepada Aprilani Yustin Ficardo oleh pimpinan sidang Muswayarah DKL, Hermansyah GA.

Mendapat kepercayaan sebagai Ketua Umum DKL, dalam sambutannya Yustin mengaku terhormat karena baru pertama kalinya berada di tengah-tengah para seniman Lampung dan langsung dipercaya menjadi organisasi seniman.

Yustin mengaku, ia akan berusaha menjalankan amanah para seniman dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, ia berharap para seniman di Lampung mendukung dirinya untuk bekerja secara bersama-sama memajukan seni di Lampung sehingga lebih memiliki greget.

“Sebab majunya pembangunan tidak hanya merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah saja, akan tetapi menjadi tanggungjawab kita bersama, tanpa terkecuali para pelaku seni,” ujarnya.

Yustin berharap, pada masa mendatang  DKL akan melahirkan melahirkan ide atau  gagasan untuk menumbuhkembangkan etos kerja yang harmonis, sinergis, dan koordinasi yang baik antara DKL dengan Pemerintah Daerah dalam menciptakan karya-karya yang baik di bidang kesenian menuju Provinsi Lampung yang maju dan sejahtera.

Terkait kepengurusan DKL yang akan dibentuknya, Yustin berjanji dalam waktu seminggu dirinya akan menyelesaikan tugas tersebut.

"Insya Allah saya akan memilih orang-orang yang pas dan bisa bekerja sama dengan baik sehingga membuat DKL dan kesenian di Lampung makin maju," katanya.

Meskipun berlangsung lancar, pelaksanaan Musyawarah DKL tidak lepas dari kritik. Beberapa kritik yang mengemuka antara lain terkait perubahan AD/ART dan keikutsertaan seniman dalam Musyawarah DKL.

Panji Utama, misalnya, tidak bisa ikut Musyawarah karena namanya tidak ada dalam daftar peserta. Padahal, menurut informasi dari Komite Sastra DKL, Panji merupakan nama yang direkomendasikan menjadi wakil Komite Sastra.

Sementara Dahta Gautama, seorang  penyair, tidak mau ikut Musyarah karena diharuskan mengisi biodata dan menyerahkan pas foto. Bagi Dahta, syarat seperti itu  berlebihan.


sumber: teraslampung.com

Jumat, 13 Maret 2015

Opera Melayu "Bulang Cahaya” Mendulang Sukses!

- Tidak ada komentar
Seminggu terakhir ini Opera melayu “Bulang Cahaya” persembahan Teater Selembayung menjadi perbincangan warga Pekanbaru. Melihat antusias warga yang datang menyaksikan pementasan teater melayu di Anjungan Seni Idrus Tintin ini bisa menjadi bukti . Hampir seluruh bangku penonton terisi penuh, bahkan hinggga di hari terakhir pemetasan.

Rasa penasaran mengajak warga untuk menyaksikan Opera Melayu “Bulang Cahaya” ini terbayar indah, lewat apiknya penata musik, properti hingga pakaian yang dikenakan pemain tampak mewah, khas pakaian raja-raja  pada zaman itu. Penonton pun dibawa kedalam suasana kerajaan melayu lewat dendangan musik melayu yang didukung dengan gerak tari serta efek video dan diperkuat oleh 17 pemain teater berkarakter.

Rabu, 11 Maret 2015

Database Teater (Bagian 3)

- Tidak ada komentar
Ruth Marini
Ruth Marini (Performer)
Lahir di BandarLampung 18 agustus 1984.Alumni jurusan Biologi FMIPA Unila. Sekarang bekerja sebagai ajudan guberur di pemprov Lampung. Mulai bergabung di Teater Satu sejak tahun 2000. Pertama kali bermain teater saat masih duduk di bangku SMA. Beberapa pertunjukan yang pernah dimainkannya: - Tahun 2000 sebagai aktor dipertunjukan Perempuan-perempuan kesepian karya frederico Garcia loorca,actor dipertunjukan Antigon karya Jean Anouilh di Taman budaya lampung dan Padang. Tahun 2001, sebagai actor dipertunjukan Si aruk dan sang pangeran, “NAK” karya Iswadi Pratama di taman budaya Lampung. Tahun 2003 Aktor dipertunjukan Nostalgia sebuah Kota karya Iswadi Pratama, Festival Teater alternative GKJ award. Aktor dipertunjukan “Di Langit Ada bintang karya Utuy Tatang Sontani.

Tahun 2004 Aktor dipertunjukan Nostalgia Sebuah Kota karya Iswadi Pratama di Teater Utan Kayu, The Japan Foundation Jakarta, Makasar, Bandung, Program Hibah Seni Yayasan Kelola. Tahun 2005 Aktor dipertunjukan Umang-Umang karya Arifin C Noer di Teater Studio TIM Jakarta. Tahun 2006 aktor dipertunjukan Nostalgia sebuah kota karya iswadi Pratama di Surabaya dan Teater Ruang Solo. Tahun 2007 Aktor untuk pertunjukan monolog wanci karya imas sobariah di teater utan kayu Jakarta. Dan Aktor pertunjukan Nyai Ontosoroh karya Faidza Marzuki adaptasi dari novel bumi manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Tahun 2008 menjadi pemusik untuk pertunjukan monolog Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi di Teater Salihara Jakarta.  Tahun 2009 aktor dipertunjukan Aruk Gugat dan kisah-kisah Yang Mengingatkan karya Iswadi Pratama di Teater Salihara Jakarta, STSI bandung dan Taman Budaya lampung. Tahun 2010 Aktor dipertunjukan monolog Wanci karya Imas Sobariah di Lembaga Indonesia Prancis Yogyakarta. Tahun 2010 Aktor di Art Summit Indonesia dalam lakon Kisah-Kisah yang Mengingatkan, iswadi pratama di Taman Ismail Marzuki. Tahun 2011 menjadi actor pertunjukan Visa karya Goenawan Mohammad sutradara iswadi pratama di Salihara Jakarta - Tahun 2012 Aktor di pertunjukan KARNA karya Goenawan Mohammad Sutradra Iswadi Pratama dan Aktor pada pertunjukan Buried Child karya Sam Separd sutradara Iswadi Pratama di Salihara Jakarta. Death and the Maiden karya Ariel Dorfman sutradara Iswadi Pratama di Salihara Jakarta, Nyanyi Sunyi Kembang Genjer--Memaknai Sejarah Perempuan, dan masih banyak lagi lainnya.

Riffian A Chepy, Ketua Dewan Kesenian Metro
Riffian A Chepy
Memiliki nama lain Riffian Hadi, lahir di Bengkulu, 10 November 1972. Ia pernah bergabung dan menjadi Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung semasa mahasiswa. Bersama Teater Kurusetra UKMBS Unila pernah berperan sebagai aktor maupun sutradara, diantaranya: Berbiak Dalam Asbak (KNPI Prov Lampung-1992, dan Taman Budaya Lampung 1993), Geer karya PutuWijaya, AUM karya Putu Wijaya, Malam Jahanam karya Motinggo Busye, Aljabar karya Zak Sorga, dan masih banyak lagi lainnya.

Sebagai salah satu donatur pemikiran  Komunitas Berkat Yakin, pernah menjadi ketua Komite teater di Dewan Kesenian Lampung, dan sekarang menjadi Ketua Dewan Kesenian Metro. Selain sebagai deklamator (Pembaca Puisi) yang baik, ia juga pernah menghasilkan sejumlah karya dalam bentuk puisi, yang beberapa karyanya terhimpun dalam, Daun-Daun JatuhTunas-tunas Tumbuh, Dari Bumi Lada, Festival Penyair Lampung-Jung, Menikam Senja Membidik Cakrawala. 

Robby Akbar
Robby Akbar (Performer)


Sugi Jayen
Sugianto - Jayen (Performer/sutradara)
Lahir di Tanjung karang 30 maret 1981, lulus D3 Bahasa Inggris. Saat ini bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu SMA Negeri di Bandar Lampung.. Bergabung di Teater Satu sejak tahun 2005 melalui pertunjukan Nostalgia sebuah kota karya sutradara Iswadi Pratama diajang International Performing Art Market (IPAM) di Nusa Dua Bali. Selanjutnya terlibat rutin dalam pertunjukan: Umang-Umang karya Arifin C Noer di teater kecil TIM Jakarta (2005), Nostalgia sebuah kota karya iswadi Pratama di Surabaya dan Teater Ruang Solo (2006). pemusik pada monolog Wanci karya Imas Sobariah di Teater Utan Kayu Jakarta (2007). Nyai Ontosoroh karya Faidza Marzuki adaptasi dari novel bumi manusia karya Pramoedya Ananta Toer (2007), pemusik Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi di Teater Salihara Jakarta (2008), Aruk Gugat dan kisah-kisah Yang Mengingatkan karya Iswadi Pratama di Teater Salihara Jakarta, STSI bandung dan Taman Budaya Lampung (2009). Kisah-Kisah yang Mengingatkan pada Art Summit Indonesia 2010, di Taman Ismail Marzuki, Visa karya Goenawan Mohammad sutradara Iswadi Pratama di Salihara Jakarta, 2011.

Supriyanti


Vita Oktavianti

Vita Oktaviana (Performer)
Lahir di Gedong Tataan, 20 Oktober 1989. Alumni jurusan bahasa Inggris di Sekolah tinggi Tekhnokrat Lampung. Menjabat Bendahara di Teater Satu. Menjadi peserta Workshop Internasional Aktor Perempuan di Solo. Beberapa pengalaman berkeseniannya antara lain: Tahun 2007 Aktor dipertunjukan Nyai Ontosoroh karya Faidza Marzuki Adaptasi dari Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Tahun 2008 aktor pada parade monolog DKL dengan lakon Kenang-kenangan seorang Perempuan pemalu”. Tahun 2009 aktor dipertunjukan aruk gugat karya Iswadi pratama di Teater Salihara Jakarta, STSI bandung. Aktor dipertunjukan Kisah-Kisah Yang Mengingatkan karya Iswadi Pratama di Teater Salihara Jakarta dan Taman Budaya Lampung. Tahun 2010 menjadi Tim Artistik pada Festival Monolog dan Satu Drama Pendek Teater Satu Lampung di LIP Yogyakarta. - Tahun 2010 Aktor di Art Summit Indonesia dalam lakon Kisah-Kisah yang Mengingatkan, iswadi pratama di Taman Ismail Marzuki. Tahun 2011 menjadi actor pertunjukan Visa karya Goenawan Mohammad sutradara iswadi pratama di Salihara Jakarta. Tahun 2012 Aktor di pertunjukan KARNA karya Goenawan Mohammad Sutradra Iswadi Pratama dan Aktor pada pertunjukan Buried Child karya Sam Separd sutradara Iswadi Pratama di Salihara Jakarta. Death and the Maiden karya Ariel Dorfman sutradara Iswadi Pratama di Salihara Jakarta (2012), dll

Yelly Shinta Laras Utami
Yelly Shinta Laras Utami (Performer)
Dilahirkan di Tanjung Karang, 6 april 1991. Alumni jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di STKIP PGRI Lampung. Anak ke satu dari dua bersaudara ini sudah 6 tahun ini bergabung dengan teater satu. Berawal dari Liga Teater Pelajar yang diikutinya kemudian jatuh cinta dengan teater. Menjadi peserta Workshop Internasional Aktor Perempuan di Solo. Saat ini menjabat Kasir di program Kala Sumatera kerjasama Teater Sau dengan Hivos Belanda.Pengalaman berkeseniannya: Menjadi Juara Pertama festival Monolog dewan kesenian lampung dengan Pertunjukan “Bara Dihamparan Salju” Karya Oman Saadi. Aktor dipertunjukan Nyai Ontosoroh karya Faidza Marzuki Adaptasi dari Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.Aruk gugat karya Iswadi Pratama di Teater Salihara Jakarta, STSI Bandung (2009). Kisah-Kisah Yang Mengingatkan di Teater Salihara Jakarta dan Taman Budaya Lampung (2009). Bara Dihamparan Salju karya Oman Saadi di Lembaga Indonesi Perancis Yogyakarta (2010). Kisah-Kisah yang Mengingatkan, Art Summit Indonesia 2010 di Taman Ismail Marzuki, Visa karya Goenawan Mohammad sutradara iswadi pratama di Salihara Jakarta (2011. KARNA karya Goenawan Mohammad Sutradra Iswadi Pratama dan Aktor pada pertunjukan Buried Child karya Sam Separd sutradara Iswadi Pratama di Salihara Jakarta (2012), Death and the Maiden karya Ariel Dorfman sutradara Iswadi Pratama di Salihara Jakarta, dll

Yulizar Fadli
Yulizar Fadli (performer)
Lahir di Taman Cari, Pubolinggo, Lampung Timur, 24 Juli 1986. Ia alumnus program studi Bahasa Inggris FKIP Unila. Semasa kuliah ia bergabung dengan UKMF KSS (Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Kelompok Studi Seni) dan menjadi ketua divisi musik. Ia juga terlibat dalam garapan teater “Malam Jahanam” sebagai pemusik dan Petang di Taman (dipentaskan di Taman Budaya Lampung 2006) sebagai aktor. Tahun 2009, lewat lakon Hati yang Meracau karya Edgar Allan Poe, ia meraih juara 2 monolog Dewan Kesenian Lampung. Masih di tahun yang sama, ia pun diizinkan bergabung dengan Komunitas Berkat Yakin (KoBer) asuhan Ari Pahala Hutabarat untuk ikut garapan “Wu wei” yang dipentaskan keliling Sumatera (Taman Budaya Padang dan Bengkulu) dan Jawa (Salihara Jakarta) atas hibah seni dari Yayasan Kelola.

Ia juga pernah mengikuti workshop TDE (Theatre for Development and Education) "teater rakyat" di Taman Budaya Lampung, 10-16 Januari 2011. Beberapa lakon yang pernah ia mainkan: “Hati Yang Meracau” dalam project Teater Mikro 2011 dan dipentaskan di dalam maupun luar Bandar Lampung, “Dayang Rindu” Traveling Back to the Source, hibah dari Yayasan Kelola dan Kemendikbud, prosesnya memakan waktu nyaris sepenuh tahun 2012. Lakon tersebut dipentaskan beberapa kali di Taman Budaya Lampung, “Pada Suatu Hari” karya Arifin C. Noer dalam tajuk Kober Road to Campus (dalam proses itu ia ditunjuk sebagai sutradara), dan “Pinangan” karya Anton Chekhov yang dipentaskan di Museum Purbakala kerajaan Palembang dalam event Jaringan Teater Sumatera April 2014 dan pada 24 Mei 2014, “Pinangan” kembali dipentaskan di Unila dalam rangka ulang tahun KoBer.

Senin, 09 Maret 2015

ENAM KESESATAN BERPIKIR ORANG INDONESIA

- Tidak ada komentar
wikipedia.org

Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya

Mengapa bangsa kita sulit sekali untuk bergerak menjadi bangsa maju? Dalam arti ini, bangsa maju memiliki tiga ciri berikut, yakni kemakmuran ekonomis yang merata di seluruh warganya (kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin tipis), keadilan hukum dan jaminan atas hak-hak asasi bagi semua rakyat (lepas dari ras, suku, agama, ideologi, dan orientasi seksual), dan munculnya produk-produk dari bangsa tersebut, baik dalam bentuk barang ataupun jasa, yang berguna bagi banyak orang. Jika dilihat dari tiga indikator ini, maka jelas, bahwa bangsa Indonesia sama sekali belum bisa disebut sebagai bangsa maju.

Mengapa ini terjadi? Pada hemat saya, ini terjadi, karena kita mengalami kesesatan berpikir yang melanda berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Saya setidaknya menemukan enam kesesatan berpikir yang bisa dengan mudah ditemukan di dalam diri orang Indonesia pada umumnya, yakni cara berpikir teologis-mistik, kemalasan berproses/kultur instan, logika jongkok, konformisme kelompok, tidak taat perjanjian, dan bekerja setengah hati.

Kesesatan Berpikir

Orang Indonesia pada umumnya senang sekali melompat ke ranah teologis-mistik, ketika berusaha menjelaskan hidupnya. Ketika ada masalah, ia tidak mencari akar masalahnya terlebih dahulu, melainkan melompat untuk melihatnya sebagai bagian dari Kehendak Tuhan atas dirinya. Ini terjadi, menurut saya, karena kemalasan berpikir mandiri dan rasional sebagai manusia, sehingga melemparkan segalanya ke Tuhan. Ini adalah sikap kekanak-kanakan. Selama kita masih melihat segala sesuatu dengan kaca mata teologis-mistik semacam ini, kita tidak akan pernah berhasil melampaui masalah-masalah konkret kehidupan yang kita hadapi sehari-hari.

Orang Indonesia juga malas sekali menempuh proses. Mereka cenderung mencari cara yang cepat dan praktis untuk sampai pada tujuan-tujuannya, walaupun cara-cara itu seringkali bersifat koruptif. Kita juga suka langsung berbicara penerapan, sebelum kita sungguh-sungguh menguasai suatu ilmu ataupun teknologi yang ada. Yang kemudian terjadi adalah, dalam jangka pendek, kelihatannya semua baik-baik saja. Namun, haruslah juga diingat, bahwa segala hal yang dibangun dengan cepat dan instan selalu rapuh, dan mudah hancur, ketika diterpa badai masalah kehidupan.

Di sisi lain, logika orang Indonesia adalah logika jongkok. Dalam arti ini, logika dapat dipahami sebagai segala upaya untuk menjelaskan mengapa suatu hal terjadi. Logika jongkok berarti ketidakmampuan untuk membedakan mana sebab dan mana akibat, sulit berpikir runtut, tidak mampu membangun argumentasi yang memadai, dan akhirnya salah mengambil keputusan. Penyakit logika jongkok ini dengan mudah ditemukan, mulai dari keputusan-keputusan politis tingkat tinggi, sampai kehidupan sehari-hari yang terkait dengan keputusan-keputusan kecil dalam hidup.

Setengah Hati

Orang Indonesia juga amat peduli pada tekanan kelompok. Banyak tindakan dilakukan bukan atas dasar kesadaran diri, melainkan atas dasar “apa kata orang”, dan paksaan kelompok. Ketika diminta berpikir sendiri, dan membentuk pendapat pribadi, kita cenderung bingung. Tindakan yang lahir dari keterpaksaan hanya akan menghasilkan kekacauan di kemudian hari. Tak heran, banyak tindakan yang kita lakukan sehari-hari, karena didasarkan pada keterpaksaan, tidak memberikan dampak yang diinginkan. Yang terjadi kemudian adalah ketidakbahagiaan hidup.

Di sisi lain, orang Indonesia juga sulit sekali patuh pada peraturan dan perjanjian. Padahal, peraturan seringkali dibuat untuk keselamatan mereka sendiri, seperti misalnya peraturan lalu lintas, dan peraturan terkait kelestarian lingkungan. Namun, karena abai, mereka justru melanggarnya atas dasar alasan-alasan yang tidak masuk akal. Perjanjian yang telah dibuat pun seringkali dilanggar, juga karena alasan-alasan yang bodoh. Ketika banyak peraturan dan perjanjian dilanggar, ketika itu pula kehidupan bersama jadi kacau, karena banyak hal meleset dari tujuan.

Puncak dari semua ini, menurut saya, adalah tidak adanya kesungguhan hati di dalam menjalankan hidup. Banyak orang Indonesia tidak hidup sesuai dengan cinta dan passion-nya sebagai manusia, sehingga segalanya dilakukan dengan setengah hati. Bekerja tidak sungguh-sungguh. Bekerja tidak untuk mengembangkan diri dan dunia, melainkan semata untuk mengeruk keuntungan finansial belaka. Apapun yang dilakukan setengah hati hanya akan menyiksa diri, dan akhirnya akan menghasilkan hal-hal yang kualitasnya setengah pula.

“Enam kesesatan berpikir” ini saya peroleh dari pengalaman dan pengamatan saya, selama hidup dan bekerja dengan orang-orang Indonesia selama lebih dari 29 tahun ini. Kesesatan berpikir adalah sumber utama dari kesesatan tindakan, dan kesalahan dalam pembuatan kebijakan yang melanda berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini. Langkah pertama adalah dengan menyadari adanya kesesatan-kesesatan berpikir ini di dalam pelbagai perilaku orang Indonesia. Baru dengan begitu, kita bisa mulai mengubahnya.

sumber:
http://rumahfilsafat.com

Jumat, 06 Maret 2015

CARA MENULIS KREATIF

- Tidak ada komentar
Art by Tim John


Etgar Keret 

Cerita pertama yang ditulis Maya adalah tentang sebuah dunia di mana orang-orang punya kemampuan reproduksi dengan cara membelah tubuhnya sendiri. Di dalam dunia tersebut, setiap orang bisa membelah dirinya jadi dua kapanpun dia mau—dan hasil dari pembelahan itu adalah dua sosok manusia yang berusia separuh dari orang yang membelah dirinya sendiri tadi. Beberapa orang memutuskan untuk membelah diri mereka di usia muda; misalnya, seorang remaja berusia delapan belas tahun bisa membelah dirinya jadi dua orang anak-anak berusia sembilan tahun. Sementara tidak sedikit juga orang yang menunggu sampai mereka sudah mempunyai profesi dan keuangan mantap sebelum memutuskan untuk membelah diri mereka (biasanya di usia lima puluh tahun). Namun pahlawan wanita dalam cerita Maya adalah orang yang tidak bisa membelah dirinya sendiri. Wanita itu hidup sampai usia delapan puluh tahun dan, meskipun ditekan masyarakat, tetap memutuskan untuk tidak membelah dirinya sendiri. Di akhir cerita, wanita itu meninggal.

Cerita tersebut sebenarnya menarik, kecuali di bagian akhir. Ada sesuatu yang sedih tentang akhir cerita itu, pikir Aviad. Sedih dan mudah ditebak. Tetapi Maya—yang sedang mengikuti kelas menulis kreatif—justru mendulang banyak pujian dari teman-teman sekelasnya gara-gara caranya mengakhiri cerita tersebut. Aviad tidak pernah mendengar nama sang instruktur kelas yang katanya merupakan seorang penulis ternama. Menurut Maya, sang instruktur sangat menyukai ending yang ditulisnya, memuji pilihan adegan yang ia suguhkan sebagai sesuatu yang terkesan sepele, namun dalam. Entahlah, Aviad menganggap sang instruktur membual saja. Meski begitu, Aviad merasakan kebahagiaan Maya saat menceritakan soal pujian itu. Semangatnya meletup dan ia bercerita penuh detil, seraya mengulang perkataan sang instruktur layaknya orang yang sedang membawakan bacaan injil Alkitab. Aviad yang tadinya sempat mengusulkan agar Maya menggunakan ending yang berbeda untuk ceritanya, kini terpaksa menelan perkataannya sendiri dan berargumen bahwa semua itu tergantung selera, bahwa dia tidak banyak mengerti soal cara membaca fiksi.

Awalnya, Maya dianjurkan untuk mengikuti kelas menulis kreatif oleh ibunya. Menurut ibunya, salah seorang putri sahabatnya pernah mengikuti kelas yang sama dan sangat menikmatinya. Aviad juga mendorong Maya mengikuti kelas tersebut karena menurutnya Maya perlu lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan melakukan sesuatu yang ia nikmati. Aviad bisa mengubur dirinya sendiri dalam rutinitas pekerjaan, tapi Maya hampir tak pernah keluar rumah. Setiap kali Aviad pulang, ia selalu menemukan istrinya duduk terdiam di ruang tamu, di atas sofa dengan punggung tegak. Wanita itu tidak melakukan apa-apa, hanya tercenung. Tidak menonton televisi. Tidak membaca buku. Tidak juga menangis. Ketika Maya menyampaikan keraguannya tentang kursus menulis usulan ibunya, Aviad tahu cara membujuk istrinya. “Pergilah sekali saja, dicoba dulu,” katanya. “Sama seperti anak kecil yang coba-coba pergi mengikuti kegiatan berkemah.” Setelah itu, Aviad sadar betapa tidak pekanya dia karena telah menggunakan anak kecil sebagai contoh dalam kalimatnya, apalagi mengingat kejadian buruk yang harus mereka lalui dua bulan sebelumnya. Tapi Maya justru tersenyum dan berkata dia ingin sekali berkemah seperti anak kecil.

Cerita kedua yang ditulis Maya berkisah tentang sebuah dunia di mana penduduknya hanya bisa melihat orang-orang yang mereka cintai. Protagonis cerita tersebut adalah seorang laki-laki yang sangat mencintai istrinya. Suatu hari, sang istri berjalan ke arah laki-laki tersebut di koridor rumah mereka dan menabraknya begitu saja. Kaca yang sedang dipegang laki-laki itu kontan terjatuh dan pecah berkeping-keping di atas lantai. Beberapa hari kemudian, sang istri menduduki laki-laki itu ketika ia tengah tertidur di sofa. Sang istri beralasan bahwa ia tengah banyak pikiran dan karenanya tidak sadar bahwa laki-laki itu ada di sana. Namun laki-laki itu curiga bahwa istrinya tak lagi mencintainya. Untuk membuktikan teori tersebut, laki-laki itu memutuskan untuk melakukan sesuatu yang ekstrem: ia mencukur habis bagian kiri kumisnya. Maka suatu hari ia pulang ke rumah dengan kumis separuh tercukur seraya menjinjing seikat bunga anemone. Sang istri berterima kasih atas bunga yang telah dibawakan sambil tersenyum. Tetapi laki-laki itu bisa merasakan bagaimana sang istri berusaha mencekal udara di sekitar mereka hanya untuk memberikan sebuah kecupan. Maya memberi judul “Separuh Kumis” pada cerita itu, dan mengaku pada Aviad bahwa ketika dia membacakan cerita tersebut di depan kelas, beberapa teman sekelasnya ada yang menangis. “Wow,” kata Aviad seraya mengecup kening sang istri. Malam itu, mereka bertengkar tentang hal sepele. Maya lupa menyampaikan pesan kepadanya atau sesuatu yang sama sepelenya—dan Aviad membentaknya. Itu salahnya sendiri, memang. Dan Aviad juga pada akhirnya minta maaf. “Hari ini aku sangat stres di kantor,” aku Aviad sambil mengelus kaki sang istri, berusaha berbaikan. “Kau mau kan memaafkanku?” Maya memaafkannya.

Instruktur kursus menulis yang diikuti Maya telah menerbitkan sebuah novel dan kumpulan cerita pendek. Keduanya tidak terlalu populer, namun menuai beberapa ulasan yang cukup baik. Setidaknya, itu kata staf toko buku di dekat kantor Aviad. Novel yang ditulis sang instruktur sangat tebal, enam ratus dua puluh empat halaman. Aviad memutuskan untuk membeli buku kumpulan cerita pendeknya saja. Ia simpan buku itu di meja kerjanya dan berusaha untuk menyicil halaman demi halaman di dalamnya di waktu makan siang. Setiap cerita dalam buku tersebut mengambil lokasi setting di negara asing yang berbeda-beda. Dan tempat-tempat asing itu jadi semacam nilai jual untuk buku tersebut. Menurut teks di sampul belakang buku, penulis kumpulan cerita pendek itu punya pengalaman bekerja selama bertahun-tahun sebagai pemandu wisata di Kuba dan Afrika dan bahwa perjalanannya sangat memengaruhi tulisannya. Di sampul yang sama juga tercantum foto hitam-putih sang penulis—dengan senyum angkuh yang menunjukkan betapa bangganya dia terhadap diri sendiri. Maya bercerita pada Aviad bahwa sang penulis telah berjanji padanya bahwa begitu kursus berakhir, ia akan mengirimkan beberapa cerita pendek Maya ke editornya. Meskipun itu tidak berarti Maya harus berharap, namun banyak rumah penerbitan yang aktif mencari bakat-bakat baru.

Cerita ketiga yang ditulis Maya bermula dengan kejadian lucu. Cerita itu mengisahkan seorang wanita yang melahirkan seekor anak kucing. Pahlawan cerita itu adalah suami dari wanita tersebut, yang curiga bahwa anak kucing itu bukan keturunannya. Anak kucing itu berjenis kelamin laki-laki. Tubuhnya gembul dan ia selalu tidur di atas tutup tong sampah tepat di bawah jendela kamar pasangan suami-istri yang memeliharanya. Setiap kali sang suami menuruni tangga untuk membuang sampah, ia merasakan tatapan anak kucing itu yang sangat merendahkannya. Pada akhirnya, terjadilah sebuah persiteruan hebat antara sang suami dan si anak kucing. Sang suami melempar sebentuk batu kerikil ke arah si anak kucing, yang kemudian dibalas dengan serangkaian gigitan dan cakaran. Sang suami yang terluka, istrinya, serta si anak kucing yang sedang disusui oleh sang istri pergi ke klinik untuk minta suntikan rabies. Sang suami merasa dipermalukan dan kesakitan, namun berusaha untuk tidak menangis saat mereka duduk berdampingan di ruang tunggu klinik. Si anak kucing dapat merasakan penderitaan sang suami. Ia serta merta meregangkan tubuhnya dari pelukan sang ibu, menghampiri sang suami, dan menjilati wajahnya dengan lembut seraya menawarkan erangan “Meong” penuh manja. “Kau dengar kan?” tanya sang istri pada suaminya. “Dia berusaha untuk memanggil ‘Papa’.” Sang suami tak kuasa menahan tangisnya. Ketika membaca paragraf tersebut, Aviad juga berusaha untuk tidak menangis. Maya mengaku bahwa ia mulai menulis cerita itu jauh sebelum ia tahu ia hamil lagi. “Aneh ya,” komentarnya. “Otakku tidak tahu soal kehamilanku, tapi alam bawah sadarku tahu.”

Pada hari Selasa minggu berikutnya, seharusnya Aviad menjemput istrinya setelah jam kursus selesai, namun ia tiba setengah jam lebih cepat. Maka ia memarkir mobilnya di parkiran gedung kursus dan masuk ke dalam untuk mencari istrinya. Maya terkejut melihat suaminya di dalam kelas, dan Aviad memaksa minta dikenali kepada sang instruktur kursus. Penulis itu menguarkan wangi body lotion. Ia menjabat tangan Aviad tanpa antusiasme dan berkata bahwa bila Maya memilihnya jadi suami, maka Aviad pasti orang yang sangat spesial.

Tiga minggu kemudian, Aviad mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus dasar menulis kreatif. Ia tidak memberitahu Maya soal hal ini dan, untuk jaga-jaga saja, ia meninggalkan pesan pada sekertarisnya bahwa jika ada telepon yang masuk mencarinya saat dia sedang mengikuti kursus, maka bilang saja ia sedang meeting dan tidak bisa diganggu. Sebagian besar peserta kursus dasar itu adalah para wanita lanjut usia yang menatapnya dengan skeptis, seolah dia tidak berhak ada di sana. Sedangkan instruktur kelas itu adalah seorang wanita muda bertubuh ramping yang mengenakan selendang penutup kepala. Para wanita lanjut usia itu selalu menggosipkan sang instruktur, mengatakan bahwa wanita muda tersebut tinggal di sebuah perkampungan di area yang terjajah dan bahwa ia menderita kanker. Sang instruktur meminta seisi kelas untuk melakukan latihan menulis otomatis. “Tulis apa saja yang terlintas di kepala kalian,” katanya. “Tak usah dipikirkan, tuliskan saja.” Aviad berusaha untuk berhenti berpikir. Sulit sekali. Para wanita lanjut usia di sekitarnya menulis dengan kecepatan tinggi, dimotori oleh keraguan—seperti siswa-siswi sekolah menengah yang terburu-buru menyelesaikan lembar ujian sebelum guru meminta mereka untuk meletakkan pena di atas meja. Tapi beberapa menit kemudian, Aviad pun mulai menulis.

Cerita yang dia tulis adalah tentang seekor ikan yang sedang asyik-asyiknya berenang di laut ketika seorang penyihir jahat mengubahnya menjadi seorang manusia. Si ikan tidak bisa membiasakan diri hidup sebagai manusia dan karenanya segera mencari si penyihir jahat untuk memintanya mengubahnya kembali jadi ikan. Namun karena si ikan mempunyai otak cerdas dan kemauan tinggi, dalam usaha pencariannya, ia sempat menikah dan bahkan membangun sebuah usaha kecil mengimpor produk plastik dari Asia. Dibantu oleh pengetahuan yang telah ia tuai selama bertahun-tahun hidup sebagai ikan yang pernah mengarungi tujuh lautan luas, perusahaan yang dibangunnya pun perlahan berkembang hingga akhirnya go public. Sementara itu, si penyihir jahat yang merasa lelah berbuat jahat selama bertahun-tahun, memutuskan untuk mencari semua mahluk hidup yang pernah ia jahili dengan mantra-mantranya, minta maaf, lalu mengembalikan mereka ke kondisi semula. Suatu saat, penyihir itu pergi menemui seekor ikan yang telah disihirnya jadi manusia. Sekertaris si ikan meminta sang penyihir untuk menunggu sampai bosnya selesai meeting via satelit dengan para rekan kerja di Taiwan. Pada tahap ini, si ikan bahkan tak lagi ingat bahwa dulu ia sempat hidup sebagai hewan laut, dan perusahaan yang dibangunnya kini menguasai separuh perekonomian dunia. Sang penyihir bersabar menunggu selama berjam-jam, tapi ketika ia sadar bahwa meeting itu takkan selesai dalam waktu dekat, ia melompat ke atas sapunya dan terbang pergi dari sana. Si ikan terus maju dan mendulang kesuksesan semakin besar, hingga suatu hari, ketika ia sudah sangat tua, ia melihat keluar jendela dari salah satu gedung tepi pantai yang ia beli dalam sebuah transaksi real-estate menguntungkan dan mendapati hamparan laut. Mendadak ia teringat bahwa ia adalah seekor ikan. Ikan yang sangat kaya dan berhasil menguasai banyak sekali anak perusahaan yang sahamnya diperjual-belikan di seluruh dunia—tapi tetap seekor ikan. Ikan yang, selama bertahun-tahun, tak pernah lagi merasakan asinnya garam laut.

Begitu sang instruktur melihat Aviad meletakkan penanya di atas meja, ia menatap penuh tanda tanya. “Saya tidak punya ending,” bisik Aviad penuh sesal. Ia sengaja merendahkan suaranya agar tidak mengganggu para wanita lanjut usia yang masih sibuk menulis.

#CATATAN:

Cerita ini bertajuk Creative Writing karya ETGAR KERET dan pertama kali diterbitkan di The New Yorker pada tanggal 2 Januari 2012 (diterjemahkan dari bahasa Hebrew oleh Sondra Silverston).

ETGAR KERET adalah seorang penulis asal Israel yang dikenal dengan karya-karya cerita pendek, buku anak, novel grafis, serta skrip televisi dan film. Ia telah menerbitkan banyak buku kumpulan cerita pendek, seperti The Bus Driver Who Wanted To Be God & Other Stories, Missing Kissinger, dan The Girl On The Fridge. Ia juga pernah menerbitkan buku komik seperti Pizzeria Kamikaze dan Jetlag.

sumber:http://fiksilotus.com

Membangun Opini Cerdas

- Tidak ada komentar
lindiewesselshistory

Oleh Reza A.A Wattimena
(Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman)

Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita.

Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.

Anatomi Persepsi

Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi yang bercokol di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita baca.

Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Namun, seperti ditegaskan oleh Karl Popper, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.

Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang bercokol di kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya adalah kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalam teori-teori Marxis, pra-paham sesat yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama sekali tak menyadarinya.

Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa terjajah. Hegemoni itu adalah teknik menipu tingkat global, namun tak pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta dan pelaku hegemoni ini?

Hegemoni Media

Media massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.

Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi identitas sosial suatu kelompok.

Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang, hanya karena ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun, pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.

Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di Indonesia yang lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak orang di bagian dunia lain meninggal, karena tidak memiliki sumber air bersih yang mencukupi.

Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan kebencian. Kebencian tersebut akan melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi yang salah tersebut. Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya memperkuat prasangka yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.

Membangun Opini Cerdas

Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu, jawabannya adalah positif: ya. Masalahnya bukanlah hidup tanpa persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya bukanlah tidak punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.

Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Pertama, kita perlu melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.

Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan disini. Informasi adalah salah satu kebutuhan utama manusia sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar atau pembacanya.

Di sisi lain, kita juga perlu mencari berita dari sumber-sumber lain yang independen. Kantor media besar biasanya dimiliki oleh pengusaha bisnis tertentu yang ingin mempertahankan kepentingan mereka. Kita masih ingat perang opini antara Metro TV dan TV One, ketika pemilihan presiden 2014 yang lalu. Pola yang sama juga dapat dilihat di kantor-kantor media internasional. Dalam beberapa hal, blog-blog dari penulis independen bisa memberikan informasi yang lebih bermutu kepada kita.

Sebagai warga dari masyarakat demokratis, kita perlu mempunyai opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang bercokol di otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti Indonesia.

Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar disini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas. Tidak ada jalan lain.

sumber
http://rumahfilsafat.com

Sutarman; Puisi dan Sejarah Pariwisata Lampung

- Tidak ada komentar
Sutarman Sutar

Selama  berkiprah di dunia sastra, ia sempat mengggunakan nama Panji Sastra, kelahiran Telukbetung, tahun 1958. karya puisinya pernah dimuat di Swadesi, Simponi, Lampung Post, Singgalang, Eksponen, dan dibacakan di radio Suara Bhakti. Puisi-puisinya bisa dijumpai di sejumlah antologi bersama di antaranya Parade Penyair lampung, Memetik Puisi dari Udara, Jung. Kini ia aktif sebagai fotografer dan wartawan.

Tubuh kerempeng itu masih lincah saat harus berpacu mengejar nara sumber atau memandu wisatawan. Sutarman Sutar, orang itu, lebih dikenal sebagai wartawan majalah pariwisata lokal yang ia terbitkan sendiri.
Umurnya tak muda lagi selaras dengan rambutnya yang mulai memutih dan giginya yang banyak tanggal. Tetapi semangatnya untuk pariwisata Lampung tidak bisa dibendung.

Suatu Senin pagi pada tahun 1997, pukul enam pagi, kisah dia, semua guide (pemandu wisata) mula sudah siap di Pelabuhan Panjang Bandar Lampung.  Kapal pesiar Awani Dream, Asmara Lumba-lumba mulai bersandar. Ada bus Parahyangan dan mini bus travel Krakatau Lampung yang sudah siap menunggu kedatangan wisatawan asing dan lokal berkeliling Lampung.

Objek tujuannya seperti Taman Nasional Way Kambas, hingga wisata ke anak gunung Krakatau. Ada juga yang hanya berkeliling kota Bandar Lampung— city tour, melihat taman rekreasi Taman Buay Zaman (Taman Wisata bumi kedaton saat ini).

Dengan keahliannya berbahasa inggris, Sutarman menemani turis mancanegara itu berkeliling Lampung. Semua wisatawan harus segera berada di pelabuhan sebelum pukul 12.00. Tengah hari kapal sudah mulai berlabuh lagi. Itulah rutinitas guide di Bandar Lampung tiap Senin pagi. Namun, sejak krisis moneter, kata dia, kapal mewah itu tak lagi bersandar di Bandar Lampung. Wisatawan pun yang berkunjungpun menurun. Kerja part time sebagai guide atau pemandu wisata tak lagi memberi harapan kehidupan bagi Sutarman.

Modal pergaulan dan amat intim dengan pariwisata mengarahkan Sutarman kepada aktifitas jurnalistik. Namun, pariwisata tak pernah ia tinggal. Maka, remah-remah pariwisata Lampung, termasuk masa kejayaan Lampung yang pernah rutin disinggahi Awani Dream ia jadikan modal liputannya. Menurut Sutarman, menjadi seorang pemandu wisata bukan hanya jago bahasa inggris dan tahu tentang pariwisata di Lampung. Guide juga harus memunyai pengetahuan dan wawasan luas.

“Misalnya tentang kakao, lada, gajah, Krakatau, fermentasi , dan apapun yang bisa dilihat selama perjalanan. Sebisa mungkin turis tidak bertanya, kita yang terus menjelaskan. Kasih joke—candaan bila perlu,” kata dia.

Sesama guide, kata dia, akan bertukar informasi, berdiskusi selama perjalanan. “Jangan banyak bertanya masuk ke ranah pribadinya, misalnya pekerjaan mereka, jumlah anak mereka, istri mereka. Tugas guide adalah memberikan informasi sebanyak-banyaknya saat perjalanan menuju lokasi hingga di lokasi tujuan wisata.”

***

Sejak kelas tiga Sekolah Dasar Sutar sudah belajar bahasa Inggris. Ketika itu guru lesnya pernah berpesan untuk menekuni bahasa inggris dan coba untuk mengajari anak-anak yang lain.  Dulu orang kenal Sutar adalah guru bahasa inggris SMP, SMA bukan Guide.

Kepandaian berbahasa Inggris menjadi pintu rezekinya. Saat satu hotel berbintang di Bandar Lampung kekurangan guide (pemandu wisata), Sutar menjadi salah satu titik bidiknya. Saat itu Sutar masih menekuni mengajar bahasa inggris di sekolah, hingga les privat ke rumah-rumah. Sutar mengaku pernah mengalami titik jenuh. Bahkan ia tak sampai hati terus-menerus izin tidak mengajar tiap kamis, jumat dan sabtu karena menjadi pendamping wisatawan.  Sutar mulai banting setir, dan sejak tahun 1992-1996 menjadi dirinya Guide.

Melalui majalah Promo Wisata yang ia terbitkan, Sutarman bisa memperkenalkan pariwisata yang ada di Lampung, bukan hanya Waykambas Krakatau saja. Kini sudah ada air terjun, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Arung Jeram, pantai hingga lumba-lumba di Teluk Kiluan.

Sutarman menambahkan, sejak Way Kambas diresmikan tahun 1985, wisatawan mulai banyak mendatangi Lampung. Di tahun 1987 warga Australia telah memperkenalkan Lampung ke negaranya. Tapi sekarang, Pantai Tanjung Setia di Pesisir Barat akan menjadi kiblat pariwisata di Lampung. Dari data yang diperolehnya ada 8000 orang permusim dari Eropa, Italia berdatangan kesana. Ombaknya kelas empat di dunia, bisa diselancari oleh amatir dan professional. Penduduknya yang belum terlalu padat menjadi keunggulan lain Tanjung Setia. “Bupati Kabupaten Pesisir Barat harus lebih siap, optimal untuk menggali potensi wisata ini, jangan sampai mereka balik lagi ke Bali,” ujarnya.

Menurutnya Gubernur Lampung telah melakukan gebrakan cukup baik untuk Lampung. Bandara Raden Inten II untuk menjadi Bandara Internasional, menara Siger sebagai identitas Lampung, dan jembatan sulat sunda, dan akan menghidupkan Bandara Serai di Pesisir barat. “Lampung sebagai pintu gerbang Sumatera harus lebih maju,” ucapnya

Sumber
http://ulunlampung.blogspot.com

Lupita Lukman

- Tidak ada komentar
Shantika Lupita Sari

  Shantika  Lupita Sari lebih dikenal dengan nama Lupita Lukman telah menghasilkan banyak karya puisi saat masih tercatat sebagai mahasiswi. Baginya tulisan merupakan media penting untuk membuka cakrawala pengetahuan. Sebab itu, tulisan sering juga disebut jendela informasi. Keberadaannya pun sangat dibutuhkan, karena melalui tulisan manusia mampu berkembang dan mewariskan berbagai karya pengetahuannya kepada para pewarisnya.

Shantika mengatakan, sejak masih usia belia telah menyenangi hobi menulis. Kemudian, hobi ini berlanjut dan diasah ketika duduk di perguruan tinggi melalui Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Di lembaga kemahasiswaan kampus ini, ia banyak menggali ilmu dan informasi, khususnya berkaitan dengan karya sastra.

"Puisi bagi saya adalah karya sastra yang menarik, sebab melalui media ini saya dapat merefleksikan suatu keadaan dengan sebenar - benarnya melalui sebuah karya. Lebih dari itu, karya puisi bukanlah sebuah topeng dari pribadi seseorang, tapi lebih pada refleksi apa adanya.

Misalnya, ketika kita menelurkan sebuah puisi tentang sesuatu yang bijak, maka harus sesuai dengan kepribadian si penulis. Jadi maknanya lebih riil, dan tidak mengada-ada atau bahkan untuk menutupi kekurangan diri. Intinya, saya memaknai karya tulis ini sebagai perwujudan pandangan sesuai dengan hati dan jati diri," ungkap alumnus FE Unila ini.

Belajar Banyak dengan Para Senior

Menghasilkan sebuah karya puisi bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, selain dibutuhkan suasana yang mendukung saat pembuatannya, aktivitas ini juga membutuhkan sebuah bakat. Bakat di sini, diartikan Shantika Lupita Sari sebagai sebuah bawaan pribadi dari seorang

Menurutnya, untuk membuat karya apapun, termasuk puisi dibutuhkan sebuah kenyamaan bagi pelakunya. Tentunya tidak dapat dipaksakan, namun tumbuh secara alami. Selain itu, seorang yang memiliki bakat puisi, biasanya memiliki kepekaan tersendiri yang berbeda dengan individu lainnya.

Shantika menambahkan, meski memiliki bakat, untuk optimalnya kemampuan tetap harus diasah dengan belajar dengan maksimal. Banyak media untuk mengasah kemampuan ini, misalnya melalui kelompok pecinta puisi, guru khusus, senior yang berkecimpung di dunia puisi, penyair profesional, dan banyak media lainnya.

"Sejatinya puisi adalah dunia sosial, karena secara khusus seorang penulis puisi memiliki kepekaan akan keadaan sekitarnya.Sebab itu, selain mengamati, Ia (penulis) juga harus terjun langsung pada kondisi tersebut.

Secara pribadi, banyak media yang saya gunakan untuk mengasah ilmu tentang dunia tulis ini. Seperti belajar dengan para senior, guru (penyair) dan alumni di UKMBS Unila. Di antaranya, Ari Pahala, Jimmy Maruli, dan Isbedi Stiawan," katanya.

Esensi Karya Sastra adalah Jiwa

Lupita mengatakan, sebuah karya puisi tidak hanya dapat dilihat dari bentuk fisik semata. Lebih dari itu, esensi dari karya sastra ini lebih pada jiwa, kepekaan, dan cara pandang tentang segala sesuatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki bakat seni ini. Termasuk dirinya, yang kini berkecimpung di dunia kerja.

Lupita mengaku, jiwa seni yang telah ada sejak kecil tidak mungkin hilang begitu saja. Meski kini telah terjun di dunia kerja yang tidak berhubungan langsung dengan hobinya. Namun dalam penerapan aktivitas, kemampuannya ini ternyata cukup membantu. Misalnya saja, dalam bersikap, memandang suatu persoalan, memahami karakter idividu sosial di sekitarnya, dan lain sebagainya.

Meski tidak lagi memproduksi karya puisi yang dapat dinikmati masyarakat seperti ketika masih berstatus mahasiswa dulu. Namun secara pribadi, kegiatannya ini tetap dikerjakannya di waktu senggang.


Beberapa karya sebatas konsumsi pribadi, dimana karyanya ini menjadi suatu bahan renungan, intropeksi, dan refleksi dirinya terhadap segala sesuatu yang dilihat dan dirasa. Kemudian mampu divisualisasikan melalui goresan penanya menjadi sebuah produk yang bernama puisi.

"Meski secara tampak mata, rutinitas kerja yang saya lakoni tidak berhubungan dengan aktivitas sebelumnya. Tapi, dari segi esensinya cukup memiliki keterkaitan atau benang merahnya. Contoh kecilnya, tentang bagaimana saya memandang dunia kerja, dengan kacamata seorang pecinta seni.

Secara khusus, di waktu senggang saya tetap menggali ilmu dan informasi dari berbagai media. Biasanya, saya tetap membaca berbagai buku, menonton film dan berita. Dengan ini, saya berharap akan mampu memahami segala persoalan yang terjadi di lingkungan sosial, mulai dari ekonomi, politik, keagamaan, dan persoalan lainnya," ungkapnya.

Menjadi Penyair Dibutuhkan Kejujuran

Menurut Lupita, puisi adalah sebuah karya sastra yang mampu merefleksikan sesuatu dengan apa adanya. Sebab itu, untuk menjadi penyair dibutuhkan sebuah kejujuran, ilmu pengetahuan, wawasan, independensi, dan pemahaman terhadap produk puisi itu sendiri. Misalnya, pada pergaulan sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Sudut pandang ini, kemudian diterjemahkan melalui sebuah karya yang diharapkan mampu mengakomodir dan bermanfaat bagi diri sendiri serta banyak orang. Sebab itu, penulis puisi sering disebut sebagai seorang pengamat. Hasil dari pengamatan umum tersebut, kemudian di aplikasikan sesuai dengan sudut pandang (angle) seorang penyair yang tidak umum.

"Ketika masih berstatus mahasiswa, cukup intens saya menghasilkan karya puisi untuk dipublikasikan. Namun, saat ini kegiatan tersebut tidak saya lakoni lagi. Alasannya, bagi saya untuk menjaga kemurnian (kesucian) dari tiap karya tulis yang dihasilkan.

Namun demikian, meski telah berkecimpung di dunia kerja. Kegiatan menulis ini tetap saya lakukan, tapi sebatas konsumsi pribadi saja dan tidak dipublikasikan," katanya.

Shantika mengatakan, untuk menghasilkan puisi tidak terbatas ruang dan waktu, karena karya sastra ini sifatnya universal. Meski bergitu, untuk menciptakannya tetap dituntut sebuah kejujuran. Sejauh ini, karya puisi yang dihasilkannya bertema cinta, alam, politik, religi, dan banyak tema lainnya.

Diakuinya, aktif menulis ketika masih berstatus mahasiswa, yakni pada tahun 2003 - 2007 lalu. Adapun hasil karyanya tersebut tidak kurang dari 100 puisi, 50 buah di antaranya dipublikasikan di media lokal hingga nasional:Kompas, Media Indonesia, dan Koran Tempo. kumpulan puisinya terhimpun dalam buku puisi " "Mimpi Basah" DKL (2010).


BIOFILE

Nama : Lupita Lukman (Shantika Lupita Sari)
Panggilan : Shantika
Lahir : Bandar Lampung, 17 MAret 1985
Alamat : Jalan Panglima Polim, Segala Mider, Bandar Lampung

Sumber
http://paratokohlampung.blogspot.com

Juperta Panji Utama: Puisi dan Upaya Pembersihan Diri

- Tidak ada komentar

Juperta Panji Utama

Juperta Panji Utama lahir di Tanjungkarang, 26 Agustus 1970. Masa balitanya dihabiskan di rumah orang tuanya yang terletak di Jalan Duku No. 18 Pasir Gintung, Bandarlampung.

Dengan mengikuti filosofi batu di tengah air mengalir atau matahari bersinar, beliau menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan cukup bahagia bersama kelima orang adiknya, antara lain Jufendra Dede, Junita Savitri, Jofana Dewi, Jodi Ardian, dan Juda Ramadhan. Bagi Panji, semua bagian hidup dan kehidupannya merupakan kenang-kenangan khusus, baik yang manis maupun pahit.

Pendidikan formal Panji dimulai di TK YWKA Tanjungkarang tahun 1976—1977 dan dilanjutkan tahun 1978 dengan bersekolah di SDN 1 Tanjungagung, Bandarlampung. Lulus tahun 1984 dan langsung melanjutkan ke SMPN 4 Tanjungkarang. Tahun 1990 lulus dari SMAN 2 Bandarlampung dan kemudian meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi yakni sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Bandarlampung dan lulus tahun 1997. Tahun 2005, Panji menyempatkan untuk mengambil pendidikan Akta Mengajar IV di FKIP Unila.

Di samping menekuni pendidikan formal, Panji pun menjalani beberapa pendidikan informal, seperti pendidikan komputer (tahun 1994) selama tiga bulan. Selama masa kuliah, antara tahun 1990—1994, Panji mengikuti berbagai latihan seperti kepenulisan, keorganisasian, dan kerelawanan sosial, dan seiring dengan waktu tersebut (1990—2000), Panji mengikuti pula pelatihan di bidang seni dan budaya. Tahun 1999—2000, mengikuti pendidikan yang bergerak di bidang politik, yakni pendidikan antikorupsi dan pemerintahan bersih. Pendidikan tersebut dijalaninya ketika beliau tergabung dalam Komite Antikorupsi (KoAK).

Tahun 1987 adalah kali pertama Panji mengenal organisasi dan dunia kerja. Ketika itu Panji menjabat sebagai Ketua Forum Semesta Lampung. Periode kepemimpinannya berakhir tahun 1990. Tahun 1993—1996 bergabung dalam Komite Litbang dan Sastra Dewan Kesenian Lampung. Dalam periode yang sama pula, Panji menjadi Redaktur tamu Musik dan Film Harian Lampung Post. Masih di tahun 1996, Panji beralih profesi sebagai karyawan magang di perusahaan perkebunan PTPN VII. Meski demikian, perannya sebagai anggota komite di Dewan Kesenian Lampung masih berlanjut hingga 2001. Namun kali ini, beliau berada di dalam Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung.

Istilah double job atau kerja rangkap terus dilakoninya seperti menjadi Koordinator Wartawan dan Redaktur Budaya Sumatera Post (tahun 1998—2001) sekaligus menjabat sebagai asisten dosen Komunikasi Massa, Komunikasi Bisnis, dan Fotografi di Universitas Tulang Bawang dan Universitas Lampung (tahun 1999—2000). Selanjutnya Panji juga bergabung dalam Divisi Pendidikan Komite Antikorupsi (KoAK) tahun 2000—2001.

Setelah sukses dengan tiga jabatan dari berbagai bidang pekerjaan yang dilakoninya selama periode 1998—2001, Panji melanjutkan karisnya sebagai Redaktur Pelaksana majalah Pendar sekaligus menjadi Corporate Communication Head Dompet Dhuafa Republika. Dua pekerjaannya ini dijalani dari tahun 2001—2002.

Partisipasinya dalam lembaga amal tersebut berlanjut hingga akhirnya Panji diangkat menjadi Ketua Lembaga Amil Zakat Daerah (LAZDa) Lampung Peduli pada tahun 2003 hingga sekarang. Di samping itu, Panji menjabat pula sebagai Sekretaris Hubungan Kerja Sama dan Komunikasi Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Lampung untuk periode 2005—2008.

Panji memiliki banyak teman yang umumnya berasal dari sekitar rumah, sekolah, dan lingkungan kerja. Mereka pula yang selama ini memberikan inspirasi luar biasa dalam melahirkan karya-karyanya karena keluarga dan teman-teman telah menjadi bagian terpenting dalam hidup dan kehidupan Panji. Tidak heran jika laki-laki yang telah dikaruniai dua orang putra dan seorang putri ini sangat mencintai keluarganya. Istrinya, Sholawati, adalah seorang wanita sholehah, yang dinikahi Panji pada tanggal 4 April 1999. Cinta di antara mereka bersemi ketika Panji dan istrinya bertemu dalam kompetisi Pelajar Teladan tingkat SLTP se-Bandarlampung, utusan sekolah masing-masing.

Minatnya terhadap sastra mulai tumbuh sejak Panji masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika itu, sekitar tahun 1983, Panji yang memiliki kegemaran membaca, baik buku, majalah, maupun koran, sangat senang karena ayahnya yang bekerja sebagai karyawan PT. Kereta Api Sumatera bagian Selatan selalu membawa koran-koran sepulang beliau dari kantor. Dari koran-koran tersebutlah, tanpa disadari, Panji mulai memelajari hal baru yang sekaligus mengajaknya memasuki sebuah dunia yang baru pula, yaitu dunia sastra. Setelah itu, tidak hanya melalui koran, Panji juga rajin mencari buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dan daerah, dan membacanya hingga tuntas.

“Kalau mereka saja bisa, kenapa saya tidak bisa?” Demikian kurang lebih pernyataan yang terlontar dari mulut Panji kecil saat membaca karya-karya sastra yang termuat di koran-koran tersebut. Hal inilah yang kemudian memotivasi beliau untuk membuat sebuah karya sastra. Panji berpikir, “enak juga ya jadi pengarang”. Alasan ini terlontar karena melihat bahwa mengarang bukan merupakan pekerjaan sulit meski diakuinya pula bukanlah pekerjaan mudah. Alhasil, karya pertamanya berupa cerita anak dimuat di salah satu majalah anak-anak Ananda dan Bobo. Tentu saja imbalan sebuah kotak pensil dan perlengkapan belajar sudah cukup membuat Panji kecil saat itu merasa senang dan bangga.

Setelah karya pertamanya berhasil dimuat di majalah anak-anak tersebut, Panji semakin yakin bahwa ia mampu membuat karya sastra. Rasa percaya diri mendorong Panji untuk membuat sebuah karya sastra lain berupa puisi. Kali ini, hasil karyanya itu tidak dikirimkan ke media cetak melainkan ke sebuah stasiun radio, yaitu Radio Suara Bhakti.

Sama seperti penyair lain yang telah berhasil, tentu memiliki sosok yang dikagumi atau dijadikan inspirasi. Begitu pula halnya dengan Panji yang memiliki sosok-sosok panutan yang memberi inspirasi sepanjang perjalanan karirnya menjadi seorang sastrawan. Mereka antara lain Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Gunawan Mohammad, dan Afrizal Malna. Dan khusus dalam fase eksplorasi, Afrizal Malna-lah yang menjadi bahan bakar terakhir sehingga mampu membuat ledakan dahsyat, dan karena Afrizal Malna pula Panji mampu bertahan hingga saat ini. Selain para sosok panutan tersebut, Panji juga termotivasi oleh lingkungan sastra dan dunia karya tempat ia selama ini bergelut. Dalam hal ini beberapa karya sastrawan Lampung seperti Isbedy Stiawan ZS.

Bersama dua sastrawan Lampung lainnya, yaitu Iswadi Pratama dan Ahmad Julden Erwin, Panji Utama dikenal sebagai “Three Musketeers” puisi di kalangan civitas akademika Universitas Lampung yang bermukim di Unila. Sebagai mahasiswa yang saat itu sedang memilih pencarian jati diri kesenimanannya melalui jalur puisi, mereka menggeluti secara menyeluruh, dibanding mahasiswa atau anggota UKMBS lain yang sebagian besar membatasi diri hanya pada bidang kesenian tertentu.

Masih bersama Iswadi Pratama, Panji pernah bergabung dalam sebuah kelompok teater yang bernama Forum Semesta, bahkan sempat menduduki jabatan ketua untuk periode 1987—1990. Prestasi terakhir yang diraih Panji selama bergelut di dunia teater adalah dengan mengikuti Festival Teater Nasional X di Yogyakarta tahun 1999. Akan tetapi, setelah sekian lama berprestasi dalam dunia seni (teater, membuat puisi dan cerpen), pilihan terakhir tetap kembali pada puisi karena baginya lebih mudah mengungkapkan sesuatu yang dirasa melalui puisi ketimbang cerpen atau bahkan teater.

Dengan menyeburkan diri melalui jalur keseniannya itu, dan untuk dapat menggeluti pohon puisi yang senantiasa menggoda cipta rasa kemanusiaan dan kesenimanan, Panji (tetap bersama Iswadi dan Erwin) telah melakukan langkah-langkah penempuhan yang menyeluruh, yaitu denga mengalami proses discourses yang lengkap dengan ekosistem kesenian kampus dengan arti seluas-luasnya. Mereka bertiga pula yang menjadi pencetus lahirnya Manifesto Gerakan Puisi Pencerahan ’90 di Lampung, yang kemudian dijadikan pegangan mereka untuk menulis puisi. Manifesto tersebut tertulis dalam kumpulan puisi mereka bertiga yang berjudul Belajar Mencintai Tuhan.

Pria yang menyenangi sastra dan gemar membaca ini, khususnya buku-buku mengenai petualangan, biografi tokoh-tokoh, ilmu pengetahuan murni dan sosial, serta ensiklopedi, ternyata juga menekuni bidang sosial, ekonomi, politik, keagamaan, dan kemanusiaan. Menurutnya mutasi sosial dan ekonomi dalam hidup dan kehidupan manusia amatlah progresif. Seharusnya gerakan manusia lebih progresif dari gerakan sosial dan ekonomi. Begitu pula halnya dengan keagamaan dan kemanusiaan. Menurut Panji, mutasi pemeluk agama dalam hidup dan kehidupan cenderung memorakporandakan pondasi keagamaan dan mutasi nilai-nilai kemanusiaan telah menelantarkan manusia di jurang kepapaannya. Hal-hal pokok itulah yang selama ini cenderung menjadi bahan pemikiran Panji dalam pembuatan karya-karyanya.

Bagi Panji, agama lebih jauh berarti seperti cahaya benderang dalam kegelapan, dan sejauh dirinya menghayati agama, sejauh itu pulalah agama memengaruhi kehidupan serta karya-karyanya. Secara sederhana, sebenarnya semua karya Panji hanya berbicara “dengan melihat kenyataan seperti ini, apakah kalian tidak memunyai Tuhan?”. Selama dua puluh tahun menulis puisi, persoalan yang ia hadapi tidak lebih dari masalah seperti itu, (sosial, ekonomi, agama, dan manusia). Walau demikian, karya-karyanya tidak selalu bersifat religius. Karena menurutnya, religius itu tidak melulu menyebut nama Tuhan tetapi lebih bersifat implisit.

Menulis puisi bagi Panji berarti melukiskan “kebangkitan-kebangkitan” yang ada di pikiran dan perasaannya sebagai wujud interaksi terhadap fenomena. Fenomena dalam puisi-puisi Panji sangat kompleks sumbernya. Mulai dari khaos sampai kosmos yang menyajikan ketakteraturan dan keteraturan. Mulai dari terbatas sampai tak terbatas yang menyajikan kebebasan dan keterikatan yang membingungkan. Mulai dari cita-cita sampai perjuangan yang menghadirkan harapan dan kenyataan. Mulai dari yang bersumber pada Tuhan sampai ciptaan-Nya. Mulai dari masalah sosial sampai masalah pribadi. Mulai dari nilai moral sampai nilai amoral. Mulai dari religius sampai kebrutalan yang membius.

Namun, tidak cukup hanya dengan mengungkapkan fenomena seperti itu lantas puisi Panji bisa memiliki kebangkitan, karena bagi Panji fenomena-fenomena tersebut belum cukup dan sempurna. Baginya, puisi haruslah sungguh-sungguh mengantarkannya berpikir dan merasa secara utuh, dan proses awal ini harus pula mampu memaksanya untuk berdialog dan berinteraksi dengan fenomena yang ada. Menurutnya, karya sastra yang berkualitas harus mampu dinikmati dan diminati oleh masyarakat secara meluas. Selain itu tekniknya harus mampu melewati kaidah-kaidah sastra dan estetika, dan isinya menawarkan kebaikan dan kebenaran, serta penampilannya pun harus selalu menjadi inspirasi.

Sastra bagi Panji, merupakan suatu alat yang digunakan untuk berkomunikasi dan berekspresi. Dalam proses kreatifnya sebagai seorang penyair, teah dua fase kreatif yang dilaluinya. Selama kurun waktu satu dasawarsa (1985—1995), Panji telah banyak melahirkan karya sastra yang dimuat di berbagai media cetak. Kurun waktu ini pulalah yang disebut Panji sebagai fase genit. Dinamai seperti itu karena fase ini merupakan fase produktif yang menhasilkan begitu banyak karya dan prestasi. Di dalam fase ini pula Panji menggunakan sastra sebagai alat untuk berkomunikasi, bebas berbicara apa dan dengan siapa saja.

Fase kedua adalah fase eksplorasi yang dijalaninya sejak tahun 1995 sampai sekarang. Dalam fase ini pengarang lebih berorientasi pada karya-karya yang dapat menjadikan Lampung sebagai inspirasi. Selain itu di dalam fase ini, Panji menggunakan sastra sebagai alat untuk berkespresi dan menyempitkan lingkup orang-orang untuk dapat mengerti puisinya. Menurutnya penyair boleh dan harus bisa berekspresi terhadap sesuatu yang dia karyakan dan penyair tidak harus selalu mengikuti pakem-pakem yang ada di masyarakat dalam membuat sebuah karya. Hal itu menurutnya sebagai alat dan cenderung ingin menyampaikan hal-hal yang mengarah pada kebaikan dan kebenaran. Jika dahulu ada sastra profetik, maka Panji ingin seperti itu. Di situlah hebatnya puisi, mengajari orang tanpa menjadi guru, menceramahi orang tanpa menjadi dai dan dapat menjadi sesuatu yang besar tanpa menjadi pejabat karena dapat berkata bijak.

Oleh karena itu, di dalam fase kedua ini pula, Panji mencoba untuk mendobrak sebuah aturan puisi konvensional menjadi sebuah karya sastra yang unik dari segi tipografi. Jika pada fase produktif Panji masih menggunakan gaya penulisan yang lazimnya digunakan oleh penyair kebanyakan, pada fase eksplorasi ini Panji dengan berani mengganti gaya penulisan puisinya dengan cara mendekatkan dan merapatkan kata demi kata (tanpa spasi), meskipun susunan larik dan bait puisi masih tetap teratur.

“Saya bukan ingin nyeleneh, hanya ingin memberikan yang terbaik dari Lampung. Semua puisi sudah digarap bentuk-bentuknya, ada imaji, surealis, romantik, dan sebagainya. Saya hanya menawarkan bentuk atau sruktur lain, yakni ekspresif.” Demikian pendapatnya ketika ditemui dan diwawancara pada satu kesempatan.

Gaya penulisan inilah yang dipertahankan Panji hingga saat ini, dan mungkin selamanya, karena menurutnya hal tersebut merupakan suatu keajaiban. Di saat penyair lain ingin menjadi sosok yang terkenal dan mendapat banyak uang, Panji malah melakukan sesuatu hal yang (bagi sebagian penyair) nyeleneh, lain dari pada yang lain. Tetapi tanpa disadarinya, hal itu justru membuatnya menjadi dikenal banyak orang. Contohnya pada acara Mimbar Penyair Abad 21 (1996), dari ratusan orang penyair hanya delapan yang terpilih, dan Panji satu di antaranya yang tentu saja membawa nama Lampung. Dan karena hal ini pula, menurut Agus R. Sarjono, Panji diundang mengikuti Pertemuan Penyair 8 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dan mendapat perhatian khusus pembahas utama Dr. Melani Budianta. Menurutnya terdapat kedahsyatan struktur dalam puisi-puisi Panji, dan sudah seharusnya bila cara pembacaannya pun memiliki kekhasan tersendiri dan harus lebih menarik dari cara membaca puisi biasa.

Tidak hanya Agus R. Sarjono, Melani Budianta, Iswadi Pratama, dan Ahmad Julden Erwin, masih banyak sastrawan lain yang mendukung perubahan gaya penulisan Panji, seperti Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana, Jamal D. Rahman, dan Ba’di Sumanto. Dukungan-dukungan seperti itulah yang membuat Panji tetap bertahan selama sepuluh tahun. Semua ini dapat diraih Panji tidak lain karna keinginannya untuk “bisa terkenal” sangat besar, dan usahanya tersebut memanglah tidak sia-sia.

Kegiatan selama menjadi penyair, Panji Utama pernah terlibat dalam puluhan kali produksi buku puisi dan prosa bersama dengan beberapa penyair Lampung dan luar Lampung. Membacakan puisinya di beberapa kota besar di Indonesia dari beragam perhelatan penyair, termasuk pada Pertemuan Sastrawan Nusantara IX (se-ASEAN 1997) di INS Kayutanam, Sumatera Barat. Dua kali tampil di TIM Jakarta atas nama Lampung pada Mimbar Penyair Abad 21 (1996), dan pembacaan sajak para Penyair 8 Kota (1998).

Kini ayah dari Janata Shoji Al Falaq, Jabir Shoji Arhab, dan Jasmine Shoji Alifah ini, telah meraih lebih dari dua belas penghargaan untuk cipta/baca puisi dan cerpen, dua di antaranya untuk tingkat nasional. Dua artikelnya, tentang film (1996) dan lingkungan (2000), mengantar Panji memenangkan dua penghargaan tingkat nasional antarwartawan.

Sepuluh tahun terakhir, karyanya dimuat antara lain dalam Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Suarakarta, 1995), Negeri Bayang-bayang (Yayasan Seni Surabaya, 1996), Batu Beramal III (S3B Malang, 1996), Dari Bumi Lada (Dewan Kesenian Lampung, 1996, ed.), Mimbar Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian Jakarta-Balai Pustaka, 1996), Antologi Puisi Indonesia (KSI-Angkasa Bandung, 1997), Ode Sajak Reformasi Penyair Sumbagsel (Teater Bohemian Jambi, 1998), Dari Pulau Andalas (Taman Budaya Lampung, 1999), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2000), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Orang-orang Talangsari (LBH Bandarlampung dan Kontras Jakarta, 2003), Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation dan Diknas Provinsi Lampung, 2004), dan Gerimis (Dewan Kesenian Lampung, 2005).

Selain itu, dua kumpulan puisi tunggalnya antara lain Pasar Kabut Menggali Kubur Sendiri Membangun Lorong-lorong (Agustus, 1995) dan Kibaran Bendera Hikayat Sang Debu (November, 1996). Hingga saat ini masih memunyai rencana untuk membuat Manuskrip Multi Bahasa (Inggris, Lampung, Indonesia), dan mencari puisi-puisi pilihan yang sesuai dengan persoalan sosial, ekonomi, keagamaan, dan kemanusiaan.

Fasilitator 'Bersih Diri'

Selain sebagai penyair, Juperta Panji Utama dikenal di kalangan orang muslim golongan kaya dan pejabat di Lampung, bahkan secara nasional. Sebab, setiap para kaum berada itu merasa ingin membersihkan diri dari penyakit jiwa, nomor mobile 08154048877 menjadi kontak jodohnya.

Nomor itu adalah hot line services untuk layanan jemput zakat, infak, sedekah melalui Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli. Panji adalah ketua sekaligus anak busur yang siap menyusur ke mana saja.

Kiprahnya sebagai amil (panitia) zakat memang baru ditekuni sejak enam tahun terakhir. Namun, kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada sosok jangkung berkaca mata tebal ini membuat lembaga berlevel nasional memberi mandat kepadanya. Kini, ia dipercaya menjadi sekretaris jenderal nasional Gerakan Zakat untuk Indonesia.

Dunia perzakatan memang hal agak baru bagi pria kelahiran Tanjungkarang, 25 Agustus 1970 ini. Sebelumnya, ia lebih dikenal sebagai seniman, wartawan, aktivis, dan berbagai kegiatan lain. Gaya bicaranya yang mantap dan kritis membuat semua yang ia katakan demikian benderang. Bahkan, tentang hal yang tabu dan wilayah "abu-abu" sekalipun.

Meskipun demikian, bakatnya sebagai manajer nan teliti dna ketat memang sudah melekat sejak kecil. Kawan-kawannya sejak di sekolah SD pun sudah paham dengan perilaku hemat teman ini. Salah satu argumentasi pamungkasnya yang menjadi dasar hidup hematnya adalah "buat apa makan kalau kita tidak lapar?". Padahal, ia hadir di dunia dari rahim keluarga yang cukup mapan. Dan ketika argumentasi semacam itu sudah menjadi keyakinannya, maka tidak ada yang bisa membiaskan.

Sejak kecil Panji sudah kecanduan buku dan bacaan apa saja. Tidak heran jika setiap pulang sekolah, saat yang lain berhamburan kembali ke rumah, ia mampir ke perpustakaan atau menumpang baca di toko buku. Manfaat membaca buku juga selalu ia kampanyekan kepada semua teman-temannya. Tidak heran jika sejak kecil ia sudah berkacamata tebal.

Berlabuh di dermaga lembaga zakat, Panji memang agak mencengangkan. Sebab, selama ini ia dikenal keras, dramatis, sensasional, dan agak vulgar. Cita-citanya juga agak jauh dari wilayah spiritualitas agama, yakni seniman terkenal.

Puisi, prosa, dan drama/teater telah diciptakan dan sempat mengantar prestasi hingga tingkat nasional. Tidak heran jika beberapa teman bertanya-tanya tentang kiprah Panji terakhir. Bahkan, ada selentingan ironi dengan kalimat satire: "Hari giri jadi amil zakat."

Panji mengakui menukik ke ranah kegiatan spiritual memang agak berbeda dengan perjalan profesi lain sebelumnya. Namun, ia mengaku sudah menentukan pilihan yang benar-benar cocok dengan suara hatinya; mengelola Lembaga Amil Zakat Daerah/LAZDa Lampung Peduli. "Kalau kita mengikuti jalan pikiran yang dipengaruhi nafsu, memang berat mengurus lembaga ini. Apalagi dengan beban ekonomi yang makin tinggi.

Tetapi, saya dan kami sekeluarga ikhlas dan mendapat sesuatu yang lain di sini," kata dia.
Didukung para tokoh dan pengurus yang terdiri dari orang-orang yang istikamah, Panji yakin potensi zakat di Lampung dna Indonesia pada umumnya bisa menjadi sisi lain penolong umat. Antara lain H. Bambang Eka Wijaya, K.H. Nurvaif S. Chaniago, H. Erie Sudewo (Ketua BAZNas Republik Indonesia), dan H. Rahmad Riyadi (Mantan Presiden Dompet Dhuafa Republika, Jakarta). Ditambah lagi Tim Manajemen Lampung Peduli yang berkompeten di bidangnya.

Potensi zakat di Lampung, katanya, sesungguhnya bisa mencapai Rp1 triliun per tahun jika digarap serius. Namun, kata dia, kini pencapaian zakat di Lampung masih berkisar kurang dari setengah miliar. Tahun 2007, Lampung Peduli baru dapat menghimpun dana umat sekira Rp470 juta," kata dia.

Ia mengakui tidak mudah mengajak orang lain berbuat baik, sekalipun itu perintah wajib agama. Namun, ia mengajak pihaknya dengan keterbatasan dana, program yang dirancang harus berjalan dan menjadi solusi bagi umat.

Tahun 2008, ia dengan Lampung Peduli-nya menawarkan pengelolaan zakat dan infak/sedekah (ZIS) umat dalam payung-payung program keberdayaan dan kemandirian berupa Program Peduli Generasi (pendidikan), Peduli Ekonomi, Peduli Jasmani (kesehatan), Peduli Insani (bencana/gawat darurat), dan Peduli Nurani.
Untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan zakat, Lampung Peduli membuat laporan secara berkala yang dimuat Lampung Post, buletin Jumat Sajada, dan majalah kedermawanan Dinar.

Pada pelaksanaan program, Lampung Peduli tidak hanya menyalurkan produktif, tetapi melakukan pendampingan dengan mengedepankan pemantauan, pengawasan, dan pembinaan berkelanjutan. Para penerima program juga telah melalui survei ketat.

Melalui pembacaan kinerja yang sangat baik dengan Lampung Peduli, Panji mendapat amanat lebih besar lagi, yakni ditunjuk menjadi sekjen nasional Gerakan Zakat untuk Indonesia.

"Ya, saya hanya berupaya menfasilitasi Saudara-Saudara kita yang beruntung untuk mendapatkan kedamaian batin dengan melaksanakan kewajibannya beribadah, yakni melalui zakat, infak, dan sedekah. Sebab, dengan zakat tersebut, hidup manusia akan bersih. Hartanya bersih, dan kehidupannya bahagia," kata dia.


BIODATA


Nama: Juperta Panji Utama
Lahir: Tanjungkarang, 25 Agustus 1970
Agama: Islam
Keluarga
Ayah: Effendi Fachruddin Toha
Ibu: Yurnani
Istri: Sholawati
Anak:
1. Janata Shoji Al Falaq
2. Jabir Shoji Arhab
3. Jasmine Shoji Alifah
Alamat: Jalan Duku 18/48 Pasir Gintung, Bandar Lampung 35113

Pendidikan:
- TK YWKA Tanjungkarang, 1977
- SDN 1 Tanjungagung, 1984
- SMPN 4 Tanjungkarang, 1987
- SMAN 2 Bandar Lampung, 1990
- Fakultas Pertanian Universitas Lampung, 1997
- Pendidikan Akta Mengajar IV FKIP Unila, 2005

Pekerjaan
1. Sekjen Nasional Gerakan Zakat untuk Indonesia
2. Ketua Lembaga Amil Zakat Daerah/LAZDa Lampung Peduli (2003--2008)
3. Sekretaris Hubungan Kerja Sama dan Komunikasi Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Provinsi Lampung (2005--2008)


Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 392-394.
http://arahlautlepas.blogspot.com